Semalaman itu Dina tidak bisa tidur. Kalau saja dia memiliki ponselnya sendiri di tangannya, Dina pasti sudah menelusuri media sosial yang membicarakan kasus Olivia. Dia sudah mendengar klarifikasi Ayu yang dibacakan oleh Leonardo. Ya, kakak kelasnya itu mengunggah pernyataan maaf karena telah salah paham. Dina mungkin tidak begitu mengingatnya kata perkata, tetapi dia beruntung karena senior kampusnya itu mau melaksanakan permintaannya juga. Ayu bersedia mengatakan keberadaan Dina adalah secara sukarela. Detilnya, dia tidak begitu tahu karena Olivia dan Leo tidak memberikannya kesempatan untuk melihat butir klarifikasi itu secara utuh.
Dina berguling di kasurnya. Di sebelah ranjangnya, Mbok Surti tertidur lelap. Memorinya membuka kembali momen malam di mana pembantu setia Keluarga Armadjati itu membantunya kabur. Dia memejamkan mata. Tidak ingin mengingat-ingat peristiwa yang membuatnya trauma tersebut. Kalau saja waktu itu usaha pelariannya berhasil, begitu Dina membatin.
Denging di telinganya perlahan-lahan menghilang sewaktu sayup-sayup Dina mendengar suara Leonardo. Dia menajamkan telinga seraya mencoba menaikkan tubuhnya. Lututnya bergetar dan dia jatuh terduduk kembali.“PAPA!”Pikiran Dina tidak dapat mencerna pemilik suara tersebut. Matanya setengah terbuka dan menutup secara berganti-gantian sewaktu dia merasakan sentuhan tangan di bahunya. Lalu tangan yang sama itu mengangkatnya.“Dia bisa pingsan!”“Hm, too bad. Mati lebih baik buatnya.”Level kesadaran Dina seketika meningkat mendengar ancaman kematian tersebut. Dia memaksakan diri membuka mata dan mendapati mata gelap Leonardo memandanginya. Tak dapat dia pastikan apa arti tatapan itu; apakah kekhawatiran atau kekecewaan? Pasti yang terakhir, ujarnya dalam hati.Leonardo menopangnya dan menuntunnya ke kursi terdekat di ruang makan tempat mereka berada saat ini. Dia melengkungkan badan mencoba mengalirka
Semuanya terjadi begitu cepat. Dari tempat duduknya, Dina memperhatikan orang-orang hilir mudik melakukan entah apa. Ralat, sebenarnya dia tahu tujuan mereka mondar-mandir di depannya. Hanya saja, Dina enggan untuk menerima kenyataan kalau ini semua demi acara pengumuman pertunangannya dengan Leonardo Armadjati.Dina menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan-lahan. Sepertinya baru kemarin dia dibawa paksa ke rumah ini, disiksa sedemikian rupa, dan terpenjara sebagai tawanan.“Hey, you can’t wear those!”Dina menoleh. Olivia. Sewaktu mendengar titah Pak Hidayat, gadis itulah yang pertama kali merasa gembira. Dina pikir itu karena Olivia dapat memulihkan citranya sebagai selebriti dunia maya.“Ayo, ikut saya!”Dina bergeming. Sejak menginjakkan kaki di rumah ini, dia harus menuruti perintah semua anggota Keluarga Armadjati, baik ketika menjadi tawanan Bastian maupun sebagai tunangan Leonardo. Sama-sama
Dina mengambil microphone yang disodorkan oleh Pembawa Acara. Tangannya gemetar. Dia berusaha menutupinya dengan tangan yang lain. “Keluarga,” katanya yang lebih mirip dengan suara kambing mengembik.“Maaf, Mbak. Lebih kencang.”Dina menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Ini kali membisikkan kalimat penyemangat kepada diri sendiri. “Apa yang paling berharga dari sebuah pernikahan?” Dina berhenti sejenak dan menikmati perhatian semua orang yang tertuju padanya. “Keluarga,” tegasnya. “Penyatuan dua keluarga. Mas Leo beserta keluarganya dan saya juga dengan Ayah saya.”Dina berdiri mendekati Olivia. “Kalian menyaksikan sendiri ada Mbak Olivia di sini.” Dina beranjak ke arah tempat duduk Pak Hidayat dan Ibu Yasmine serta menyebutkan nama keduanya, “dengan penuh rasa hormat,” katanya menambahkan. “Kalian mungkin bertanya-tanya, where’s my family?
Keluarga Armadjati tidak menunggu waktu lama. Di hari yang sama, mereka sudah mengatur perjalanan untuk menemukan Ayah Dina. Hanya perlu waktu tidak sampai dua jam dari pengumuman pertunangan mereka, sebuah mobil telah terparkir di halaman depan mansion Keluarga Armadjati. Tidak ada anggota keluarga lainnya yang dapat dia lihat. Namun, Dina justru lebih senang demikian. Dia tidak perlu ketakutan dan bersikap ekstra waspada serta terintimidasi dengan kehadiran mereka.Leonardo keluar dari pintu pengemudi. “Lho, tasnya mana? Kita berangkat sekarang.”Dina bukannya tidak tahu kalau mereka akan pergi sore itu. Dia memang tidak mau membawa apapun. Ya, kecuali baju di badannya saat itu karena tidak mungkin dia mengenakan kebaya yang sudah rusak yang dia sendiri sudah tidak ingat di mana dia membuangnya. Kedatangan dia ke rumah ini adalah pemaksaan. Dia tidak sudi mengambil suvenir apapun yang dapat mengingatkannya kepada nasib buruknya selama berada di mansion Ke
Mobil terparkir di samping bak sampah besar. Jika menoleh ke kiri, Dina akan berhadap-hadapan dengan gunungan sampah yang menempel di kaca jendela. Dia masih sibuk mengatur irama jantungnya yang tidak beraturan ketika Leo berkata, “Kamu nggak apa-apa?”Dalam hati, Dina mengutuk perhatian yang diberikan oleh Leo tersebut. Bukannya tidak suka, namun itu membuatnya jadi canggung untuk menentukan sikap; apakah Leo orang baik atau hanya berpura-pura sebagai bagian dari rencana jahat Keluarga Armadjati.“Katanya ada Warung Kelapa di dekat-dekat sini.”Dina mengerutkan dahi. Apa itu nama tempat penyekapannya yang baru? Tidak, tidak boleh terjadi. Dia harus kabur. Sekarang juga. Dina membuka pintu hanya untuk menyadari kalau dia tidak bisa ke mana-mana. Posisi mobil terlalu mepet ke tempat sampah. Dia menoleh ke belakang dan menyadari situasinya sama saja. Dina menutup kembali pintu yang sempat terbuka hanya setengah inci tersebut.&
Dina dan Leonardo diajak masuk oleh Pak Haji ke dalam kontrakannya. Sewaktu dia menempati rumah itu, pintu depan agak susah dibuka. Sekarang, mulus-mulus saja, bukti kalau telah dilakukan renovasi.Rumah itu memiliki ruang tamu dan dapur yang menyatu. Di sebelah kanan, ada kompor dan bak cuci, sedangkan sisi kiri hanya muat oleh satu sofa dua dudukan. Dulu, Dina meletakkan meja belajar di sana. Kalau malam, dia akan melipat meja agar ayahnya dapat membentangkan kasur lipat di lantai. Saat ini, tidak ada perabotan yang tersedia.“Pak Indra teh belum bayar kontrakan. Sepuluh juta,” keluh Pak Haji.Dina menyilangkan tangannya di dada. “Kan bisa nunggu Ayah pulang, Pak.” Jumlah yang disebutkan Pak Haji itu paling-paling akumulasi dari sejak dia diculik dan terpisah dengan ayahnya. Matanya menyorot tajam. “Dari awal ke Bandung lho, kami ngontrak di sini.”“Nah, tadinya saya pikir juga begitu, Neng. Tapi sebulan yang la
Bukan hotel yang dimaksud oleh Leonardo adalah sebuah rumah. Bagian dalamnya tidak seperti rumah kebanyakan karena ruangannya luas-luas. Oleh karena mereka tiba sudah larut, Dina diarahkan langsung ke kamar tidur. Dia tidak menyadari kalau dia begitu lelah sampai Dina jatuh tertidur tanpa mandi dan berganti pakaian.Paginya, barulah dia meneliti sekelilingnya. Ada satu ranjang besi lain di sebelah tempat tidurnya. Tapi, ranjang itu telah rapi dengan selimut yang terlipat di bagian ujungnya. Dia mengingat-ingat siapa yang tidur di sana. Tidak mungkin Leo, harapnya dalam hati seraya refleks menyilangkan tangan menutupi tubuhnya.Dari sebuah pintu masih di dalam kamar, mendadak muncul seorang perempuan yang kelihatannya masih remaja. Dia melihatnya lega karena berarti cewek itulah teman sekamarnya. Dina tahu kalau tadi malam dia sudah berkenalan dengan orang itu. Namun, sekarang dia lupa namanya.“Pagi, Teh. Kalau mau mandi, silakan. Sabun, sampo, dan lainnya
Anak panti sudah asyik dengan mainannya masing-masing. Dina menemani Sasa di kamar bayi dan mereka berdua memberikan botol susu sampai bayi-bayi itu tertidur. Setelah itu, Sasa pamit dengan alasan hendak mengerjakan tugas lain. Gadis itu memang tidak bisa diam.Di pojokan dekat pintu, Dina masih menetap untuk memandangi bayi-bayi. Anak-anak itu terlihat begitu polos dan murni. Jauh dari masalah rumit dunia. Dina iri dengan mereka.“Hei.”Dina menoleh. Dia memberikan kode jari di bibir agar Leo tidak berisik. Setelahnya, dia menutup pintu pelan-pelan.“Makasih ya,” bisik Leo begitu keduanya sudah beranjak ke luar kamar.Tidak sedikitpun dia merasa direpotkan. Dina melambaikan tangan pertanda dia menikmati momen-momen yang dia alami dari pagi tadi. “Menyenangkan, kok.”Ada jeda yang canggung di antara keduanya. Dina sedikit bingung karena laki-laki itu seperti mendatanginya secara khusus. Asumsinya, Leo puny