Share

6. Bersyukur

Author: Blue Rose
last update Last Updated: 2024-12-05 18:13:07

"Ma! Kenapa Mama masih jualan kue? Padahal Mama udah kerja?"

Titi sedang menghias kue ulang tahun yang dipesan oleh customernya sontak tersenyum mendengar pertanyaan Sifa.

"Buat tambahan, Sayang. Biar Sifa bisa makan enak," ujarnya.

Sifa pun mengangguk meski masih tampak bingung.

Hanya saja, satu hal yang Titi syukuri: Sifa tidak terlalu terpengaruh dengan keberadaan Ryan beberapa hari lalu.

Saat dinasehati bahwa Ryan bukan ayah kandungnya pun, Sifa menurut tanpa banyak drama.

Jujur, Titi tak tega sebenarnya. Namun, ia harus tegas mendidik Sifa agar tidak menjadi anak manja.

"Ma … kalau Papa Ryan bukan Papa aku, terus siapa Papa aku?" tanya Sifa tiba-tiba.

Deg!

Padahal baru saja Titi bersyukur Sifa tidak menanyakan tentang Ryan lagi.

Kenapa tiba-tiba…?

"Papa Sifa pergi jauh, entah kapan pulangnya. Jadi, Sifa gak perlu nunggu. Cukup jadi anak baik, semoga suatu hari kalo Papa Sifa pulang, Sifa bisa menyambutnya dengan baik."

Sifa pun mengerucutkan bibirnya, ia tak suka dengan keadaan itu. "Tapi aku pingin Papa Ryan yang jadi Papa aku, bisa naik mobil bagus dan disayang. Boleh beli apa aja!"

Titi menaikkan alis.

Ia paling tidak suka saat Sifa seperti itu.

Sepertinya, Titi harus memperingatkan Ryan agar tidak memanjakan Sifa saat bertemu.

"Mama udah bilang kan, untuk tidak mengharapkan sesuatu dari orang lain? Bersyukur, Sayang. Kita bisa makan enak setiap bulan dan itu gak semua orang bisa, loh."

Mendengar perkataan sang ibu, Sifa pun kesal dan masuk ke kamar mereka.

Titi pun menghela napas, tapi ia tak bisa membiarkan Sifa tenggelam dalam harapan palsu, kan?

Di kontrakan yang memiliki tiga petak ruangan itu, Titi sudah sangat bersyukur bisa memiliki ruangan untuk tidur, masak, kamar mandi, ruang tamu dan area untuk menjemur pakaian.

Dulu saat ia kuliah, ia memilih kost yang hanya satu petak.

Bagaimana lagi, kesibukan kuliahnya membuatnya tak bisa ambil banyak kerjaan dan ia harus menghemat.

Dulu, Ryan sempat ingin menyewakan apartemen untuk Titu yang jelas langsung menolak.

Dia tidak mau bergantung pada pacarnya.

“Hah…” Titi menghela napas.

Lagi-lagi soal Ryan. Mengapa mereka harus bertemu lagi?

Padahal mereka bisa hidup di jalannya sendiri-sendiri dengan bahagia.

Sementara itu, pria yang baru saja dipikirkan oleh Titi justru tampak mabuk.

Ya, setelah resepsi pernikahan salah satu temannya, Ryan malah minum banyak.

Kepalanya terus saja dipenuhi oleh Titi!

"Lu kenapa dah?" tanya Xavier melihat Ryan yang mulai teler.

"Anjir, iya lo kenapa?" tanya Tristan yang juga baru menyadari keadaan sahabatnya itu.

"Gak biasanya lo kobam. Lagi marahan ama Queen?" tanya Reynando pemilik acara.

"Kagak deh, tadi gue liat mereka masih fine aja," sahut Steven.

"Terus kenapa?" tanya Xavier.

"Apa jangan-jangan gegara ketemu Titi?" tanya Tristan.

….

Sontak semua yang di sana langsung menoleh ke arahnya.

"Titi siapa?" tanya Hans.

Kebetulan, pria itu satu-atunya circle mereka yang tidak berasal dari kampus yang sama, tapi berbisnis bersama.

"Mantan," balas Rey.

"Ketemu dimana emang?" tanya Xavier.

"Di kantor, si Titi kerja di X-Tec."

"Sumpah, serius?" tanya Steven.

"Gawat nih."

Sayangnya pembicaraan mereka hanya menguap begitu saj, karena yang jadi objeknya malah teler.

Kebiasaan mabuk Ryan memang tidak berulah, lebih kalem.

Hanya saja, ia bisa sangat terbuka saat mabuk.

Makanya kadang moment itu dimanfaatkan oleh teman-temannya agar ia jujur.

"Bener, Yan?" tanya Hans.

"Apa?" tanya Ryan balik.

"Titi, lo galauin dia?" sahut Xavier.

"Hem, gue pengen sama dia... bukan Queen," gumamnya tak sadar.

"Wah gawat nih Tan, pecat aja Titi," balas Steven.

"Yang ada, gue yang dipecat nanti!"

"Tapi, dia gagal move on ternyata, ya…" ujar Xavier pasrah.

"Kalau Titi masih di kantornya, bakal ada kemungkinan nih bocah ngejar Titi lagi," ujar Rey.

"Ya, kan? Mana Ryan sama Queen udah mau nikah lagi," balas Steven.

"Kapan?" tanya Xavier.

Sebenarnya pertanyaan itu mewakili semuanya, sebab mereka tidak ada yang tahu karena rahasia keluarga.

Steven sendiri merupakan sepupu Ryan, sehingga ia lebih tau tentang masalah internal keluarga besar.

"Gue sih gak tau, tapi Bokap Ryan udah mendesak... sekitar 2 bulan lagi. Tapi gak tau sih, udah lama tunangan lagian tapi gak nikah-nikah. Maksudnya Bokap dia udah sakit-sakitan juga," ujar Steven prihatin.

"Iya sih, lebih memberatkan ke Bokapnya. Tapi emang Queen udah siap?" tanya Rey.

"Udah, dia malah yang mbujung Ryan buat cepet nikah. Belum lagi, nih bocah kayanya gak tertarik sama Queen meski katanya pernah diajak nge-room," ujar Steven yang juga mulai mabuk.

Ryan tampak mengangguk.

Kebiasaan kedua sepupu ini yang oversharing saat mabuk sungguh berbahaya!

Maka dari itu, Ryan dan Steven selalu berusaha untuk mabuk tak di sembarang tempat.

"What?!" Kali ini semuanya bersuara.

"Queen yang seksi begitu dianggurin?" tanya Xavier merasa sayang.

"Gue juga gak tau, apa nih bocah udah impoten kali...." gumam Steven sebelum meneguk minumnya lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DIA BUKAN ANAKMU, BOSS!   Epilog - Tiga Tahun Kemudian

    Toko tiga lantai itu kini bukan lagi sekadar tempat usaha. Ia tumbuh menjadi hal yang menarik, jadi pilihan. Bukan simbol kekayaan, melainkan simbol pilihan hidup yang jujur. Di sudut pasar kota yang dulu tak banyak dilirik karena suram dan peralihan pasar ke toko online, kini toko itu jadi destinasi. Orang datang bukan hanya untuk membeli, tapi untuk merasakan desain tata letak mini market dengan suasana yang hangat, rapi, dan familiar dengan budaya Indonesia. Ciri khas Titi yang dituangkan ke dalam setiap sudut ruang. Titi kini dikenal sebagai arsitek dan konsultan ruang komersial dengan pendekatan emosional. Padahal background pendidikannya IT. Meski begitu, ia terus belajar hal baru sehingga ia bisa menguasai bidang itu dan sedang mengambil kuliah S1 bidang Arsitekur. Ia tidak pernah membanggakan siapa suaminya. Justru karena itu, ia dihargai lebih. Sementara Ryan, setelah tiga tahun menyelamatkan perusahaan keluarga dari jurang kehancuran, ia memutuskan untuk benar-benar

  • DIA BUKAN ANAKMU, BOSS!   83. END

    Beberapa bulan berlalu sejak percakapan itu. Titi dan Ryan kembali ke Jakarta, ke rumah kecil yang kini mereka sebut rumah sungguhan—bukan tempat sementara, bukan pelarian. Di dalamnya, rencana toko tiga lantai yang dulu hanya obrolan sarapan mulai tumbuh jadi bangunan nyata. Titi sibuk dengan desain interior dan konsep ruang, sementara Ryan fokus pada izin usaha, pemasok, dan jaringan distribusi. Di luar itu, X-Tec—perusahaan teknologi yang Ryan bangun dari nol bersama Tristan—berkembang pesat. Walau Ryan tidak lagi muncul di depan publik, ia tetap pemegang kendali utama di balik layar. Tristan menjadi wajah X-Tec, menjalankan semua hal teknis dan administratif, sementara Ryan fokus mengembangkan arah dan strategi pasar. Namun, di tengah ketenangan itu, masalah datang bukan dari bisnis pribadi Ryan, tapi dari perusahaan keluarga yang dulu ditinggalkannya. Malam itu, Tristan datang ke rumah tanpa kabar. Wajahnya terlihat serius, bahkan cemas. Setelah basa-basi sebentar dengan Tit

  • DIA BUKAN ANAKMU, BOSS!   82. Rahasia

    Pagi harinya, Titi masih penasaran apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh Ryan. Akan tetapi, bukannya menjawab, Ryan justru terus menghindarinya. Mereka pun sarapan di restoran hotel. Suasananya masih lengang. Udara dingin pegunungan yang terselip lewat celah jendela besar terasa segar, menyatu dengan aroma roti panggang dan kopi. Titi duduk di meja pojok, mengenakan hijab motif bunga kecil dengan blus santai dan rok Plisket. Di hadapannya, sisa sarapan mereka tinggal setengah potong buah dan dua cangkir kopi yang sudah hangat. Ryan belum bicara sejak tadi. Pria itu hanya duduk, memainkan sendok kecil di atas meja, sesekali melirik ke taman luar yang dihiasi kabut tipis. Tapi Titi tahu, pikirannya ada di tempat lain. “Yan,” panggil Titi pelan. Ryan menoleh. Matanya seperti menyimpan sesuatu yang sudah terlalu lama mengendap. “Kamu masih inget mau cerita soal apa?” Ryan mengangguk. Pelan, seperti menguatkan diri. “Aku nggak bener-bener jatuh miskin, Ti.” Titi diam. Reak

  • DIA BUKAN ANAKMU, BOSS!   81. Malam Pertama?

    Malam itu, kamar mereka terasa terlalu sunyi untuk dua orang yang baru saja mengikat janji. Lampu tidur di sudut ruangan menyala temaram, memantulkan cahaya lembut ke dinding putih bersih dan langit-langit tinggi khas Hotel bintang 5. Lantai hangat, kasur empuk, seprai bersih beraroma lavender, semua serba sempurna—hanya saja, udara di antara mereka masih mengandung kegugupan. Titi duduk di tepi ranjang dengan rambut basah tergerai. Ia memberanikan diri untuk membuka hijabnya tadi. Setelah mengganti baju dengan piyama katun tipis berwarna salem, hasil pinjaman dari penginapan. Ryan berdiri di balkon, menatap langit yang gelap total tanpa bintang. “Dingin banget,” gumamnya sambil merapatkan jaket ke tubuh. Titi hanya menjawab dengan anggukan kecil, meski Ryan tidak bisa melihat dari belakang. Begitu ia kembali masuk ke kamar, Titi sudah naik ke atas kasur, menarik selimut sampai dada dan memeluk bantal seperti anak kecil. Di titik itu, Ryan terkejut dengan Titi yang membuka hijab

  • DIA BUKAN ANAKMU, BOSS!   80. Kasih Sayang Ugal-ugalan

    Setelah matahari naik tinggi dan sesi sunrise selesai, mereka kembali ke penginapan untuk sarapan dan istirahat. Titi tertidur di sofa kamar hotel tanpa sempat mengganti baju. Raut wajahnya masih terlihat lelah, tapi juga tenang. Setelah dipindahkan ke kasur oleh Ryan. Ia memperhatikan istrinya itu diam-diam dari balik meja kecil, sambil menyeruput kopi hangat. Rasanya seperti mimpi, bisa pergi bareng Titi, senagai suami istri, dalam momen yang tak terlalu formal tapi bermakna. Ia tak berani membangunkan Titi. Tapi saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, dan sopir jeep sudah menunggu di lobi, Ryan mendekat, menyentuh lembut bahu Titi. “Sayang, bangun dulu, yuk. Kita masih ada spot foto yang bagus di kaki Bromo.” Titi membuka matanya perlahan, masih malas-malasan. “Kaki siapa?” Ryan terkekeh sambil mengelus kepalanya. “Kaki Bromo. Bukan kaki orang. Ayo, udah aku siapin outfit kamu juga.” Titi menatapnya curiga. “Kamu nyiapin baju aku?” “Tenang, aku nggak s

  • DIA BUKAN ANAKMU, BOSS!   79. Foto Estetik

    Mobil Jeep itu sampai di tempat parkir, sebelum mereka harus jalan ke atas sedikit untuk mencapai spot terkenal itu. Melihat sunrise dan moment luar biasa yang akan mereka abadikan.Lampu-lampu senter dan kilatan kamera para wisatawan lain jadi satu-satunya penerang. Udara pukul tiga dini hari itu terasa menusuk tulang, tapi Ryan malah semangat luar biasa.'Si Anak Gunung ini memang luar biasa', batin Titi.Padahal ia sudah membayangkan betapa lelahnya ke Spot sunrise, meskipun hanya naik sedikit saja sekitar 200 meter.“Turun dulu, pelan-pelan,” ujar Ryan sambil membukakan pintu jeep untuk Titi.Titi menggeliat kecil, masih setengah mengantuk. Tapi detik berikutnya, Ryan malah mengangkatnya untuk turun.Titi terkejut sejenak, ia agak malu juga. Namun ia baru ingat, kalau Ryan memang seperti itu tanpa memandang tempat.Ia menyelipkan tangan ke dalam saku jaket, berjaan pelan di samping Ryan saat suaminya itu meraih bahunya dan menggiringnya menuju jalur pendakian kecil. Kepalanya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status