Suasana mobil menjadi hening, Charlos dan Ken tenggelam dalam kekhawatiran dipikiran mereka masing-masing.
Charlos mengingat kejadian saat mereka kecil, sekitar umur sepuluh tahun. Ketika Charlos akan pergi bermain bersama teman-temannya, tapi Ken waktu itu memegang tangan Charlos berkata, "jangan ke sana atau kalian akan mati." Mendengar hal itu, anak-anak lain mundur ketakutan menjauhi Ken, beberapa mengerutkan kening menatapnya. "Dia anak aneh." "Tinggalkan dia, jangan ajak lagi dia bermain." "Ayo pergi, jangan pedulikan kata-katanya, ayo Charlos." Charlos ingat dengan jelas waktu itu, Ken memegang erat tangan Charlos. Ken menatap dan menggelangkan kepala, lalu menatap dengan menusuk pada anak-anak lain. Ken sudah muak dengan ejekan mereka yang menyebutnya aneh, tapi ia tidak mempermasalahkan hal itu. Baginya mereka hanya sekumpulan anak berisik yang menjengkelkan, yang akan segera pergi. Charlos memilih untuk menuruti Ken dan berdiri melindungi Ken dari anak-anak lainnya. "Jangan menyebut Ken aneh, dia tidak aneh. Aku tidak akan pergi, aku akan bersama Ken saja." Anak-anak lain mencibir dan meninggalkan Charlos dan Ken, Ken sendiri hanya melirik mereka lagi dengan dingin tanpa emosi. Ia tidak peduli dengan mereka, karena yang terpenting sekarang adalah memastikan Charlos aman. Tidak lama setelah anak-anak keluar dari gerbang sekolah, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabrak gerbang tersebut. Jeritan pilu memenuhi udara. Wajah Charlos membeku, ketika melihat dengan matanya sendiri teman-temannya bersimbah darah. Nafasnya tercekat dan seluruh tubuhnya kaku. Charlos terdiam sebelum merasakan tepukan lembut di kepalanya, dan mendengar kata-kata Ken. "Syukurlah, itu bukan kau yang mati." Melihat wajah Ken yang tenang, hati Charlos gemetar ketakutan hingga wajahnya langsung memucat. Sebelum rasa mual yang hebat membuatnya muntah dan mulai menangis tersedu-sedu. Wajah Ken yang semula tenang berubah panik. Wajahnya memucat saat melihat Charlos muntah dan menangis, tidak tahu harus berbuat apa untuk menenangkan Charlos. Namun tangan yang memegang Charlos mejadi semakin erat, untuk menyatakan dukungannya. "Jangan menangis, aku bersamamu." Sejak saat itu, perasaan takut membuat Charlos bingung bagaimana menghadapi Ken. Ia sempat tak mau bertemu Ken sampai ibunya, Caroline, berkata, "Charlos, jangan takut pada Ken. Sama sepertimu Ken juga ketakutan, hanya saja kau tahu Ken selalu bersikap tenang." Caroline membelai lembut rambut Charlos. "Ken merasa sangat sedih saat tahu kau tak mau bertemu dengannya. Ketahuilah, Ken tidak akan melukaimu, ia akan selalu melindungimu karena kau adalah saudaranya, keluarganya. Jadi renungkan dan tenangkan dirimu. Setelah itu, coba temui lagi Ken, oke?" Charlos terdiam sebelum akhirnya ia mengangguk. Tak lama setelah Caroline pergi Ken mengetuk pintu kamar Charlos. Charlos berdiri ragu-ragu untuk mendekati pintu, kemudian mendengar suara Ken dari luar. "Maaf ... Charlos, maafkan aku membuatmu takut, tak apa jika kau tak mau bertemu denganku lagi, jangan dengarkan ucapan bibi. Sekali lagi maafkan aku." Setelah Ken pergi, Charlos terdiam dan menatap pintu lama, memikirkan kembali kata-kata ibunya. Di sisi lain ketakutan masih membayangi dirinya, namun di sisi lain Ken tetap keluarganya dan tidak akan menyakitinya. Butuh beberapa saat sebelum Charlos menarik napas dalam-dalam, dan menyusul Ken. "Ken tunggu," teriak Charlos membuat Ken berhenti dan menatapnya. "Aku memang takut padamu, tapi bukan berarti aku tidak mau berteman denganmu. Aku ... aku hanya kaget, dengar itu, aku hanya kaget. " Charlos lega setelah mengatakan hal itu, tapi terkejut ketika ia menatap Ken. Di sana Ken berdiri dengan mata dan hidungnya merah. Air mata mengalir di pipi Ken, ia langsung memeluk erat Charlos sambil berkata dengan terisak. "Terima kasih Charlos, aku ... aku ... aku takut kau tak mau berteman denganku lagi. aku ... aku pasti akan menjagamu." Ken ketakutan saat Charlos tidak mau bertemu denganya lagi, satu-satunya yang membuatnya bertahan selain ayahnya adalah Charlos sendiri. Ken mencoba menunggu beberapa hari setelah kejadian itu, tapi menjadi semakin cemas karena Charlos tidak kunjung mendatanginya. Ia tidak rela untuk kehilangan Charlos. Jika tahu akan seperti ini, mungkin Ken akan mencoba mencegah anak-anak yang lain, sehingga Charlos tidak ketakutan dan menjauhinya. Walaupun Ken sama sekali tidak peduli pada mereka. Untuk pertama kalinya, Charlos melihat Ken menunjukkan emosinya dengan menangis begitu kencang, sementara Charlos yang dipeluk masih terkejut melihat Ken menangis. "Ken kau kenapa? maafkan aku, tolong jangan menangis." Tangis Ken justru semakin kencang, bahunya gemetar tak terkendali. Membuat Charlos yang semula hanya terkejut, kini ketakutan dengan jantungnya berdetak kencang dan ikut menangis. Sampai Caroline datang dan menenangkan mereka berdua, hingga mereka tertidur karena kelelahan. Sejak kejadian itu Charlos benar-benar tidak takut lagi pada Ken, dan juga melindungi Ken dengan selalu bersama Ken atau memperkenalkan Ken dengan teman-temannya. Tanpa sadar sudut mulut Charlos melengkung, mengingat kekonyolan dirinya sendiri. Sekarang tampaknya, ia harus mengakhiri hubungan lebih awal dari biasanya. Charlos terkenal dengan tiga bulan hubungan sebelum berganti pasangan, sehingga para wanita akan memanfaatkan itu untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Charlos juga akan memberi apa pun asalkan tidak keterlaluan, karena ia juga bingung menghabiskan uang jajan yang terus menumpuk. Jadi Charlos hanya menganggapnya sedekah bagi para pengemis. "Jangan terlalu khawatir, Ken." Tangan Ken mengencang di sekitar setir, menarik nafas dalam-dalam, berkata dengan tekad. "Aku akan mencoba." *** Setelah sampai di rumah, Ken langsung lari menuju rumah kaca. Aroma mawar yang harum menyambutnya. Ken membaringkan diri di sofa yang dilengkapi bantal dan selimut, suhu yang diatur membuatnya menjadi lebih nyaman. Dikelilingi oleh rimbunya mawar, membuat hatinya yang gelisah sedikit mereda. Rumah kaca ini dibangun khusus oleh ayahnya untuk sang ibu, dengan hanya mawar merah favoritnya yang tumbuh di sini. Bahkan katanya, ibu sendiri yang merawat bunga-bunga ini. Saat Ken masih kecil ayahnya pernah berkata, "Ken jika kau merasa takut, sedih, atau gelisah, datanglah ke sini jika ayah tak ada bersamamu. Percayalah, di sini akan membuatmu tenang." Gerald menjelaskannya dengan lembut. Melihat Ken mengangguk patuh, ia mengecup dahinya puas. Memang benar bahwa hanya di tempat inilah, Ken merasa begitu damai dan tidak ketakutan. Beberapa minggu terakhir ini, Ken melihat lagi hantu-hantu itu. Sejak insiden masa kecil yang melibatkan teman-temannya, Ken tidak lagi melihat hantu atau cahaya hitam di tubuh seseorang. Tidak jelas kapan Ken melihat hal-hal menakutkan itu, tapi saat Ken kecil, ia sering melihat hantu yang berlumuran darah, hilang anggota tubuhnya, atau rusak di sekujur badan. Hal itu benar-benar membuat Ken ketakutan dan ingin meminta tolong pada ayahnya, tapi ia menahannya. Setelah membuat ibunya meninggal karena melahirkannya. Ken berpikir untuk tidak menjadi anak nakal dan merepotkan bagi ayahnya, serta menanggungnya sendirian. "Kata ibuku, kau membuat ibumu sendiri mati karena melahirkanmu. Kau anak nakal." "Benar, kau anak nakal. jauhi dia teman-teman." "Ayahmu juga pasti sangat membencimu, karena menjadi anak nakal." Ken mengepalkan tangannya erat-erat, begitu mengingat kembali kata-kata dari teman sekolah di taman kanak-kanak. Ken terkadang mengintip saat ayahnya duduk diam memandangi lukisan ibunya selama berjam-jam. Tatapan mata ayahnya kosong seolah kehilangan jiwa dengan kerinduan yang mendalam. Hal itu membuat Ken merasa semakin bersalah karena merusak kebahagiaan ayahnya, membuat ibunya berkorban untuk dirinya. Untuk mengatasi rasa takutnya, Ken selalu lari ke rumah kaca sesuai saran ayahnya, dan menemukan bahwa saat masuk ke sana, hantu itu akan lenyap. Jadi, Ken meminta Gerald untuk menyiapkan sofa yang juga bisa dijadikan tempat tidur. Ken tidak tahu bagaimana cara untuk menghilangkan cahaya gelap aneh di tubuh Charlos. Ken memaksa untuk menutup mata agar tertidur, supaya lebih tenang dan hanya berharap cahaya hitam di tubuh Charlos menghilang dengan sendirinya. Sulur dan cabang berduri mawar bergetar perlahan hingga terlihat dengan mata telanjang, bergerak sendiri tanpa ditiup angin. "Raja akan datang." "Sebentar lagi ... Kita akan memiliki raja." "Segera ... Ah ... dia akan bangkit." Para mawar begitu bersemangat seperti anak kecil yang mendapat permen, batang mawar bergerak melingkari satu sama lain. Dunia luar tidak dapat mendengar kata-kata mereka, hanya suara gemerisik antara daun yang terdengar. Bahkan Ken sedikit mengeryit merasa terganggu baru. Saat itulah para mawar sedikit tenang, bergerak perlahan ke arah Ken. Bagi mereka, ini adalah kabar yang paling dinanti setelah sekian lama tahta itu kosong. Mereka mulai membagikan berita pada roh mawar lainnya. ***Setelah menyadari bahwa semua yang dilihatnya hanyalah ilusi, Ken tidak merasa lega. Sebaliknya, tubuhnya menjadi semakin berat, semua tenaganya terkuras oleh kenyataan yang baru saja menghantamnya. Ia menatap kosong ke lingkungan sekitarnya, matanya tidak fokus seolah pikirannya masih terjebak dalam ilusi. Kepalanya dengan kaku menoleh kepada Charlos, dan bertemu dengan mata ungu yang menatapnya khawatir. "Lihat, Ken? Apa yang aku katakan benar, bukan? Semua yang kau lihat sebelumnya adalah ilusi," jelas Charlos dengan lembut, menatap ke mata Ken yang kosong, lalu pada wajahnya yang seputih kertas. Charlos juga mengamati helaian rambut Ken yang basah oleh keringat dan menempel di pipinya, seperti hewan malang yang kehilangan arah di tengah hujan badai. Ia dengan penuh kehati-hatian mencoba membimbingnya kembali ke kenyataan, sepenuhnya memperlakukan Ken seperti porselen yang rapuh. Ken merasa dadanya masih sesak, napasnya tersengal dengan ritme yang tidak beraturan. Seakan paru-p
Untuk sesaat, Asila panik melihat tatapan gila di mata Charlos. Namun mengingat rekannya yang masih terjebak dalam ilusinya, perlahan ketenangan menggantikan kegelisahannya. Asila membalas tatapan Charlos dengan percaya diri. Meski sedikit mengerutkan kening karena sakit, sikap sombongnya tetap tidak hilang. Darah yang mengalir dari sudut bibirnya tidak menghalangi Asila untuk menyeringai mengejek pada Charlos. "Dengan melepaskan saudaramu, kau pikir aku bodoh, hah?" Charlos juga sadar bahwa Asila memegang kendali terhadap Ken, wajar dia masih begitu sombong meski diinjak dengan keras olehnya. Tidak ada gunanya jika ia terus memaksa, semakin cemas dirinya, Asila akan semakin sombong. Succubus itu pasti akan semakin menjerumuskan Ken ke dalam ilusi, membuatnya berbahaya bagi keselamatannya. Maka, Charlos memaksa dirinya tetap tenang. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menatap Asila tanpa ekspresi. "Baiklah, memang bodoh jika aku meminta hal itu padamu." Lalu sebuah senyum muncu
Bayangan ayahnya muncul kembali, ia selalu menyembunyikan luka di balik senyum yang ditunjukkan padanya. Ken selalu tahu bahwa keberadaannya selalu mengingatkan Gerald pada ibunya. Namun, tidak pernah sekali pun ayahnya mengucapkan kata-kata yang menyalahkan dirinya. Tapi justru itu yang membuat luka di hatinya semakin dalam. Darah di sekitar membuat tubuhnya semakin dingin, bisa dibayangkan betapa sakit ibunya saat berkorban untuknya. "Ibu ... tolong maafkan aku," mohon Ken, suaranya keluar dengan pecah dari tenggorokannya. Di dalam tubuh Ken, Keres mencoba mendobrak penghalang yang menghalanginya untuk terhubung dengan Ken. Ia meraung dengan marah. "Dasar Succubus sialan!" Tidak peduli seberapa keras Keres berusaha, hasilnya nihil. Ia hanya bisa menyaksikan tanpa daya Ken yang terpuruk. Sementara di sisinya, semua sulur bergetar dan meliuk-liuk dengan cemas. 'Papa, sedang kesakitan.' 'Wuwuwu ... kenapa kita tidak bisa membantu papa?' Baik Keres maupun sulur bisa merasakan be
Memasuki ruangan yang gelap, mata Ken menyipit untuk menyesuaikan dengan perubahan lingkungan. Baru kemudian ia menyadari, bahwa apa yang ia injak adalah genangan darah. Ken mengerutkan kening, lalu mengeluarkan sulurnya, bersiap untuk menghadapi musuh. Ken melanjutkan langkahnya dengan mantap dan mulai melihat sosok yang meringkuk dengan kepala tertunduk. Detik berikutnya, orang itu mengangkat kepalanya dan menatapnya. Langkah Ken langsung terhenti dengan tubuh yang membeku, matanya melebar dengan tidak percaya melihat sosok itu. Sementara di luar ruangan, Bellis memperhatikan Ken dan Charlos yang masing-masing memasuki ruangan yang berbeda. Ia tidak berani mendekati Ken maupun Charlos, apalagi Mirk, sehingga Bellis memilih menjauh. Tubuhnya remuk hampir tak berbentuk, napasnya berat seolah menghirup pecahan kaca tajam daripada udara. Setiap tarikan napasnya terasa menyakitkan, seperti menggores paru-parunya. Sehingga ia memilih untuk langsung duduk di lantai yang rusak, memanfaat
Saat keluar dari penginapan, resepsionis paruh baya itu mengintip ke arah rombongan Ken. Ia ingat dengan jelas bahwa jumlah mereka adalah bertiga, namun sekarang ada tambahan satu orang lagi. Dari gerak-gerik tubuhnya yang tidak wajar, ia tentu mengerti bahwa gadis itu menderita penyiksaan. Dalam hati paruh baya itu, ia menghela napas kasihan atas nasib buruknya. Kemudian tatapannya bersentuhan dengan pupil merah seseorang, tubuhnya langsung membeku dengan hawa dingin yang membelai punggungnya. Lelaki itu hanya menoleh sekilas, dan memberikan senyuman padanya. Terlihat ramah dan tidak berbahaya. Namun membangkitkan gelombang ketakutan dari lubuk hatinya, ia langsung mengerti makna di balik senyum itu. Sebuah ancaman, peringatan untuk tidak mengawasinya, atau kau akan menyesalinya. Dengan kaku, ia perlahan menarik tatapannya. Untuk sementara ia merutuki kecerobohannya, dan hampir saja melayangkan nyawanya sendiri. Pada pandangan pertama, orang-orang itu jelas sangat berbahaya. Be
Duri-duri kecil menusuk lebih dalam pada kulit lehernya, meninggalkan garis-garis ungu yang perlahan berubah menjadi tetesan darahnya. Secara naluriah, Bellis meronta saat lehernya dicengkeram lebih erat lagi. Napasnya tersengal saat mencoba mengirim lebih banyak oksigen pada paru-parunya. Ken tidak tergesa-gesa, ia menatap Bellis dengan dingin tanpa emosi. Seolah-olah Bellis tidak lebih dari serangga yang bisa ia remukkan dengan santai. Tidak ada rasa kasihan, ia hanya merasa jengkel karena mengganggu istirahatnya. Jemarinya bergerak sedikit, dan detik berikutnya sulur menarik tangan dan kaki Bellis. "Ahhh!" Jeritan melengking memenuhi ruangan, ketika tulang di pergelangan tangan Bellis patah dengan mudah, semudah seperti mematahkan cabang tipis di pohon. Air mata dengan cepat memenuhi mata Bellis, jari-jarinya menegang lalu terkulai lemas tak bisa lagi digerakkan. Rasa sakitnya begitu mendalam hingga otaknya tidak bisa memproses. Keringat dingin mengalir dengan cepat menetes ke