Dendam tidak memudar—ia hanya menunggu di bawah abu, sampai ada yang meniupnya jadi api.
Blackstone, ruang taktis bawah tanah.Layar digital menyala di sepanjang dinding baja, menampilkan peta-peta wilayah, logistik, dan sinyal pergerakan musuh.Di tengah ruangan, meja kaca bundar memantulkan bayangan dua pria:David Morgan dan Dendy Alexander.Keduanya berdiri tanpa bicara, hanya mata yang berbicara. Dan malam ini, mata mereka melihat satu hal: pengkhianatan darah sendiri.Layar kanan menampilkan potongan rekaman CCTV.Siluet dua pria.Dimitri Morgan.Lucas Alexander.Sedang bicara di lorong bawah tanah Valoria.David bersandar ringan di meja.Suara bass-nya keluar tenang, tapi terasa seperti palu menggetarkan baja.“Dia datang dari kubur, Den.”Dendy berdiri tegak di sisi lain. Tangannya masih bersarung hitam, keringat darBeberapa pewaris lahir dari rahim. Tapi hanya satu yang lahir dari kehendak kekuasaan.Kala itu—Saat langit Kravenholm masih bersih dari drone musuh—Markas Alexander, Kravenholm.Senja menggantung seperti noda darah tua di kaca jendela lantai 33 markas utama Alexander Corp.Benjamin Alexander berdiri tegap, siluet tubuhnya menyatu dengan langit yang terbakar merah.Dua pemuda berdiri di belakangnya—memikul nama yang sama, tapi takdir yang berbeda.Dendy Alexander seperti bayangan. Tegap, awas.Lucas Alexander dengan dagu terangkat dan tangan mengepal.Benjamin membuka percakapan bukan dengan sapaan... tapi keputusan.“Salah satu dari kalian akan memegang Kravenholm. Tapi hanya satu yang akan membawa nama Alexander ke darah terakhir.”Lucas maju setengah langkah. Matanya menatap Benjamin seolah tak percaya.“Aku anakmu. Lahir dari tubuh yang kau
Dendam tidak memudar—ia hanya menunggu di bawah abu, sampai ada yang meniupnya jadi api.Blackstone, ruang taktis bawah tanah.Layar digital menyala di sepanjang dinding baja, menampilkan peta-peta wilayah, logistik, dan sinyal pergerakan musuh.Di tengah ruangan, meja kaca bundar memantulkan bayangan dua pria:David Morgan dan Dendy Alexander.Keduanya berdiri tanpa bicara, hanya mata yang berbicara. Dan malam ini, mata mereka melihat satu hal: pengkhianatan darah sendiri.Layar kanan menampilkan potongan rekaman CCTV.Siluet dua pria.Dimitri Morgan.Lucas Alexander.Sedang bicara di lorong bawah tanah Valoria.David bersandar ringan di meja.Suara bass-nya keluar tenang, tapi terasa seperti palu menggetarkan baja.“Dia datang dari kubur, Den.”Dendy berdiri tegak di sisi lain. Tangannya masih bersarung hitam, keringat dar
Mereka tidak berbicara. Tapi langkah mereka cukup untuk membuat semua menunduk.Blackstone.Pintu besi tua berlapis titanium membuka dengan desisan halus. Di ujung lorong baja yang diterangi lampu senyap—dua bayangan muncul.David Morgan dan Dendy Alexander.Langkah mereka nyaris serempak. Senyap. Tapi setiap langkah menghentak lantai logam dengan presisi seperti dentum palu paladium.Tak ada kemenangan. Tak ada perayaan. Yang mereka bawa pulang bukan cerita—tapi mayat, darah, dan pesan.Pakaian mereka berdebu bara, arang menempel samar di kerah jaket.Sarung tangan Dendy masih bau mesiu.Tatapan David menyapu lorong seperti dewa penghakim yang pulang dari neraka.Petugas jaga langsung berdiri tegak. Bahkan napas pun tertahan—seolah dua malam baru pulang dari perang.Seorang teknisi hendak melapor, tapi sorot mata Dendy cukup untuk membuat lidah
Beberapa luka tak dijahit dengan jarum—hanya dipeluk… dan dibiarkan berdarah bersama.Lampu di ruang pemulihan Blackstone temaram. Hanya satu bohlam menggantung dari langit-langit, berkedip pelan.Mesin monitor berdetak tenang—irama yang menenangkan, tapi juga mengingatkan Helena bahwa jantung Kevin masih berdetak.Helena masih terduduk di sisi ranjang. Tangannya belum melepaskan jaket Kevin.Tatapannya menyapu tubuh lelaki itu yang terbaring diam, selang menancap, mesin berdengung. Tapi wajahnya tenang—datar seperti biasa.Kevin Xavier.Bahkan saat sekarat, pria itu tetap tampak seperti legenda yang tak bisa disentuh.Air matanya turun lagi. Tapi kali ini tidak meledak. Tidak keras. Hanya tetes-tetes pelan, menuruni pipi. Luka yang sunyi.Pelan, Kevin membuka mata. Samar. Tapi cukup untuk mengenali helai rambut itu. Aroma tubuh Helena menyapa pelan.“Lena…”
Ada cara membunuh tanpa suara. Dendy Alexander tak pernah butuh gema untuk bicara.Gudang tua di Pelabuhan Sablecross berdiri sekarat di ujung dunia—atapnya bolong, dindingnya berkarat, dan lantainya berlumur solar dan abu logam.Tapi malam ini, bukan atap yang bocor yang berbahaya.Dendy Alexander sudah masuk.Dan ia tidak datang untuk bernegosiasi.Ia merayap turun dari lantai dua—punggungnya merapat pada tembok, kaki menapaki rangka besi dengan presisi senyap.Kacamata thermal-nya menyala.Tiga titik panas.Di bawah, dua penjaga.Satu bersandar, tertidur dengan senapan masih menggantung di lututnya.Satu lagi, bersandar di dinding, memainkan ponsel.Dendy tak menarik napas.Tangannya sudah di pisau.Ia turun cepat, tubuhnya satu garis bayangan. Begitu mendarat—tak ada bunyi.Langkah mendekat, satu... dua... tiga...
Tak semua doa dinaikkan ke langit. Ada yang dibisikkan ke darah… lalu dibayar dengan mayat.Helena duduk di lantai dingin, punggung bersandar pada dinding baja yang membisu.Di balik pintu logam tebal itu, Kevin masih di meja operasi. Mesin-mesin menyala lirih. Bau antiseptik menusuk hingga tulang.Jaket Kevin ada di pangkuannya—masih berlumur darah. Jemarinya mencengkeram kerahnya erat-erat, seolah itu satu-satunya yang menahan jiwanya tetap utuh.Langkah sepatu berat mendekat.Dendy.Pria itu tak bicara. Ia hanya berdiri di sisi ruangan, diam bagai pilar batu. Matanya menatap pintu seolah bisa menembus dinding besi, mencari detak jantung Kevin di baliknya.Helena tak mengangkat wajah. Suaranya keluar serak.“Dia selamat, kan?”Dendy menoleh perlahan. Tatapannya tetap dingin, tapi nada suaranya berubah.“Dia Kevin Xavier. Dia nggak mati semudah