“Cukup jangan kamu mengungkit peristiwa yang harusnya kamu lupakan itu,” tegas Nehan pada istrinya. Nehan kembali menegaskan kalimatnya meminta wanita yang sudah memenuhi seluruh ruang di hatinya untuk tak mengulik peristiwa pahit yang sudah mereka sepakati untuk tak diungkapkan lagi.
Meyra tercenung menatap gusar pada sosok yang selalu saja berusaha mendamaikan hati, satu-satunya figur yang mampu menegarkannya setelah hantaman peristiwa pahit yang membekaskan trauma di jiwa.
“Tapi karena peristiwa itu aku menjadi wanita yang tak sempurna, aku tak akan pernah bisa menghadirkan keturunan dalam rumah tangga kita. Pernikahan kita tak akan pernah terasa lengkap.”
Meyra semakin mengunggah keresahan diiringi air mata yang begitu lugas mengalir.
“Aku tak akan pernah bisa memaafkan dia yang sudah menghancurkan segalanya.” Meyra menampakkan kegeramannya dengan nyata.
Nehan kembali menatap istrinya dengan sorot mata luruh.
”Sampai kapan kamu akan menyalahkan masa lalumu?”
”Nyatanya yang terjadi padaku saat ini karena andil masa lalu itu, orang-orang yang sudah merampas kehormatanku itu tak akan bisa aku lupakan, begitu juga wanita yang harusnya melindungiku itu dia hanya mempedulikan narkoba yang sering membuatnya terlupa dengan segala hal.”
”Kamu masih saja selalu menyalahkan ibumu?”
”Bukankah Mas tahu bagaimana cara dia membesarkan kami? Bahkan adikku terlahir cacat juga karena apa yang sudah ia masukkan di dalam tubuhnya itu.”
Nehan melihat dengan sangat jelas bara amarah yang masih membara di dalam dada istrinya.
”Sayang, cukup, cukup kamu sudah membuatku takut. Jangan seperti ini, aku mohon,” pinta Nehan pada sosok yang lugas menguarkan kesumat amarahnya yang sudah sekian tahun terpendam.
Meyra menegaskan tatapannya mengunggah kecewanya yang semakin kuat tersaji.
”Aku masih tak bisa memaafkan dia, Mas.”
”Tak bisakah kamu meredam dendammu? Kamu tak akan bisa mendapatkan ketenangan jika terus seperti ini.” Setelah sekian tahun Nehan bisa mendamaikan keadaan tapi nyatanya karena fakta yang sudah terungkap saat ini membuat segalanya menjadi sulit. Bukan hanya untuk Meyra tapi juga untuk dirinya.
Masih dengan air matanya dan sorot mata yang mengisyaratkan dendam, Meyra menggeleng keras.
”Tidak, aku semakin tak bisa memaafkannya,” gumam Meyra memendam geramnya.
Nehan menanggapi dengan helaan nafas panjang. Tak tahu lagi apa yang harus dikatakan. Yang bisa dilakukannya saat ini hanya mulai membelai wajah cantik di hadapannya yang selalu saja membesut segala kekaguman. Seraut wajah yang sayangnya sekarang menguarkan muram.
Meyra mulai tersedu, meski telah leram guncangan di jiwanya tak lagi terunggah dengan lugas tapi nyatanya gusar masih menguasai hati meski kemudian Nehan mulai merengkuh tubuhnya dengan sangat erat, berusaha memberikan sandaran pada jiwa Meyra yang sejak awal rapuh.
Untuk beberapa saat Nehan membiarkan kebisuan menguasai mereka saat ini, hanya pelukan itu yang menegaskan tentang segalanya. Membuat mereka bisa saling menguatkan untuk menghadapi apapun.
***
Meyra menuruti permintaan suaminya untuk menutup mata. Ia hanya pasrah ketika lelaki yang sudah mendampinginya selama lima tahun itu menuntunnya ke sebuah tempat yang tak bisa ia pastikan karena matanya yang tertutup.
”Kamu akan mengajakku ke mana Mas?” tanya Meyra semakin penasaran.
”Kamu akan melihatnya nanti, sekarang duduklah dulu,” pinta Nehan begitu sabar membimbing istrinya untuk duduk di sebuah kursi yang sudah ia geret untuk wanita yang sangat dicintainya itu, yang hatinya selalu ia jaga.
Meyra menuruti permintaan suaminya. Perlahan ia mendudukkan dirinya di kursi yang sudah disiapkan Nehan.
”Apa aku bisa membuka mataku sekarang?” Meyra bertanya dengan penuh harap.
Senyumnya merekah sempurna meski kedua matanya masih ia katupkan rapat.
Nehan menanggapi senyuman istrinya. Aura bahagia Meyra selalu saja ia harapkan melebihi segala hal terindah yang ada di dunianya.
”Sekarang bukalah matamu,” bisik Nehan lembut pada telinga istrinya sembari ia sempat mendaratkan kecupan singkat pada pipi istrinya.
Meyra mulai membuka perlahan kedua matanya, segera membeliak girang ketika melihat bermacam hidangan istimewa tersaji di hadapannya.
”Kamu menyiapkan semua ini Mas?” tanya Meyra tak bisa menyembunyikan keriangannya.
Meyra menatap suaminya begitu lekat ingin mengulik alasan dari lelaki berwajah tampan di hadapannya menyiapkan kejutan yang selalu indah ini.
”Ini bukan ulang tahunku Mas,” gumam Meyra menampik.
”Memang bukan sayang,” jawab Nehan masih dengan nada bicaranya yang selalu lembut terunggah.
”Aku masih memiliki kejutan lain untukmu, tapi sekarang kita nikmati dulu hidangan ini.”
Nehan kembali menatap lekat wajah istrinya.
”Aku harap kali ini kamu menghabiskannya karena aku sudah bersusah payah memasakkannya untukmu.”
Nehan menegaskan kalimatnya. Ia benar-benar ingin memberikan perhatian pada wanita yang dicintainya setelah beberapa waktu ini Meyra selalu terlihat gusar dan tampak murung setelah mendengar vonis dokter beberapa hari lalu.
”Baik aku akan menghabiskannya, aku sangat menghargai suamiku yang sudah bersusah payah untukku.” Meyra kemudian mulai mengambil sendok dan garpu di hadapannya untuk menyantap sphagetti yang sudah disiapkan suaminya.
”Apa kamu suka dengan saus olahanku?”
”Ini bolognesse yang paling lezat yang pernah aku makan. Kamu belum pernah memasakkan aku saus seperti ini.”
Nehan mengulas senyumnya, menjadi kian bahagia dengan aura bahagia yang terlihat pada wajah istrinya.
”Aku senang jika kamu menyukainya. Setelah ini kamu harus nikmati salad sayurannya juga. Aku ingin istriku menjadi wanita yang sehat.”
”Kamu selalu saja memanjakan aku Mas, kamu sudah seharian bekerja seharusnya aku menyiapkan makan malam ini. Tapi kamu malah membiarkan aku tidur sejak siang tadi.”
Meyra menunjukkan penyesalannya.
”Bukankah kamu tahu kalau aku selalu senang memanjakan kamu, apalagi melihat senyummu yang seriang ini?”
Meyra kembali mengurai senyum bahagia malah menjadi tersipu dengan segala perhatian yang selalu lugas diberikan sang suami padanya.
Meyra menyantap makan malamnya seperti juga Nehan yang ikut menikmati masakannya sendiri.
”Aku sudah melakukan apa yang kamu minta aku sudah mulai melahap masakan kamu. Sekarang katakan padaku kejutan apalagi yang kamu siapkan untukku.”
Nehan mengernyit menggoda, menautkan kedua alis dengan senyum yang turut terunggah.
”Apa kamu sebegitu tidak sabar?”
Meyra tersenyum merekah menanggapi kata-kata suaminya.
”Aku memang tak sabar,” aku Meyra masih dengan keriangannya.
Kerlingan mata Meyra kembali menyergap lembut pada wajah tampan, yang memiliki dua rahang tegas yang mengesankan aura maskulin yang kuat.
”Habiskan dulu makananmu setelah ini aku akan memberikan sesuatu yang mungkin sudah kamu impikan sejak lama.”
Meyra kembali mengernyit mengunggah rasa penasaran yang semakin jelas.
”Apa kamu selalu suka membuatku penasaran?”
”Aku kan sudah mengatakan padamu jika aku suka memanjakan kamu.”
”Juga membuatku penasaran,” sahut Meyra cepat.
Meyra kemudian mulai membeliakkan mata menunjukkan gurat desakan yang tegas meski bagi Nehan malah terlihat manja menggemaskan.
Nehan menanggapi istrinya dengan segaris senyum yang lembut.
”Kamu sudah sangat memaksaku, baiklah, sepertinya kamu memang sudah sangat tak sabar,” ucap Nehan sembari mengerlingkan mata. Ia sangat bahagia bayangan kesedihan sudah tak lagi tampak di wajah wanita yang sangat dicintainya itu.
Masih dengan menyunggingkan senyuman Nehan kemudian mengeluarkan sesuatu dari balik saku jasnya. Lelaki itu bahkan tampil dengan begitu formal untuk makan malam yang ia siapkan sendiri.
Nehan mengulurkan amplop berwarna putih itu pada istrinya yang membuat Meyra menyergap dengan sorot mata penuh tanya.
”Buka saja,” pinta Nehan.
Meyra menjadi semakin penasaran.
”Apa ini?”
***
Meyra sungguh tak menduga Kenrich akan mempersiapkan pesta pernikahan yang begitu luar biasa seperti saat ini. Walau sebenarnya Meyra agak enggan menyetujui nyatanya ia tak bisa mengabaikan keinginan semua orang jika pernikahannya yang kedua ini digelar dengan meriah di salah satu hotel terbaik di Ibukota. Pesta pernikahan yang mengundang banyak orang bahkan juga mengundang anak-anak yatim dari beberapa panti asuhan itu berlangsung dengan sangat meriah. Semua orang memasang aura bahagianya, bahkan Meyra terus menerus mengumbar senyumnya. Namun ketika melihat sosok yang tak diundangnya ikut datang pada pesta pernikahannya ini, wajah Meyra segera berubah tegang. Saat melihat gurat kecewanya Meyra mendadak merasa resah. Kenrich yang berada di sisinya langsung mendekat meraih tangan Meyra dan menggenggamnya erat seakan menegaskan keberadaan dirinya yang akan selalu mendampingi. “Aku tahu cepat atau lambat kalian pasti akan melakukan ini,” tukas Nehan dengan terus mengunggah raut kecew
“Jangan sampai kamu menyesal jika Kenrich memilih yang lain karena ia sudah terlampau lelah menunggumu.”Rida kembali memberi peringatan kepada putrinya.Meyra termangu semakin galau dengan apa yang sudah ia dengar.Meski kemudian Meyra memilih untuk menyunggingkan segaris senyum walau tampak samar dan ragu.“Sudahlah Bun, aku sudah memasrahkan semuanya pada kehendakNya, jika memang Tuhan menakdirkan aku kembali menikah dan orang itu adalah Kenrich, aku akan menerimanya.”Rida menggeleng tampak sangat tak puas dengan jawaban Meyra.“Tapi jika kamu tak memberikan isyarat bahwa kamu mau menerima Kenrich, aku yakin dia tetap akan berpaling. Ingat Mey, takdir manusia meski sudah ditetapkan tapi Tuhan juga mengharuskan hambaNya untuk berusaha. Kamu seharusnya berusaha untuk menunjukkan penerimaanmu terhadap cinta Kenrich, bukan terus menerus menolaknya.”Rida kemudian menegaskan tatapannya pada Meyra yang kini tampak mulai gamang..“Aku sudah memperingatkan kamu, jangan salahkan aku kalau
“Sekar,” gumam Meyra ketika mendapati seorang wanita hamil mulai mendekat ke arah dirinya.Meyra melihat perubahan dari wanita yang sekarang sedang menghampirinya itu tampak begitu luruh dengan tubuh yang lebih kurus terlihat kontras dengan perutnya yang membuncit.Meyra menyusut sejenak bening di matanya dan memusatkan perhatian pada wanita yang pernah menjadi madu di dalam rumah tangganya bersama sang mantan suami dulu, sesuatu yang sebenarnya sudah tak ingin Meyra ingat lagi.“Aku turut berbela sungkawa atas meninggalnya Tante Lia,” gumam Sekar yang memang selalu memanggil ibu Meyra dengan sebutan Tante Lia.Meyra menganggukkan kepalanya dan merasa gamang dengan kesedihan yang terunggah di wajah wanita yang pernah menjadi seteru juga sahabatnya itu.Kesedihan yang ditampakkan Sekar saat ini memancing tanya di dalam Meyra atas kehidupan wanita itu yang s
Meyra benar-benar mengikuti kemauan Kenrich tanpa berkata apapun lagi.Kenrich segera membantu Meyra berkemas.Bahkan lelaki itu tampak sangat sibuk tak membiarkan Meyra melakukan apapun.Dalam diam Meyra menyaksikan bagaimana lelaki itu menyiapkan segala keperluannya.Dalam hatinya Meyra memendam kekaguman meski selalu saja ada rasa takut menggayuti setiap kali Kenrich mengulik tentang pernikahan.Meyra masih terlalu takut untuk memulai hubungan baru dengan keadaan dirinya yang selalu dikatakan sebagai wanita yang tidak sempurna.Meyra selalu tak bisa mempercayai Kenrich bisa menerima dirinya. Karena nyatanya dulu Nehan juga pernah mengucapkan hal yang sama tapi segalanya tetap tak berjalan dengan benar.Meyra terus saja menolak meski hatinya diliputi rasa bersalah juga pada Kenrich yang bahkan pernah hampir mengorbankan nyawanya ketika
Suara yang terdengar tegas dengan nada sarkas yang terunggah itu segera membuyarkan pelukan Meyra dan Nehan.Mereka sontak memandang ke arah Sekar yang sedang mendekat dengan menyajikan gurat sinis di wajahnya.“Kumohon jangan salah paham dulu, Sekar,” gumam Nehan yang seketika gelisah ketika mendapati kedatangan Sekar yang tak terduga.Bahkan wanita yang berstatus sebagai istri keduanya itu tadi belum ada mendampingi saat sidang awal tadi.Sekar masih memberikan tatapan sarkas bahkan menyergap Meyra dengan kesinisan.“Apa kamu masih belum bisa merelakan Mas Nehan? Bukankah sebentar lagi sidang putusan perceraian kalian akan ditetapkan lalu kenapa kamu masih sengaja menggoda Mas Nehan?”Sekar mencecar dengan tuduhan yang picik.Meyra membalasnya dengan tatapan yang sama nyalangnya.Dirinya suda
“Mey kita harus bicara sebentar!”Nehan mengutarakan keinginannya tanpa ragu.“Apa yang mesti dibicarakan?” Meyra menanggapi dengan datar ajakan Nehan.Nehan memandang lurus pada sosok yang sebentar lagi akan menjadi mantan istrinya itu. Tapi lelaki itu sekarang menampakkan kesabarannya yang besar.“Mey, maafkan aku sebelumnya, tolong beri aku kesempatan untuk berbicara.”Nehan mulai memohon.Meyra melirik dengan memendam kebimbangan.Meski kemudian ia mengiyakan dengan memberi isyarat anggukan kepala yang ringan.Pada akhirnya mereka menepi di sebuah tempat yang lebih sepi, di dekat sebuah taman.“Katakan saja apa yang ingin kamu bicarakan Mas,” ungkap Meyra ketika mendapati Nehan masih saja diam dan hanya memandanginya dengan lekat.