Vicky tak hendak menulikan telinga. Sepanjang perjalanan mengantar Mala menuju hotel, wanita itu menangis tanpa henti. Gamma tak mau membersamai istrinya. Dia akan mengurus banyak hal malam ini juga.
Mendengar tangis Mala yang memilukan, Vicky yakin, Mala sama sekali tidak mengira bila Gamma bisa berubah seratus delapan puluh derajat jika sudah tersakiti. Jangankan Mala yang baru mengenal Gamma karena dijodohkan. Vicky yang sudah sepuluh tahun bekerja pada keluarga Moreano masih sering merasa kesulitan memahami Gamma–terutama bila sedang marah atau tersinggung.
Mala baru mengetahui sisi manis dan romantis Gamma.
“Vicky, antarkan aku pada suamiku, please.” Mala memohon di sela isak tangisnya. Namun Vicky bergeming, meski status Mala saat ini adalah majikannya, tapi situasi dan kondisi sama sekali tidak mendukung.
“Anda akan lebih aman bila menjauh dari Tuan Gamma saat ini.”
“Tidak, Vicky. Gamma membutuhkan aku. Aku istrinya. Aku akan menenangkannya, please,” ucap Mala memelas sembari mencengkeram lengan Vicky yang duduk tegak di sebelahnya. Vicky menatap lurus ke depan, sama sekali tidak menoleh ke arah Mala.
Lima menit lagi mereka akan sampai di hotel.
“Dad tidak mungkin membunuh Tuan Moreano. Mereka bersahabat sudah lama, Vicky. Gamma hanya salah paham.”
Mala kembali menangis. Vicky meliriknya sekilas, melihat istri majikannya kacau balau mau tidak mau menerbitkan rasa ibanya. Tapi situasi sedang tidak menentu saat ini. Dia harus mengamankan Mala, atau Gamma yang sedang terbakar amarah bisa gelap mata.
Vicky mengeluarkan ponselnya yang berdering.
“Itu Gamma, kan? Aku mau bicara dengannya.” Mala hendak merebut ponsel Vicky, tapi gerakan Vicky lebih cepat. Dia mencengkeram lengan Mala, membuat wanita itu meringis kesakitan dan akhirnya menyerah.
“Halo?”
“Vic, semua pengawal sudah aku perintahkan berjaga di hotel dan rumah nenek Tuan Gamma.”
“Baiklah, sebentar lagi aku dan Nyonya Gamma sampai di hotel. Bagaimana situasi sekarang?”
“Tidak baik. Rekaman CCTV di rumah Tuan Moreano menghilang.”
Vicky menghela napas pendek. Satunya bukti yang diharapkan telah lenyap, atau mungkin sengaja dilenyapkan oleh pelakunya. Saat ini semua pelayan dan pengawal Tuan Moreano sedang menjalani pemeriksaan maraton. Tempatnya sengaja dibuat terpisah dengan Tuan Jeff Hopkins–tersangka utama.
Vicky mematikan sambungan telepon dan menoleh ke arah Mala. Wanita itu tampak tertidur dengan kepala menyandar ke kaca mobil. Dia pasti masih jetlag.
Mobil memasuki basement hotel. Vicky melihat dua pengawal sudah menunggu. Mereka mendekati mobil Vicky ketika sudah diparkir. Vicky membuka pintu dan bersiap hendak keluar.
“Bos, aman!”
Vicky menoleh ke arah Mala. Wanita itu masih terlelap. Vicky menarik-narik bajunya, tapi Mala tidak bergerak. Vicky bingung, apa yang harus dilakukanya. Dipanggil berkali-kali dan ditepuk-tepuk pipinya, Mala tetap tidak terbangun.
“Sepertinya pingsan, Bos.”
Vicky memutuskan menggendong Mala. Lagipula sebelah sepatu wanita ini entah ada di mana. Tinggal sebelah saja yang terlepas dan berada di dalam mobil.
“Bos, apa tidak apa-apa?” tanya salah seorang pengawal ketika Vicky sudah membopong Mala. Kedua pengawal itu saling melirik, khawatir Gamma akan marah bila mengetahui wanita berharganya disentuh oleh anak buahnya.
“Mau bagaimana lagi? Kalau kalian tidak mau dapat masalah juga, jangan sampai Gamma tahu.”
Kedua pengawal itu mengangguk setuju. Mereka bertiga langsung menuju lift. Vicky tampak tidak merasa membopong beban berat, dia tampak santai saja. Saat masuk ke dalam kamar, dia menyuruh dua pengawal menunggu di luar.
“Pastikan tidak ada yang mencurigai kita,” perintah Vicky, lalu dia membawa Mala untuk dibaringkan di ranjang.
Saat membaringkan Mala, sepertinya Mala setengah terbangun. Dia menggumam memanggil nama Gamma, lalu melingkarkan tangan di leher Vicky, membuat Vicky terpaksa mengikuti arah bahunya beberapa saat berada di atas Mala.
“Kau memang luar biasa cantik, Mala,” gumam Vicky dalam hatinya. Sepasang matanya menelusuri wajah Mala, hingga berhenti pada tahi lalat di pangkal leher dan tato bunga mawar di bawah rahang.. Banyak tanda di area tersebut, mulai dari yang berwarna coklat tua, coklat muda dan agak memerah. Sepertinya, Gamma sudah menentukan titik kekuasaan pada istrinya.
“Kita lihat saja, apakah Gamma akan kembali padamu atau …” Vicky tidak bisa menahan diri, jiwa lelakinya meronta berada begitu dekat dan menghirup aroma Mala yang menguar lembut. Meski dia tahu bahwa Mala terlarang untuknya. Perlahan dia mengecup lembut leher Mala dan merambah ke tahi lalat di pangkal leher.
Mala merintih lirih, membuat senyum smirk mengembang di bibir Vicky. Merasa telah mengetahui rahasia Gamma dan Mala di atas ranjang.
Vicky bergegas menarik diri dan mengusap bibirnya. Dia memindai Mala yang terlelap. Senyum smirk kembali mengembang di wajahnya, sembari mengeluarkan ponsel. Dia mengambil foto dan video Mala setelah menurunkan lengan baju Mala hingga terlihat belahan dadanya, serta menyingkap rok hingga ke pangkal paha.
Memposisikan Mala seolah menyerahkan dirinya.
***
“Di mana Mala?”
Vicky menelan ludah, berusaha untuk tetap tenang. Gamma menatapnya tajam, seolah dia mengetahui apa yang sudah dilakukan Vicky pada istrinya. Vicky sudah memeriksa kamar hotel dan sangat yakin tidak ada CCTV di dalamnya.
“Dia sudah di hotel. Aku menempatkan dua pengawal di sana.”
Gamma menarik napas panjang, lalu menjambak rambut. Dia sama sekali tidak bisa berpikir jernih malam ini. Setiap malam, Mala tak lepas dari pelukannya. Malam ini dia merasa tubuhnya menggigil tanpa Mala berada dalam dekapannya, tapi amarahnya jauh lebih hebat lagi.
“Jauhkan dia dari aku untuk sementara,” ucap Gamma lirih. “Aku tidak ingin menyakitinya.”
Vicky mengangguk. “Tentu saja. Semua orang tahu bagaimana Gamma Morenao kalau sedang marah.”
Gamma merebahkan kepalanya di sandaran sofa. “Aku harus menemui seseorang malam ini, Vicky. Seseorang yang bisa memberikan jawaban atas semua kejadian ini. Aku yakin, Jeff Hopkins punya alasan kuat kenapa dia membunuh Papa.”
“Kau bisa menundanya besok, Gamma. Tubuhmu perlu istirahat. Tidurlah, aku akan menemanimu di sini. Pengawal Tuan Moreano sudah berjaga di luar, jadi kau tidak perlu khawatir.”
Gamma menurut. Sudah pukul dua belas malam, dia harus merebahkan diri. Dia yakin, Mala tidak akan bisa tidur malam ini tanpa dirinya. Sebagaimana dirinya yang tak bisa memicingkan mata mengingat hari-hari bulan madunya. Dan hal itu membuatnya menjadi gila.
Sisi hatinya tak ingin kehilangan Mala. Tapi Jeff Hopkins sudah jelas-jelas tampak mata membunuh Papanya. Beberapa pelayan memberikan kesaksian, Jeff memegang pisau yang berlumuran darah saat mereka menemukannya.
“Apa, kenapa, bagaimana? Para mafia itu, apakah ini semua pekerjaan mereka? Aku dan Mala yang menjadi korban?” Gamma hanya mampu berteriak dalam hati. Dia membolak-balik badan di atas sofa, berusaha memejam mata. Namun dalam pikirannya berkecamuk beribu pertanyaan tanpa jawaban. Besok dia harus segera mendapatkannya.
Sebelum pernikahan dengan Mala, dia sempat mencurigai sesuatu, namun semua ditepisnya begitu saja. Hatinya sudah terikat kuat pada Mala, dan dia tak ingin memikirkan apapun selain bersama Mala.
Tidak jauh darinya, Vicky duduk di seberang sofa, menghadap ke arahnya sembari menatap ponsel dalam keremangan. Senyum smirk mengembang di bibirnya, saat menikmati video Mala yang direkamnya tadi.
“Let’s see Gamma, bagaimana semua ini akan berakhir,” gumamnya puas. Perlahan ujung jarinya mengelus layar ponsel, lebih tepatnya mengelus wajah cantik Mala dan tato bunga mawarnya. “Kau sudah salah memilih lelaki, Mala.”
Dengan dalih kasih sayang pada keponakan semata wayang dari sepupunya, Bibi Laela bersedia mengumpulkan data seakurat mungkin. Data yang tak pernah terpikir oleh Gamma sebelumnya. Yaitu daftar selingkuhan Papanya. Dan yang membuat jantung Gamma menjengit nyeri ketika Bibi Laela menyampaikan bahwa Papanya sudah terbiasa melakukan itu sejak Mama masih hidup. Bahkan di tahun pertama pernikahan mereka. “Entahlah, apakah mendiang Mamamu mengetahui atau tidak kelakuan suaminya. Yang jelas, dia wanita yang sangat setia. Percayalah padaku soal itu. Kami sama-sama wanita, jadi aku bisa melihat betapa dia selalu berusaha untuk menjadi ibu yang baik. Tapi, Lowkey … ah, laki-laki kukira di mana-mana sama saja. Dia begitu manis di rumah, tapi menjadi liar begitu melangkah keluar pintu rumah.” Gamma tidak hendak merespon apapun. Bagaimanapun juga, dia sangat menghormati Papa yang sudah membesarkannya. Di matanya selama Mama masih hidup, mereka berdua adalah orang tua yang hangat dan sangat menya
"Nyonya Laela menelpon, Tuan."Gamma yang sedang menghadap televisi, menerima telepon yang dihulurkan oleh pelayanannya. Sepasang matanya tidak beralih dari televisi yang sedang menayangkan ulasan kematian Papanya. Dua jam lagi, pemakaman Lowkey Moerano akan dilaksanakan. Semua televisi, radio dan media lainnya sibuk memberitakan kembali kasus pembunuhan Moreano–bahkan lebih menghebohkan dari berita saat kematian di hari pertamanya. Karena kali ini disertai berbagai ulasan dan kemungkinan siapa pembunuh Moreano yang sebenarnya.Vicky mengabarkan, kalau Jeff Hopkins kini ditempatkan di penjara isolasi, guna menghindarkannya dari serangan tahanan lain di Riverbend. Hal yang cukup menenangkan Gamma–karena yakin bisa mempertahankan Hopkins tetap hidup hingga penyelidikan tuntas dan menyeret mantan Kepala Polisi sekaligus mantan mertuanya itu ke pengadil
Detektif Taylor menemukan bukti bahwa Mala terlibat dalam pembunuhan Notaris Rayyes. Bukti yang cukup mengejutkan bagi Gamma."Katakan, kenapa kau bisa menyebutkan Mala terlibat?" Gamma tampak gusar. Antara marah, kecewa dan tidak percaya. Perkara wasiat dan warisan yang ditangani Notaris Rayyes saja sudah membuatnya murka, ditambah bukti bahwa Mala terlibat pembunuhan Rayyes. Semakin menguatkan dugaan Gamma bahwa Mala memang sudah membuat skenario sedemikian rapi dan terencana. Bahkan mungkin sebelum mereka menikah."Kami menemukan pistol berperedam yang digunakan untuk membunuh Rayyes. Tidak jauh dari rumah Jeff Hopkins.""Siapapun bisa melakukannya," tukas Vicky. "Hanya pembunuh bodoh yang membuang senjatanya di dekat lokasi perkara."Gamma terdiam. Vicky benar. "Bisa kukatakan, bila Mala merencanakan semuanya sejak awal, dia tidak akan sebodoh itu. Tapi, bila Rayyes mati, maka sudah tertutup pintu untuk membuktikan kebenaran surat wasiat Papa."Detektif Taylor mengamati sekilas du
“Kurasa kau sudah tahu apa yang sedang terjadi di luar sana, Jeff Hopkins.”Vicky menatap mertua majikannya dengan tatapan penuh tuduhan, namun yang ditatap tidak merespon apapun. Hanya duduk tenang menikmati salad yang dibawa oleh Vicky. “Kau bahkan tidak takut keracunan lagi seperti saat di Kantor Polisi.”Jeff menghentikan suapan, melirik Vicky tanpa ekspresi, lalu melanjutkan santapannya. Jarang-jarang dia bisa menikmati salad buah di dalam penjara. Apalagi dikirim oleh menantu yang menjebloskannya ke penjara. Entah apa yang ada dalam pikiran si menantu, tapi setidaknya dia telah berbuat baik dengan mengirim salad tanpa selai kacang.“Setidaknya, tidak ada yang meracuniku di dalam penjara dengan keamanan maksimum seperti saat ini.” Jeff tersenyum sembari mengunyah.
Detektif Taylor baru saja tiba di rumah Gamma. Dilihatnya lelaki itu berdiri di balkon, menatap jauh ke depan. Mungkin dia sedang menanti istrinya kembali–yang tentu saja itu mustahil. Detektif Taylor sudah mendapatkan laporan tentang Mala yang sudah meninggalkan Nashville pasca peristiwa pembunuhan di rumah ayahnya. Membuat semakin menguatkan dugaan bahwa Mala terlibat dalam pembunuhan Notaris Rayyes.Vicky mengantar Detektif Taylor menemui Gamma di balkon. Sebelumnya dia berpesan, kondisi emosi Gamma sedang tidak baik. Pemakaman Lowkey Moreano akan digelar dua hari lagi setelah proses otopsi selesai. Vicky sudah mempersiapkan semuanya–tinggal Gamma yang tampak kurang siap.“Kuharap anda membawa kabar baik buat Gamma Moreano,” ucap Vicky sebelum mereka menaiki anak tangga. “Perusahaan Moreano harus segera dipikirkan kelanjutannya.
“Kau tidak selincah dulu lagi dengan perut gendutmu, Jim.”Jimmy meraba perut gendutnya. “Kalian yang membuatku seperti ini.”Temannya yang lebih muda dan berbadan atletis hanya mencibir. “Kau memang seharusnya sudah istirahat, atau besi di kakimu akan mencuat lagi seperti dulu. Salah sendiri, kenapa istirahat kau artikan dengan minum dan duduk manis di kandangmu itu.”Jimmy mendengus. “Besi di kakiku sudah lama berkarat, jadi sebaiknya dibilas dengan alkohol.”Jimmy menarik celananya hingga setinggi lutut. Terlihat bekas luka jahitan memanjang, pintu masuk besi panjang penunjang langkahnya. Sejak besi bersemayam di dalam kakinya, dia tidak lagi berada di jalanan, dan itu membuatnya depresi.