Share

BAB 4 - Mantranya Ditanam Di Tulang

Setelah istirahat siang, para peserta meditasi mulai belajar materi dasar Meditasi  yaitu merasakan  akar rambut, rambut, gigi, kuku dan tulang. Nana dengan cukup mudah mampu merasakan semua bagian itu kecuali tulang. Aneh! Sangat aneh! Jika mampu merasakan akar rambut, semestinya merasakan tulang jauh lebih mudah karena objeknya paling BESAR!  Jadi sangat super duper aneh ketika dia tidak bisa merasakan tulang. Namun, Nana pasrah saja. Sebisa mungkin menghindari kemarahan. Nana mencobanya lagi pada sesi meditasi malam hari. Tapi, tetap tidak bisa! Walau sedikit frustrasi, dia bertekad untuk mencoba coba lagi keesokan harinya.

            Hari ke-tiga, pelajaran untuk merasakan bagian-bagian tubuh yang lain dilanjutkan. Seperti merasakan otot, semua organ tubuh yang masuk dalam sistem pencernaan dan juga sistem pernapasan hingga ke pembuluh darah. Seperti biasa, semua tahapan itu bisa di ikuti dan dilaluinya dengan lancar. Namun Nana tetap TIDAK BISA merasakan tulang.

Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Bagaimana mungkin dia masih tidak bisa merasakan tulang yang super besar? Bahkan merasakan tulang tengkorak-pun tidak bisa. Jika hingga hari ke-empat Nana masih tidak bisa merasakan tulang, dia memutuskan untuk berkonsultasi dengan salah satu Asisten.

Hari ke-empat_ Seperti biasa, dia menggunakan istirahat siang untuk melakukan meditasi mandiri dan berdoa dalam kesendirian. Airmatanya sempat mengalir perlahan.

“Ya Allah, tuntunlah hamba agar bisa merasakan tulang. Hamba mohon, Ya Allah,” desahnya lirih dengan kepasrahan total. Nana lantas pergi ke Bale Bengong di samping Rumah Joglo tempat meditasi. Dia beristirahat di sana. Meluruskan punggungnya. Desiran lembut angin dari pepohonan hutan di sekitar Forest Island membuatnya sempat tertidur sejenak.

Sesi meditasi sore di mulai. Kini Nana sangat pasrah dan santai, tidak berusaha keras merasakan tulang. Anehnya, begitu akan memulai merasakan bagian tubuhnya, tiba-tiba Nana “mendapati” dirinya hanya berupa tengkorak! Aaach bahagianya! Jika sedang tidak melakukan meditasi, Nana pasti sudah menjerit kegirangan. Jadi dia hanya senyum-senyum saja sambil menikmati merasakan tulang dengan sangat mudah! Inci demi inci. Rasanya seperti mendapatkan mainan baru yang sudah berabad-abad diimpikannya. 

Jadwal kegiatan sebelum istirahat maghrib adalah olah raga. Nana memilih untuk senam meredian di dalam Pendopo, karena hujan mulai turun. Di tengah-tengah mengikuti gerakan-gerakan senam, tiba-tiba tubuh Nana terjengkang. Nana jatuh terduduk dengan memegangi kedua matanya. Dia merangsek ke pojok Pendopo agar tidak menghalangi peserta lain dalam berolah raga. Ingin rasanya dia menjerit sekuat tenaga. Tapi digigitnya bibirnya kuat-kuat. Kali ini tidak saja palu godam menghantam kepalanya, tapi kedua matanya seperti mau dicongkel paksa!

Nana berjuang sekuat tenaga untuk bertahan sambil memegangi kedua matanya dan membenamkan kepalanya di antara kedua lututnya. Rasa sakitnya tak tertahankan. 

“Ya Tuhan, tolonglah hamba!” pekiknya dalam hati! Kadang-kadang tubuhnya menggeliat menahan rasa sakit yang luar biasa. Tapi tidak seorangpun berani menolongnya. Nana meringkuk di pojok ruangan menahan segala kesakitan.

Berbarengan dengan berakhirnya sesi olah raga, serangan itupun mereda. Tenaganya terkuras habis hanya untuk bertahan melawan serangan ghaib. Seorang Asisten mendekatinya dan menawarkan bantuan menuntun Nana kembali ke kamar tidurnya. Sepertinya beliau tahu apa yang terjadi pada Nana.

“Sabar ya, besok giliran Mba Nana konsultasi dengan Bapak,” ujarnya lembut ketika sudah sampai di depan kamar Nana.

“Malam ini mba Nana istirahat saja, tidak usah ikut sesi meditasi malam,” sarannya. Nana mengangguk dan masuk ke dalam kamar tidurnya.

⸙⸙⸙

Hari ke-lima_ sekitar menjelang makan siang Nana mendapat giliran terakhir untuk konsultasi dengan Guru Utama, Pak Marta. Setelah menanyakan kabar dan beberapa hal, Nana memberanikan diri menceritakan tentang si judes. 

“Coba, Nana duduk diam santai dan pejamkan mata, “ pinta Pak Marta  sebelum melakukan ‘scanning’ dengan mata batinnya yang tajam. Tak berapa lama beliau berkata;

“Oh iya, ada. Mahluk ini dikirim oleh seseorang. Sudah lama sekali. Tapi aneh …” beliau berhenti sebentar dan merenung. “Sebenarnya orang yang mengirim mahluk ini sudah tidak lagi membenci Nana dan sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi dengan Nana. Tapi kenapa mahluk ini masih mengikuti Nana ya?” guman Pak Marta heran dan kembali  tercenung.

“Terus, apa yang bisa saya lakukan, Pak?! Saya ingin sekali terlepas dari mahluk itu,” dengan pasrah Nana minta petunjuk Gurunya. Bapak Marta menghela napas panjang, sebelum memberi saran.

“Selama meditasi selanjutnya, rasakan tulang seluruh badan.” 

Jantung Nana langsung berdegup kencang! Antara bahagia dan ngeri! Jadi selama ini dia dihalangi untuk bisa merasakan tulang, dan baru mulai kemarin sore bisa merasakannya.

“Sepertinya mantranya ditanam di tulangmu.” Gurunya yang berwajah teduh dan bertutur kata tenang menjelaskan bahwa mantra itu ditanam di tulangnya! Seluruh badan! Pantas powerful sekali.

            “Jadi di meditasi berikutnya rasakan seluruh tulang dengan kepasrahan total,” ulang Pak Marta mewanti-wanti. “Kepasrahan yang absolut kepada Tuhan.”

“Kalau boleh tahu, siapa yang telah berbuat ini kepada saya?” Nana bertanya hati-hati.

“Sudaaah … untuk apa kamu tahu? Nanti malah kepikiran dan memunculkan emosi negatif.” Pak Marta mengingatkan. Nana menjadi malu.

“Kamu maafkan saja siapapun dia. Kirimkan saja energi cinta kasih. Energi rendah jadi jangan dilawan dengan energi rendah. Kamu harus tetap berada di vibrasi tinggi dan benar-benar ikhlas memaafkannya,” lanjutnya dengan penuh kebapakan.

“Pokoknya Nana pasrah saja. Sepasrah-pasrahnya kepada Tuhan. Mahluk itu akan hilang sendiri. Tentu nanti saya bantu.” Kata-kata Pak Marta selalu meneduhkan dan membuatnya tentram.

             Nana hanya bisa menggangguk takzim. Menuruti permintaan Gurunya. Sempat terlintas wajah orang itu beberapa detik yang membuat Nana tercenung.

            “Kalau Nana ingin terbebas dari pengaruh mahluk itu, kamu harus MELEPASKAN emosi kebencian, kemarahan, iri hati dan emosi buruk apapun  yang ada di batin dan memorimu. Itu syaratnya. Lakukan meditasi cinta kasih lebih lama. Emosi kemarahan dan kebencianmu itu hanya akan membuat mahluk tersebut lebih lekat kepadamu. Dia senang kalau kamu marah-marah,” beliau berpesan panjang lebar. Nana langsung paham.

“Jangan khawatir, roh leluhurmu melindungimu. Cahayanya bagus, berwarna putih cemerlang,” tambah Pak Marta. “Tapi beliau sedih, karena kamu masih sulit mengendalikan emosi kemarahan atau kebencian terhadap sesuatu atau seseorang!”

Waduh! Pipinya langsung memanas, saking malunya. Tapi Nana tetap terbuka untuk menerima semua informasi disampaikan. Bahkan bersyukur dapat mengetahuinya sehingga bisa cepat memperbaiki diri.

            “Lakukan meditasi cinta kasih untuk diri sendiri selama 15 menit setiap hari,” pesan beliau. “Selepas program meditasi ini, tetap rajin dan disiplin bermeditasi ya,” pungkasnya menyudahi sesi konsultasi.

Njih, Pak.“ Nana memberi hormat dan mengucapkan banyak terima kasih sebelum meninggalkan pondok gurunya.

(bersambung)

⸙⸙⸙

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status