Sejak hari itu, Laura tak pernah muncul lagi di Wisma tempat tinggal Bian. Meskipun Bian berusaha menghubunginya lewat handphone, gadis itu selalu mematikannya. Sudah ratusan pesan W* di kirimkannya, meminta Laura untuk datang dan membicarakan lagi jalan keluar untuk masalah mereka berdua ini.
Bian tak pernah menyangka, gadis belia yang dikiranya hanya sekedar bodoh ini, ternyata juga keras kepala. Dia serius untuk tak meminta tanggung jawab Bian tetapi dia juga kekeuh untuk mempertahankan kehamilannya.
Yang jadi masalah bagi Bian sekarang adalah, anak yang kini di kandung oleh Laura. Dia takut anak itu akan menjadi petaka untuk hidupnya.
Hari ini, Bian sengaja datang ke Laundry tempat Laura bekerja. Dia benar-benar ingin bertemu dengan Laura setelah dua minggu gadis ini menghilang tak pernah kelihatan batang hidungnya.
Awalnya Laura tak memperdulikan kedatangannya bahkan menolak bertemu dengan alasan dia harus menyetrika baju customer yang harus segera di antar. Tapi, Bian memaksa bahkan telah ijin kepada pemilik Laundry itu untuk berbicara sebentar dengan Laura, dengan alasan ada pakaian yang memang dia maunya Laura mengurusnya karena biasanya Laura lah melakukan untuknya.
"Aku tidak mau berbicara dengan om Bian lagi." Tolak Laura dengan sikap dingin.
"Laura, dengarkan aku sebentar..." Bian menoleh ke kiri dan ke kanan memastikan tak ada orang yang mendengarkan pembicaraan mereka.
"Tak ada yang harus kita bicarakan, om Bian. Bukankah om Bian sudah mempunyai istri?"
"Sttt...!" Bian meletakkan telunjuknya di bibirnya, meminta Laura untuk menurunkan volume suaranya.
"Laura, kita bisa mencari jalan keluar yang lain." Bian berucap dengan suara setengah berbisik.
"Apa? Jalan keluar apa? Jangan bilang om Bian mau menceraikan istri om Bian untuk menikahiku." Laura berucap tajam.
"Tidak. Maksudku bukan begitu."Bian menggelengkan kepalanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
"Lalu apa? Memintaku untuk aborsi?"
"Stttt! Jangan keras-keras...turunkan suaramu." Bram tanpa sadar menutup mulut Laura dengan telapak tangannya.
Mata Laura melotot tak berkedip, tangannya mencengkeram pergelangan tangan Bian dengan wajah merah padam.
"Aku tak akan memintamu menggugurkannya, jika kamu ingin." Bian menelan ludahnya sendiri. Suaranya setengah berbisik.
Mata Laura berkedip sekali, dia tampak menunggu kalimat selanjutnya.
"Aku akan mencarikanmu tempat tinggal, aku akan membiayaimu dan anakmu. Aku akan mengurusmu..." Ucap Bian sambil melepaskan bekapan tangannya dari mulut Laura.
"Maksud om Bian? Om Bian tetap menikahiku?" Laura bertanya dengan bingung.
"Tidak...bukan begitu..."
"Lalu?"
"Kita bisa tinggal berdua, tetapi tidak menikah. Kamu boleh punya anak, aku akan mengurusmu dan anakmu, kamu boleh terus bersama om Bian selama om Bian tinggal di sini tapi...tapi aku tetap terikat pernikahan dengan orang lain." Bian menjelaskan maksudnya dengan susah payah.
"Om Bian ingin menjadikanku simpanan om Bian saja?" Laura menatap Bian dengan tajam.
Bian tak menjawab apapun, dia hanya balas menatap gadis itu. Menunggu persetujuannya. Dia tak bisa menjelaskan apapun lagi dengan maksudnya, Laura telah menangkap maksudnya dengan sangat jelas.
"Aku tidak mau!" Ucap Laura dengan ketus.
"Aku tidak mau menjadi simpanan om Bian! Bagaimana perasaan istri om Bian jika tahu om Bian menyimpan perempuan lain?" Suara Laura terdengar gemetar.
"Laura hanya ini jalan satu-satunya untuk mengatasi kekacauan ini, hanya...hanya ini jalan keluar untuk menyelamatkanmu."Sahut Bian dengan suara setengah mendesis.
"Om Bian tak perlu susah-susah menyelamatkanku, om Bian tak harus melakukannya. Aku bisa mengurus hidupku sendiri. Om Bian telah tega menipuku, tidak jujur mengatakan jika om Bian punya istri." Sergah Laura, berkilat dalam sakit hati yang tak bisa terbayangkan.
Apa yang di alaminya ini, tak seharusnya di tanggung oleh gadis belia sepertinya, ini terlalu berat.
"Laura, aku tahu aku salah..."
"Om Bian tak perlu mengatakannya berkali-kali. Bukankah om Bian sebenarnya tak pernah mencintaiku."
"Aku mencintaimu, Laura."
"Berhentilah mengatakan omong kosong seperti itu lagi." Laura menyeka air matanya yang jatuh di sudut matanya.
"Aku sungguh-sungguh mengatakannya, aku mencintaimu...aku tak bisa melihatmu menanggung kesalahanku ini seorang diri."
"Ini salahku, Om Bian...ini salah Laura seratus persen. Akulah yang bodoh mempercayai om Bian telah mencintaiku."
"Laura, kita bisa bicarakan ini lagi. Aku mengerti kamu marah karena aku menyuruhmu menggugurkan bayi itu..."
"Aku tidak marah untuk itu om Bian. Seharusnya aku menyadari dari awal om Bian hanya menggunakanku untuk pelampiasan om Bian saja. Tapi, tak apa-apa. Aku sudah bisa menerima nasib burukku, bukan sekali ini saja aku di bodohi dalam hidupku." Laura dalam dua minggu ini berubah begitu banyak, dia gadis terlihat kuat dalam kemurungannya. Tak tersisa sama sekali keceriaan di raut wajahnya, Bian telah merampasnya.
"Laura..."
"Tinggalkan saja Laura om Bian, anggap saja om Bian tak pernah mengenal Laura."
"Laura, dengarkan aku..."
"Jangan katakan apapun lagi! Tolong!" Laura menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya, air matanya turun melewati pipi mulusnya yang putih itu.
"Kenapa kamu keras kepala sekali, Laura?" Bian begitu putus asa menatap wajah Laura yang kusut dan terlihat begitu berantakan. Ingin sekali dia memeluknya, tetapi ini adalah sudut teras belakang tempat Laura bekerja, mereka berdiri di antara jemuran baju yang banyak.
"Karena...karena aku tak mencintai om Bian lagi." Air mata Laura mengucur semakin deras tapi dia tidak memperdengarkan isaknya, hanya dadanya yang naik turun karena emosinya. Rasa sakit hati, dendam dan benci menyatu begitu rupa dalam dada seorang gadis yang begitu awam dengan kerasnya dunia itu.
"Laura tolonglah jangan begini, kamu tak mengerti apa-apa, kamu tidak tahu apa yang akan kamu alami jika tetap melakukan apa yang kamu katakan. Seorang bayi perlu ayah, seorang bayi perlu biaya. Berikan aku cara untuk sedikit membayar kesalahan ini." "Om Bian ingin membayarnya dengan apa? Dengan uang? Dengan mempermalukan Laura lebih banyak lagi? Status apa yang bisa om Bian beri untuk bayi Laura? Ayah pura-pura? Tidak ada bukan? " Laura menatap pada Bian dengan nyalang. Dia tak pernah berani melakukan ini, tetapi hari ini dia bahkan merasa sanggup untuk melukai laki-laki yang telah membuatnya terjebak dalam derita ini. "Bukan seperti itu..." Bian meringis dengan putus asa. "Mulai hari ini, jangan temui Laura lagi. Jangan lagi om Bian." Laura menghapus air mata yang memenuhi wajahnya dengan kasar. Keriangan khas gadis remajanya yang sering membuat Bian terpesona itu hilang entah kemana. "Laura!" "Pergilah om Bian! Pergilah, Laura tak mencintai om Bian, Laura membenci om Bian!" T
"Ayo, katakan padaku, siapa yang menghamilimu? Aku akan menyeretnya untuk menikahimu!" Teriakan ibunya sampai pada telinga seorang laki-laki yang sedang berbaring di tempat tidurnya.Tristan termangu sambil meletakkan lengannya di atas kepalanya, suara tamparan di wajah Laura membuatnya bergidik. "Aku...aku tidak mengenalnya." Laura tersedu sambil menurunkan tubuhnya, menggelosor ke bawah dan meringkuk melindungi wajahnya ketika dia melihat tangan ibunya terangkat untuk kesekian kalinya. "Oh, astaga anak ini memang luar biasa. Berapa manusia yang telah menggilirmu hingga kamu tak mengenal orang yang menghamilimu?!" Ibu Laura menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan jijik pada anak kandungnya itu. Laura hanya meringkuk tanpa menjawab apapun, wajah Bian lewat di depan matanya tetapi dia berusaha mengusirnya. Dia hanya bungkam seribu bahasa. "Baiklah Laura jika kamu tak ingin mengatakan siapa bangsa@t yang telah menodaimu, aku tidak akan perduli lagi padamu! Kamu buang anak hara
Laura mengenakan pakaian yang dibelikan oleh Bian terakhir kali, dia mematutnya sebentar di cermin lemarinya yang terpecah dua itu. cermin lemari usang yang telah menemaninya sekian lama. Rasa sakit mengiris hatinya, di elusnya perutnya yang mulai sedikit membuncit itu. Belum kentara memang tetapi laura tahu ada bayi di dalamnya, bayi hasil hubungan terlarangnya dengan Bian, suami seseorang yang tak dia tahu bagaimana wajah istrinya itu. Setetes bulir bening jatuh untuk kesekian kalinya, selalu saja jika dia mengingat om Bian kesedihannya tak terbendung. Laura sangat menyukai Bian. Sangat menyukainya, karena itulah dia percaya sepenuhnya dengan apapun yang di ucapkan oleh Bian padanya. Sosok laki-laki dewasa yang begitu lembut dan perhatian ditemukannya pada laki-laki ini, dia bahkan berharap wajah ayah kandungnya setampan om Bian. Laki-laki ini begitu sabar mendengar keluh kesahnya, memperhatikannya layaknya seorang ayah tetapi dia punya tatapan penuh cinta yang selalu membuat
"Kenakan cepat! Ibu akan menunggumu di kamar ibu. Secepatnya!" Ibu Laura tersenyum misterius, dia terlihat puas dengan apa yang di lakukannya. Laura masih berdiri, terpana sambil memegang dress yang ada di tangannya itu. "Kamu yang memakaikan sendiri? atau ibu yang akan memaksamu memakainya?" Mata ibunya terlihat nyalang, dia terlihat sangat tidak sabar sekarang. "A..aku..aku akan memakainya sendiri." Sahut Laura dengan takut-takut. Ibunya mengangguk puas mendengarnya. "Lakukan cepat! dan langsung temui ibu di kamar ibu!" "BRAK!" Pintu itu ditutup dengan kasar, teriakannya menggema, selanjutnya hanya terdengar langkah kaki yang diseret-seret dari balik pintu, langkah kaki itu menjauh. Laura mengalihkan perhatiannya kembali pada dress di tangannya itu, entah kapan ibunya membelinya. Dia tak pernah mengenakan pakaian se seksi ini tetapi dia tahu dari kemarahan ibunya itu, tak ada alasan untuknya tidak memakainya. Dengan gemetar dia melepas kancing kemeja yang di pakainya dan be
Laura yang badannya lebih kecil dari sang ibu tak bisa melawan saat dia di seret dengan paksa ke dalam kamar ibunya. Dan dengan kasar ibunya mendorongnya ke atas tempat tidur. Tubuh Laura terhempas di atas tilam tipis sang ibu. "Aww..." laura Terpekik dan ketika dia menoleh ke sebuah arah, dia baru menyadari ada sesosok tubuh yang duduk di sebuah kursi sudut kamarnya. Tubuh tambun dengan rambut ikal dan kumis jarang-jarang yang membuat laura terkejut bukan alang kepalang. "Hai, Lina...jangan terlalu kasar padanya. Dia kan anakmu?" Tegur laki-laki itu sambil menyeringai pada laura, sama sekali sebenarnya tak menampakkan simpatik dengan apa yang telah terjadi pada Laura. Dia hanya berpura-pura perduli saja. "Tidak perlu banyak bicara, aku tidak perlu banyak bacotmu." Ibu Laura mendelik sambil berkacak pinggang lalu mengeluarkan sebuah kertas yang dilipat begitu ryupa dari dalam saku bajunya. "Harman, kamu boleh melakukan apapun padanya dalam waktu satu jam. Tapi jangan sampa
"Toloooong, lepaskan aku Om..." Laura berontak dari cengkeraman Harman, dia merasa jijik dengan dengus nafas laki-laki itu yang menyentuh kulit lehernya. Tapi, Harman tak perduli dia terus saja memeluk laura dengan tak sabar, dia mendengus-dengus tak jelas dan mendaratkan ciumannya dengan mulutnya yang basah itu. "Jangan...kumohon jangan!" Laura mendorong tubuh Harman membuat laki-laki itu hampir terjatuh ke lantai. Harman terkejut bukan kepalang dengan perlawanan Laura, matanya mendelik dengan amarah yang tak bisa di bendungnya. "PLAK!!!" Sebuah tamparan mengenai wajah Laura, membuat gadis muda itu terjengkang sampai ke atas tempat tidur. Laura terpekik kecil sambil memegang pipinya, dia tergeletak setengah terbaring sehingga paha mulusnya nampak hampir sampai pangkal pahanya, dress marun yang di gunakannya itu sangat pendek memang. Harman menatap nyalang pemandangan itu, jakunnya turun naik di balik lemak yang ada di lehernya yang pendek itu. Tak ada lagi aura manusia dar
Harman terkejut hampir telonjak dari tempat tidur itu, sementara Laura membuka lebar matanya. Kedua orang itu sama memandang ke arah pintu. Di sana berdiri seorang laki-laki dengan masih menggunakan baju jaket ojek online, wajahnya merah padam dengan kacamata yang melekat di matanya. "Hentikan semua ini!" Teriakan itu terdengar kerasdan penuh dengan amarah. Laura segera meloncat dari atas tempat tidur dengan raut ketakutannya, saat sadar yang datang itu adalah orang yang sangan dikenalnya. "Kak Tris..." Dia menarik dengan sembarangan sebuah taplak meja yang ada di samping tempat tidur itu dan menutup bagian dadanya dengan gemetar. "Anak kurang ajar!!!" Ibu laura berteriak di belakang punggung Tristan. Menarik lengan Tristan dengan kasar sementara yang di tarik sama sekali tak bergeming. Dia berdiri di tengah pintu yang jebol itu, kedua tangannya mengepal keras. "Siapa setan kecil yang mengangguku ini, Lina? Kenapa dia ada disini?" Harman beringsut turun dari atas tempat ti
"Kenapa kak Tris melakukan ini padaku?" Tanya Laura saat dia sudah berada di dalam rumah Tristan, yang tepat berada di sebelah rumahnya. Kediaman mereka hanya terpisah dinding tembok saja. Rumah itu adalah rumah petak 4 pintu yang di kontrakkan. Tristan tinggal di kamar paling pinggir bersebelahan dengan kamar Laura, dulu Tristan tinggal bersama adiknya. Tetapi setelah Tika, adiknya lulus kuliah, adiknyaitu bekerja di kota sebelah sebuah Bank Swasta, hanya kadang-kadang jika saat libur akan mengunjungi Tristan. Tristan dan adiknya Tika, dua bersaudara yatim piatu. Tristanlah yang menyekolahkan adiknya itu dengan menjadi ojek online. Dia sudah tinggal di rumah petak ini kurang lebih lima tahun dan tak pernah pindah. Bahkan saat Tika mengajaknya ikut ke kota sebelah, Tristan menolaknya. Dia sudah betah tinggal di situ. "Aku melakukannya karena ayahmu." jawab Tristan sambil memberikan sebuah handuk dan baju daster. Itu adalah baju adiknya. "Ayah?" "Ya, ayahmu."Jawab Tristan pend