“Bagaimana hasil pemeriksaan kesuburan itu?” tanya Nehan pada sang istri yang sejak tadi diam menyaksikan salju turun di awal Desember, saling berebut jatuh ke tanah juga pada pucuk-pucuk Cemara tinggi yang tumbuh berderet di sepanjang jalan.
Meyra menyaksikan semua keindahan itu di balik jendela ruangan tengah rumah mereka yang hangat dengan sepasang netranya berembun menyiratkan kesedihan yang membuncah.
Menyaksikan gurat muram di wajah sang istri membuat Nehan segera bisa paham jika hasilnya sama sekali tak baik.
Meyra bahkan kini hanya mampu menunduk tak kuasa menentang tatapan sang suami yang sedang memindainya menunjukkan rasa simpatinya yang besar.
Bahkan saat tangan hangat itu meraih tangan Meyra yang ia letakkan di atas meja di samping semangkuk sup ayam buatannya sendiri yang malah tak ia sentuh sama sekali, Meyra masih bergeming.
“Apapun hasilnya itu, tetap tidak akan merubah apapun termasuk juga perasaanku padamu.”
Meyra menarik nafas panjang, pada akhirnya tetes-tetes bening itu jatuh membasahi wajahnya yang pias.
Meski setelahnya Meyra tetap bersikeras menampilkan ketegaran di depan suaminya yang mulai terlihat lebih segar, setelah menyantap masakannya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Meyra memilih menyerahkan kertas hasil pemeriksaan yang semenjak tadi diselipkan di balik saku overallnya, di hadapan sang suami.
Nehan membukanya dengan perlahan, sementara saat ini wajah Meyra terlihat kian memucat. Meyra menunggu bagaimana reaksi suaminya. Kegelisahan menekan sanubarinya sangat kuat, hingga ia kini lebih memilih menunduk demi dapat menghindari gurat kecewa yang pastinya akan segera hadir di wajah suaminya sebentar lagi.
Meyra nyatanya tak mendapati itu. Aura wajah Nehan masih terlihat tenang tanpa memunculkan semburat kecewa sedikit pun, seperti yang telah ditakutkannya. Hingga Meyra dapat menatap langsung pada kedua sorot mata suaminya yang masih saja terlihat memancarkan cinta yang besar untuknya.
“Aku tak pernah mempersoalkan bagaimanapun hasil tes ini. Tidak akan ada yang berubah bagiku, kamu tetap yang terutama bagiku,” ucap Nehan sembari meraih tangan Meyra yang sedang diletakkan di atas meja.
Meyra menentang tatapan suaminya yang sama sekali tak menyiratkan keraguan sama sekali. Sepasang mata teduh itu tetap sama, memandangnya dengan tatapan memuja. Tapi tekanan yang dirasakan di batinnya masih saja terasa kuat. Meyra telah merasa bukan lagi menjadi wanita yang sempurna.
“Aku yakin Mas pasti tahu artinya infertil, kan?” Meyra tetap berusaha untuk terlihat tegar, meski semua ini terlampau sulit untuk diterima.
Nehan masih saja menatap Meyra yang gusar dengan tatapannya yang dalam penuh arti.
“Aku adalah wanita mandul Mas,” tegas Meyra dengan suara gemetar. Kedua matanya kini mulai berkaca-kaca.
Nehan hanya menarik nafas perlahan tanpa melepaskan tatapannya dari sosok wanita yang selalu dicintainya.
“Artinya aku tak akan pernah bisa menjadi seorang ibu, aku tak pernah bisa menghadirkan keturunan untuk rumah tangga kita, seorang anak yang selalu ditunggu oleh mamimu Mas,” ujar Meyra semakin lugas seakan ingin menghadirkan kesadaran atas apa yang sedang terjadi pada rumah tangga mereka saat ini.
”Aku bukan wanita yang sempurna,” tegas Meyra seakan ingin menggugah kesadaran suaminya tentang keadaan dirinya saat ini.
Lelaki bermata jernih itu masih tenang memandang istrinya, wanita cantik yang sejak awal pertemuan mereka sudah menggetarkan hatinya. Ia semakin erat menggenggam tangan istrinya seakan ingin melipur gundah yang berkecamuk hebat di dalam hati wanita yang memiliki kulit sehalus pualam itu.
“Apa kamu pikir itu akan mempengaruhiku?”
Meyra semakin gusar ketika melihat tanggapan suaminya yang terlalu tenang, bahkan semua kenyataan ini sama sekali tak memberi pengaruh untuk lelaki yang sudah menjadikannya istri lima tahun silam itu. Satu sisi hatinya yang lain merasa ikut menjadi tenang, karena Nehan masih memberinya curahan cinta yang besar, tak berubah sama sekali. Namun kesedihannya tak bisa ditepis begitu saja karena untuk selamanya dia tak pernah bisa memberikan buah cinta untuk rumah tangga mereka.
“Tapi Mas …,” ucap Meyra tertahan karena Nehan segera mengunci bibir Meyra dengan telunjuknya.
“Cukup jangan dilanjutkan,” tegas Nehan masih memberikan tatapannya yang penuh cinta. Setelah itu Nehan mendesah sesaat. “Lagipula bisa saja terjadi kesalahan dalam pemeriksaan. Kita bisa mencari second opinion, jika kamu memang masih ingin memastikan. Tapi aku sudah tidak peduli dengan semua itu. Bagiku yang terpenting adalah tetap adanya dirimu di sampingku, dengan ada atau tidaknya anak dalam rumah tangga kita.”
Meyra kini malah menjatuhkan air mata saat mendengar ucapan suaminya. Sejak awal, Nehan selalu menjaga perasaannya, begitu juga saat ini ketika Meyra mengetahui tentang ketidaksempurnaannya. Perhatian Nehan yang selalu besar untuknya kini membuat Meyra terseret rasa haru.
“Tapi ini tidak adil untukmu Mas,” gumam Meyra sedih.
“Aku tak pernah merasa seperti itu,” tegas Nehan yang menjadi semakin enggan untuk membahas hal yang kini membuat mereka berdua jatuh dalam palung kesedihan. Nehan selalu tak kuasa melihat air mata di wajah istrinya.
Meyra menggeleng keras ketika mendengar penerimaan suaminya yang selalu tulus.
“Kamu terlalu banyak berkorban untukku Mas. Bahkan sejak awal pernikahan kita, aku memang bukan wanita yang sempurna. Aku terlalu banyak memiliki kekurangan. Mas tahu, sekarang peristiwa itu memberi dampak yang sangat buruk, hingga membuatku menjadi wanita yang tak sempurna.”
Nehan mulai mengusap lembut wajah istrinya yang basah bersimbah air mata.
“Kamu tetap wanita yang sempurna untukku,” gumam Nehan tegas, sembari memberikan senyumnya demi dapat menghadirkan kembali ketegaran di wajah istrinya. “Jadi jangan lagi mengungkit tentang peristiwa yang hanya akan membuatmu sulit meraih kebahagiaan.”
Meyra masih saja diselimuti gelisah, bahkan kini air matanya jatuh kembali ketika kilatan peristiwa pahit itu kembali hadir.
”Kenapa Mas, masih saja menerimaku? Sejak awal aku sudah mengatakan padamu tentang masa laluku ini, bahwa aku bukan wanita yang suci lagi, kamu masih saja tetap menerimaku. Bahkan kini saat dokter memvonisku mandul kamu masih tak mempersoalkan apapun. Aku sudah berulangkali membuatmu kecewa Mas.”
Nehan menggeleng tegas tatapannya masih menyiratkan rasa sayangnya yang besar untuk sosok yang selama ini telah menjadi sumber kebahagiaannya.
”Kamu tidak pernah membuatku kecewa, karena aku selalu mencintai kamu bagaimanapun keadaanmu.”
Meyra kembali menyusut bening di matanya, meski setelahnya air mata tetap kembali jatuh. Ia tak dapat membayangkan tekanan berat yang akan menghantam rumah tangga dengan keadaannya sebagai seorang wanita mandul. Keadaan ini semakin menekan jiwa wanita muda itu, menelusupkan penyesalan yang teramat besar untuk peristiwa di masa lalu, yang memercikkan dendam di hatinya.
Setelahnya tatapan wanita cantik itu menerawang, mengingat kembali fragmen buruk itu, yang membuatnya harus kehilangan segalanya.
Sekarang bahkan tatapan wanita itu berubah kosong, dengan gurat muram yang terunggah lugas.
“Jika saja dia tak ….” Sekali lagi Meyra tak dapat menyelesaikan kalimatnya karena jari Nehan sudah membuat bibirnya terkatup.
“Sudah cukup, sayang, jangan dibahas soal itu.”
***
“Cukup jangan kamu mengungkit peristiwa yang harusnya kamu lupakan itu,” tegas Nehan pada istrinya. Nehan kembali menegaskan kalimatnya meminta wanita yang sudah memenuhi seluruh ruang di hatinya untuk tak mengulik peristiwa pahit yang sudah mereka sepakati untuk tak diungkapkan lagi. Meyra tercenung menatap gusar pada sosok yang selalu saja berusaha mendamaikan hati, satu-satunya figur yang mampu menegarkannya setelah hantaman peristiwa pahit yang membekaskan trauma di jiwa. “Tapi karena peristiwa itu aku menjadi wanita yang tak sempurna, aku tak akan pernah bisa menghadirkan keturunan dalam rumah tangga kita. Pernikahan kita tak akan pernah terasa lengkap.” Meyra semakin mengunggah keresahan diiringi air mata yang begitu lugas mengalir. “Aku tak akan pernah bisa memaafkan dia yang sudah menghancurkan segalanya.” Meyra menampakkan kegeramannya dengan nyata. Nehan kembali menatap istrinya dengan sorot mata luruh. ”Sampai kapan kamu akan menyalahkan masa lalumu?” ”Nyatanya yang t
Nehan tak langsung menyahuti pertanyaan istrinya. Ia menunggu saat istrinya mulai membaca tiket trip yang sedang ia hadiahkan itu. ”Kamu sungguh-sungguh Mas?” Wajah Meyra semakin sumringah. Tersenyum dengan sangat lebar setelah membaca apa yang ada di genggamannya. ”Kita akan jalan-jalan ke Swiss?” tanya Meyra memastikan. ”Bukankah di akhir tahun ini kamu sudah libur? Jadi kita akan liburan ke Swiss saja,” ucap Nehan terus mengunggah aura bahagia di wajahnya mengimbangi ekspresi gembira yang juga disajikan istrinya saat ini. Meyra kembali tersenyum lebih lebar namun setelah itu ia mendekati lelaki yang selama lima tahun pernikahan mereka ini selalu saja memperlakukannya bagai seorang ratu. Meyra lalu menjatuhkan diri pada pangkuan suaminya memberikan kecupan singkat pada bibir Nehan tak peduli meski saat ini lelaki yang dicintainya itu sedang mengunyah makan malamnya. ”Aku sekarang semakin mencintai kamu sayang,” gumam Meyra yang sekarang sudah benar-benar melupakan apa yang sud
“Dari siapa Mas?” tanya Meyra yang menjadi tak tahan untuk memendam rasa ingin tahunya ketika mendapati gurat gelisah itu tampak semakin lugas di wajah suaminya. Nehan sedikit tersentak ketika ia mendengar pertanyaan istrinya. Bersamaan dengan itu dia segera mematikan panggilan itu tanpa berniat sedikitpun untuk menjawab. Panggilan yang berasal dari maminya jelas menyeretnya dalam gundah bila mengingat percakapan mereka semalam yang juga via ponsel, tentang desakan dari wanita yang sudah menghadirkannya ke dunia itu untuk segera memberinya cucu, juga sebuah wacana yang kemudian terumbar dengan lugas ketika maminya memintanya untuk menikahi wanita lain lagi agar keluarga Asmoro bisa segera mendapatkan generasi penerus karena mengingat dirinya yang memang seorang anak tunggal. Tak akan mungkin Nehan mengungkapkan hal ini pada istrinya, seperti juga ia tak pernah berniat untuk mencari pendamping lain. Ia terlalu mencintai Meyra dan sudah merasa cukup bahagia dengan pernikahannya saat in
Meyra memandang lepas pada deretan pegunungan Alpen yang selalu diselimuti salju. Udara beku yang menyelimuti membuatnya kian merapatkan mantel tebal yang menutup tubuh tropisnya. Dari kereta gantung yang dinaikinya yang akan mengantarkannya pada tempat yang lebih tinggi sebelum dirinya memulai petualangan berselancarnya, Meyra terus memadang takjub pada kekokohan Alpen yang memutih di musim dingin. Meyra akan memulai petualangan berselancarnya hari ini. Meski dilakukan seorang diri, tapi Meyra tetap tak kehilangan semangatnya. Saat ini sang suami masih sibuk dengan lobi-lobi bisnisnya. Bukankah sejak awal Nehan sudah menegaskan bahwa perjalanan ini bukan sepenuhnya perjalanan bulan madu mereka, yang sudah ke sekian kali mereka lakukan. ”Sepertinya Nona sangat mengagumi Alpen.” Mendadak seseorang yang berada di depan Meyra menegur wanita cantik itu yang sejak tadi melemparkan pandangan pada pegunungan bersalju yang memutih itu. Meyra menoleh sejenak dan memandang pada sosok pria ka
”Selamat malam semua!” sapa sosok tegap itu yang kini melemparkan senyumannya untuk semua orang. Meyra terperangah untuk beberapa saat terlebih saat mendapati sosok pirang itu sudah duduk di sampingnya dengan sangat santai. Lelaki itu mengarahkan sepasang matanya birunya pada Meyra yang masih memandangnya dengan kaget. ”Ken, perkenalkan mereka adalah Nehan dan Meyra, Nehan adalah sepupumu dari Indonesia sementara di sampingnya itu adalah istrinya,” jelas Sony ketika melihat tatapan anak keduanya yang tampak dalam menelisik pada sosok Meyra yang sekarang menjadi terlihat agak canggung. Kenrich segera mengulurkan tangannya kemudian tersenyum penuh arti kepada Meyra yang kini masih saja diam membisu sementara Nehan telah membalas sapaan saudara sepupunya itu dengan sangat ramah. ”Jadi bagaimana dengan kuliah hukummu, apakah kamu sudah menyelesaikannya?” tanya Nehan yang nyatanya memang mengetahui sedikit banyak tentang saudara sepupunya yang mengambil kuliah hukum di Paris tapi memil
Meyra mendesah jengah menjadi semakin gusar karena mendapati lelaki yang baru dikenalnya dua hari itu memaksakan pertanyaan demi pertanyaan untuk dijawabnya. “Mas Nehan tak ingin aku terlalu lelah karena sebentar lagi aku harus melanjutkan spesialisasiku. Dia tak mau konsentrasiku. Aku harus menyelesaikan kuliahku tepat waktu agar kami bisa segera kembali ke Indonesia dan tinggal di negeri asal kami, terlebih sekarang Mas Nehan sudah memulai usahanya di sana.” “Iya, dengan dibantu oleh daddyku. Kamu tahu jika daddy melakukannya karena atas permintaan Tante Cyntia, maminya Nehan. Dia sangat ingin putra kesayangannya itu kembali bersamanya.” Meyra mengernyit resah. Ia masih saja tak bisa menemukan korelasi atas apa yang sedang Kenrich sampaikan saat ini. “Sebenarnya apa yang akan kamu katakan padaku? Kamu terdengar sedang menyudutkan Mas Nehan. Memangnya salah jika Om Sony memberikan bantuan pada suamiku, dan memangnya salah juga kalau mami meminta Om Sony membantu Mas Nehan?” sergah
”Katakan apa yang sudah kamu ketahui? Jangan membuatku seperti orang bodoh,” sergah Meyra tegas dengan tatapan nyalang yang segera membuat Kenrich merasa sedikit tersudut. Meski pada akhirnya lelaki itu bisa kembali menampakkan sikapnya yang wajar dengan menyunggingkan segaris senyuman datar yang selalu tampak arogan di mata Meyra. ”Tak ada yang terjadi, tak ada apapun, aku hanya sembarangan menebak karena tadi aku sempat mendengar apa yang kalian bicarakan,” jawab Kenrich biasa. Meyra mengernyitkan dahinya masih merasa tak yakin dengan kejujuran Kenrich. ”Aku merasa kamu sedang menyembunyikan sesuatu. Aku tadi bahkan berbicara dengan memakai bahasa Indonesia dengan sahabatku itu, bagaimana kamu bisa tahu dengan apa yang kami bicarakan.” Kenrich mengangkat sebelah sudut bibirnya membentuk senyuman yang terlihat sarkas. ”Apa kamu pikir tak menguasai bahasa Indonesia?” Meyra menarik nafas panjang, rupanya ia salah duga. Bukankah Sony berasal dari Indonesia dan bisa dipastikan jika
Meyra menangkap sosok seseorang yang memakai baju bercorak flora tampak sedang melintas di belakang sang suami yang saat ini sedang duduk menerima panggilan video darinya. Ada sebuah keresahan yang kian menjalar di hati Meyra, mulai menyeret Meyra dalam praduga yang membuatnya semakin tidak tenang. Tapi nyatanya di seberang sana Meyra melihat wajah sang suami yang masih mengunggah sebuah ketenangan tanpa melirik sedikitpun ke belakang untuk melihat siapa sosok yang bersamanya saat ini. [”Siapa itu tadi Mas?”] tanya Meyra mengulangi pertanyaannya. [”Itu tadi mami, apa kamu ingin bicara dengan mami?”] tawar Nehan dengan cepat. [”Apa mami sekarang sudah benar-benar sehat?”] tanya Meyra lagi. Untuk beberapa hari ini ia masih belum bisa berbicara dengan ibu mertuanya karena Nehan selalu mengatakan jika ibunya sedang diharuskan untuk banyak beristirahat. Tapi ketika melihat sosok yang ia lihat sebentar dan hanya menunjukkan tubuh bagian bawah saja dengan memakai rok bermotif flora Mey