Meyra tak memiliki pilihan selain mengikuti kemauan suaminya untuk segera pulang ke rumah mertuanya. Sesampainya di sana Meyra mendapati keadaan rumah yang lebih ramai dari biasanya. Malam ini beberapa anggota keluarga besar Asmoro turut datang ke rumah. Wajah-wajah yang sebelumnya sudah sangat familiar untuk Meyra. Setelah menyapa mereka semua dengan ramah, barulah Meyra melirik ke arah sang suami yang sejak tadi mendampingi. ”Mas ada acara apa ini? Kok orang-orang pada kumpul?” tanya Meyra menjadi sangat ingin tahu. Nehan mengernyit tipis tapi kemudian mengedikkan bahu. Saat ini Nehan masih tak yakin. Tapi ia juga keberatan untuk mengatakan apa yang ia tahu. Karena apa yang akan disampaikannya pasti dapat menyakiti hati wanita yang sangat dicintainya itu. ”Ayo kita ke kamar dulu, kita bersihkan tubuh kita dulu, baru nanti bergabung bersama mereka,” ajak Nehan yang berusaha menghindarkan istrinya dari kerumunan banyak orang, sebelum Meyra mendengarkan selentingan yang dapat meluk
Nehan tak langsung menjawab permintaan istri keduanya. Ada rasa enggan menelusup. Ia sangat tahu jika kesanggupannya hanya akan melukai hati Meyra. Dan itu sungguh tak mau ia lakukan. Nehan merasa sudah terlalu banyak menyakiti Meyra terlebih dengan kebohongannya yang sudah bertahun-tahun menyembunyikan pernikahan keduanya. ”Tentu saja Nehan akan tidur bersama kalian, bukan begitu kan Han?” sahut Cyntia cepat yang segera menginterupsi kebimbangan Nehan. ”Memangnya Nehan tidak tidur sama kalian?” sela Asih segera bertanya. ”Sudah beberapa hari ini Nehan lebih peduli dengan istri pertamanya, Bulek,” jelas Cyntia menyahuti lagi. ”Kamu tidak boleh seperti itu, seharusnya Sekar yang lebih membutuhkan perhatian kamu, dia pasti kewalahan dengan kedua anaknya apalagi Ceria masih butuh Asi eksklusif.” Asih segera memberikan pendapatnya. Lagi-lagi Meyra merasa tersudut, mereka semua pasti sedang menyalahkannya yang terlihat menguasai Nehan hanya untuk dirinya. Tapi Meyra yang sudah terlam
”Sekar?!” tanya Meyra agak terkejut dengan kedatangan istri kedua suaminya itu dengan menggendong bayinya. Sekar membalas tatapan Meyra lurus. Wanita itu sama sekali tak menampakkan keramahannya. ”Apa Ceria sakit?” tanya Meyra lagi ketika Sekar mulai mengurai gendongan Ceria untuk dibaringkan di ranjang pemeriksaan. ”Sakit apa Ceria?” Sekar mendesah jengah, masih saja memberikan tatapan yang apatis. ”Jika aku tahu aku tak akan membawanya ke sini, bukankah kamu seorang dokter?” Kata-kata Sekar yang sarkas sangat mengagetkan Meyra. Ia sama sekali tak menyangka jika sahabatnya sekarang berubah begitu ketus padanya. Padahal Meyra sudah mengalah dan tak lagi tinggal di rumah mertuanya. Meyra memilih tinggal bersama bundanya dan membiarkan Nehan untuk menghabiskan banyak waktu di tempat istri kedua. Meyra menanggapi kata-kata sinis Sekar dengan hati yang lebih lapang. Meski ucapan Sekar sudah sangat menyinggung perasaannya bahkan asisten yang membantu Meyra sempat dibuat sewot oleh uca
Meyra masih memberikan tatapan yang datar kala Nehan masih menyergapnya dengan tatapan penuh harap. ”Apa kamu mau malam ini kita pergi berkencan?” Nehan kembali mengajak. Meyra bergeming datar, menghadirkan kegelisahan di benak Nehan yang masih berharap menata hubungannnya dengan sang istri pertama yang begitu dicintainya. Nehan begitu gigih untuk meluluhkan hati istrinya lagi meski ia bisa melihat begitu terang jika sosok yang dicintainya itu sudah terlalu banyak memendam luka. ”Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat, aku harap kau tak menolakku.” Nehan masih saja berusaha sembari ia mulai menggandeng tangan Meyra dan membawanya melangkah mendekati mobilnya yang ia parkir tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. Meyra tak menampik membiarkan tangannya beralih dalam genggaman sang suami. Sengatan rasa mendebarkan itu masih terasa, kala tangan hangat itu menyentuhnya. Menghadirkan segala momen di belakang yang selalu dipenuhi romansa intim yang melenakan. Meyra kembali merasak
Meyra selalu menjadi gusar karena nyatanya tubuhnya selalu mengkhianati hatinya saat sang suami mulai menyentuhnya dan membawa dirinya dalam peraduan yang selalu membakar hasratnya. Malam itu mereka kembali memadu gairah, memacu rindu yang terpendam selama ini, di kamar rumah baru mereka. Kala semuanya berakhir, Meyra masih dilanda kebimbangan meski kedua tangan sang suami melingkar pada tubuh polosnya di bawah selimut. ”Kamu tidak pulang Mas?” tanya Meyra ketika semuanya telah usai dan mereka tidur berpelukan di ranjang baru yang memang untuk pertama kalinya baru mereka tempati. Masih dengan memeluk tubuh istrinya Nehan memberikan gelengan tegas. Bahkan bibirnya kembali mengecup pundak Meyra yang terbuka. ”Pulang ke mana lagi? Ini rumah kita, dan aku sudah pulang sekarang.” Meyra menggeliat sejenak berusaha membebaskan dirinya dari belitan tangan sang suami. ”Tapi Mas, apa Se ....” Sebelum Meyra sempat menyelesaikan kalimatnya mendadak Nehan menutup bibir istrinya dengan telun
Meyra tercenung sesaat memandang wajah bundanya yang memendam sebuah kekhawatiran. Tapi kemudian ia memilih kembali menggeleng. ”Tidak apa-apa, hanya saja ada seorang teman lama yang mendadak datang ke Indonesia sini, dan ingin aku menemuinya.” Rida menatap putrinya penuh makna. Wanita berambut cepak itu mengulas senyumnya tipis sembari menyentuh tangan Meyra yang diletakkan di atas meja makan. ”Pergilah temui teman kamu itu. Untuk apa kamu ragu? Aku tahu kamu pasti ingin bertemu dengan dia, iya kan?” Meyra diam tapi kemudian mengedikkan bahu. ”Tidak juga Bun,” jawab Meyra pada akhirnya. ”Tapi dia udah terlanjur datang, harusnya kamu temui dia.” Meyra mendesah pelan. ”Baiklah aku akan menjemputnya di bandara setelah ini.” ”Kak Mey, Bunda kenapa kalian ngomong aja, cepetan dihabiskan makanannya. Na ... na sudah me ... masaknya untuk kalian,” sahut Nana yang selalu tak senang orang-orang yang ia sayangi tak menghabiskan masakannya. Walau Nana memiliki kekurangan di dalam dirin
”Katakan padaku apa saja yang sudah kamu ketahui?” desak Meyra. Perasaannya mengatakan jika lelaki bermata biru itu mengetahui banyak hal. Kenrich merasa sangat prihatin melihat keadaan Meyra yang begitu menyedihkan. Ia sungguh sangat ingin bisa melerai segala duka yang bersemanyam di hati wanita yang sudah membesut perhatiannya sejak awal itu. Kenrich berusaha mendekati Meyra yang sedang dilanda duka. Tatapannya begitu melekat penuh simpati. ”Untuk apa kita membicarakan sesuatu yang hanya akan membuatmu terluka lebih dalam, bukankah sebelumnya kamu pernah meminta padaku untuk tak menceritakan sesuatu yang hanya membuatmu terkukung dalam kesedihan?” Meyra mendesah jengah lalu menampik tangan Kenrich saat berusaha menyentuh pundaknya. Bahkan tatapan Meyra sekarang terarah pada laut lepas yang sangat ini gelombang ombaknya berdebur kencang. Meyra menghapus sendiri air mata di wajahnya dengan telapak tangannya. Kenrich segera ikut berdiri di sisinya masih melekatkan tatapannya. Sem
Kenrich menunggu jawaban Meyra. Sementara wanita cantik itu malah memalingkan wajahnya. Gestur wajahnya jelas menunjukkan keengganan untuk menerima panggilan telepon dari lelaki yang masih menjadi suaminya itu. Kenrich bisa dengan terang membacanya, yang membuat tahu apa yang harus dikatakan. [”Sebaiknya untuk saat ini kamu jangan ganggu Meyra dulu. Dia sedang ingin menenangkan dirinya sekarang.”] Jawaban Kenrich sangat mengecewakan bagai Nehan yang sedang begitu gusar. [”Tolong bujuklah dia Ken,”] desak Nehan yang masih saja sangat berharap. [”Mengertilah keadaan Meyra, biarkan dia menenangkan dirinya dulu. Sebaiknya fokuskan perhatian kamu pada pesta resepsi itu besok, dan satu lagi aku harap kamu tak memaksa Meyra untuk menghadiri pesta itu. Meyra tak sekuat itu untuk kau paksa menyaksikan momen kau bersanding dengan wanita lain, belum lagi kau juga akan mengurus anak kalian.”] Kenrich mengucapkan kalimatnya dengan begitu lugas berusaha memberi pengertian pada saudara sepupuny