Share

Bab 5. Suasana Baru

“Aih, tidak usah malu-malu memperkenalkan gadis itu, Candra. Kita ini kan keluarga.”

“Dia sibuk dan tidak punya waktu untuk bertemu dengan banyak orang. Apalagi dengan yang tidak terlalu penting.” Candra sengaja membalas dengan kalimat yang menyebalkan.

Sontak saja perkataan Candra mendapatkan tatapan sinis dari wanita dengan lipstik berwarna ungu. Itu adalah Desti—simpanan yang berhasil menjadi istri pamannya.

“Oh, begitukah caramu berbicara padaku sekarang, Candra? Ah, sepertinya aku tahu jika gadis pilihanmu kali ini mungkin lebih buruk dari yang sebelumnya. Astaga, seleramu memang sangat menarik.”

“Bibi tidak perlu mengurusi urusan keluarga kami. Bibi hanyalah orang asing.”

“Candra!”

Candra berdiri dari kursi dan mengakhiri makan malamnya. Tidak ada yang menyenangkan di sana. Lagipula, ia harus segera menjemput Inka dari ancaman para penagih. Mobil berwarna hitam siap mengantarnya pergi.

“Jadi, apa sekarang kamu akan pergi lagi? Gadis itu kah?” tanya sopir pribadinya.

“Ya. Ada rencana yang berjalan dengan baik. Yang kupesankan padamu waktu itu sudah kau kerjakan, bukan?”

“Tentu saja Pak Candra yang terhormat.”

“Berhentilah menggunakan sapaan yang hormat. Kamu jadi sopirku juga karena kurang kerjaan. Bagaimana kalau jadi wakil presdir saja? Posisi itu sedang kosong dan terkadang aku butuh bantuan.”

“Kamu menyulitkan diri sendiri. Buat saja lowongan pekerjaan tentang itu.”

“Jangan membuatku tertawa. Aku sama sekali tidak percaya dengan orang lain. Nyalakan mobilnya. Dia di sana sudah tidak sabar untuk bertemu denganku.”

Mobil itu melaju dengan cepat. Candra tak ingin kehilangan kesempatan emas setelah Inka akhirnya menyetujui keinginannya. Saat tiba di sana, ia langsung berbicara dengan penagih yang berada di depan pintu gerbang. Sejumlah uang yang diberikan Candra sebagai ‘uang damai’ langsung membuat dua orang itu pergi.

Di sisi lian,  Inka sedari tadi menunggu kedatangan Candra dengan cemas sambil memeriksa ponselnya.

“Bagaimana jika mereka mendobrak pintu ini?” batinnya.

Sampai satu jam semenjak ia menelpon Candra dan menunggu, belum juga ada tanda-tanda kedatangan pria yang dinantikannya. Tangan gadis itu gemetar ia melihat keadaan di luar melalui jendela beberapa kali. Memang benar jika suara penagih sudah lenyap beberapa saat yang lalu. Namun, tetap saja ia tidak bisa tenang.

“Bukalah, ini aku.”

Suara pria yang dikenal membuatnya langsung membuka pintu.

“Kenapa melihat ke sana dan ke mari? Mereka sudah pergi.”

“Terima kasih.”

“Hanya ini barang-barangmu?”

“Hm. Aku tidak punya banyak barang.”

Candra dan sang sopir lalu membawa barang-barang milik Inka. Gadis itu mengirimkan pesan singkat kepada pemilik kos tentang kepergiannya. Bagaimanapun juga, ia tetap harus pamit.

“Apa Pak Candra melihat dua orang di sekitar sini?” tanyanya penasaran.

“Tidak ada.”

“Oh.”

Perjalanan menuju tempat Candra membuat Inka mulai tersadar dengan keputusannya. Ia baru saja menerima sebuah perjanjian kontrak. Ini sungguh gila, pikirnya. Jika saja waktu bisa terulang dan keadaan seperti yang dikatakan Candra—tidak ada penagih di sana, mungkin ia tidak akan mengiyakan pernikahan ini.

“Apa yang sudah kulakukan?”

“Kenapa? Merasa menyesal?” Menangkap ucapan Inka, Candra bereaksi. “Tidak ada gunanya kamu membatalkannya. Aku sudah merekam ucapannya tentang persetujuan itu. Ini sudah sah di mata hukum.”

Di sela-sela percakapan mereka, masuk pesan dari Giselle. Setelah membacanya, Inka semakin menyesal. Mestinya ia bersabar sebentar saja.

Inka tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia terlanjur membuat janji dengan presdir.

“Apa aku lari saja?” ucapnya dalam hati. “Ah, tidak mungkin. Monster di sebelahku ini akan menemukan segala cara untuk menangkapku.”

“Jangan bilang kalau kamu sedang memikirkan untuk kabur. Aku akan menuntutmu dengan pasal-pasal penipuan,” ancam Candra. “Ikuti saja bagaimana permainanku. Toh, kamu juga diuntungkan dengan ini. Aku akan memberikan uang yang banyak. Bila perlu, kamu tak usah bekerja. Di rumah saja nanti dan santailah.”

Bukan hanya itu, masih banyak kalimat-kalimat lain yang terdengar sangat sumbang di telinga Inka. Itu seperti pria penganut patriarki dan mimpinya. Demi menjaga kewarasan, Inka memilih untuk diam saja. Untuk sekarang ia tahu, bantuan dari Pak Candra adalah satu-satunya harapan.

Setelah perjalanan 40 menit, akhirnya mereka sampai di unit apartemen milik Candra. Hanya ada mereka berdua di sana. Sopir pribadi Candra sengaja tidak diajak agar tidak mengetahui lebih lanjut rencana apa yang sebenarnya sedang diperbuatnya.

Ruangan berwarna putih dengan furniture dominan cokelat memberi kesan klasik. Tempat itu terlalu besar jika untuk ditinggali seorang diri saja.

“Kamarnya ada dua,” katanya. “Pak, apa aku akan tinggal di sini? Anda tidak akan menangih uang sewa suatu hari nanti, kan?” Inka melihat-lihat lagi ke ruangan yang lain.

Candra menaikan satu alis. “Astaga, kenapa masih perlu ditanyakan? Berhadapan denganmu membuatku sangat lelah. Inka, mengapa kamu membuat semua ini menjadi sangat sulit?”

“Aku hanya memastikan saja.”

“Jika sudah menikah aku bahkan berencana memberikan tempat ini untukmu. Tidak ada yang mengurus tempat ini. Aku pun tak begitu suka dengan suasananya."

“Ini terlalu bagus. Bisakah tempat yang biasa saja? Ukuran tiga kali tiga juga tidak masalah.” Lagi dan lagi, gadis itu terus-terusan membalas perkataan Candra.

“Kau ini dikasih yang bagus masih banyak permintaan!” Candra menatapnya dengan tajam lalu berkata lagi, “Aku tidak punya ruangan seperti itu. Nikmati saja untuk tinggal di tempat ini.”

Candra lalu duduk di atas sofa dengan tangan menyilang di depan dadanya. Inka yang mulai mengantuk terus menatap ke Candra. Itu seperti kode keras untuk mengusir pria di sana.

“Apa?”

“Apa Anda berencana bermalam di sini?” sindir Inka.

“Tidak.” Candra berdiri dari sofa dan berjalan menuju pintu apartemen. “Aku tidak seperti yang kamu bayangkan. Jangan sampai terlambat ke kantor besok. Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan.”

Candra lalu meninggalkan Inka di sana. Satu langkah sudah digenggamnya tentang pernikahan. Ia tersenyum manis penuh kemenangan. Ini bahkan jauh lebih cepat dibanding dugaannya.

Saat baru saja masuk ke dalam mobil, sang sopir langsung menanyakan sesuatu. Rupanya, ia telah melihat raut wajah Candra sedari tadi—itu saat ia tersenyum dengan lebar. Sungguh sebuah pemandangan yang jarang dilihatnya.

“Kulihat-lihat, kau ini memang suka pada gadis itu. Apa dia memang kekasihmu?”

“Hm … apakah jika aku mengatakan iya, kamu akan percaya?”

“Tidak. Aku sama sekali tidak percaya. Aku akan mencari tahu tentang sesuatu.”

Candra menyunggingkan senyum. Ini tetap rahasia. Baik sang sopir pribadi istimewa itu pun tak perlu tahu tentang rencananya.

Kamu pasti lelah. Tidurlah. Jangan pikirkan lagi tentang penagih itu. Aku akan menyelesaikan semuanya. Semoga mimpi indah.

Untuk beberapa kali Inka memeriksa kembali pesan dari Candra. Ini bukanlah mimpi dan ia tahu ada yang aneh dengan itu.

“Apa ini? Pesan ini? Mengapa? Mimpi indah katanya?”

Xerin

Halo! Untuk pertama kalinya aku menulis tentang CEO, Presdir apalah itu, hahaha! Dari dulu sering menghayal suatu saat nanti punya suami yang tampan dan kaya raya (tolong tampar aku) Semoga kalian senang dengan kisah ini! Meong!

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status