Share

BAB 5 - Pertarungan Terakhir

Jadwal sesi meditasi selanjutnya akan dimulai satu jam lagi. Sekitar jam 14.00. Namun, Nana ingin buru-buru memulainya. Hal pertama yang dilakukannya adalah meminta maaf pada Tuhan karena telah berbuat buruk terhadap seseorang sehingga orang tersebut tega menyantetnya.

Kedua, dia meminta maaf kepada orang yang membencinya tersebut dan telah membuatnya sakit hati. Sekaligus memaafkan atas apa yang dilakukannya kepadanya. Dengan kesadaran penuh, Nana membebaskan dirinya dari energi kemarahan dan kebencian.

Secara khusus, Nana berkata dalam hati kepada si judes. “Aku sudah tidak marah kepadamu. Kamu dikirim seseorang dan memberimu tugas.  Orang itu sekarang sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi denganku dan bahkan sudah tidak membenciku lagi. Jadi tugasmu sudah selesai. Kamu boleh pergi.”

            Apakah semudah itu si judes pergi?! Tentu tidaaaak! Ingat, mantra santetnya ditanam di tulang. Jadi si judes ini “terkunci” dan terus mengikuti Nana.

Ketika sesi meditasi sore itu dimulai, Nana langsung bermeditasi dengan sangat khusyuk dan masuk ke level meditatif yang sangat dalam. Dia memohon pertolongan Tuhan untuk membebaskan dirinya dari pengaruh mantra santet.

Dengan hati lebih damai, Nana mulai memeriksa tulang secara sangat detail dan dengan kepasrahan total. Nana juga terus berdzikir “La Ilaha Illallah“ sepanjang sesi meditasi. Tiba-tiba ubun-ubun kepalanya serasa dibelah, seperti ada yang mengeluarkan energi dari kepalanya terus menerus. Nana merasa yakin, itu gurunya yang sedang “mengoperasi” dirinya mengeluarkan energi gelap itu. Tarikannya sangatlah kuat, seperti dibetot dari ubun-ubun. Kepalanya sungguh terasa berat. Namun Nana harus mempertahankan konsentrasi dan merasakan tulang.

 Lambat laun energi yang keluar dari ubun-ubunnya semakin melemah dan hilang sama sekali mendekati berakhirnya sesi meditasi selama 1 jam 30 menit. Kepalanya terasa ringan! Tapi, tubuhnya sedikit lemas. Nana yakin itu hanya proses awal saja.

Setelah istirahat 15 menit, meditasi kembali dimulai lagi hingga pukul 17:00.  Sore itu hawa terasa lebih dingin karena hujan mulai turun lebih deras. Sebenarnya, pada sesi meditasi ini para peserta diminta melakukan meditasi tekad bulat; artinya duduk diam tidak bergerak sama sekali selama 1,5 jam. Nana mengambil kesempatan ini hanya untuk merasakan tulang dengan sangat detail, senti demi senti sambil terus berdzikir. Kali ini reaksi tubuhnya berbeda.

Sementara di luar awan pekat mulai menggelayut menutup langit di atas Forest Island. Sebentar lagi hujan akan turun. Angin bertiup kencang dari sela-sela jendela Pendopo yang terbuka. Sesekali halilintar menyambar. Nana tetap khusyuk fokus kepada dirinya.

Tak berapa lama, dengan mata batinnya Nana melihat sekujur tulangnya mengluarkan serbuk hitam pekat. Serbuk itu menutupi seluruh tulang bahkan tubuhnya. Nana berusaha untuk tetap bersikap setenang mungkin sambil terus berdzikir dan hanya merasakan dengan lembut setiap inci tulangnya!

Serbuk hitam itu keluar dari pori-pori tulang seperti jamur yang tumbuh di musim hujan. Sangat cepat merebak dan sangat menjijikkan! Membuat Nana bergidik. Ingin rasanya dia mengibaskan serbuk yang menempel di sekujur tulangnya, tapi Guru Utamanya sudah mewanti-wanti kalau Nana hanya boleh diam mengamatinya sambil terus merasakan tulang dengan kepasrahan total.

Dengan menahan berbagai perasaan yang berkecamuk di dadanya, Nana terus mengamati tulang dan berdzikir. Semakin dia pasrah, semakin banyak serbuk hitam itu keluar dari setiap inci di sekujur tulang tubuhnya, tak terkecuali tulang tengkoraknya!

Tiba-tiba serbuk itu mulai berterbangan meninggalkan tubuhnya secara perlahan. Serbuk itu menyatu dengan sosok hitam besar setinggi lebih dari 3 meter yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Matanya merah menyala!

“Inikah sosok si judes?!” batinnya ngeri. Hampir saja dia lengah untuk membuka mata karena saking kagetnya. Diatur kembali nafasnya supaya lebih tenang untuk melanjutkan merasakan tulang.

Nana melihat si judes bagaikan domentor dengan mata merahnya. Mahluk itu kemudian membumbung semakin tinggi dan terbang ke seberang hutan tempat tumbuhnya pepohonan raksasa.

“Terima kasih, sudah mau pergi,” ucapnya kepada si judes, tanpa suara.

Hatinya terasa saaaaaaangat lega dan ringan! Nana langsung mengucapkan syukur kepada Tuhan dan Pak Marta. Tanpa terasa air matanya meleleh dalam keharuan dan kelegaan yang luar biasa.

Nana peserta terakhir yang meninggalkan ruangan meditasi. Setelah semuanya pergi, sedikit bergegas Nana kembali ke kamarnya, mandi dan keramas. Air yang hangat menyiram kepalanya dan membuatnya semakin rileks. Berusaha hanya menikmati guyuran air hangat di tengah udara yang semakin dingin tanpa mau memikirkan apapun, termasuk proses perginya si judes tadi. Dia ingin merasa tetap segar dan nyaman ketika merampungkan dua meditasi berikutnya.

“Mba Nana, tetap merasakan tulang dengan kepasrahan total ya. Tinggal dikit lagi,” seorang Asisten berbisik pelan ketika Nana akan memasuki pendopo tempat meditasi. Nana mengangguk takzim.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk masuk ke dalam situasi meditatif. Nana kembali merasakan tulangnya inci demi inci. Sekarang yang dilihatnya adalah belalang coklat berukuran sangat kecil bermunculan dari dalam tulang di sekujur tubuhnya. Puluhan ribu mungkin ratusan. Pokoknya buanyaaaaak banget! Tubuhnya kembali bergidik, tapi tetap harus menahan diri untuk tetap diam mengamati selama 90 menit ke depan! Astaghfirullah!

Ribuan belalang itu terbang ke arah yang sama dengan si judes, menuju pepohonan raksasa di seberang hutan. Belum sempat merasa lega, keluar ngengat berwarna hitam pekat dari tulangnya, kemudian masuk ke dalam bumi. Menimbulkan suara sangat berisik. Nana menghela napas panjang untuk tetap tenang melawan rasa jijik, mual dan “geli” hingga ngengat terakhir masuk ke dalam bumi. Pertempuran terakhir yang melelahkan. Tentu saja, semua pertempuran itu hanya bisa dilihat oleh mata batinnya, Guru meditasinya dan para Asisten. Dari luar, orang hanya akan melihat Nana duduk diam bersila sedang bermeditasi.

Perasaan lega mengaliri jiwanya ketika sesi meditasi selesai. Plong! Seolah beban berat yang selama ini dipanggulnya, terangkat tuntas. Tanpa sadar, Nana langsung merebahkan dirinya. Angin menyapu wajahnya. Nana menikmati desiran angin yang cukup kencang, dan suara tetesan hujan jatuh di genteng atap Pendopo. Semakin lama hujan semakin deras disertai angin kencang  menghantam dari berbagai arah. Seorang Asisten terpaksa menutup semua jendela Pendopo. 

Duuuuaaaarrrr!!!!! Tiba-tiba petir menyambar denga suara sangat keras. Menggelegar! Seperti suara sebuah bom dijatuhkan tepat di atas Forest Island. Ruangan langsung senyap! Tak seorangpun bergerak.

Nana kembali duduk pelan-pelan. Waspada. Apakah petir itu kebetulan saja ataukah ada hubungannya dengan terbebasnya Nana dari mantra santet dan si judes. Nana tidak mau memikirkannya. Di deretan depan, tampak Pak Marta tetap dalam posisi meditasi, sama sekali tidak bergeming.

“Mari kita mulai bermeditasi dengan lebih khusyuk dan waspada. Silahkan berdoa terlebih dahulu sesuai keyakinan masing-masing.” Pesan salah satu Asisten. Deru angin yang mengguncang pucuk-pucuk pepohonan di hutan. Gelegar halilintar menyambar bergantian. Hujan turun semakin deras bagai air bah yang diturunkan dari langit. Sesi terakhir meditasi untuk malam itu kembali di mulai.

TAMAT

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status