“Aih, tidak usah malu-malu memperkenalkan gadis itu, Candra. Kita ini kan keluarga.”
“Dia sibuk dan tidak punya waktu untuk bertemu dengan banyak orang. Apalagi dengan yang tidak terlalu penting.” Candra sengaja membalas dengan kalimat yang menyebalkan.
Sontak saja perkataan Candra mendapatkan tatapan sinis dari wanita dengan lipstik berwarna ungu. Itu adalah Desti—simpanan yang berhasil menjadi istri pamannya.
“Oh, begitukah caramu berbicara padaku sekarang, Candra? Ah, sepertinya aku tahu jika gadis pilihanmu kali ini mungkin lebih buruk dari yang sebelumnya. Astaga, seleramu memang sangat menarik.”
“Bibi tidak perlu mengurusi urusan keluarga kami. Bibi hanyalah orang asing.”
“Candra!”
Candra berdiri dari kursi dan mengakhiri makan malamnya. Tidak ada yang menyenangkan di sana. Lagipula, ia harus segera menjemput Inka dari ancaman para penagih. Mobil berwarna hitam siap mengantarnya pergi.
“Jadi, apa sekarang kamu akan pergi lagi? Gadis itu kah?” tanya sopir pribadinya.
“Ya. Ada rencana yang berjalan dengan baik. Yang kupesankan padamu waktu itu sudah kau kerjakan, bukan?”
“Tentu saja Pak Candra yang terhormat.”
“Berhentilah menggunakan sapaan yang hormat. Kamu jadi sopirku juga karena kurang kerjaan. Bagaimana kalau jadi wakil presdir saja? Posisi itu sedang kosong dan terkadang aku butuh bantuan.”
“Kamu menyulitkan diri sendiri. Buat saja lowongan pekerjaan tentang itu.”
“Jangan membuatku tertawa. Aku sama sekali tidak percaya dengan orang lain. Nyalakan mobilnya. Dia di sana sudah tidak sabar untuk bertemu denganku.”
Mobil itu melaju dengan cepat. Candra tak ingin kehilangan kesempatan emas setelah Inka akhirnya menyetujui keinginannya. Saat tiba di sana, ia langsung berbicara dengan penagih yang berada di depan pintu gerbang. Sejumlah uang yang diberikan Candra sebagai ‘uang damai’ langsung membuat dua orang itu pergi.
Di sisi lian, Inka sedari tadi menunggu kedatangan Candra dengan cemas sambil memeriksa ponselnya.
“Bagaimana jika mereka mendobrak pintu ini?” batinnya.
Sampai satu jam semenjak ia menelpon Candra dan menunggu, belum juga ada tanda-tanda kedatangan pria yang dinantikannya. Tangan gadis itu gemetar ia melihat keadaan di luar melalui jendela beberapa kali. Memang benar jika suara penagih sudah lenyap beberapa saat yang lalu. Namun, tetap saja ia tidak bisa tenang.
“Bukalah, ini aku.”
Suara pria yang dikenal membuatnya langsung membuka pintu.
“Kenapa melihat ke sana dan ke mari? Mereka sudah pergi.”
“Terima kasih.”
“Hanya ini barang-barangmu?”
“Hm. Aku tidak punya banyak barang.”
Candra dan sang sopir lalu membawa barang-barang milik Inka. Gadis itu mengirimkan pesan singkat kepada pemilik kos tentang kepergiannya. Bagaimanapun juga, ia tetap harus pamit.
“Apa Pak Candra melihat dua orang di sekitar sini?” tanyanya penasaran.
“Tidak ada.”
“Oh.”
Perjalanan menuju tempat Candra membuat Inka mulai tersadar dengan keputusannya. Ia baru saja menerima sebuah perjanjian kontrak. Ini sungguh gila, pikirnya. Jika saja waktu bisa terulang dan keadaan seperti yang dikatakan Candra—tidak ada penagih di sana, mungkin ia tidak akan mengiyakan pernikahan ini.
“Apa yang sudah kulakukan?”
“Kenapa? Merasa menyesal?” Menangkap ucapan Inka, Candra bereaksi. “Tidak ada gunanya kamu membatalkannya. Aku sudah merekam ucapannya tentang persetujuan itu. Ini sudah sah di mata hukum.”
Di sela-sela percakapan mereka, masuk pesan dari Giselle. Setelah membacanya, Inka semakin menyesal. Mestinya ia bersabar sebentar saja.
Inka tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia terlanjur membuat janji dengan presdir.
“Apa aku lari saja?” ucapnya dalam hati. “Ah, tidak mungkin. Monster di sebelahku ini akan menemukan segala cara untuk menangkapku.”
“Jangan bilang kalau kamu sedang memikirkan untuk kabur. Aku akan menuntutmu dengan pasal-pasal penipuan,” ancam Candra. “Ikuti saja bagaimana permainanku. Toh, kamu juga diuntungkan dengan ini. Aku akan memberikan uang yang banyak. Bila perlu, kamu tak usah bekerja. Di rumah saja nanti dan santailah.”
Bukan hanya itu, masih banyak kalimat-kalimat lain yang terdengar sangat sumbang di telinga Inka. Itu seperti pria penganut patriarki dan mimpinya. Demi menjaga kewarasan, Inka memilih untuk diam saja. Untuk sekarang ia tahu, bantuan dari Pak Candra adalah satu-satunya harapan.
Setelah perjalanan 40 menit, akhirnya mereka sampai di unit apartemen milik Candra. Hanya ada mereka berdua di sana. Sopir pribadi Candra sengaja tidak diajak agar tidak mengetahui lebih lanjut rencana apa yang sebenarnya sedang diperbuatnya.
Ruangan berwarna putih dengan furniture dominan cokelat memberi kesan klasik. Tempat itu terlalu besar jika untuk ditinggali seorang diri saja.
“Kamarnya ada dua,” katanya. “Pak, apa aku akan tinggal di sini? Anda tidak akan menangih uang sewa suatu hari nanti, kan?” Inka melihat-lihat lagi ke ruangan yang lain.
Candra menaikan satu alis. “Astaga, kenapa masih perlu ditanyakan? Berhadapan denganmu membuatku sangat lelah. Inka, mengapa kamu membuat semua ini menjadi sangat sulit?”
“Aku hanya memastikan saja.”
“Jika sudah menikah aku bahkan berencana memberikan tempat ini untukmu. Tidak ada yang mengurus tempat ini. Aku pun tak begitu suka dengan suasananya."
“Ini terlalu bagus. Bisakah tempat yang biasa saja? Ukuran tiga kali tiga juga tidak masalah.” Lagi dan lagi, gadis itu terus-terusan membalas perkataan Candra.
“Kau ini dikasih yang bagus masih banyak permintaan!” Candra menatapnya dengan tajam lalu berkata lagi, “Aku tidak punya ruangan seperti itu. Nikmati saja untuk tinggal di tempat ini.”
Candra lalu duduk di atas sofa dengan tangan menyilang di depan dadanya. Inka yang mulai mengantuk terus menatap ke Candra. Itu seperti kode keras untuk mengusir pria di sana.
“Apa?”
“Apa Anda berencana bermalam di sini?” sindir Inka.
“Tidak.” Candra berdiri dari sofa dan berjalan menuju pintu apartemen. “Aku tidak seperti yang kamu bayangkan. Jangan sampai terlambat ke kantor besok. Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan.”
Candra lalu meninggalkan Inka di sana. Satu langkah sudah digenggamnya tentang pernikahan. Ia tersenyum manis penuh kemenangan. Ini bahkan jauh lebih cepat dibanding dugaannya.
Saat baru saja masuk ke dalam mobil, sang sopir langsung menanyakan sesuatu. Rupanya, ia telah melihat raut wajah Candra sedari tadi—itu saat ia tersenyum dengan lebar. Sungguh sebuah pemandangan yang jarang dilihatnya.
“Kulihat-lihat, kau ini memang suka pada gadis itu. Apa dia memang kekasihmu?”
“Hm … apakah jika aku mengatakan iya, kamu akan percaya?”
“Tidak. Aku sama sekali tidak percaya. Aku akan mencari tahu tentang sesuatu.”
Candra menyunggingkan senyum. Ini tetap rahasia. Baik sang sopir pribadi istimewa itu pun tak perlu tahu tentang rencananya.
Kamu pasti lelah. Tidurlah. Jangan pikirkan lagi tentang penagih itu. Aku akan menyelesaikan semuanya. Semoga mimpi indah.
Untuk beberapa kali Inka memeriksa kembali pesan dari Candra. Ini bukanlah mimpi dan ia tahu ada yang aneh dengan itu.
“Apa ini? Pesan ini? Mengapa? Mimpi indah katanya?”
Halo! Untuk pertama kalinya aku menulis tentang CEO, Presdir apalah itu, hahaha! Dari dulu sering menghayal suatu saat nanti punya suami yang tampan dan kaya raya (tolong tampar aku) Semoga kalian senang dengan kisah ini! Meong!
Tempat yang nyaman ternyata sama sekali tidak membuat Inka tidur dengan nyenyak. Ia sering terbangun dan memeriksa kembali keadaan di sekitarnya. Dalam pikirannya Candra akan datang dan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Inka dalam mode waspada.Rasa kantuk yang tak tertahan itu terpaksa dilawannya dengan serangan kafein. Ia baru saja menghabiskan satu gelas kopi dan akan menambah lagi. Saat di sana, bertemulah ia dengan Giselle.“Hei, Inka. Selamat pagi!” sapa Giselle dengan riang. “Kenapa tidak membalas pesanku? Semalam aku sampai tidak bisa tidur karena memikirkan bantuan apa yang bisa kuberikan.”“Ah itu ….” Jika sudah begini, ia tak tahu hars menjawab bagaimana. Bantuan yang diinginkannya telah dipenuhi orang lain. “Aku ingin pinjam uang tetapi tak jadi.”“Astaga! Maafkan aku. Seharusnya aku segera membalas. Kamu pasti butuh sekali ya kemarin?”“Tidak apa-apa. Aku mengerti kalau Anda sibuk.”“Ah iya, ini memang masih pagi. Um … Pak Presdir memanggilmu.” Giselle menepuk bahu
Meski ragu untuk mengatakannya lebih jauh, Inka pada akhirnya harus tetap memberitahukan kepada keluarganya. Ia tahu jika ‘nenek sihir’ yang berada di sisi ayahnya pasti akan berkomentar ini dan itu atau bahkan mebuat sang ayah tidak bisa datang ke pernikahan itu.“Ayah bisa datang, ‘kan?”“Kamu ini bicara apa? Ayah pasti akan datang ke acara pernikahanmu.”“Itu … aku juga mau menyampaikan kalau bulan depan. Maaf jika semua ini sangat mendadak. Candra dan keluarganya akan datang ke sana dan melamarku secara resmi.”“Tidak perlu. Ia akan mengeluarkan banyak uang jika terbang ke sini. Kasihan, pria jaman sekarang biasa tidak punya tabungan. Sayang sekali ya, pria yang ingin dijodohkan denganmu di sini sebenarnya orang kaya. Ayah jadi enak enak dengan keluarganya.”“Jadi karena dia anak orang kaya kalian mau menjodohkanku? Sayang sekali juga ya … aku menemukan orang lain yang lebih baik di sini.”Inka tertawa kecil sehingga membuat ayahnya berhenti berbicara. Soal uang sama sekali bukan
Inka lupa tentang sesuatu yang harus dikatakannya pada seseorang. Jika keluarganya sudah tahu, lain hal dengan Sasha. Entahlah nanti gadis itu akan terkejut atau sebaliknya. Sebenarnya, ia masih ingin menahannya lagi sampai saat acara lamaran. Namun, itu bisa saja membuat Sasha jadi benci padanya. Untuk seseorang yang sering terbuka dengan masalah, Inka merasa tidak adil jika tidak berbagi cerita ini.“Coba katakan sekali lagi, Inka?” Mata yang membesar dan raut wajah heran sudah ada pada Sasha. “Apa aku tidak salah dengar?”Sasha mengambil dokumen yang tipis lalu mengipas-ngipaskannya.“Tidak panas kenapa kipas-kipas, sih?”“Kamu! Bisa-bisanya kamu merahasiakan kalau Presdir kita adalah kekasihmu. Pantas saja sejak awal aku merasa kamu terlalu menghindarinya. Oh, ternyata ini adalah alasannya.”Kalimat bagaimana yang bisa meyakinkan Sasha jika Inka sendiri pun sebenarnya tidak tahu tentang keadaannya. Semua ini terjadi begitu saja pada hidupnya. Ia memang bersyukur telah lepas dari h
“Adi!”Teriakan seseorang dari depan resto membuyarkan dua pikiran yang sedang mereka-reka apa gerangan hubungan anak kecil itu dengan Pak Candra.“Mama!” teriak anak kecil yang bersama mereka. Anak itu juga turun dari kursi dan berlari menuju ibunya.“Adi, kamu membuat Mama khawatir!” Sesaat kemudian, wanita itu melangkah maju dan menemui Sasha dan Inka lalu berkata, “Terima kasih ya sudah menjaga anakku. Astaga, aku hampir gila dibuatnya!”“Kebetulan kami melihatnya.” Sasha langsung membalas.Mata wanita itu lalu tertuju pada makanan yang ada di atas meja. Ia menatap wajah anaknya dan mulai menatap dengan tajam.“Aku tidak memintanya, Ma. Mereka yang menawari aku makan,” ucapnya. “Iyakan, Kak?” Menunggu sebuah konfirmasi dari Sasha dan Inka.“Tidak apa-apa, Bu. Kami senang bisa membantu.”Lain di mulut dan lain di hati. Bagaimana pun juga Sahsa masih menganggap makanan seharga 80.000 itu mahal. Sasha dan Inka merasa seperti pahlawan kali ini.“Duh, aku kayak enggak sopan sekali ya.
“Papamu akan datang nanti. Kalau memang sudah waktunya.” Balasan dari belakang Andita membuatnya terkejut. Itu adalah Candra. Sungguh, ia sama sekali tidak ingin adik lelakinya menjanjikan sesuatu yang belum pasti. Anak laki-lakinya pasti akan menuntut semua itu. “Jangan dengarkan Pamanmu. Ia hanya berbicara sembarangan.” Andita mencoba untuk menjauhkan Adi dari Candra. “Hei, aku ini tidak sedang berbohong. Aku sendiri yang akan membawa laki-laki itu untuk datang. Ia perlu menjenguk Adi beberapa kali.” “Hentikan, Candra! Aku tidak mau bertemu dengannya!” “Bukan untukmu. Ini untuk keluarga kecil yang akan kubangun nanti. Aku tak mau istriku menyangka aku sama sekali tidak perhatian dengan keluargaku.” Candra lalu menunduk sejajar dengan Adi. “Papamu akan datang nanti.” *** Hari demi hari terus berganti. Mau tak mau, banyak persiapan yang harus diperbuat pasangan calon pengantin itu. Jika saja ia tidak menggunakan jasa WO, itu akan membuat mereka lebih sibuk lagi. Di sela-sela
Inka mengambil kesempatan untuk berbicara 4 mata dengan Candra. Ia membawanya ke luar, di dekat kolam. Ada tempat duduk di sana dan mereka bisa berduaan saja. Ini tidak seperti yang ada dalam perjanjian mereka. Tidak ada kontak fisik atau semacam itu. Bagaimana bisa muncul pembicaraan tentang anak?“Kamu ingin berduaan denganku, ya?” goda Candra.“Bukan! Sama sekali bukan itu! Kita perlu meluruskan semua ini. Mengapa mereka—tidak, kamu juga. Apa maksudnya tentang anak? Hei, tidak ada anak dalam perjanjian kita.”Candra menikmati rasa khawatir Inka. Ia ingin mempermainkannya lebih jauh.“Bukankah wajar jika dalam pernikahan ada anak. Aku dan kamu juga tidak bisa menjamin jika kita berdua ternyata bisa terjebak dalam nafsu nantinya—”Inka menutup kedua tangannya. “Hentikan! Aku tidak mau mendengarnya!”“Hahaha! Kau ini lucu sekali! Aku hanya sedang berusaha meyakinkan pihak keluargaku. Mana bisa mereka percaya begitu saja kalau aku akan menikah. Perkataanku tadi adalah cara yang paling
“Ah, daripada memikirkan tentang itu, bagaimana kalau kita turun ke bawah dan menikmati jamuan makan malam,” ajak Andita. “Meski ini acara keluarga, tenang saja … kali ini tidak ada meja besar yang terlalu kaku. Kamu bisa memilih mau makan di mana.”“Aku akan ikut kamu saja.”Begitulah Inka mengikuti ke mana Andita pergi. Candra sama sekali tidak muncul lagi selama makan malam. Ia menurunkan amarahnya terlebih dulu sebelum bertemu dengan Inka.Ia juga sudah berganti pakaian begitu pun dengan Andita. Hanya kemeja santai dan celana jeans. Meski keluarga yang lain masih lengkap dengan jas beserta gaun, asalkan ada seseorang yang sama dengannya, Inka tidak akan merasa minder.“Pakaian ini lebih nyaman dari gaun. Benar, ‘kan? Aku juga tidak setuju sebenarnya pertemuan keluarga menggunakan gaun. Apa-apaan itu?”“Mungkin biar terlihat formal.”Inka dan Andita terus bersama. Ada baiknya juga selama pesta kecil-kecilan itu Andita menjadi ‘pengawal pribadinya’. Sosok wanita lain dari sana menat
“Ada hal yang belum bisa kamu ketahui. Pelan-pelan ya, Inka. Nanti juga kamu akan tahu bagaimana kehidupan di keluarga kami dan segala problematic di dalamnya.” Untuk saat ini, Andita hanya bisa menjelaskan seperti itu. “Kuharap rumah tanggamu nanti tidak seperti aku.” Wanita itu menghela napas setelahnya.Inka belum mengetahui semuanya tetapi ia memilih untuk mendekati Andita. Dipeluknya tubuh wanita itu dan menepuk pelan bahunya.“Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja. Kak Andita.”“Haha! Kamu bahkan belum tahu apa yang sebenarya terjadi. Sebenarnya aku mau mengatakan sesuatu padamu.” Andita melepaskan pelukan Inka. “Selagi bisa, kamu harus menjauh dari keluarga kami.”Betapa terkejutnya Inka saat mendengar kalimat itu. Mengapa ia diminta untuk pergi? Apakah ini sebuah test atau sebenarnya ia tidak disukai oleh wanita yang terlihat baik padanya? Banyak sekali pertanyaan sekejap muncul dalam benaknya.“Kenapa aku harus pergi? Bukankah semakin banyak tantangan dalam hidup akan sema