Share

Bab 5. Aku Tak Mencintaimu lagi!

Sejak hari itu, Laura tak pernah muncul lagi di Wisma tempat tinggal Bian. Meskipun Bian berusaha menghubunginya lewat handphone, gadis itu selalu mematikannya. Sudah ratusan pesan W* di kirimkannya, meminta Laura untuk datang dan membicarakan lagi jalan keluar untuk masalah mereka berdua ini.

Bian tak pernah menyangka, gadis belia yang dikiranya hanya sekedar bodoh ini, ternyata juga keras kepala. Dia serius untuk tak meminta tanggung jawab Bian tetapi dia juga kekeuh untuk mempertahankan kehamilannya. 

Yang jadi masalah bagi Bian sekarang adalah, anak yang kini di kandung oleh Laura. Dia takut anak itu akan menjadi petaka untuk hidupnya. 

Hari ini, Bian sengaja datang ke Laundry tempat Laura bekerja. Dia benar-benar ingin bertemu dengan Laura setelah dua minggu gadis ini menghilang tak pernah kelihatan batang hidungnya. 

Awalnya Laura tak memperdulikan kedatangannya bahkan menolak bertemu dengan alasan dia harus menyetrika baju customer yang harus segera di antar. Tapi, Bian memaksa bahkan telah ijin kepada pemilik Laundry itu untuk berbicara sebentar dengan Laura, dengan alasan ada pakaian yang memang dia maunya Laura mengurusnya karena biasanya Laura lah melakukan untuknya. 

"Aku tidak mau berbicara dengan om Bian lagi." Tolak Laura dengan sikap dingin. 

"Laura, dengarkan aku sebentar..." Bian menoleh ke kiri dan ke kanan memastikan tak ada orang yang mendengarkan pembicaraan mereka. 

"Tak ada yang harus kita bicarakan, om Bian. Bukankah om Bian sudah mempunyai istri?" 

"Sttt...!" Bian meletakkan telunjuknya di bibirnya, meminta Laura untuk menurunkan volume suaranya. 

"Laura, kita bisa mencari jalan keluar yang lain." Bian berucap dengan suara setengah berbisik. 

"Apa? Jalan keluar apa? Jangan bilang om Bian mau menceraikan istri om Bian untuk menikahiku." Laura berucap tajam. 

"Tidak. Maksudku bukan begitu."Bian menggelengkan kepalanya dengan suara yang nyaris tak terdengar. 

"Lalu apa? Memintaku untuk aborsi?" 

"Stttt! Jangan keras-keras...turunkan suaramu." Bram tanpa sadar menutup mulut Laura dengan telapak tangannya. 

Mata Laura melotot tak berkedip, tangannya mencengkeram pergelangan tangan Bian dengan wajah merah padam.

 "Aku tak akan memintamu menggugurkannya, jika kamu ingin." Bian menelan ludahnya sendiri. Suaranya setengah berbisik. 

Mata Laura berkedip sekali, dia tampak menunggu kalimat selanjutnya. 

"Aku akan mencarikanmu tempat tinggal, aku akan membiayaimu dan anakmu. Aku akan mengurusmu..." Ucap Bian sambil melepaskan bekapan tangannya dari mulut Laura. 

"Maksud om Bian? Om Bian tetap menikahiku?" Laura bertanya dengan bingung. 

"Tidak...bukan begitu..." 

"Lalu?" 

"Kita bisa tinggal berdua, tetapi tidak menikah. Kamu boleh punya anak, aku akan mengurusmu dan anakmu, kamu boleh terus bersama om Bian selama om Bian tinggal di sini tapi...tapi aku tetap terikat pernikahan dengan orang lain." Bian menjelaskan maksudnya dengan susah payah.

"Om Bian ingin menjadikanku simpanan om Bian saja?" Laura menatap Bian dengan tajam. 

Bian tak menjawab apapun, dia hanya balas menatap gadis itu. Menunggu persetujuannya. Dia tak bisa menjelaskan apapun lagi dengan maksudnya, Laura telah menangkap maksudnya dengan sangat jelas. 

"Aku tidak mau!" Ucap Laura dengan ketus. 

"Aku tidak mau menjadi simpanan om Bian! Bagaimana perasaan istri om Bian jika tahu om Bian menyimpan perempuan lain?" Suara Laura terdengar gemetar. 

"Laura hanya ini jalan satu-satunya untuk mengatasi kekacauan ini, hanya...hanya ini jalan keluar untuk menyelamatkanmu."Sahut Bian dengan suara setengah mendesis. 

"Om Bian tak perlu susah-susah menyelamatkanku, om Bian tak harus melakukannya. Aku bisa mengurus hidupku sendiri. Om Bian telah tega menipuku, tidak jujur mengatakan jika om Bian punya istri." Sergah Laura, berkilat dalam sakit hati yang tak bisa terbayangkan. 

Apa yang di alaminya ini, tak seharusnya di tanggung oleh gadis belia sepertinya, ini terlalu berat. 

"Laura, aku tahu aku salah..."

"Om Bian tak perlu mengatakannya berkali-kali. Bukankah om Bian sebenarnya tak pernah mencintaiku." 

"Aku mencintaimu, Laura." 

"Berhentilah mengatakan omong kosong seperti itu lagi." Laura menyeka air matanya yang jatuh di sudut matanya. 

"Aku sungguh-sungguh mengatakannya, aku mencintaimu...aku tak bisa melihatmu menanggung kesalahanku ini seorang diri." 

"Ini salahku, Om Bian...ini salah Laura seratus persen. Akulah yang bodoh mempercayai om Bian telah mencintaiku." 

"Laura, kita bisa bicarakan ini lagi. Aku mengerti kamu marah karena aku menyuruhmu menggugurkan bayi itu..." 

"Aku tidak marah untuk itu om Bian. Seharusnya aku menyadari dari awal om Bian hanya menggunakanku untuk pelampiasan om Bian saja. Tapi, tak apa-apa. Aku sudah bisa menerima nasib burukku, bukan sekali ini saja aku di bodohi dalam hidupku." Laura dalam dua minggu ini berubah begitu banyak, dia gadis terlihat kuat dalam kemurungannya. Tak tersisa sama sekali keceriaan di raut wajahnya, Bian telah merampasnya. 

"Laura..." 

"Tinggalkan saja Laura om Bian, anggap saja om Bian tak pernah mengenal Laura." 

"Laura, dengarkan aku..."

 "Jangan katakan apapun lagi! Tolong!" Laura menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya, air matanya turun melewati pipi mulusnya yang putih itu. 

"Kenapa kamu keras kepala sekali, Laura?" Bian begitu putus asa menatap wajah Laura yang kusut dan terlihat begitu berantakan. Ingin sekali dia memeluknya, tetapi ini adalah sudut teras belakang tempat Laura bekerja, mereka berdiri di antara jemuran baju yang banyak. 

"Karena...karena aku tak mencintai om Bian lagi." Air mata Laura mengucur semakin deras tapi dia tidak memperdengarkan isaknya, hanya dadanya yang naik turun karena emosinya. Rasa sakit hati, dendam dan benci menyatu begitu rupa dalam dada seorang gadis yang begitu awam dengan kerasnya dunia itu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Saputri
Semangat thoorr
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status