"Saya gak akan marahin kamu atau apapun itu ya, Ti. Hanya saja, Pak Ryan biasanya gak sesabar itu ngadepin kita. Sayangnya, pertanyaanmu tadi seolah merasa terganggu. Saya harap kamu memperhatikannya kembali."
Mendengar wejangan sang manager, Titi pun mengangguk. "Iya, Bu. Saya paham." Untungnya, Bu Kikan bukan tipe atasan galak atau banyak bicara. Ia tipe bos yang santai dan asal pekerjaan bawahannya beres. Jadi setelah memastikan Titi memahami point pembicaraan, ia tak punya banyak hal untuk dikomentari dan langsung pergi. Menyisakan Titi yang terdiam karena posisinya belum aman selama ia masih bekerja di sini! ••• Di sisi lain, Ryan melakukan rapat dengan Tristan. Keduanya tampak serius membicarakan masa depan startup garapan keduanya. Hanya saja, begitu selesai dan keluar ruangan, keduanya terkejut dengan kedatangan seseorang. "Lo ngundang Queen ke sini?" tanya Tristan heran. Tunangan Ryan itu hampir tidak pernah ke perusahaan mereka. Belum lagi, status Queen yang merupakan model ternama langsung membuatnya jadi pusat perhatian. "Gak!" balas Ryan cepat. "Lah tuh dia ke sini?" Ryan sontak mengangkat bahu dan pergi mendekati tunangannya itu. "Queen, ngapain kamu di sini?" "Oh Sayang, maaf ke sini gak ngabarin. Tapi aku mau ketemu kamu," ujar Queen dengan suara yang menyenangkan. "It’s okay. Ayo bicara di dalam!" Ryan terlihat mendesah dan mengajak Queen ke ruangan pemimpin perusahaan. Keduanya pun duduk di sofa yang saling berhadapan. “Jadi?” tanya Ryan membuka pembicaraan. "Aku ingin nyampein aja kalo Papi mau kita makan malam bersama nanti malam." Mendengarnya, Ryan sontak menghela napas sembari mengendurkan dasinya. Jujur saja, ia sangat malas dengan acara makan malam seperti ini yang pembahasannya jelas tak menyenangkan. "Lalu? Ada apa lagi?” Queen menggelengkan kepala. “Itu saja.” “Bukankah kamu bisa kabarin lewat chat?” Ryan langsung mengerutkan kening. "Kamu gak bales-bales." "Sorry, aku sibuk rapat tadi. Kalau gitu, nanti aku ke sana. Tolong kirimin lokasinya aja," balas Ryan akhirnya. "Tapi aku mau minta temenin juga, ke Grand Opening bisnis temenku, aku dah janji bawa kamu," ucap Queen, "Maaf, tapi aku gak bisa batalin." Ryan menghela napas. "Jam berapa?" "Setengah jam lagi," ungkap Queen sembari meringis. Ia tahu reaksi apa yang akan dilakukan Ryan selanjutnya. Tuan Perfeksionis yang tidak akan menoleransi dirinya sendiri untuk datang telat di acara mana pun yang mereka datangi. Hal itu langsung membuat Ryan menggeram dan mengajaknya segera pergi ke sana meski enggan untuk pergi. Ya, Ryan tak terlalu suka pesta dan segala macam acara berbau perayaan, tetapi dari kecil ia dipaksa untuk hidup dengan vibe seperti itu. Kemewahan, kekayaan, wibawa dan segala macam yang ada di dalamnya. Ia harus memilikinya. Akhirnya, ia menghabiskan harinya dengan hampa tanpa gairah. Sampai ketika Titi datang, dirinya seolah kembali bernapas dengan baik. Kehadirannya juga bak cahaya, yang mengisi ruang kosong di kegelapan hatinya. Maka dari itu, Ryan tak bisa move on darinya. Keserakahannya ingin memiliki Titi. Belum lagi, penampilan berbeda gadis itu yang kini dengan hijab dan pakaiannya yang tertutup—membuatnya justru semakin menarik di mata Ryan. Berbeda dengan Queen yang suka pakaian yang terbuka–sesuatu yang sebenarnya tidak Ryan suka. Selain karena tak nyaman dipandang, hal itu juga mempengaruhi image-nya karena orang akan mengira Ryan suka perempuan yang berpakaian terbuka. Namun, apa yang bisa ia lakukan? Seluruh hidupnya, sudah ditentukan, termasuk pasangan hidup. Hanya saja, Ryan bimbang. Apakah ia harus melepas Titi untuk kedua kalinya? Setelah penantian panjang ini? Belum lagi, ada bocah kecil yang dirawat Titi dengan penuh kasih sayang dan sepertinya adalah miliknya….Toko tiga lantai itu kini bukan lagi sekadar tempat usaha. Ia tumbuh menjadi hal yang menarik, jadi pilihan. Bukan simbol kekayaan, melainkan simbol pilihan hidup yang jujur. Di sudut pasar kota yang dulu tak banyak dilirik karena suram dan peralihan pasar ke toko online, kini toko itu jadi destinasi. Orang datang bukan hanya untuk membeli, tapi untuk merasakan desain tata letak mini market dengan suasana yang hangat, rapi, dan familiar dengan budaya Indonesia. Ciri khas Titi yang dituangkan ke dalam setiap sudut ruang. Titi kini dikenal sebagai arsitek dan konsultan ruang komersial dengan pendekatan emosional. Padahal background pendidikannya IT. Meski begitu, ia terus belajar hal baru sehingga ia bisa menguasai bidang itu dan sedang mengambil kuliah S1 bidang Arsitekur. Ia tidak pernah membanggakan siapa suaminya. Justru karena itu, ia dihargai lebih. Sementara Ryan, setelah tiga tahun menyelamatkan perusahaan keluarga dari jurang kehancuran, ia memutuskan untuk benar-benar
Beberapa bulan berlalu sejak percakapan itu. Titi dan Ryan kembali ke Jakarta, ke rumah kecil yang kini mereka sebut rumah sungguhan—bukan tempat sementara, bukan pelarian. Di dalamnya, rencana toko tiga lantai yang dulu hanya obrolan sarapan mulai tumbuh jadi bangunan nyata. Titi sibuk dengan desain interior dan konsep ruang, sementara Ryan fokus pada izin usaha, pemasok, dan jaringan distribusi. Di luar itu, X-Tec—perusahaan teknologi yang Ryan bangun dari nol bersama Tristan—berkembang pesat. Walau Ryan tidak lagi muncul di depan publik, ia tetap pemegang kendali utama di balik layar. Tristan menjadi wajah X-Tec, menjalankan semua hal teknis dan administratif, sementara Ryan fokus mengembangkan arah dan strategi pasar. Namun, di tengah ketenangan itu, masalah datang bukan dari bisnis pribadi Ryan, tapi dari perusahaan keluarga yang dulu ditinggalkannya. Malam itu, Tristan datang ke rumah tanpa kabar. Wajahnya terlihat serius, bahkan cemas. Setelah basa-basi sebentar dengan Tit
Pagi harinya, Titi masih penasaran apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh Ryan. Akan tetapi, bukannya menjawab, Ryan justru terus menghindarinya. Mereka pun sarapan di restoran hotel. Suasananya masih lengang. Udara dingin pegunungan yang terselip lewat celah jendela besar terasa segar, menyatu dengan aroma roti panggang dan kopi. Titi duduk di meja pojok, mengenakan hijab motif bunga kecil dengan blus santai dan rok Plisket. Di hadapannya, sisa sarapan mereka tinggal setengah potong buah dan dua cangkir kopi yang sudah hangat. Ryan belum bicara sejak tadi. Pria itu hanya duduk, memainkan sendok kecil di atas meja, sesekali melirik ke taman luar yang dihiasi kabut tipis. Tapi Titi tahu, pikirannya ada di tempat lain. “Yan,” panggil Titi pelan. Ryan menoleh. Matanya seperti menyimpan sesuatu yang sudah terlalu lama mengendap. “Kamu masih inget mau cerita soal apa?” Ryan mengangguk. Pelan, seperti menguatkan diri. “Aku nggak bener-bener jatuh miskin, Ti.” Titi diam. Reak
Malam itu, kamar mereka terasa terlalu sunyi untuk dua orang yang baru saja mengikat janji. Lampu tidur di sudut ruangan menyala temaram, memantulkan cahaya lembut ke dinding putih bersih dan langit-langit tinggi khas Hotel bintang 5. Lantai hangat, kasur empuk, seprai bersih beraroma lavender, semua serba sempurna—hanya saja, udara di antara mereka masih mengandung kegugupan. Titi duduk di tepi ranjang dengan rambut basah tergerai. Ia memberanikan diri untuk membuka hijabnya tadi. Setelah mengganti baju dengan piyama katun tipis berwarna salem, hasil pinjaman dari penginapan. Ryan berdiri di balkon, menatap langit yang gelap total tanpa bintang. “Dingin banget,” gumamnya sambil merapatkan jaket ke tubuh. Titi hanya menjawab dengan anggukan kecil, meski Ryan tidak bisa melihat dari belakang. Begitu ia kembali masuk ke kamar, Titi sudah naik ke atas kasur, menarik selimut sampai dada dan memeluk bantal seperti anak kecil. Di titik itu, Ryan terkejut dengan Titi yang membuka hijab
Setelah matahari naik tinggi dan sesi sunrise selesai, mereka kembali ke penginapan untuk sarapan dan istirahat. Titi tertidur di sofa kamar hotel tanpa sempat mengganti baju. Raut wajahnya masih terlihat lelah, tapi juga tenang. Setelah dipindahkan ke kasur oleh Ryan. Ia memperhatikan istrinya itu diam-diam dari balik meja kecil, sambil menyeruput kopi hangat. Rasanya seperti mimpi, bisa pergi bareng Titi, senagai suami istri, dalam momen yang tak terlalu formal tapi bermakna. Ia tak berani membangunkan Titi. Tapi saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, dan sopir jeep sudah menunggu di lobi, Ryan mendekat, menyentuh lembut bahu Titi. “Sayang, bangun dulu, yuk. Kita masih ada spot foto yang bagus di kaki Bromo.” Titi membuka matanya perlahan, masih malas-malasan. “Kaki siapa?” Ryan terkekeh sambil mengelus kepalanya. “Kaki Bromo. Bukan kaki orang. Ayo, udah aku siapin outfit kamu juga.” Titi menatapnya curiga. “Kamu nyiapin baju aku?” “Tenang, aku nggak s
Mobil Jeep itu sampai di tempat parkir, sebelum mereka harus jalan ke atas sedikit untuk mencapai spot terkenal itu. Melihat sunrise dan moment luar biasa yang akan mereka abadikan.Lampu-lampu senter dan kilatan kamera para wisatawan lain jadi satu-satunya penerang. Udara pukul tiga dini hari itu terasa menusuk tulang, tapi Ryan malah semangat luar biasa.'Si Anak Gunung ini memang luar biasa', batin Titi.Padahal ia sudah membayangkan betapa lelahnya ke Spot sunrise, meskipun hanya naik sedikit saja sekitar 200 meter.“Turun dulu, pelan-pelan,” ujar Ryan sambil membukakan pintu jeep untuk Titi.Titi menggeliat kecil, masih setengah mengantuk. Tapi detik berikutnya, Ryan malah mengangkatnya untuk turun.Titi terkejut sejenak, ia agak malu juga. Namun ia baru ingat, kalau Ryan memang seperti itu tanpa memandang tempat.Ia menyelipkan tangan ke dalam saku jaket, berjaan pelan di samping Ryan saat suaminya itu meraih bahunya dan menggiringnya menuju jalur pendakian kecil. Kepalanya