Share

4. Papi Mami

Author: Blue Rose
last update Last Updated: 2024-12-05 17:10:22

"Sifa, kamu kalo manggil Om Ryan dengan sebutan Papa, kamu juga harus menyebut Tante Queen sebagai Mama, dong!" Titi segera menjelaskannya.

Jangan sampai usahanya tadi sia-sia!

Di sisi lain, Sifa tampak bingung.

"Tapi kan Mamanya Sifa, Mama Titi," balas bocah itu tak mengerti.

Queen terlihat canggung, tetapi Titi segera mengoreksi.

"Kalo gitu, Sifa panggil Om Ryan itu Papi dan Tante Queen sebagai Mami. Papi dan Mami," ujar Titi menunjuk Ryan dan Queen bergantian.

Sifa sempat berpikir.

Akan tetapi melihat peringatan dari mata Titi, ia pun mengangguk.

"Hai! Papi dan Mami!"

'Syukurlah, selamat-selamat!' batin Titi lega.

Terlebih, ia sudah melihat wajah Queen yang melunak.

Sayangnya, wanita itu tak menyadari jika Ryan tampak menunjukkan ekspresi berbeda.

Pria itu seolah tak rela jika Sifa bukanlah putrinya dan Titi.

Untungnya, Ryan tadi diam-diam sudah mengambil rambut Sifa yang jatuh untuk dijadikannya sample Tes DNA.

Ya, Ryan harus bisa memastikan secepatnya.

Daripada mengikuti perasaannya, Ryan butuh bukti untuk menentukan keputusan apa yang diambilnya!

•••

"Eh, Pak Bos jadi sering ke sini ya," tegur salah satu teman kerja Titi.

Di kubikel, mereka bergosip tentang Ryan yang jadi sering ke kantor itu.

Yang biasanya sebulan sekali, tapi kali ini dalam seminggu bisa sampai 4 kali!

Padahal sebelumnya, Ryan lebih sering di perusahaan milik keluarganya dibanding startup ini.

"Udah gitu sering lewat ke divisi kita anjir!" ujar yang lain.

"Betul, kira-kira dia ke sini karena emang penting atau ada yang lagi dia incer?"

"Heh jangan sembarangan, dia udah ada tunangan!"

"Iya ya, mana cakep banget lagi."

"Tapi pantes sih, gak mungkin kan dia mau sama orang biasa plus muka kayak Pulu-pulu macam kita gak, sih?"

"Haha, anjir!"

"Iya lagi."

"Ssssttt! Dia dateng!"

Suasana berisik itu sontak berhenti.

Di sisi lain, Titi merasa tegang mendengar kalau Ryan datang ke sana.

Ia berharap kalau itu tidak benar, tetapi saat ia menunduk, langkah kaki itu terdengar jelas.

Suara sepatu mahal dan gaya berjalan yang anggun mewarnai ruangan yang langsung hening saat ada yang bilang kalau Ryan ke ruangan itu.

"Hi, semua!" sapanya pada semua orang.

Semua karyawan di divisi tersebut pun langsung menjawab termasuk Titi yang mengikuti temannya dengan kikuk.

"Hi juga, Pak!"

Ia terlihat menatap satu-persatu orang di ruangan, sampai bertemu pandang dengan Titi yang langsung tersenyum tipis.

"Haha, gimana kabarnya?" tanya Ryan tiba-tiba.

Semua yang ada di ruangan itu pun langsung antusias menjawab, tapi hanya sedikit yang sadar kalau Ryan sedang menatap ke satu titik.

"Baik, Pak. Bapak apa kabar juga?" sapa Olive dengan ceria.

"Baik juga. Melihat kalian keliatan semangat sekali, saya jadi senang. Bagus!" balasnya sambil mengacungkan jempol.

"Iya dong, Pak. Kan ada Bapak!"

"Huuuuuuu!"

Olive langsung mendapat sorakan dari teman-temannya, tetapi Ryan jelas terlihat hanya tersenyum, sebelum akhirnya berpindah ke bilik paling sepi.

Kubikel milik Titi.

Wanita itu bahkan hanya berdiri diam sejak tadi tanpa berniat bergabung.

"Oh Titi, gimana kabarnya?"

Titi langsung mengangkat kepalanya–mencoba tersenyum dengan alami, meski hasilnya tetap kaku.

"Alhamdulillah baik, Pak. Bapak ada apa ke sini?"

Ruangan sontak hening dengan pertanyaan itu, dan Ryan juga terlihat terkejut.

Belum sempat Ryan menjawab, seseorang sudah memanggilnya.

"Mohon maaf, Pak. Rapat akan segera dimulai," ujar orang itu yang diketahui adalah asisten Bos Tristan.

"Oke."

Ia pun pamit pada semua yang ada di divisi itu, dan pergi dengan tenang.

Namun setelah kepergian Ryan, Titi mendapat tatapan tajam dari Bu Kikan–Managernya.

Tak hanya itu, yang lain juga menatapnya curiga….

"Titi, kita perlu bicara."

Deg!

'Mampus! Gue ngapain pake tanya-tanya kek gitu sih tadi?!' batinnya menjerit.

Ia pun mengikuti langkah Bu Kikan, sambil menoleh ke arah teman-temannya yang terlihat menatapnya dengan simpatik.

Bahkan Olive mengepalkan tangan, agar Titi semangat menghadapi entah teguran di bagian mana yang akan Kikan sampaikan padanya!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DIA BUKAN ANAKMU, BOSS!   Epilog - Tiga Tahun Kemudian

    Toko tiga lantai itu kini bukan lagi sekadar tempat usaha. Ia tumbuh menjadi hal yang menarik, jadi pilihan. Bukan simbol kekayaan, melainkan simbol pilihan hidup yang jujur. Di sudut pasar kota yang dulu tak banyak dilirik karena suram dan peralihan pasar ke toko online, kini toko itu jadi destinasi. Orang datang bukan hanya untuk membeli, tapi untuk merasakan desain tata letak mini market dengan suasana yang hangat, rapi, dan familiar dengan budaya Indonesia. Ciri khas Titi yang dituangkan ke dalam setiap sudut ruang. Titi kini dikenal sebagai arsitek dan konsultan ruang komersial dengan pendekatan emosional. Padahal background pendidikannya IT. Meski begitu, ia terus belajar hal baru sehingga ia bisa menguasai bidang itu dan sedang mengambil kuliah S1 bidang Arsitekur. Ia tidak pernah membanggakan siapa suaminya. Justru karena itu, ia dihargai lebih. Sementara Ryan, setelah tiga tahun menyelamatkan perusahaan keluarga dari jurang kehancuran, ia memutuskan untuk benar-benar

  • DIA BUKAN ANAKMU, BOSS!   83. END

    Beberapa bulan berlalu sejak percakapan itu. Titi dan Ryan kembali ke Jakarta, ke rumah kecil yang kini mereka sebut rumah sungguhan—bukan tempat sementara, bukan pelarian. Di dalamnya, rencana toko tiga lantai yang dulu hanya obrolan sarapan mulai tumbuh jadi bangunan nyata. Titi sibuk dengan desain interior dan konsep ruang, sementara Ryan fokus pada izin usaha, pemasok, dan jaringan distribusi. Di luar itu, X-Tec—perusahaan teknologi yang Ryan bangun dari nol bersama Tristan—berkembang pesat. Walau Ryan tidak lagi muncul di depan publik, ia tetap pemegang kendali utama di balik layar. Tristan menjadi wajah X-Tec, menjalankan semua hal teknis dan administratif, sementara Ryan fokus mengembangkan arah dan strategi pasar. Namun, di tengah ketenangan itu, masalah datang bukan dari bisnis pribadi Ryan, tapi dari perusahaan keluarga yang dulu ditinggalkannya. Malam itu, Tristan datang ke rumah tanpa kabar. Wajahnya terlihat serius, bahkan cemas. Setelah basa-basi sebentar dengan Tit

  • DIA BUKAN ANAKMU, BOSS!   82. Rahasia

    Pagi harinya, Titi masih penasaran apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh Ryan. Akan tetapi, bukannya menjawab, Ryan justru terus menghindarinya. Mereka pun sarapan di restoran hotel. Suasananya masih lengang. Udara dingin pegunungan yang terselip lewat celah jendela besar terasa segar, menyatu dengan aroma roti panggang dan kopi. Titi duduk di meja pojok, mengenakan hijab motif bunga kecil dengan blus santai dan rok Plisket. Di hadapannya, sisa sarapan mereka tinggal setengah potong buah dan dua cangkir kopi yang sudah hangat. Ryan belum bicara sejak tadi. Pria itu hanya duduk, memainkan sendok kecil di atas meja, sesekali melirik ke taman luar yang dihiasi kabut tipis. Tapi Titi tahu, pikirannya ada di tempat lain. “Yan,” panggil Titi pelan. Ryan menoleh. Matanya seperti menyimpan sesuatu yang sudah terlalu lama mengendap. “Kamu masih inget mau cerita soal apa?” Ryan mengangguk. Pelan, seperti menguatkan diri. “Aku nggak bener-bener jatuh miskin, Ti.” Titi diam. Reak

  • DIA BUKAN ANAKMU, BOSS!   81. Malam Pertama?

    Malam itu, kamar mereka terasa terlalu sunyi untuk dua orang yang baru saja mengikat janji. Lampu tidur di sudut ruangan menyala temaram, memantulkan cahaya lembut ke dinding putih bersih dan langit-langit tinggi khas Hotel bintang 5. Lantai hangat, kasur empuk, seprai bersih beraroma lavender, semua serba sempurna—hanya saja, udara di antara mereka masih mengandung kegugupan. Titi duduk di tepi ranjang dengan rambut basah tergerai. Ia memberanikan diri untuk membuka hijabnya tadi. Setelah mengganti baju dengan piyama katun tipis berwarna salem, hasil pinjaman dari penginapan. Ryan berdiri di balkon, menatap langit yang gelap total tanpa bintang. “Dingin banget,” gumamnya sambil merapatkan jaket ke tubuh. Titi hanya menjawab dengan anggukan kecil, meski Ryan tidak bisa melihat dari belakang. Begitu ia kembali masuk ke kamar, Titi sudah naik ke atas kasur, menarik selimut sampai dada dan memeluk bantal seperti anak kecil. Di titik itu, Ryan terkejut dengan Titi yang membuka hijab

  • DIA BUKAN ANAKMU, BOSS!   80. Kasih Sayang Ugal-ugalan

    Setelah matahari naik tinggi dan sesi sunrise selesai, mereka kembali ke penginapan untuk sarapan dan istirahat. Titi tertidur di sofa kamar hotel tanpa sempat mengganti baju. Raut wajahnya masih terlihat lelah, tapi juga tenang. Setelah dipindahkan ke kasur oleh Ryan. Ia memperhatikan istrinya itu diam-diam dari balik meja kecil, sambil menyeruput kopi hangat. Rasanya seperti mimpi, bisa pergi bareng Titi, senagai suami istri, dalam momen yang tak terlalu formal tapi bermakna. Ia tak berani membangunkan Titi. Tapi saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, dan sopir jeep sudah menunggu di lobi, Ryan mendekat, menyentuh lembut bahu Titi. “Sayang, bangun dulu, yuk. Kita masih ada spot foto yang bagus di kaki Bromo.” Titi membuka matanya perlahan, masih malas-malasan. “Kaki siapa?” Ryan terkekeh sambil mengelus kepalanya. “Kaki Bromo. Bukan kaki orang. Ayo, udah aku siapin outfit kamu juga.” Titi menatapnya curiga. “Kamu nyiapin baju aku?” “Tenang, aku nggak s

  • DIA BUKAN ANAKMU, BOSS!   79. Foto Estetik

    Mobil Jeep itu sampai di tempat parkir, sebelum mereka harus jalan ke atas sedikit untuk mencapai spot terkenal itu. Melihat sunrise dan moment luar biasa yang akan mereka abadikan.Lampu-lampu senter dan kilatan kamera para wisatawan lain jadi satu-satunya penerang. Udara pukul tiga dini hari itu terasa menusuk tulang, tapi Ryan malah semangat luar biasa.'Si Anak Gunung ini memang luar biasa', batin Titi.Padahal ia sudah membayangkan betapa lelahnya ke Spot sunrise, meskipun hanya naik sedikit saja sekitar 200 meter.“Turun dulu, pelan-pelan,” ujar Ryan sambil membukakan pintu jeep untuk Titi.Titi menggeliat kecil, masih setengah mengantuk. Tapi detik berikutnya, Ryan malah mengangkatnya untuk turun.Titi terkejut sejenak, ia agak malu juga. Namun ia baru ingat, kalau Ryan memang seperti itu tanpa memandang tempat.Ia menyelipkan tangan ke dalam saku jaket, berjaan pelan di samping Ryan saat suaminya itu meraih bahunya dan menggiringnya menuju jalur pendakian kecil. Kepalanya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status