(Kembali ke cerita awal)
"Om Bian sudah mempunyai istri?"
Laura duduk dengan tegang di pinggir tempat tidur itu, matanya nyalang.
"Om Bian tak pernah bilang kalau om Bian sudah mempunyai istri." Ulang Laura dengan suara gemetar.
"Maafkan aku..." Bian menjambak rambutnya sendiri dengan muka frustasi di depan Laura.
"Bagaimana dengan janji om Bian?" Mata Laura membesar, berkaca-kaca.
"Janji apa?" Bian berusaha mengingat setiap kalimat yang tersembur dari mulutnya saat dia mencumbui Laura.
"Janji om Bian untuk selalu menjaga Laura, janji Om untuk selalu mencintai Laura?"
"Laura, itu...itu berbeda..." Bian menarik nafasnya panjang-panjang berusaha meredakan ketegangannya.
"Berbeda bagaimana, Om?"
"Aku tak pernah menjanjikan pernikahan padamu, aku hanya berjanji menjagamu." Pungkas Bian.
"Bagaimana cara om Bian menjagaku jika tak menikahiku?" Cecar Laura, dia benar-benar polos dengan fikirannya yang sederhana.
"Laura, kamu tak mengerti. Aku mempunyai dua orang anak dan seorang istri." Bian memejam matanya sambil menelan ludahnya entah untuk keberapa kali, kepalanya pening.
"Om...bagaimana dengan Laura? Bagaimana dengan bayi Laura? Kenapa Om Bian tak mengatakan kalau om Bian sudah menikah?" Air mata gadis yang masih belum genap 17 tahun itu mengalir deras. Dia hanya mengerti, melakukan hubungan suami istri itu karena Bian pasti akan menikahinya.
Dia sangat menyukai Bian, rasanya hidupnya lengkap jika bersama laki-laki ini, setidaknya setelah menikah dia bisa hidup nyaman bersama ibu dan adiknya, terjamin tanpa dia perlu bekerja susah payah setiap hari di Laundry.
"Karena itulah, aku tak ingin kamu hamil. Seharusnya kamu minum obat kontrasepsi yang ku berikan itu."
"Aku tidak mau! Aku mau punya bayi dengan Om Bian!"
"Kamu kira punya bayi itu permainan, Laura?" sergah Bian dengan ekspresi marah.
Laura melongo menatap kepada Bian yang melotot padanya, dia beringsut menaikkan kakinya ke tempat tidur.
"Kenakan pakaianmu, kita akan memeriksakan kehamilanmu...setelah itu..."
"Setelah itu apa?" Tanya Laura dengan mata yang sedih dan ketakutan.
"Setelah itu kita akan menggugurkannya." Ucap Bian dengan volume rendah.
"Aku tak mau, Om! Laura tidak akan membuang bayi ini." Laura memeluk kakinya dengan gemetar seperti sedang melindungi perutnya.
"Tapi...tapi aku tak bisa menikahimu, Laura. Aku sudah menikah..." Wajah Bian memerah dia hampir putus asa membujuk gadis itu.
"Apa kamu mau, aku meninggalkan istri dan anak-anakku demi kamu? atau itu memang rencanamu dari awal, menjebakku dalam permainanmu ini?" Tuding Bian sambil berdiri, tubuhnya condong ke depan, kedua tangannya bertopang di pinggiran ranjang. Sikap itu memperlihatkan sebuah ancaman.
Laura menggeleng keras-keras, dia terisak sendiri dengan ketakutan atas sikap Bian. Selama ini laki-laki ini tak pernah marah padanya, tak pernah bersikap kasar sedikitpun bahkan tak pernah menaikkan suaranya di depan Laura.
Tapi, hari ini dia ketakutan setengah mati karena om Bian tersayangnya ini menghardiknya sedemikian rupa.
"Aku...aku tidak mau om meninggalkan keluarga om." Tangis Laura pecah, dia ingat bagaimana penderitaan ibunya yang membesarkannya seorang diri hingga kemudian bertemu ayah tirinya. Dan ketika ayah tirinya itu meninggal, ibunya menjadi depresi luar biasa, dia kadang berbicara sendiri di saat tertentu karena belum bisa menerima kenyataan.
Sekarang jika Bian meninggalkan istrinya dan anak-anaknya, Laura tak bisa memikirkan penderitaan yang di alami istri Bian.
"Lalu kamu maunya apa? Aku tak bisa menikahimu, mempertanggungjawabkan anak yang ada di dalam kandunganmu, kamu tahu persis itu!"
"Aku tak akan minta pertanggungjawaban om lagi...aku...aku...aku bisa sendiri." Sahut Laura di sela tangisannya itu.
"Astaga, Laura! Kenapa fikiranmu sempit sekali? Kamu kira kamu bisa hidup, hamil seorang diri tanpa suami?" Bian menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dia sebenarnya sungguh-sungguh menyayangi Laura, dia tak tega dengan apa yang terjadi, tetapi nasi telah menjadi bubur. Nafsu bejadnya di malam hujan deras itu menyeretnya menjadi candu pada tubuh dan kenikmatan yang di rasakannya ketika mencumbui Laura.
Dia lupa dosa, dia lupa jika dia punya dua anak. Matanya tertutup oleh godaan untuk terus menikmati kemolekan tubuh gadis belia yang polos itu, yang hanya dengan sedikit rayuan dan bujukan segera pasrah dalam pelukannya.
Laura cantik, dia sederhana, dia polos dan tak berpendidikan tinggi. Begitu mudah bagi Bian untuk menjeratnya, seperti burung yang tak kenal perangkap.
"Aku tak akan meminta om Bian menikahiku, sungguh. Aku bersumpah..." Laura menyeka air matanya dengan punggung tangannya.
"Tapi, biarkan aku bersama bayi ini. Aku berjanji tak akan membuat om Bian harus mempertanggungjawabkannya." Mata bulat dengan bulu nata lentik yang basah itu mengerjap penuh permohonan pada Bian yang melotot di pinggir tempat tidur seperti ingin menerkam.
"Laura...tolong jangan persulit aku, please. Aku tahu ini kesalahanku, aku tau ini dosaku yang kebablasan. Tapi, tolong menurutlah padaku kali ini." Bian balas memohon, matanya terasa panas.
"Om Bian, aku takut...aku takut jika membunuh bayi ini. Aku tak mau. Tuhan akan lebih mengutukku jika aku membunuhnya. Aku bersedia menutup mulutku, aku terima om Bian tidak mau lagi mencintaiku. Tapi, biarkan aku mencintai anak om Bian dan Laura." Tangisan Laura di sudut tempat tidur itu menghancurkan perasaan Bian.
Wajah Vina, istrinya membayang di pelupuk matanya, dengan wajah kerasnya, dengan tatapan penuh kemarahan padanya. Dan di belakangnya, wajah bengis Tuan Waluyo, mertuanya itu seperti lukisan yang kejam bersiap dengan kemurkaan dan makian kejamnya.
"Oh, Tuhan...aku baru saja masuk ke dalam masalah besar..." Bian memejam matanya. Penyesalan tak pernah datang di awal memang!
"Sekarang aku harus bagaimana?"
Sejak hari itu, Laura tak pernah muncul lagi di Wisma tempat tinggal Bian. Meskipun Bian berusaha menghubunginya lewat handphone, gadis itu selalu mematikannya. Sudah ratusan pesan WA di kirimkannya, meminta Laura untuk datang dan membicarakan lagi jalan keluar untuk masalah mereka berdua ini. Bian tak pernah menyangka, gadis belia yang dikiranya hanya sekedar bodoh ini, ternyata juga keras kepala. Dia serius untuk tak meminta tanggung jawab Bian tetapi dia juga kekeuh untuk mempertahankan kehamilannya. Yang jadi masalah bagi Bian sekarang adalah, anak yang kini di kandung oleh Laura. Dia takut anak itu akan menjadi petaka untuk hidupnya. Hari ini, Bian sengaja datang ke Laundry tempat Laura bekerja. Dia benar-benar ingin bertemu dengan Laura setelah dua minggu gadis ini menghilang tak pernah kelihatan batang hidungnya. Awalnya Laura tak memperdulikan kedatangannya bahkan menolak bertemu dengan alasan dia harus menyetrika baju customer yang harus segera di antar. Tapi, Bian memaks
"Laura tolonglah jangan begini, kamu tak mengerti apa-apa, kamu tidak tahu apa yang akan kamu alami jika tetap melakukan apa yang kamu katakan. Seorang bayi perlu ayah, seorang bayi perlu biaya. Berikan aku cara untuk sedikit membayar kesalahan ini." "Om Bian ingin membayarnya dengan apa? Dengan uang? Dengan mempermalukan Laura lebih banyak lagi? Status apa yang bisa om Bian beri untuk bayi Laura? Ayah pura-pura? Tidak ada bukan? " Laura menatap pada Bian dengan nyalang. Dia tak pernah berani melakukan ini, tetapi hari ini dia bahkan merasa sanggup untuk melukai laki-laki yang telah membuatnya terjebak dalam derita ini. "Bukan seperti itu..." Bian meringis dengan putus asa. "Mulai hari ini, jangan temui Laura lagi. Jangan lagi om Bian." Laura menghapus air mata yang memenuhi wajahnya dengan kasar. Keriangan khas gadis remajanya yang sering membuat Bian terpesona itu hilang entah kemana. "Laura!" "Pergilah om Bian! Pergilah, Laura tak mencintai om Bian, Laura membenci om Bian!" T
"Ayo, katakan padaku, siapa yang menghamilimu? Aku akan menyeretnya untuk menikahimu!" Teriakan ibunya sampai pada telinga seorang laki-laki yang sedang berbaring di tempat tidurnya.Tristan termangu sambil meletakkan lengannya di atas kepalanya, suara tamparan di wajah Laura membuatnya bergidik. "Aku...aku tidak mengenalnya." Laura tersedu sambil menurunkan tubuhnya, menggelosor ke bawah dan meringkuk melindungi wajahnya ketika dia melihat tangan ibunya terangkat untuk kesekian kalinya. "Oh, astaga anak ini memang luar biasa. Berapa manusia yang telah menggilirmu hingga kamu tak mengenal orang yang menghamilimu?!" Ibu Laura menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan jijik pada anak kandungnya itu. Laura hanya meringkuk tanpa menjawab apapun, wajah Bian lewat di depan matanya tetapi dia berusaha mengusirnya. Dia hanya bungkam seribu bahasa. "Baiklah Laura jika kamu tak ingin mengatakan siapa bangsa@t yang telah menodaimu, aku tidak akan perduli lagi padamu! Kamu buang anak hara
Laura mengenakan pakaian yang dibelikan oleh Bian terakhir kali, dia mematutnya sebentar di cermin lemarinya yang terpecah dua itu. cermin lemari usang yang telah menemaninya sekian lama. Rasa sakit mengiris hatinya, di elusnya perutnya yang mulai sedikit membuncit itu. Belum kentara memang tetapi laura tahu ada bayi di dalamnya, bayi hasil hubungan terlarangnya dengan Bian, suami seseorang yang tak dia tahu bagaimana wajah istrinya itu. Setetes bulir bening jatuh untuk kesekian kalinya, selalu saja jika dia mengingat om Bian kesedihannya tak terbendung. Laura sangat menyukai Bian. Sangat menyukainya, karena itulah dia percaya sepenuhnya dengan apapun yang di ucapkan oleh Bian padanya. Sosok laki-laki dewasa yang begitu lembut dan perhatian ditemukannya pada laki-laki ini, dia bahkan berharap wajah ayah kandungnya setampan om Bian. Laki-laki ini begitu sabar mendengar keluh kesahnya, memperhatikannya layaknya seorang ayah tetapi dia punya tatapan penuh cinta yang selalu membuat
"Kenakan cepat! Ibu akan menunggumu di kamar ibu. Secepatnya!" Ibu Laura tersenyum misterius, dia terlihat puas dengan apa yang di lakukannya. Laura masih berdiri, terpana sambil memegang dress yang ada di tangannya itu. "Kamu yang memakaikan sendiri? atau ibu yang akan memaksamu memakainya?" Mata ibunya terlihat nyalang, dia terlihat sangat tidak sabar sekarang. "A..aku..aku akan memakainya sendiri." Sahut Laura dengan takut-takut. Ibunya mengangguk puas mendengarnya. "Lakukan cepat! dan langsung temui ibu di kamar ibu!" "BRAK!" Pintu itu ditutup dengan kasar, teriakannya menggema, selanjutnya hanya terdengar langkah kaki yang diseret-seret dari balik pintu, langkah kaki itu menjauh. Laura mengalihkan perhatiannya kembali pada dress di tangannya itu, entah kapan ibunya membelinya. Dia tak pernah mengenakan pakaian se seksi ini tetapi dia tahu dari kemarahan ibunya itu, tak ada alasan untuknya tidak memakainya. Dengan gemetar dia melepas kancing kemeja yang di pakainya dan be
Laura yang badannya lebih kecil dari sang ibu tak bisa melawan saat dia di seret dengan paksa ke dalam kamar ibunya. Dan dengan kasar ibunya mendorongnya ke atas tempat tidur. Tubuh Laura terhempas di atas tilam tipis sang ibu. "Aww..." laura Terpekik dan ketika dia menoleh ke sebuah arah, dia baru menyadari ada sesosok tubuh yang duduk di sebuah kursi sudut kamarnya. Tubuh tambun dengan rambut ikal dan kumis jarang-jarang yang membuat laura terkejut bukan alang kepalang. "Hai, Lina...jangan terlalu kasar padanya. Dia kan anakmu?" Tegur laki-laki itu sambil menyeringai pada laura, sama sekali sebenarnya tak menampakkan simpatik dengan apa yang telah terjadi pada Laura. Dia hanya berpura-pura perduli saja. "Tidak perlu banyak bicara, aku tidak perlu banyak bacotmu." Ibu Laura mendelik sambil berkacak pinggang lalu mengeluarkan sebuah kertas yang dilipat begitu ryupa dari dalam saku bajunya. "Harman, kamu boleh melakukan apapun padanya dalam waktu satu jam. Tapi jangan sampa
"Toloooong, lepaskan aku Om..." Laura berontak dari cengkeraman Harman, dia merasa jijik dengan dengus nafas laki-laki itu yang menyentuh kulit lehernya. Tapi, Harman tak perduli dia terus saja memeluk laura dengan tak sabar, dia mendengus-dengus tak jelas dan mendaratkan ciumannya dengan mulutnya yang basah itu. "Jangan...kumohon jangan!" Laura mendorong tubuh Harman membuat laki-laki itu hampir terjatuh ke lantai. Harman terkejut bukan kepalang dengan perlawanan Laura, matanya mendelik dengan amarah yang tak bisa di bendungnya. "PLAK!!!" Sebuah tamparan mengenai wajah Laura, membuat gadis muda itu terjengkang sampai ke atas tempat tidur. Laura terpekik kecil sambil memegang pipinya, dia tergeletak setengah terbaring sehingga paha mulusnya nampak hampir sampai pangkal pahanya, dress marun yang di gunakannya itu sangat pendek memang. Harman menatap nyalang pemandangan itu, jakunnya turun naik di balik lemak yang ada di lehernya yang pendek itu. Tak ada lagi aura manusia dar
Harman terkejut hampir telonjak dari tempat tidur itu, sementara Laura membuka lebar matanya. Kedua orang itu sama memandang ke arah pintu. Di sana berdiri seorang laki-laki dengan masih menggunakan baju jaket ojek online, wajahnya merah padam dengan kacamata yang melekat di matanya. "Hentikan semua ini!" Teriakan itu terdengar kerasdan penuh dengan amarah. Laura segera meloncat dari atas tempat tidur dengan raut ketakutannya, saat sadar yang datang itu adalah orang yang sangan dikenalnya. "Kak Tris..." Dia menarik dengan sembarangan sebuah taplak meja yang ada di samping tempat tidur itu dan menutup bagian dadanya dengan gemetar. "Anak kurang ajar!!!" Ibu laura berteriak di belakang punggung Tristan. Menarik lengan Tristan dengan kasar sementara yang di tarik sama sekali tak bergeming. Dia berdiri di tengah pintu yang jebol itu, kedua tangannya mengepal keras. "Siapa setan kecil yang mengangguku ini, Lina? Kenapa dia ada disini?" Harman beringsut turun dari atas tempat ti