Paman melajukan mobil dengan sangat handal. Sesekali melirikku dari balik kaca spion sambil tersenyum. Aku membalas senyum manis itu, seolah-olah kami saling berbicara tanpa suara. Entah bagaimana dengan Tante Retno dan juga Ayah, apakah mereka juga melakukan hal yang sama atau tidak. Bukankah yang namanya jatuh cinta itu tidak pernah memandang dari segi usia? Semua orang bisa saja berbuat konyol dan hal-hal tidak masuk akal lainnya. Seperti kami ini misalnya. Nekat pulang kampung layaknya satu keluarga, padahal belum ada ikatan apa-apa. Perjalanan yang melelahkan membuat kami sesekali berhenti. Banyak tempat pemberhentian di tepi-tepi jalan, dengan pondok es kelapa muda sebagai pemikatnya. Kami lebih memilih makan siang di tempat seperti itu, ketimbang berhenti di rumah makan atau restoran. Hal ini juga demi menghormati pengorbanan Tante Retno yang sudah memasak dari jam empat subuh tadi. Demi apa akupun tak tahu, sampai melakukan hal semacam ini. "Demi rasa kekeluargaan, kita h
Selesai mandi dan makan malam, kami semua berkumpul di ruang tengah yang sangat luas. Sengaja di buat seperti itu karena kebanyakan sanak famili yang datang lebih suka duduk bersila, ketimbang di kursi. Suasana kekeluargaan akan lebih terjalin dengan akrab. Alena dan Raya duduk di sebelahku, merasa senang karena membawakan mereka oleh-oleh berupa tas slingbag dan masing-masing sepatu sneakers yang kami beli bersama Tante Retno. Kedua remaja yang kini duduk di bangku kelas dua SMP itu begitu sumringah, terlebih lagi Raya. Helm kuda poni yang kemarin sempat ku ambil kembali, kini khusus kubawakan untuknya. Tak ada lagi gunanya bagiku untuk menyimpan masa lalu. Kedua Undeku datang bersama keluarga dengan membawa makanan yang sangat banyak. Dibawakan juga buah manggis dari ladang. Sungguh kami benar-benar merasa disambut oleh keluarga ini. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari kaki Ayah, pekerjaan Ayah, dan juga menyangkut pautkan wanita yang kini duduk di seberang Ayah. Aku juga b
"Nenek bilang apa, Paman?" aku menemani Paman memancing di sungai yang agak jauh dari rumah. Bukan perkara tidak ada lauk, tapi ini kebiasaannya saat pulang kampung yang sulit untuk dihilangkan. Mungkin juga untuk menghindari pertemuan dengan Nenek seperti yang Unde katakan tadi. "Tidak tahu. Biarkan saja. Tidak usah dipikirkan," gerutunya. Wajahnya terlihat tidak sedang baik-baik saja. "Paman bertengkar?""Tidak.""Jangan bohong, aku melihat Paman menghindar saat Nenek lewat tadi.""Kau bicara apa?" dia menggoyang-goyangkan pancingannya. "Jangan lagi seperti itu. Paman bilang, sudah dewasa. Tidak baik mendiamkan Nenek terus-terusan. Kalau tahu begini, aku tidak akan bilang pada Paman yang sebenarnya," aku mengancam. "Kau marah?""Iya. Katanya mau bicara. Kalau hanya diam-diam begini, kapan selesainya?" "Wah, kau ini agresif sekali. Sudah tidak sabar, ya?" dia tersenyum nakal."Benar, aku ingin bebas melakukan apapun terhadap Paman. Kenapa? Apa aku terlihat seperti wanita nakal?
Di kamar ini, aku menatap cermin untuk berhias diri. Ditemani Hana yang juga tampil menawan tanpa kacamata. Sebuah gaun brokat berwarna coklat muda menempel sempurna di tubuhku, dengan bawahan rok span batik berwarna senada. Hari ini, hari yang membuatku begitu gugup. Dimana kami akan menapaki kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Semua orang sudah bersiap-siap menunggu di luar. Menyambut hari bahagia di tempat yang sudah ditentukan. Aku melirik wajah Hana, rona bahagia juga terpancar di wajahnya. Hana menyentuh bahuku dengan perasaan yang entah bagaimana. Yang jelas, untuk saat ini aku tak mau mendengar kata-kata mutiara dari mulutnya, yang akan membuat maskaraku luntur karena air mata.Kami melangkah keluar dari kamar. Menuju para sanak saudara yang sudah berbaris rapi dengan corak baju yang serupa. Kupandangi sosok Ayah dengan kemeja putih lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana bahan, serta ikat pinggang. Dipakaikan juga oleh Nenek sebuah jas berwarna hitam, tentu saja
Kami kembali ke rumah Paman setelah acara akad selesai. Meninggalkan Ayah untuk menjalani prosesi kekeluargaan yang sangat sederhana. Entah bagaimana cara Tante Retno meyakinkan orang tuanya, bahwa pilihannya secara logika yang tak masuk di akal. Benarkah ada cinta yang serupa itu? Ah, beruntungnya Ayahku. Buah dari kesabaran dan juga ketulusan hatinya selama ini. Hingga bertemu pula lah dia dengan wanita yang punya hati sehebat itu. .Aku merebahkan diri di atas ranjang, menumpahkan segala rasa yang sulit aku ungkapkan. Bahagia, sedih, kecewa, aku bahkan tak tahu harus menangisi perihal yang mana. Untuk kali kedua, Ibu dan Dara meninggalkan kami. Tidak ada alasan lagi bagiku untuk mencari-cari, karena itu adalah keinginan mereka sendiri. Kelak, Dara sendirilah yang akan mengemis dan mencari-cari Ayah sebagai satu-satunya wali untuk menikahkannya. Menemukan kami, bukanlah hal yang sulit. Teringat saat kami masih di kampung, setelah Nenek memberikan restu untukku dan juga Paman, A
"Aku sudah lelah mengurus Abang. Tidakkah Abang kasihan melihatku dan anak-anak?" Kudengar keluhan Ibu dari ambang pintu. "Maafkan Abang, Risma. Abang memang laki-laki yang tidak berguna." Ayah menjawab dengan lirih. "Kalau Abang sadar, seharusnya Abang tahu diri dan tidak lagi menyusahkan kami."Suara tangis Ibu terdengar bahkan sampai ke halaman depan. Tidakkah dia malu bila didengar tetangga yang jaraknya tidak sampai satu jengkal baik di sebelah kiri dan sebelah kanan? Aku hanya tertunduk pilu mendengar keseharian Ibuku yang hanya bisa mengomel dan memarahi Ayah. "Apa saja yang Abang lakukan seharian di rumah? Kenapa sampai masak nasi saja tidak sempat? Abang pikir kita masih sanggup membayar pembantu di rumah ini, ha?" Ibu kembali meninggikan suara. "Maaf, Risma. Abang pikir tadi sudah dimasak sama Dara.""Halah, alasan saja.""Ya, sudah. Biar Abang masak sekarang."Kulihat Ayah berusaha bangkit dari duduknya. Berjalan melangkah menuju dapur. Tak sampai lima langkah, kudeng
Seminggu sudah Ibu dan Dara pergi. Ayah kembali tak banyak bicara. Namun tak ada lagi rasa tangis dan sesal di hatinya. Mungkin asalkan mereka bahagia, itu sudah cukup baginya. Mengurus Ayah tidaklah sesulit yang Ibu katakan. Meski dengan bantuan tongkat yang dia apit di kedua belah ketiak, dia masih sanggup untuk berjalan. Tak perlu dibantu untuk hanya sekedar ke kamar mandi dan mengganti pakaian. Ayah masih sanggup melakukannya sendiri. Yang Ibu kesalkan hanya karena Ayah tak sanggup lagi bekerja dan menghasilkan uang. Selebihnya, Ayah masih bisa melakukan. Ibu memang sungguh tak tahu diri. Selepas kematian suami pertamanya_Ayah kandungku_kami terus hidup dalam kesusahan. Keluarga Ayah sama sekali tak ada yang ingin menolong, karena pernikahan mereka memang tanpa restu dari keluarga Ayah. Untunglah Ibu bertemu dengan Ayahku yang sekarang. Mereka kemudian menikah dan derajat kami mulai terangkat. Hidup kamipun mulai membaik. Serta kasih sayang Ayah begitu besar terhadap kami. Set
Kereta berhenti di stasiun tujuanku. Kulirik benda berbentuk bulat kecil yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Memang tepat lima jam perjalanan yang sudah kutempuh. Bisa kupastikan karena aku juga melakukan hal yang sama pada tangan kiriku sesaat setelah kereta bergerak, tepat jam dua belas teng. Kubaca lagi alamat yang dikirimkan Ibu. Semenjak dia menjual rumah, nomor ponselnya berubah. Biasanya dia menghubungi lewat ponsel Dara. Seperti dugaanku, sebentar lagi uang hasil penjualan rumah akan segera habis sebelum tahun ajaran baru dimulai. Dan angan-angan Dara untuk kuliah hanya akan tinggal cerita saja. Aku memanggil becak yang berderet-deret di di pintu luar stasiun. Kusebutkan alamat tersebut dan dengan cepat dia mengiyakan. Jalan yang kulewati hanyalah jalan lintas yang di sepanjang jalan kiri dan kanan berbaris pohon-pohon sawit. Terdapat juga rumah-rumah berbentuk serupa. Pastilah itu mess bagi karyawan yang telah disediakan o