Share

BAB 4. Penyesalan

(Kembali ke cerita awal)

"Om Bian sudah mempunyai istri?" 

Laura duduk dengan tegang di pinggir tempat tidur itu, matanya nyalang. 

"Om Bian tak pernah bilang kalau om Bian sudah mempunyai istri." Ulang Laura dengan suara gemetar. 

"Maafkan aku..." Bian menjambak rambutnya sendiri dengan muka frustasi di depan Laura. 

"Bagaimana dengan janji om Bian?" Mata Laura membesar, berkaca-kaca.

"Janji apa?" Bian berusaha mengingat setiap kalimat yang tersembur dari mulutnya saat dia mencumbui Laura.

"Janji om Bian untuk selalu menjaga Laura, janji Om untuk selalu mencintai Laura?" 

"Laura, itu...itu berbeda..." Bian menarik nafasnya panjang-panjang berusaha meredakan ketegangannya. 

"Berbeda bagaimana, Om?" 

"Aku tak pernah menjanjikan pernikahan padamu, aku hanya berjanji menjagamu." Pungkas Bian.

"Bagaimana cara om Bian menjagaku jika tak menikahiku?" Cecar Laura, dia benar-benar polos dengan fikirannya yang sederhana. 

"Laura, kamu tak mengerti. Aku mempunyai dua orang anak dan seorang istri." Bian memejam matanya sambil menelan ludahnya entah untuk keberapa kali, kepalanya pening. 

"Om...bagaimana dengan Laura? Bagaimana dengan bayi Laura? Kenapa Om Bian tak mengatakan kalau om Bian sudah menikah?" Air mata gadis yang masih belum genap 17 tahun itu mengalir deras. Dia hanya mengerti, melakukan hubungan suami istri itu karena Bian pasti akan menikahinya. 

Dia sangat menyukai Bian, rasanya hidupnya lengkap jika bersama laki-laki ini, setidaknya setelah menikah dia bisa hidup nyaman bersama ibu dan adiknya, terjamin tanpa dia perlu bekerja susah payah setiap hari di Laundry. 

"Karena itulah, aku tak ingin kamu hamil. Seharusnya kamu minum obat kontrasepsi yang ku berikan itu." 

"Aku tidak mau! Aku mau punya bayi dengan Om Bian!" 

"Kamu kira punya bayi itu permainan, Laura?" sergah Bian dengan ekspresi marah. 

Laura melongo menatap kepada Bian yang melotot padanya, dia beringsut menaikkan kakinya ke tempat tidur. 

"Kenakan pakaianmu, kita akan memeriksakan kehamilanmu...setelah itu..." 

"Setelah itu apa?" Tanya Laura dengan mata yang sedih dan ketakutan. 

"Setelah itu kita akan menggugurkannya." Ucap Bian dengan volume rendah.

 "Aku tak mau, Om! Laura tidak akan membuang bayi ini." Laura memeluk kakinya dengan gemetar seperti sedang melindungi perutnya. 

"Tapi...tapi aku tak bisa menikahimu, Laura. Aku sudah menikah..." Wajah Bian memerah dia hampir putus asa membujuk gadis itu. 

"Apa kamu mau, aku meninggalkan istri dan anak-anakku demi kamu? atau itu memang rencanamu dari awal, menjebakku dalam permainanmu ini?" Tuding Bian sambil berdiri, tubuhnya condong ke depan, kedua tangannya bertopang di pinggiran ranjang. Sikap itu memperlihatkan sebuah ancaman. 

Laura menggeleng keras-keras, dia terisak sendiri dengan ketakutan atas sikap Bian. Selama ini laki-laki ini tak pernah marah padanya, tak pernah bersikap kasar sedikitpun bahkan tak pernah menaikkan suaranya di depan Laura. 

Tapi, hari ini dia ketakutan setengah mati karena om Bian tersayangnya ini menghardiknya sedemikian rupa. 

"Aku...aku tidak mau om meninggalkan keluarga om." Tangis Laura pecah, dia ingat bagaimana penderitaan ibunya yang membesarkannya seorang diri hingga kemudian bertemu ayah tirinya. Dan ketika ayah tirinya itu meninggal, ibunya menjadi depresi luar biasa, dia kadang berbicara sendiri di saat tertentu karena belum bisa menerima kenyataan. 

Sekarang jika Bian meninggalkan istrinya dan anak-anaknya, Laura tak bisa memikirkan penderitaan yang di alami istri Bian. 

"Lalu kamu maunya apa? Aku tak bisa menikahimu, mempertanggungjawabkan anak yang ada di dalam kandunganmu, kamu tahu persis itu!" 

"Aku tak akan minta pertanggungjawaban om lagi...aku...aku...aku bisa sendiri." Sahut Laura di sela tangisannya itu. 

"Astaga, Laura! Kenapa fikiranmu sempit sekali? Kamu kira kamu bisa hidup, hamil seorang diri tanpa suami?" Bian menggeleng-gelengkan kepalanya. 

Dia sebenarnya sungguh-sungguh menyayangi Laura, dia tak tega dengan apa yang terjadi, tetapi nasi telah menjadi bubur. Nafsu bejadnya di malam hujan deras itu menyeretnya menjadi candu pada tubuh dan kenikmatan yang di rasakannya ketika mencumbui Laura. 

Dia lupa dosa, dia lupa jika dia punya dua anak. Matanya tertutup oleh godaan untuk terus menikmati kemolekan tubuh gadis belia yang polos itu, yang hanya dengan sedikit rayuan dan bujukan segera pasrah dalam pelukannya. 

Laura cantik, dia sederhana, dia polos dan tak berpendidikan tinggi. Begitu mudah bagi Bian untuk menjeratnya, seperti burung yang tak kenal perangkap. 

"Aku tak akan meminta om Bian menikahiku, sungguh. Aku bersumpah..." Laura menyeka air matanya dengan punggung tangannya. 

"Tapi, biarkan aku bersama bayi ini. Aku berjanji tak akan membuat om Bian harus mempertanggungjawabkannya." Mata bulat dengan bulu nata lentik yang basah itu mengerjap penuh permohonan pada Bian yang melotot di pinggir tempat tidur seperti ingin menerkam. 

"Laura...tolong jangan persulit aku, please. Aku tahu ini kesalahanku, aku tau ini dosaku yang kebablasan. Tapi, tolong menurutlah padaku kali ini." Bian balas memohon, matanya terasa panas. 

"Om Bian, aku takut...aku takut jika membunuh bayi ini. Aku tak mau. Tuhan akan lebih mengutukku jika aku membunuhnya. Aku bersedia menutup mulutku, aku terima om Bian tidak mau lagi mencintaiku. Tapi, biarkan aku mencintai anak om Bian dan Laura." Tangisan Laura di sudut tempat tidur itu menghancurkan perasaan Bian. 

 Wajah Vina, istrinya membayang di pelupuk matanya, dengan wajah kerasnya, dengan tatapan penuh kemarahan padanya. Dan di belakangnya, wajah bengis Tuan Waluyo, mertuanya itu seperti lukisan yang kejam bersiap dengan kemurkaan dan makian kejamnya. 

"Oh, Tuhan...aku baru saja masuk ke dalam masalah besar..." Bian memejam matanya. Penyesalan tak pernah datang di awal memang! 

"Sekarang aku harus bagaimana?" 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Bunda Saputri
Rasakan itulah nafsu
goodnovel comment avatar
Emelby
lNjuuuut ah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status