Bubur ayam pesanan Dina masih tidak disentuh sewaktu Leonardo masuk ke dalam mobil. Dia dapat melihat alis pria itu yang meninggi saat mendapati mangkuk yang masih terisi penuh di lantai mobil. Dina rikuh dan mengangkat bubur tersebut.
“Nggak dimakan?”
“Eh, nggak lapar.” Dina hanya terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri sehingga lupa waktu. Tahu-tahu, Leo sudah menyelesaikan obrolan di telepon dan kembali.
Mendadak, perutnya berbunyi. Dina semakin malu. Untungnya, Leo sepertinya tidak dengar atau cuma tidak ambil pusing. Laki-laki itu mengambil alih mangkuk bubur dan ke luar mobil. Dina mengintip apa yang dilakukan oleh laki-laki itu. Leo mendatangi restoran. Pasti hendak membayar, tebaknya yakin.
Benak Dina kembali menerka-nerka siapa gerangan yang menelepon Leo sepagi itu? Kalau sudah punya pacar, mengapa juga laki-laki itu setuju untuk menikah dengannya? Leo itu pewaris utama Keluarga Armadjati. Segala macam kemudahan ada di ge
Refleks, Dina menonjok lengan pengemudi mobil. “Ini bukan kuburan.”Di sebelahnya, Leonardo mengusap-usap lengan yang ditonjok tadi. “Semua orang juga tahu.”Dina kesal. Dia menghentakkan kaki. Laki-laki itu menganggap semua kejadian yang menimpanya adalah bahan lelucon? Mereka sedang dalam urusan penting dan tidak boleh main-main. Ditambah lagi, Leonardo mengajaknya mampir ke hotel. Siapa yang tidak akan marah? Dia membuka pintu mobil. Kalau Leo tidak mau mengantarnya, dia bisa pergi sendiri.“Tunggu!” cegah Leo. “Kamu nggak mau tampil rapi ketemu ibumu?”Dina menutup pintu mobilnya kembali. Dia ingin mendengar penjelasan detail laki-laki itu.“Kita semalaman di jalan raya. Di hotel, paling nggak bisa cuci muka dulu... atau ganti baju.”Mulut Dina membulat membentuk huruf O. Jadi, anak pertama Keluarga Armadjati itu berniat baik dengan mengarahkan mobil mereka mampir di hotel. Dina
Sudah cukup lama Leonardo mengemudikan kendaraan sehabis mereka mengunjungi makam ibu Dina. Selama itu, Dina tenggelam dalam pikirannya sendiri. Lebih tepatnya, berandai-andai akan kehidupan seperti apa yang dia alami jika ibunya masih ada.“Jadi?”Dia bukannya tidak mendengar pertanyaan Leo itu. Tapi, Dina sedang tidak ingin diganggu. Dia ingin melayang-layang pada angan yang menampakkan wujud Ibu. Dia masih ingat betapa kagumnya dia pada rambut panjang dan lebat ibunya. Gadis itu selalu meminta izin Ibu untuk menyisir dan menatanya. Tentu saja, hasilnya berantakan. Tapi, Ibu selalu memuji usahanya dengan mata yang berbinar-binar.Ibu adalah wanita paling cerdas yang Dina tahu. Suatu hari, dia meminta dibelikan jaket patchwork yang sedang tren. Dia sudah merengek karena ingin memamerkannya di sekolah. Ayah dan Ibu tentu saja tidak mengabulkan karena keluarga mereka tidak punya uang. Tapi, Ibu tidak kehilangan akal. Wanita yang melahirkannya
Setelah membayar makanan yang mereka pesan, Dina melihat Leonardo membawa kendil berukuran sedang. Dia buru-buru ingin membantu laki-laki itu. Namun, niatnya ditepis.“Oleh-oleh, Mas?”“Ini gudeg buat kamu,” begitu jawaban Leo yang menerbitkan rasa herannya.Dina mengukur wadah gerabah yang berisi gudeg dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak mungkin dia menghabiskannya sendirian. Apa ini merupakan kode kalau Leo menyuruhnya menaikkan berat badan? Dina memandangi tubuhnya di kaca jendela mobil dan tidak menyukai pantulannya. Penampakannya memang jauh dari kata sempurna.“Kamu kulik bahan-bahannya dan coba bikin nanti,” jelas Leo. Setelahnya, laki-laki itu melanjutkan, “Buat persiapan siapa tahu nanti bisa bikin resto.”Benar juga. “Utang resep aku ada berapa ya, Mas?”“Ratusan,” kata laki-laki itu menirukan slogan terkenal sebuah iklan.Dia tidak menyangka kalau
Siapa lagi? Sweety, gerutunya dalam hati. Sosok perempuan yang mengisi hati Leo. Dari cerita laki-laki itu, Dina tahu bahwa Leo masih mengharapkan bisa bersama-sama dengan Sweety. Walaupun belum pernah bertemu, tidak mungkin dia menang bersaing dengan perempuan yang dia yakini pasti sangat cantik itu, sehingga dapat merebut posisi spesial di hati Leo.Dina sampai di tempat parkir dan langsung disambut pantulan wajahnya sendiri sebaik mendekati mobil Leonardo. Sosok perempuan yang memucat memandangnya balik. Tidak heran kalau cowok itu tidak menyukainya, bisik Dina lirih.“Siapa?” tanya sebuah suara.Dina terkesiap. Jangan bilang kalau ucapan yang dimaksudkan untuk dirinya sendiri itu terdengar oleh Leo?Laki-laki itu membuka pintu mobil. “Ayo, masuk. Ke mana lagi?” tanyanya.Meskipun masih merasa gusar, Dina menuruti Leo. Tapi, dia tidak tenang. Bayangan laki-laki itu bercengkerama dengan Sweet
Perempuan yang dijuluki Sweety itu pasti cantik luar biasa. Kalau tidak begitu, tidak mungkin ada laki-laki yang masih tergila-gila dan tetap menjaga cintanya. Padahal sang perempuan sudah melabuhkan hati ke laki-laki lain. Dina menghela napas.“Permisiii!”Teguran orang yang lewat itu bikin Dina terlonjak ke sudut yang lebih tersembunyi. Dia berserobok dengan bayangan dirinya sendiri yang terpantul dari sebuah cermin milik kios pakaian.Dina meneliti perawakannya lekat-lekat. Badannya memang agak lebih kurus dibandingkan terakhir yang dia ingat. Tapi itu tidak dapat memungkiri kalau tubuhnya berfungsi sempurna. Alisnya memang tebal dan tidak mengenal teknologi sulam alis. Namun, bukankah Cara Delevingne yang beralis serupa sudah wira-wiri di panggung peragaan busana internasional? Jadi, alis yang diejek laksana gorila itu tidaklah sesuatu yang jelek. Begitu pula bintik hitam di pipinya, maupun bibirnya yang dikatakan jontor. Tidak jelek karena orang
“Why can’t you be more like your brother?”Bajingan! Mata Bastian menyalang menatap punggung Papi yang berjalan semakin menjauhinya. Tangannya sudah terkepal dan siap-siap dilayangkan. Tahu-tahu, sebentuk jari-jemari menempel di sana. Kelembutannya mengusap-usap demi meredakan kemarahannya.Bastian sangat mengenali pemilik jari itu. Wendy Sasongko. Dia balas menggenggam tangan istrinya tersebut.“Sudah malam, Bas. Kita tidur, yuk,” ajak Wendy dengan merangkul pinggangnya.Tinggi Bastian dan istrinya tidak berbeda jauh. Oleh sebab itu, lengan wanita itu melingkar sempurna di punggungnya. Sedetik kemudian, Bastian merasakan kepala perempuan itu menumpu di bahunya. Harum rambut perempuan itu seketika mendarat di hidungnya. Aroma ini selalu dapat menyingkirkan semua masalah yang seliweran di kepala Bastian. Laki-laki itupun mengecup pucuk kepala istrinya.Tiba-tiba, Wendy melepaskan rangkulannya dan menja
Dini hari itu, matahari belum ada tanda-tanda hendak terbit. Tapi di sebuah kamar mewah yang luasnya serupa rumah sederhana tipe 27, sudah terbangun seorang perempuan yang bernama Wendy. Tidurnya terganggu karena sedang terjadi kekacauan di perutnya. Cepat-cepat, wanita itu berlari ke kamar mandi.Dia berlutut di depan kloset dan mengeluarkan apapun itu yang mendesak di mulutnya. Berulang-ulang dia melakukannya meskipun terkadang tidak ada yang dia muntahkan. Setiap muntahan, perutnya semakin melilit dan rasa mual tetap mengisi mulutnya. Dia ingin penderitaan ini segera berakhir.Wendy sengaja berlutut lebih lama, berjaga-jaga apabila ada serangan lanjutan. Setelah dia merasa aman untuk meninggalkan toilet, barulah dia beranjak ke wastafel dan berkumur-kumur.Melangkah ke ruang tidur, seonggok tubuh berbaring dengan nyaman di atas ranjang. Dia mendelikkan mata ke atas dan menggerutu pelan. Laki-laki yang sedang tidur itu memang berstatus sebagai suaminya. Tapi,
Bastian menengok tak tentu arah. Ruang kerja Papi yang didominasi dengan furnitur kayu penuh ukiran kerap menjadi saksi biru kesepakatan bisnis penting yang dilakukan oleh ayahnya itu. Namun, kali ini, situasinya tidak berkaitan dengan Armadjati Group. Kedua tangan Bastian terkepal erat.“You can ask your mother,” kata pria tua itu menambahkan garam pada lukanya yang baru saja tercipta.Mami? Dia meremehkan saran itu dalam hati. Ibunya saja tidak berkutik di hadapan pria itu. Ibunya saja tidak dapat menyelamatkan diri ketika mendapatkan pukulan dari laki-laki yang berstatus sebagai suami saja ternyata bukan. Ibunya memilih bertahan dan menerima perlakuan bengis dari si tua bengis itu. Kepalan di tangan Bastian bertambah ketat. Dia dapat merasakan tajam kuku-kuku yang menggores telapak tangannya.“Why such a long face? Dari lahir kebutuhanmu tercukupi. Disekolahkan, walaupun ternyata kamu bodoh. Bergelimang harta yang