Aku kembali melepaskan pelukan Ibu. Kemudian menatapnya. "Bukan itu, Bu. Sarah merasa sakit karena dia mengatakan kalau Sarah bukanlah anak Ayah.".Aku masuk setelah melihat Ibu menjauh dibawa seseorang dengan berjaket dan helm hijau. Kuselipkan selembar sisa-sisa uang yang kupunya untuk membayar jasanya. Aku kembali berjalan sembari mengunci pagar dengan gembok. Langkah demi langkah kupijakkan sampai akhirnya kulihat Paman duduk di lantai teras dengan kedua tangan bertumpu di kedua lututnya. Aku terkejut bukan main. Entah sudah berapa lama dia di sini menungguku. Sadarkah dia jika tadi aku keluar secara diam-diam? Lalu bagaimana dengan Ayah? "Paman sedang apa?" tanyaku ragu-ragu. "kenapa kau masih saja menemuinya?" suaranya terdengar datar. Eh? Paman melihat Ibuku datang? "Aku..., itu... ""Kau bilang sudah melupakannya," nada bicaranya sedikit meninggi. "Benar. Tapi aku tidak bisa, Paman. Hubungan kami tidak mungkin bisa terputus begitu saja.""Tapi kau sudah berjanji.""It
Aku dan Paman sampai di ruko sebelum pukul delapan. Seperti biasa, karena aku sampai sebelum jam operasional kafe dimulai, aku hanya bisa menunggu di depan ruko, tanpa berniat membangunkan penghuni-penghuni yang tinggal di lantai atas hanya untuk membukakan pintu untukku. Paman sudah masuk ke kantornya. Aku duduk di pinggiran teras sembari mengubah setelan paket data menjadi wifi di ponselku. Kumainkan layar dengan berselancar di dunia maya. Tanpa menduga orang itu sudah berdiri dan menarik tanganku hingga terbangkit dan berdiri. Aku mengikutinya berjalan menjauh dari kafe. Sengaja aku tak menampik pegangan tangannya karena tahu dia pasti tidak akan melepaskanku begitu saja. Kami sampai di ruko ujung, yang agak jauh dari kafe dan juga kantor Paman. Dia menghentikan langkah dan mulailah aku melepaskan tangan besar itu. Dia pun tak lagi menahannya. "Kau lagi," ucapku datar. "Mau apa?""Kau sudah tahu aku pasti tidak akan menyerah, bukan?" sahutnya penuh harapan. "Jangan datang lagi
"Tentu saja, sayang. Pria manapun pasti akan tertarik padamu. Dan aku tidak suka itu." Dia mengembalikan tangannya seperti semula. Mengerti bahwa aku menolak sentuhannya. "Apa hatimu sakit?""Benar-benar sakit."Hatiku tertawa bahagia. Orang ini masih merasakan cemburu dan juga rasa sakit. Artinya aku benar-benar masih berada dalam hatinya. Kini tanganku yang mulai mengudara. Kusentuh sedikit rambut depannya yang hampir menutupi mata, andai tak di sisir rapi ke arah samping. Namun sesering apapun rambut lurus itu disisir kebelakang, tetap saja kembali dan menjuntai kembali ke tempatnya semula. Kusingkap sedikit rambut berwarna hitam pekat itu, demi melihat luka yang tadinya ditutupi perban. Kini sudah mulai membaik dan hanya ditempel plaster berwarna coklat saja. Apakah lukanya sudah mengering? Kuusap perlahan bekas pukulan yang kubuat kemarin. Membelai lembut hingga menyentuh plasternya dengan ibu jariku. Dia memejamkan mata perlahan, mencoba menikmati belaian yang mungkin selama
Hari ini sesuai janji, aku dan Paman mengajak Ayah untuk pergi berlibur. Kolam air panas di kaki gunung Sibayak menjadi pilihan kami. Ayah bilang ingin mengendurkan urat-urat syarafnya yang tegang. Mungkin ada enaknya setelah kedatangan terakhir kami ketika Nenek dan yang lainnya datang kemarin. Teringat saat Ayah menikmati pijatan Om Juar tempo hari. Saat itu, Om Juar berendam di dalam kolam, sementara Ayah duduk di tepian degan kedua kaki terjulur di dalam air. Ayah terlihat merasakan kelegaan, mungkin sakitnya sedikit berkurang karena pijatan itu..Paman bersemangat menyetir mobil yang diidam-idamkannya selama ini. Wajah Ayah yang duduk di sampingnya juga terlihat sumringah. Terlebih lagi gadis yang tidak mau kalah yang kini duduk di samping kiriku. Pipi cabinya terlihat merona memandangi wajah Paman dari kursi belakang tempat kami duduk. Belum lagi gadis yang memakai headset yang kini duduk di samping kananku. Ditambah lagi tiga orang sekawanannya yang tiada henti bercerita dan
Jatuh sudah air mata kebahagiaanku melihat sesekali Ayah mengusap pucuk kepala Paman. Hubungan mereka memang lebih pantas sebagai Ayah dan anak. Hanya karena tuturan silsilah, kini mereka terjebak dalam hubungan Abang beradik. Aku terus memandangi kegiatan mereka sambil merendam kakiku di sumber mata air gunung Sibayak di tanah Karo ini. Dinginnya udara terbayar dengan kakiku yang kini mulai menghangat. "Hei, kenapa tidak bergabung di sana?" suara Hana mengagetkanku sembari menyentuh pundakku. "Tidak ada. Aku hanya tak ingin mengganggu aktivitas mereka," sahutku tanpa mengalihkan pandangan. "Paman kau itu begitu penyayang," pujinya sambil ikut menurunkan kaki di hangatnya air belerang. "Kau menyukainya?""Kau tahu aku menyukai semua pria tampan.""Kalau begitu, kenapa tak kau perdulikan penampilanmu itu?""Tidak cukupkah kalau aku kaya saja?"Aku tertawa kecil. Hana benar-benar sedang menguji kesabaranku. "Ya, itu cukup," sindirku. "Cukup untuk morotin semua milikmu, setelah itu
Standar motor telah diturunkan. Helm berwarna merah senada dengan warna kendaraan, juga dia lepaskan. Diulurkan tangan ke arah Ayah, langsung meraih dan menciumnya sebelum Ayah menyambutnya. Dia seperti sudah terlihat akrab dan merasa diterima. Kupandangi wajah Paman yang sama sekali tak menyukai keadaan itu. Sorot matanya tajam kepada lelaki yang mungkin akan merusak suasananya malam ini. Pintu pagar telah tergeser dibuatnya. Paman diam saja, lalu masuk meninggalkan kami. Entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal di hatiku atas kediamannya. "Masuklah!" pinta Ayah kepadanya. "Sudah malam, Yah. Ayah tidak lihat wajah Paman tadi?" sahutku cepat sebelum Andar merasa kedatangannya kami sambut. "Tidak enak dilihat orang, bicaralah di dalam. Jangan berbicara di pinggir jalan seperti ini.""Tidak akan lama, Yah. Dia akan segera pulang. Benarkan, Andar?" yakinku. Andar menatapku, kemudian mengangguk ke arah Ayah. ."Apa kau tidak lelah?" ucapku saat Ayah sudah menyusul Paman ke dalam rum
"Dia Pamanku. Sama halnya seperti Ayahku. Jangan usik lagi masalah status hubungan kami, atau aku tak akan bicara lagi padamu," ancamku. "Ya. Aku akan mencobanya. Tapi kau tak akan menghindariku lagi, bukan?""Itu cukup bagimu?" "Ya. Aku akan terus datang. Kau tahu aku tak akan menyerah secepat itu.".Aku bersiap untuk berangkat kerja. Ini adalah minggu terakhir liburan semester. Minggu depan adalah tahun ajaran baru dan aku akan naik ke tingkat berikutnya. Otomatis jadwal kerjaku akan kembali normal seperti biasanya. Jam kerjaku akan dimulai sepulang kuliah, dan akan pulang pada malam hari. Sepeda motorku yang mirip dengan kepunyaan Paman, akan beraksi kembali menemaniku melintasi jalan. Namun waktuku akan kembali tersita dan hanya punya sedikt waktu untuk Ayah. Aku keluar dari kamar setelah mengenakan pakaian keseharianku. Kemeja lengan panjang dan juga celana bahan berwarna hitam. Kulihat Ayah duduk di meja makan seorang diri. Menghadapi masakan yang kusiapkan tadi, sebelum ma
"Kau menungguku?" pria dengan kaos putih, berbalut kemeja kotak-kotak lengan panjang yang tidak dikancing itu bicara asal. Aku memutar bola mata malas, dan tak menjawabnya. "Kau sudah berjanji untuk tak mengacuhkanku!" tuntutnya. Dengan terpaksa aku mengalah dan mengikutinya masuk. Aku juga merasa lelah menegangkan urat leher yang baru saja kuterapi di sumber mata air panas kemarin. "Kau sudah pulang kerja?" aku memberikan daftar menu saat dia duduk dan meletakkan ransel itu di atas meja. "Kau lupa, kalau aku tak punya kantor dan jam kerja? Aku bisa mengerjakan tugasku dimana saja," dia mulai menyulut rokok. Andar memanglah bukan pegawai seperti kami. Dia hanya meneriman pekerjaan dari satu pesanan ke pesanan yang lain. Dengan koneksi dan juga hasil kerja yang memuaskan, tentulah pekerjaan itu dengan mudah dia dapatkan. Belum lagi, waktu dan tempat yang sama sekali tidak mengikat, membuat dia betah dengan profesinya sebagai designer ruangan itu. Tak lama pesanannya datang, aku