Share

Bab 5. Suasana Baru

Penulis: Xerin
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-29 22:57:38

“Aih, tidak usah malu-malu memperkenalkan gadis itu, Candra. Kita ini kan keluarga.”

“Dia sibuk dan tidak punya waktu untuk bertemu dengan banyak orang. Apalagi dengan yang tidak terlalu penting.” Candra sengaja membalas dengan kalimat yang menyebalkan.

Sontak saja perkataan Candra mendapatkan tatapan sinis dari wanita dengan lipstik berwarna ungu. Itu adalah Desti—simpanan yang berhasil menjadi istri pamannya.

“Oh, begitukah caramu berbicara padaku sekarang, Candra? Ah, sepertinya aku tahu jika gadis pilihanmu kali ini mungkin lebih buruk dari yang sebelumnya. Astaga, seleramu memang sangat menarik.”

“Bibi tidak perlu mengurusi urusan keluarga kami. Bibi hanyalah orang asing.”

“Candra!”

Candra berdiri dari kursi dan mengakhiri makan malamnya. Tidak ada yang menyenangkan di sana. Lagipula, ia harus segera menjemput Inka dari ancaman para penagih. Mobil berwarna hitam siap mengantarnya pergi.

“Jadi, apa sekarang kamu akan pergi lagi? Gadis itu kah?” tanya sopir pribadinya.

“Ya. Ada rencana yang berjalan dengan baik. Yang kupesankan padamu waktu itu sudah kau kerjakan, bukan?”

“Tentu saja Pak Candra yang terhormat.”

“Berhentilah menggunakan sapaan yang hormat. Kamu jadi sopirku juga karena kurang kerjaan. Bagaimana kalau jadi wakil presdir saja? Posisi itu sedang kosong dan terkadang aku butuh bantuan.”

“Kamu menyulitkan diri sendiri. Buat saja lowongan pekerjaan tentang itu.”

“Jangan membuatku tertawa. Aku sama sekali tidak percaya dengan orang lain. Nyalakan mobilnya. Dia di sana sudah tidak sabar untuk bertemu denganku.”

Mobil itu melaju dengan cepat. Candra tak ingin kehilangan kesempatan emas setelah Inka akhirnya menyetujui keinginannya. Saat tiba di sana, ia langsung berbicara dengan penagih yang berada di depan pintu gerbang. Sejumlah uang yang diberikan Candra sebagai ‘uang damai’ langsung membuat dua orang itu pergi.

Di sisi lian,  Inka sedari tadi menunggu kedatangan Candra dengan cemas sambil memeriksa ponselnya.

“Bagaimana jika mereka mendobrak pintu ini?” batinnya.

Sampai satu jam semenjak ia menelpon Candra dan menunggu, belum juga ada tanda-tanda kedatangan pria yang dinantikannya. Tangan gadis itu gemetar ia melihat keadaan di luar melalui jendela beberapa kali. Memang benar jika suara penagih sudah lenyap beberapa saat yang lalu. Namun, tetap saja ia tidak bisa tenang.

“Bukalah, ini aku.”

Suara pria yang dikenal membuatnya langsung membuka pintu.

“Kenapa melihat ke sana dan ke mari? Mereka sudah pergi.”

“Terima kasih.”

“Hanya ini barang-barangmu?”

“Hm. Aku tidak punya banyak barang.”

Candra dan sang sopir lalu membawa barang-barang milik Inka. Gadis itu mengirimkan pesan singkat kepada pemilik kos tentang kepergiannya. Bagaimanapun juga, ia tetap harus pamit.

“Apa Pak Candra melihat dua orang di sekitar sini?” tanyanya penasaran.

“Tidak ada.”

“Oh.”

Perjalanan menuju tempat Candra membuat Inka mulai tersadar dengan keputusannya. Ia baru saja menerima sebuah perjanjian kontrak. Ini sungguh gila, pikirnya. Jika saja waktu bisa terulang dan keadaan seperti yang dikatakan Candra—tidak ada penagih di sana, mungkin ia tidak akan mengiyakan pernikahan ini.

“Apa yang sudah kulakukan?”

“Kenapa? Merasa menyesal?” Menangkap ucapan Inka, Candra bereaksi. “Tidak ada gunanya kamu membatalkannya. Aku sudah merekam ucapannya tentang persetujuan itu. Ini sudah sah di mata hukum.”

Di sela-sela percakapan mereka, masuk pesan dari Giselle. Setelah membacanya, Inka semakin menyesal. Mestinya ia bersabar sebentar saja.

Inka tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia terlanjur membuat janji dengan presdir.

“Apa aku lari saja?” ucapnya dalam hati. “Ah, tidak mungkin. Monster di sebelahku ini akan menemukan segala cara untuk menangkapku.”

“Jangan bilang kalau kamu sedang memikirkan untuk kabur. Aku akan menuntutmu dengan pasal-pasal penipuan,” ancam Candra. “Ikuti saja bagaimana permainanku. Toh, kamu juga diuntungkan dengan ini. Aku akan memberikan uang yang banyak. Bila perlu, kamu tak usah bekerja. Di rumah saja nanti dan santailah.”

Bukan hanya itu, masih banyak kalimat-kalimat lain yang terdengar sangat sumbang di telinga Inka. Itu seperti pria penganut patriarki dan mimpinya. Demi menjaga kewarasan, Inka memilih untuk diam saja. Untuk sekarang ia tahu, bantuan dari Pak Candra adalah satu-satunya harapan.

Setelah perjalanan 40 menit, akhirnya mereka sampai di unit apartemen milik Candra. Hanya ada mereka berdua di sana. Sopir pribadi Candra sengaja tidak diajak agar tidak mengetahui lebih lanjut rencana apa yang sebenarnya sedang diperbuatnya.

Ruangan berwarna putih dengan furniture dominan cokelat memberi kesan klasik. Tempat itu terlalu besar jika untuk ditinggali seorang diri saja.

“Kamarnya ada dua,” katanya. “Pak, apa aku akan tinggal di sini? Anda tidak akan menangih uang sewa suatu hari nanti, kan?” Inka melihat-lihat lagi ke ruangan yang lain.

Candra menaikan satu alis. “Astaga, kenapa masih perlu ditanyakan? Berhadapan denganmu membuatku sangat lelah. Inka, mengapa kamu membuat semua ini menjadi sangat sulit?”

“Aku hanya memastikan saja.”

“Jika sudah menikah aku bahkan berencana memberikan tempat ini untukmu. Tidak ada yang mengurus tempat ini. Aku pun tak begitu suka dengan suasananya."

“Ini terlalu bagus. Bisakah tempat yang biasa saja? Ukuran tiga kali tiga juga tidak masalah.” Lagi dan lagi, gadis itu terus-terusan membalas perkataan Candra.

“Kau ini dikasih yang bagus masih banyak permintaan!” Candra menatapnya dengan tajam lalu berkata lagi, “Aku tidak punya ruangan seperti itu. Nikmati saja untuk tinggal di tempat ini.”

Candra lalu duduk di atas sofa dengan tangan menyilang di depan dadanya. Inka yang mulai mengantuk terus menatap ke Candra. Itu seperti kode keras untuk mengusir pria di sana.

“Apa?”

“Apa Anda berencana bermalam di sini?” sindir Inka.

“Tidak.” Candra berdiri dari sofa dan berjalan menuju pintu apartemen. “Aku tidak seperti yang kamu bayangkan. Jangan sampai terlambat ke kantor besok. Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan.”

Candra lalu meninggalkan Inka di sana. Satu langkah sudah digenggamnya tentang pernikahan. Ia tersenyum manis penuh kemenangan. Ini bahkan jauh lebih cepat dibanding dugaannya.

Saat baru saja masuk ke dalam mobil, sang sopir langsung menanyakan sesuatu. Rupanya, ia telah melihat raut wajah Candra sedari tadi—itu saat ia tersenyum dengan lebar. Sungguh sebuah pemandangan yang jarang dilihatnya.

“Kulihat-lihat, kau ini memang suka pada gadis itu. Apa dia memang kekasihmu?”

“Hm … apakah jika aku mengatakan iya, kamu akan percaya?”

“Tidak. Aku sama sekali tidak percaya. Aku akan mencari tahu tentang sesuatu.”

Candra menyunggingkan senyum. Ini tetap rahasia. Baik sang sopir pribadi istimewa itu pun tak perlu tahu tentang rencananya.

Kamu pasti lelah. Tidurlah. Jangan pikirkan lagi tentang penagih itu. Aku akan menyelesaikan semuanya. Semoga mimpi indah.

Untuk beberapa kali Inka memeriksa kembali pesan dari Candra. Ini bukanlah mimpi dan ia tahu ada yang aneh dengan itu.

“Apa ini? Pesan ini? Mengapa? Mimpi indah katanya?”

Xerin

Halo! Untuk pertama kalinya aku menulis tentang CEO, Presdir apalah itu, hahaha! Dari dulu sering menghayal suatu saat nanti punya suami yang tampan dan kaya raya (tolong tampar aku) Semoga kalian senang dengan kisah ini! Meong!

| Sukai
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DARI KONTRAK TURUN KE HATI   Bab 51. Pernikahan Kami

    "Jangan terlalu percaya diri, Candra. Tidak semua yang kamu bayangkan akan kamu dapatkan." Inka menegaskan sekali lagi. Itu hanya di mulut saja. Kenyataannya, ia adalah orang yang perlu mendapatkan peringatan keras agar tidak jatuh cinta pada Candra. "Kamu lapar?" Candra menggunakan topik lain. "Ayo bersiaplah, kita makan di luar saja. Ah, ini adalah pemborosan di rumah tangga."Inka melipat tangan di depan dada lalu memasang wajah kesal. "Kamu ini sebenarnya punya banyak uang atau tidak, sih? Hanya makan di resto saja mengeluhnya sangat luar biasa!""Tetap saja jika menghamburkan uang, kita bisa jatuh miskin."Kata 'kita' begitu manis untuk diucapkan. Telinga gadis itu mulai panas. Bagaimana bisa Candra mulai menyatukan mereka dengan seenaknya. "Kalau memang keberatan, ya sudah ... aku akan masak sekarang," keluh Inka. Ia menuju dapur, membuka kulkas dengan kasar. Matanya mulai melihat-lihat bahan makanan di sana yang bisa dijadikan makanan. "Kalau tidak mau mengajak makan, ya ja

  • DARI KONTRAK TURUN KE HATI   Bab 50. Jangan Jatuh Cinta

    “Inka, kenapa harus bersembunyi, sih?” “Siapa yang bersembunyi? Aku hanya tidak mau berbicara denganmu!” “Memangnya susah ya tinggal di sini? Ini bagus untuk kita. Semakin sedikit orang yang kita temui, semakin baik. Kamu lupa soal kontrak itu?” “Terserah kamu saja! Lagipula, apa pun yang aku katakan tidak akan berpengaruh padamu!” Inka gusar. Ia tahu tidak memiliki power menghadapi Candra. Hidup terkurung selama 11 bulan tersisa hanyalah yang bisa ia lakukan. Kontrak sudah berjalan, tidak ada celah. Setelah dipikirkannya kembali, uang bulanan dari Candra cukup besar. Setidaknya, itu bisa menyembuhkan sedikit rasa kesalnya. “Jadi, kamu maunya kita tinggal di mana?” tanya Candra menahan emosinya. “Ayo bicarakan baik-baik. Yang perlu kamu tahu, kalau kita tidak tinggal di sini, maka pilihannya adalah bersama ayahku.” Itu keadaan yang sama menjengkelkan. Inka sudah membayangkan kehidupan seperti di film-film. Apakah ia menjadi menantu yang dikuasai mertua dengan segala kekejamannya?

  • DARI KONTRAK TURUN KE HATI   Bab 49. Tidak Mungkin Jatuh Cinta

    Andita berhenti dengan kegiatannya. Sayur yang sedang dipotong itu ditinggalkannya. Ia bergerak menuju Inka dan memeluknya erat.“Katakan padaku apa saja yang kamu rasakan. Perlukah aku mencarikan dokter yang hebat?”Saat mendengar suara halus Andita, Inka ingin tertawa keras.“Aku tidak apa-apa, Kak Andita. Aku hanya sedang berpikir saja seandainya ada hal yang buruk terjadi.”“Astaga. Kupikir kamu mau mengatakan kalau hasil pemeriksaan kesehatanmu—”Inka menggenggam tangan Andita. Ia menatap lalu tersenyum. “Kak, aku baik-baik saja. Rahimku sangat bagus. Lalu, Candra juga sangat sehat. Ini tidak ada hubungannya dengan mandul atau sejenisnya.”Satu hal penting tidak bisa diucapkan bibir itu. Perjanjian tanpa sentuhan fisik. Jangankan mau punya anak, tidur satu ranjang pun tidak terjadi.“Jangan membahasnya lagi. Besok ayah dan nenekmu akan kembali ke Paris. Apa boleh aku ikut? Lumayan numpang gratis.”“Tentu. Kenapa tidak? Aku akan bilang pada ayahku secepatnya.” Inka bahkan sudah si

  • DARI KONTRAK TURUN KE HATI   Bab 48. Semangat Kakak Ipar

    "Jadi, bagaimana dengan malam pertamamu?"Blush!Pipi Inka merona. Pertanyaan dari Andita membuatnya salah tingkah. Meski tidak ada yang terjadi, tetap saja pertanyaan itu terlalu brutal. Apakah semua pengantin baru selalu mendapatkan pertanyaan ini? "Stt! Sudah, meski kamu tidak memberitahukannya, aku tahu apa yang sudah terjadi, hihihi.""Ti-Tidak, Kak. Antara aku dan Candra benar-benar tidak ada apa-apa. Kami langsung tidur begitu hari menjelang malam.""Oh, Inka. Aku sangat tahu Candra. Ia tidak akan membebaskanmu begitu saja." Andita malah menuju kamar mereka. "Uh, sepertinya hal yg brutal terjadi tadi malam." Inka semakin tersudutkan. Kamar yang berantakan karena Inka melempar bantal pada Candra tadi pagi kini membuatnya tidak bisa berkutik."Sumpah! Kami tidak melakukan apa-apa!" Inka sudah hampir gila untuk menjelaskan semua itu."Lupakan saja. Aku akan menganggap seperti itu."Mengelak, memberi alasan bahkan menjelaskan dengan detail pun hanya akan sia-sia. Pada akhirnya In

  • DARI KONTRAK TURUN KE HATI   Bab 47. Status Baru

    "Kembali bekerja. Sepertinya aku terlalu baik padamu sampai kamu lupa kalau aku adalah bos di sini.""Aku mengerti."Rehan tidak berkutik saat Candra mulai menunjukkan kekuasannya. "Hubungi kembali Rani dan pastikan proyek kali ini berhasil. Aku tidak akn menyerah soal itu.""Itu yang ingin aku bicarakan padamu. Sebenarnya ada sesuatu yang mengganggu pikiranku."Candra memasukkan dua tangan ke dalam saku dan berjalan menuju Rehan yang sedang duduk di sofa. "Apa kamu mencurigai seseorang?" Satu alis mata Candra naik. Rehan mengangguk pelan. Pikirannya kembali pada peristiwa kemarin saat pesta pernikahan itu. Giselle yang tidak tahu jika ada seseorang yang mendengar pembicaraanya bersama orang lain."Kamu yakin mau melihat mantan terindahmu menikah? Bagaimana kalau kita hancurkan pesta ini."Rehan berusaha fokus dan menebak siap yang sedang bersama Giselle saat itu. "Aku hanya ingin menjadi saudara perempuan yang baik. Mengejutkan Inka sudah cukup bagiku.""Ayolah, hanya sekali keme

  • DARI KONTRAK TURUN KE HATI   Bab 46. Cemburu Kecil

    “Ckckck, berani-beraninya menyebut nama pria lain di hadapan suamimu.”“Emang kenapa? Pernikahan ini hanyalah semu. Aku juga tidak mau menganggap serius perlakuanmu nanti. Tenang saja, aku profersional.” Inka terlalu percaya diri mengatakannya.“Dengan siapa pun tidak masalah. Tentang Rehan aku tidak suka!”Inka semakin terheran-heran dengan tingkah Candra. Mengapa membatasi ruang geraknya? Lagipula, Rehan adalah sepupu Candra. Kenapa ia malah melarangnya untuk dekat dengan pria itu? Sungguh hal yang sama sekali tidak masuk akal!“Meski dilarang, aku tidak peduli. Tidak ada semacam itu di kontrak kita. Aku akan melakukan apa yang kusuka.”Inka meninggalkan Candra di sofa dan naik ke atas ranjang.“Kamu bisa tidur di sofa, oke?” kata gadis itu dengan sangat santai. “Empuknya!”Candra berkacak pinggang. Panas hatinya melihat mantan karyawan yang terlalu berani padanya.“Di mana Inka yang selalu hormat padaku? Aku tidak percaya jika gadis itu sekarang bahkan bisa memerintahku seenaknya.”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status