Rita yang mendengar teriakan Hera pada Tohir itu pun langsung berjalan menuju kamar anaknya. "Cuma gara-gara anggur, kamu suruh anakku ngusir aku? Heh, Hera, sadar! Aku ini mertuamu. Ranti itu adik iparmu. Melek matamu itu!" Hera terkesiap, tak menyangka jika mertuanya sekasar itu. "Apa, Ma? Cuma? Ma, dia itu banyak utang, belum utang ke si Sarah, belum utang yang lain. Malu aku!" "Kalau gitu, bantu lah dia bayarin utang-utangnya itu." Hera terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. Benar kata Bu RT tempo hari, mereka hanya ingin memeras uang Hera saja. "Nggak, ya! Kalian yang nikmati kok aku yang suruh bayar. Di mana letak harga dirimu, Mas? Pantas saja Sarah gampang banget nyerahin kamu ke aku. Taunya, rumah tangga kalian banyak parasitnya dulu!" ketus Hera. "Hera!" Plak! Hera mendelik saat menerima tamparan dari Tohir. "Mas? Kamu
Tanpa disangka, Hera justru mendekat ke arah Sarah dan memeluk erat mantan sahabatnya itu. Sarah yang terkejut berusaha melepaskan pelukan namun, Hera justru semakin erat mendekapnya. "Her, lepaskan! Kamu itu kenapa sih?""Maafkan aku, Sar. Aku salah, mungkin sekarang aku lagi menuai Karma atas perbuatanku padamu. Maafin aku, Sar. Aku khilaf." Sarah melepaskan tangan Hera, dengan sedikit mengurutkan kening Ia pun bertanya tentang maksud dari ucapannya barusan."Aku sudah ditalak oleh Mas Tohir, karena kami menikah secara siri otomatis hubungan kami pun sudah terputus seiring dengan kata talak yang terucap dari mulutnya. Mungkin ini peringatan dari Allah, karena aku sudah menghancurkan rumah tanggamu. Maafkan aku, Sar." Hera menangis tersedu di depan rumah Sarah. Beberapa tetangga mulai berdatangan karena suara tangis Hera yang semakin kencang. "Ayo masuk. Kita omongin di dalam."
Sarah tersenyum. Memang ia akui Zakki sungguh menawan. Parasnya yang tampan, kumis tipis dan matanya bak mata elang. Tajam. Tapi, untuk membangun rumah tangga kembali nantinya, ia masih belum tahu. "Jalan hidup nggak ada yang tahu, Zak. Siapa tahu, kamu setelah ini malah nemu jodoh, kan?" "Iya, jodohnya kamu." "Masih lama, Zak. Aku masih mau lihat Farhan kuliah dulu dan Ibra sekolah. Belum ada terpikir buat bangun komitmen lagi dengan seseorang. Anak sulungku sekarang tujuh belas tahun, aku sendiri sudah tiga puluh enam. Kayaknya fokus ke anak-anak dulu." Zakki mengangguk. Meski sedikit kecewa, ia bisa memaklumi keinginan Sarah itu. Keluar dari lubang kesakitan butuh waktu lama. Ditambah bukan hanya ia yang tersakiti, melainkan ibunya pun juga. Sarah tersenyum melihat Ibra dan Farhan yang sibuk melihat hewan-hewan. Beruntung Zakki membawanya ke kebun binatang Ragunan sehingga mereka bisa sambil jala
Ranti yang tengah tertidur, terbangun karena dering ponselnya. "Hm?" ucap Ranti begitu panggilan ia angkat. "Dengan saudari Ranti, adik dari saudara Tohir?" Ranti membuka matanya sedikit, lalu melihat layar. Nomor tak dikenal. Ia letakkan lagi di dekat telinganya. "Iya, benar. Siapa ya? Kalau cari Mas Tohir, dia nggak ada." "Kami dari kepolisian. Saudara Tohir mengalami kecelakaan dan sekarang tengah dilarikan ke rumah sakit Citra Kusuma. Silakan untuk datang dengan membawa surat-surat guna registrasi perawatan nantinya." Ranti langsung terbangun. Ia masih sulit menangkap ucapan dari seberang sana. "Mau nipu, ya?" tanya Ranti, mengingat beberapa hari terakhir ini marak sekali kasus penipuan model begini. "Mohon maaf, kami dari kepolisian. Silakan anda langsung datang ke rumah sakit Citra Kusuma demi membuktikannya." Ranti termangu sesaat, l
Ranti ikut panik melihat mamanya panik. Segera ia berlari ke luar dan memanggil perawat yang baru saja lewat. "Suster! Kakak saya!" Dua suster itu saling berbagi tugas. Satu ke kamar pasien, satu lagi menuju ruangan dokter. Tak lama kemudian, seorang dokter datang dan mengecek keadaan Tohir. Ia menggeleng, membuat Rita histeris. "Saya turut berduka cita, Bu. Sepertinya ada pembekuan darah di otak Pak Tohir." "Kenapa kalian baru ngasih tahu sekarang, hah! Kalian kan, yang ingin anak saya mati?!" teriak Rita, ia justru menyalahkan pihak rumah sakit. "Ibu sendiri yang tak mau menyetujui tindakan operasi Pak Tohir, bahkan sampai tak mau melakukan serangkaian pemeriksaan. Jadi, begini lah akhirnya. Kami mohon maaf, Bu. Pasien Tohir, telah tiada." Rita meraung. Ia menggenggam tangan sang putra, masih tak menyangka jika ia bisa kehilangannya. "Bu, sudah. Mayat Mas To
IBUKU DITELANTARKAN SUAMIKU [Dek, Ibu mau kontrol besok. Uang sekolah Farhan juga sudah ditagih. Kamu kapan mau transfer?][Nanti sore ya, Mas. Ini aku masih di kuil. Lagi nganter si Kakek berdo'a dulu. Memang uang sekolah Farhan berapa?] [Kurang dua juta, Dek. ] Aku mengerutkan kening saat membaca balasan Mas Tohir. Ini kali dua ia meminta tambahan uang setelah bulan kemarin juga minta untuk membetulkan talang air yang ada di dekat kamar Ibu. [Ya sudah, nanti sore aku transfer. Kamu tunggu saja, Mas.] [Ya, terima kasih ya, Dek. Kamu hati-hati di sana.] Aku hanya membaca pesan dari Mas Tohir, lalu menyimpan ponsel kembali karena Kakek yang kurawat sudah selesai berdo'a. Ini tahun ketiga aku bekerja di Taiwan sebagai perawat kakek-kakek. Setelah sampai rumah, segera kuganti baju Kakek dan ia pun istirahat. Di saat istirahat begini lah, aku bisa santai sekedar untuk terlelap sebentar. Namun, sore ini aku tak bisa memejamkan mata. Rasanya sangat aneh saat suamiku lagi-lagi meminta
"Mas, kamu di mana? Ibu di mana?" tanyaku. "I-ibu lagi tidur. Ini Mas lagi di rumah teman, Dek." "Oh, maksud Mas, Ibu lagi tiduran di sini?"Kusorot Ibu yang sedang tiduran. Mas Tohir tampak melebarkan matanya. Jelas saja dia terkejut. "Dek, kok Ibu bisa sama kamu, sih? A-apa kamu sudah pulang?" "Ya, aku sudah pulang, Mas! Dan aku melihat rumahku masih berbentuk gubuk, Ibuku sakit parah, dan anakku kamu masukkan pesantren gratis, tapi kamu tetap meminta uang padaku. Jahat kamu, Mas!" Klik. Panggilan video dimatikan oleh Mas Tohir. Benar-benar lelaki itu, ya! Tak ada rasa terima kasihnya. "Nak, sudah, jangan bertengkar. Yang terpenting sekarang kamu sudah ada di sini."Aku mengangguk, meski sebenarnya masih ingin sekali marah-marah pada Mas Tohir. Bayangkan saja! Aku di luar negeri selama 3 tahun demi hidup Ibu dan anak-anakku terjamin, tapi ternyata uangnya entah raib ke mana. Dan yang paling membuatku jengkel kenapa harus membangun rumah di samping rumah mertua?"Pokoknya, nanti
"A-apa? Robohkan?" Mungkin Mas Tohir pikir, aku akan mengalah begitu saja. Oh, tentu tidak! Aku lebih baik merobohkan rumah ini daripada harus mengikhlasknnya untuk ditempati oleh Ranti. Tidak akan pernah! Jika memang mereka tak mau ibuku tinggal di rumah ini, maka akan kurobohkan saja! "Ya sudah robohkan saja!" ucap Mama sesumbar. "Baik, besok aku akan menelepon agennya dan merobohkan rumah ini!" Mas Tohir sudah kalang kabut saat mendengar aku dan Mama ribut. "Ya sudah, Ibumu boleh tinggal di sini. Asal, jangan bikin aku repot." "Tidak akan! Asal kamu, juga jangan merepotkanku." Mas Tohir tampak diam, tapi juga tak membantah. Bagus lah, aku jadi tak perlu memberi makan mereka. Mama dan Ranti pergi, tanpa berkata apapun. Sementara Mas Tohir masih berdiri di tempatnya. Ibra mendekat ke arah Ayahnya. "Ibra, sini sama Bunda, Nak." Aku mendekat pada anak bungsuku itu. Namun ternyata, ia malah menjauh. Hatiku sakit melihatnya. "Ibra, ini Bunda, Nak. Yang suka video call." Namu