[“Mendapatkan uang 10 Milyar adalah kesempatan terbaik, atau jangan-jangan kamu berharap istrimu kembali hidup-hidup?” Dan menyerahkan uang itu pada si penculik?” cibirnya.]
[“Jess, seseorang telah menjadikan ku sebagai pelakunya, aku harus menemukan orang itu!”]
[“Tidak perlu! Prioritas utama kita adalah harus mendapatkan uang 10 Milyar itu dulu! Kamu hanya perlu memikirkan tujuan awalmu! Kamu sedang butuh uang!”]
[“Kelihatannya kamu yang sangat membutuhkan uang itu,” desisku.]
[“Ya, aku butuh uang! Jadi, dengarkan aku, masukan racun itu lagi ke dalam anggur saat istrimu benar-benar kembali,” bujuknya.]
Aku tersadar dari lamunanku, lagi-lagi aku membayangkan Elena sekarat di depan mataku setelah meminum anggur yang sudah kuracuni.
“Bagaimana pun, saat ini aku tetaplah tersangka yang tidak bisa lari,” lirihku.
Kerlipan lampu sirine mobil patroli membuatku parno dan refleks bersembunyi di balik gang sempit. Ditengah rasa takut dan gelisah, Kakakku malah menelpon.
Dengan kesal aku menggeser tombol hijau untuk menjawab panggilannya,”Kenapa nelpon terus sih, Kak!” gerutuku.
“Om, ini aku Sheza,” suara imutnya menyapa dari seberang sana.
“Tante Elena memberikanku sesuatu,” ujar gadis kecil itu.
Tanpa bertanya lagi, aku bergegas menuju rumah Ibu. Kakakku dan Sheza tinggal bersamanya dalam sebuah ruko yang dijadikan satu dengan toko ayam goreng milik Ibu.
Brugh!
Seekor ayam yang tengah dibersihkan melayang mengenai tubuhku sebagai sambutan saat masuk ke dalam toko.
“Benar-benar menjijikkan!” Sungut Kakakku.
“Dasar sial*n! dasar gila!” Ibuku meracau sambil memukuliku dengan ayam utuh yang dipegangnya.
“Ibu.. tenang!” ucap Kak Vira.
“Anak kurang ajar! Kenapa aku melahirkan anak sepertimu!” raung Ibuku sambil menangis histeris.
“Ibu.. Ibu… sudah Bu, ayo ke kamar!” Kak Vira melerai, lalu memboyong Ibuku ke kamar.
Setelahnya, Kakakku kembali dan menarikku dengan paksa agar duduk bersamanya di ruang belakang.
“Aiihh, aku bisa gila!” keluhnya.
“Beraninya kau selingkuh! Sementara kondisi Elena masih belum diketahui hidup dan matinya!” Kak Vira menghardik kesal sambil terus memukuliku.
“Aku juga gak tau,” cicitku.
“Kamu memang keterlaluan! Ibu gak mau makan setelah menonton berita itu!” tangis Kak Vira pecah.
“Dimana aku bisa mendapatkan adik ipar seperti itu lagi..” raungnya sambil terus menangis.
“Maksud kakak apa?” tanyaku heran.
Kak Vira lalu menjelaskan bahwa Ibu terkena radang usus dan sering pingsan, Elena setiap hari datang ke rumah mengurus Ibu, sementara dia sibuk mengurus rumah dan toko. Elena yang tak suka kotor itu bahkan rela membantu melayani pelanggan yang datang serta urusan dapur lainnya. Sheza juga senang karena sering dibantu mengerjakan PR.
“Dia sering membicarakanmu, dia terus memujimu karena bekerja keras demi bisnis yang kamu jalani, dia mempercayaimu sepenuh hati, tapi kau malah berselingkuh!” bentaknya lagi.
“Hanya itu yang dia bicarakan?” tanyaku.
“Menurutmu, kenapa toko-toko lain pindah sementara kami masih bertahan? Sekarang aku sadar, siapa yang keluarga sebenarnya, kau hanyalah orang lain bagi kami!” tatapan kebencian tersirat dari wajah Kakakku.
Sesaat aku bergeming, Elena mampu merebut hati keluargaku. Bahkan, foto keluarga yang terpajang di dinding terpampang wajahnya.
“Dia membuat pesta kecil saat ulang tahun Sheza dan memberikannya banyak hadiah, hal yang tak pernah bisa ku lakukan untuk putriku. Sheza begitu menyayanginya sehingga dia sangat ingin memiliki adik yang dilahirkan dari rahim Elena,” suara Kak Vira mulai terdengar serak.
“Aku akan berusaha keras, begitulah jawabannya ketika Sheza menuntut untuk segera memberikannya adik.”
Tubuhku seakan tak bertulang, aku hanya diam dan terpaku mendengar penuturan Kak Vira.
“Kalau aku yang jadi istrimu, kau pasti sudah mati ditanganku! Menikahi istri yang sangat baik begini, kamu masih bisa berkhianat?” kembali wanita bertubuh gempal ini merutukku dengan tatapan membunuh.
“Kau harus membawa adik iparku kembali hidup-hidup!” bentaknya.
“Aku juga ingin menemukannya, aku bilang aku akan menemukannya!” aku menekan ucapanku sambil balas berteriak, namun Kakakku itu malah pergi meninggalkanku begitu saja.
“Om..” tiba-tiba Sheza muncul dari pintu kamarnya.
Aku segera menyusulnya masuk ke kamar gadis kecil itu. Sheza tampak murung, memeluk boneka kesayangannya sambil menundukkan kepala. Aku duduk di sampingnya sembari membelai kepalanya.
“Sebenarnya, aku selalu menghayal bahwa Om dan Tante adalah Ayah dan Ibuku, kalian sedang mengalami masa sulit, sehingga menitipkanku disini.”
Aku menarik napas berat mendengar ucapannya.
“Aku sangat menyukai Tante Elena,” ucapnya lagi, kali ini dia mengangkat wajahnya lalu menatapku lekat.
“Tante bilang, jika dia mati dihadapanmu, dia memintaku untuk menyerahkan ini padamu.”
Gadis kecil berambut lurus sebahu itu menyodorkan sebuah kotak kecil padaku.
“Tantemu bilang begitu?” tanyaku dengan suara lirih.
“Meskipun aku percaya dia masih hidup, tapi aku takut tak sempat memberikan ini pada Om Bastian.”
Aku segera membuka kotak itu, ternyata isinya sebuah kunci.
“Terima kasih, Sheza. Om pulang dulu!” ucapku.
“Om…” lirih gadis itu lagi, membuatku membalik badan menatapnya kembali.
“Tante Elena masih hidup kan? Dia belum mati kan?” Sheza memecahkan tangisnya yang sejak tadi ia tahan.
“Tentu saja, jangan khawatir!” aku berjongkok mengimbangi tubuhnya lalu memeluknya erat.
***
“Chef Bastian, kemana anda pergi tadi?”
“Tolong jawab pertanyaan kami, Chef!”
Aku kembali ke rumahku yang masih dikerumuni oleh wartawan. Tanpa mempedulikan ocehan mereka, aku terus berjalan masuk ke rumah.
Aku menemukan sebuah laci di dalam ruang walk in closet milik Elena, ternyata kunci ini cocok, lacipun terbuka. Hanya ada sebuah kotak berwarna hitam di dalamnya. Gegas aku membuka kotak itu.
Terdapat sebuah rekening dan kartu ATM, aku menganga lebar saat rekening itu tertulis atas namaku dan uang di dalamnya sebesar 10 Milyar.
“Ternyata Elena sudah memindahkan uang warisannya ke rekening atas namaku ini.”
Air mataku luruh, dadaku terasa dihimpit benda besar, seakan sulit untuk bernapas. Aku merutukki diriku sendiri, kenapa aku menyakiti istri yang baik seperti Elena.
Aku baca sepucuk surat yang ada di kotak itu.
[Aku menulis surat ini yang tidak bisa kukirimkan. Aku harap bisa mengutarakan perasaanku suatu hari nanti. Aku takut semua yang ku miliki, bisa menghalangi semua kemampuanmu, suamiku.]
Pikiranku terus membayangkan bagaimana awal pertemuan kami hingga aku melamarnya.
[“Aku mencintaimu,”] ucapku sambil menyematkan cincin emas di jari manisnya kala itu.
POV Bastian.“Aku pulang..” Elena masuk ke dalam toko ayam goreng sekaligus rumah yang selama ini Ibuku dan Kak Vira tinggali. Setelah kejadian itu, dan rumah kami terbakar, aku dan Elena pun menumpang tinggal disini.Hari ini jadwal terapi Elena, syaraf kirinya yang tertusuk mengakibat kaki kirinya lumpuh dan harus menjalani terapi agar bisa berjalan normal kembali. Dia selalu pergi ke rumah sakit sendiri, karena aku sibuk membantu Ibu dan Kak Vira mengurus toko. Istriku itu memang keras kepala, tidak mau merepotkan siapa pun dan merasa bisa menanganinya sendiri.“Kamu sudah berusaha keras, Elena. Bagaimana hasilnya hari ini?” tanya Kak Vira.“Kata dokter sudah mulai bisa berjalan tanpa kruk, apalagi jika aku rajin melakukan pengobatan beberapa hari lagi.” Elena menjawab sambil berjalan susah payah menggunakan kruk. Ibu dan Kak Vira yang sedang meracik bumbu untuk ayam goreng tersenyum senang.“Aku akan ikut membantu,” ujar Elena menghampiri.“Jangan!”“Tidak usah!”Bruk!Elena menab
Toni menyadari bahwa istrinya tengah melamun. Sejak tadi dia menatap bola baseball itu sambil memutar-mutarnya di tangan.“Novelmu itu…” Toni menggantung kalimatnya, membuat Mita mendongak. Pandangannya beralih dari bola kepada suaminya yang sedang berdiri memperhatikannya sambil bersandar di pilar dekat pintu masuk. “Cukup bagus..” sambung Toni sambil menyunggingkan senyum.Senyum yang selama ini tak pernah dilihat oleh Mita. Dia merindukannya sejak lama, dan hari ini suaminya berhasil membuatnya tersenyum juga atas pujiannya itu.Toni masih mempertahankan senyumnya, apalagi melihat Mita tersipu malu. Dia tulus, dia sadar selama ini dia terlalu keras pada Mita. Terlalu pelit dengan perhatian dan setitik senyum dari bibirnya.“Tapi.. bisakah kau mengubah nama penanya? Bukan ibu rumah tangga yang ingin menjadi penulis, tapi ibu rumah tangga yang telah menjadi penulis.”Mendengar itu, bibir Mita yang tadinya melengkung keatas membentuk senyum, mendadak melengkung ke bawah. Dia terharu
"Bukankah kamu pernah bilang, pacarmu membutuhkan uang untuk operasi?"Elena masih memaksa dan bersikeras atas kehendaknya. Sedangkan Raffi terhenyak, dia maaih bingung."Aku ingin membantumu," sambung Elena, dengan tatapan mata yang lebih serius. Dia tidak bercanda. Dia ingin dirinya diculik dan Raffi harus membantunya.Atas tawaran yang diberikan Elena, Raffi pun tergiur. Dia mengambil kesempatan ini untuk membantu membiayai pengobatan sang pacar.Aksi pun dimulai. Dengan ragu, Raffi menuruti Elena membawakan kain berwarna putih. Tangannya gemetar, dia tidak bisa melakukannya."Berikan padaku! Biar aku yang melakukannya sendiri!" Elena merebut kain itu lalu menutupkan matanya. Tangannya beralih ke belakang, lalu mengisyaratkan pasa Raffi untuk segera mengikatnya. Sebuah senyuman terbentuk dari bibir Elena remaja. Dia puas, merasa sandiwara ini nantinya akan berhasil mewujudkan keinginannya untuk pergi jauh dari hubungan rumit kedua orang tuanya.'Aku akan mengingatnya, hari ini seb
Elena Valencia Adiyatma..!" Detektif Toni memanggi nama lengkap wanita yang tengah susah payah berjalan menggunakan alat bantu. Elena, semenjak kejadian penculikan dan kebakaran rumah tiga bulan lalu, dia mengalami trauma dan cacat sementara pada kaki kirinya yang menyebabkan dirinya tak mampu berjalan sempurna.Detektif Toni berjalan mendekat, Elena tersenyum menyambut kedatangan pria yang terus berhubungan dengannya, mengamatinya sejak awal pertama kasus sandiwara penculikan dirinya."Detektif Toni..." Elena menyapa.Lalu merea duduk di taman rumah sakit. Elana tak banyak bicara, dia hanya akan menjawab jika ditanya. Beberapa menit suasana hening tanpa adanya pembicaraan."Ada satu pikiran yang selalu ada di otakku," ucap Pak Toni membuka pembicaraan.Elena mengalihkan pandangan pada pria yang berbicara di sebelahnya. "Kamu yang membantu Melisa dan Andre melarikan diri, kan?" Terus terang Toni. Dia memang bukan tipe orang yang suka basa basi.Elena tertawa. "Masalah ini lagi?" Ele
"Aku ingin membakar rumah ini.." Elena membakar kain gorden rumahnya untuk mengalihkan perhatian sang Ibu pada waktu itu, namun Kak Raffi, guru les privatnya, mencegah dan segera mematikan api sebelum menyebar terlalu besar.Mulai saat itu, Elena merencanakan sandiwara penculikan bersama Raffi dengan imbalan uang untuk berobat pacarnya yang sedang menderita kanker."Apakah kamu bisa melihat kupu-kupu berusaha keras demi bisa terbang?" Elena bertanya sambil melihag kupu-kupu yang hinggap di jendela bus yang mereka tumpangi.Mereka berdua pergi tanpa tujuan, asalkan pergi saja dari rumah dan menghilang."Tapi menurutku, dia berusaha untuk tidak terbang dan kembali pulang.." Elena melihat hewan itu mirip dengannya.Kebebasan tak pernah dia rasakan. Semua tentang hidupnya diatur oleh orang tuanya. Cita-cita, cinta, dan apapun itu. Sehingga saat itu Elena menberontak, terutama dia melihat Ibunya berselingkuh. Hidupnya ibarat terombang ambing diatas ombak lautan."Tidak ada yang tau sebera
"Suamiku... akhirnya kamu datang.." Elena tersenyum dengan sisa tenaganya."Aku... aku datang dengan otak bodohku ini.." Bastian menunjuk dirinya sendiri sambil memberikan sebuah kode melalui tangannya.Bastian menunjukkan jari manisnya kemudian mengacungkan ibu jarinya. Memberitahu Elena bahwa dia tersadar keberadaan istrinya ketika melihat cincin pernikahan yang dikenakan Elena.Elena tersenyum puas. Wajahnya semakin pucat tak berdaya."Akhirnya aku yang memenangkan taruhan ini, kan?" Elena menatap Melisa dengan senyuman mengejek.Wanuta berambut sebahu itu masih bertahan dengan korek yang menyala di tangannya."Aku rasa.. kalian berdua sangat ingin saling membunuh. Tidak bisakag menjadi lebib jujur? Kalian hanya takut melukai harga diri kalian, kan?" Melisa menyeringai."Maka tidak berani mengakui jika salah pilih. Makanya kalian seperti ini.." sambungnya sambil terus bergantian menatap Elena dan Bastian."Tapi... memangnya kenapa?" Bastian menyela. "Bukankah semua orang seperti