Salsa 17."Kenapa Salsa sejahat itu, Ma?" racau Andre makin tak karuan.Aku menatap pada Mama dan lelaki yang bertekuk lutut itu. Mama masih menangis melihat kami berdua. Kemudian ia mendekat padaku dan menarik tubuhku hingga terbangun. Aku benar-benar lemah karena semua sisa tenagaku sudah kupakai untuk melawan Andre.Entah apa yang terjadi setelah ini, yang pasti aku bersyukur karena Andre tak berhasil menyentuhku. Lelaki itu tak berhasil mencuri mahkota yang selama ini kujaga.Namun, dalam keadaanku yang lemah dan masih sesenggukan itu, Mama memaksa menarik tubuhku. Kemudian ia menggoyangkan tubuhku agar aku menjelaskan semuanya."Apa yang terjadi Salsabila?" Mama memanggil nama panjangku, menandakan ia begitu marah."Andre yang salah, Ma." Balasku masih belum teratur napasku, sebab itu ucapanku masih tersengal-sengal. Aku menarik napas dalam agar udara segar masuk lewat hidungku."Dia mencoba mele ceh kan ku, Ma." Aku menjelaskan pada Mama.Mama masih menyimak dengan seksama ap
Salsa 18."Ada apa ini? Apa yang terjadi?" tanya Ayah dengan nada lemah. Mungkin melihat suasana saat ini ia sudah bisa menebak apa yang terjadi.Penampilanku, juga Andre. Tangisan Mama sudah cukup menjelaskan. Hanya saja belum tahu siapa yang salah dan siapa yang benar.Mama mendekat pada Ayah dan kembali menangis. Padahal matanya sudah terlalu sembab karena sejak tadi menangis."Salsa, Mas. Dia godain Andre dan ingin dilayani saat aku pergi ke pasar. Salsa bahkan pulang lagi karena tau tak ada orang di rumah selain Andre." Mama tersedu di pelukan Ayah.Sementara aku yang mendengar itu semakin tak kuasa menahan air mata.Kami disuruh duduk oleh Ayah di ruang keluarga. Aku, Andre, Mama dan Ayah juga Tiara.Ayah menutup pintu karena para tetangga masih ada yang berdiri di sana, kepo. Aku yakin saat pintu tertutup mereka juga masih ada di sana untuk mendengarkan dan menyoraki apa yang terjadi padaku.Mama menceritakan semuanya sesuai dengan versi yang ia simpulkan. Versi aku yang salah
Salsa 19.Pukul sepuluh pagi aku terbangun dari pingsan. Kepalaku masih terasa sedikit berdenyut. Saat aku membuka mata, aku melihat sudah berada di kamar. Entah siapa yang membawaku ke sini, mungkin Ayah.Pintu kamar dibuka dan terlihat Ayah dan semua orang masih di sana. Malah sekarang ada beberapa orang dari kelurahan yang datang ke rumah.Desas desus itu pasti sudah menyebar ke mana-mana. Fitnah tentang aku yang menggoda suami Tiara, aku yang ingin dilayaninya. Mengingat hal itu membuat kepalaku semakin pusing."Saya dan semua perangkat desa sudah mendengar tentang Salsa. Warga tidak terima ada kejadian seperti itu di kampung kita ini. Jadi, apa keputusan, Bapak?" tanya pak lurah pada Ayah.Bukan pertanyaan, tapi lebih ke kalimat menyudutkan Ayah untuk bertindak sesuai dengan permintaan masyarakat desa. "Saya akan mengusirnya," jawab Ayah dengan lantang. Memenuhi keinginan mereka tanpa memikirkan tentangku. Jika aku pergi, ke mana lagi aku harus tinggal. Siapa yang mau menampun
Salsa 20.Aku pergi.Benar-benar tak ada lagi yang tersisa di hidupku.Tak ada lagi sisa kepercayaan mereka untukku, bahkan Reza yang kuharap bisa percaya dan akan menjadi pendamping hidupku selamanya, juga tak percaya padaku. Ia sama dengan semua orang, menuduhku gadis murahan yang menggoda lelaki dengan tak tahu diri.Sakit sekali mendengar hinaan dari orang yang perlahan kucintai sepenuh hati.Bahkan saat aku keluar rumah, orang-orang kampung masih berada di luar rumahnya. Mereka berkumpul seperti sedang membicarakanku. Terbukti saat aku melangkah melewati pagar rumah mereka, hinaan itu dilontarkan lagi padaku."Pasti nyesel deh si Mirna adopsi dia. Ckck! Hampir aja anak kandungnya jadi korban.""Anak gak bener emang. Udah turunan dari ayah ibu kandungnya.""Memang sih, mana ada anak yang lahir secara baik-baik dibuang begitu saja."Aku tetap melangkah pergi, dalam tetes-tetes air mata karena perih dalam hati.Tas ransel masih di punggung, juga satu tas selempang yang masih di pun
Salsa 21.Aku tiba di rumah kontrakan Desi, yang ternyata jaraknya tak jauh dari tempatku bekerja. Aku juga baru tahu ia tinggal di sini. Aku merasa lega karena besok bisa pergi bekerja cukup dengan jalan kaki saja."Di depan sana tempat kerjaku," kataku pada Desi memberitahu."Oh ya? Padahal aku sering belanja di sana, tapi pas malam pulang kerja ""Ah, pantes saja kita tak pernah bertemu. Aku hanya kerja sampai sore." Desi mengangguk. Kemudian ia meminta aku menyimpan nomor ponselnya agar jika ada sesuatu bisa langsung menghubunginya."Kakak gak apa-apa kalau aku tinggal sendiri?" tanyanya. Mungkin khawatir dengan keadaanku yang terlihat lemas.Aku menggeleng. "Gak apa-apa,""Kakak tiduran aja ya, aku pulang sore. Makanannya udah aku masak di bawah tudung saji. Atau kalau mau nanti aku pesenin makanan aja ke sini,"Aku mengerti kekhawatirannya, tapi ia juga harus kembali bekerja. Ya, namanya juga bekerja di tempat orang, tidak boleh seenaknya."Iya, nanti aku makan yang udah ada s
Salsa 22.Aku tercekat untuk sesaat melihat orang yang kini berada di depanku."Ayah?" kataku seraya menautkan dua alis. Entah apa yang belum selesai antara kami, bukankah kemarin ia mengusirku dari rumah? Bahkan saat aku mengiba ia tak peduli.Lalu, untuk apa lagi menemuiku. Jika hanya untuk menambah luka di hati, aku sudah tak sanggup lagi, karena luka yang ditorehkan oleh orang yang dulunya menyayangi, itu berkali-kali lipat sakitnya."Salsa …." Ayah mendekat. Kulihat raut wajahnya jauh berbeda seperti saat marah waktu itu."Kenapa Ayah di sini?" tanyaku yang juga mendekat padanya. Ayah terlihat seperti ada hal yang ingin ia sampaikan, dan aku ingin mendengarkannya."Duduk dulu, Nak!" kata Ayah seraya menuntunku untuk duduk di sebuah kursi yang ada di depan tempatku bekerja.Ia membuka jaket yang bisa dikenakannya, karena tadi motoran ke sini sepulang kerja.Aku duduk menuruti perintahnya. Lalu gerombolan pertanyaan muncul dari mulut Ayah yang sepertinya mengkhawatirkanku. Aku mas
Salsa 23.Minggu pagi, Ayah sudah tiba di kontrakan Desi tepat saat pukul delapan pagi. Hari ini kami berencana untuk melihat lokasi kontrakan yang sudah disewakan oleh Ayah."Lokasinya strategis, tempatnya ramai. Kemarin Ayah coba-coba tanya teman buat nyari kerjaan kamu. Ayah dapat, Sa."Saat Ayah menuruni motor, ia langsung mengatakan itu seolah tak mau menunda waktu untuk memberiku kejutan.Aku merasa lega bukan main, setidaknya saat sampai di sana aku tak menjadi pengangguran dan akan merepotkan Ayah untuk memberiku uang atau menjenguk karena jarakanya lumayan jauh kata Ayah.Aku berpamitan pada Desi pagi ini. Kami berpelukan sejenak dan kuucapkan terimakasih atas semua kebaikannya."Kalau misal nanti kamu pindah kerja lagi, kabari aku ya, biar sesekali kita bisa bertemu." Aku berkata padanya.Kami menjadi lebih dekat beberapa hari ini, dan aku tak ingin hilang komunikasi dengannya seperti dulu saat kami tak lagi satu SMA."Iya, Kak!" sahutnya. Terlihat raut sedihnya akan keperg
Salsa 24.Hari ini aku langsung masuk kerja untuk hari pertama. Kemarin, seharian Ayah menghabiskan waktu untukku. Tak rela sebenarnya berpisah dengan Ayah, tapi apa boleh buat. Ia memiliki tanggungjawab lain yang harus dipenuhi."Ayah bohong ke Mama. Ayah bilang ketemu teman. Kalau dia tau Ayah ketemu kamu, pasti marah lagi, berantem lagi. Tapi, tidak sepenuhnya bohong, karena memang benar Budi itu teman Ayah." Jawaban Ayah saat kutanyai keadaan di rumah. Saat kutanyai Mama tahu atau tidak ia menemuiku. Mama masih membenciku, sebab itu Ayah harus berbohong. Apalagi jika sampai Tiara tahu tempat tinggalku, atau lebih parahnya jika ia tahu Ayah membayarkan biaya sewa kontrakan untuk tempat tinggalku. Bisa habis aku dimaki sama Tiara.Setelah membereskan rumah, kami diantar oleh Pak Budi menuju ke tempat kerjaku. Tak henti aku bersyukur karena bertemu orang-orang baik. Ayah bertanya ke pak Budi tentang pekerjaan, Pak Budi tanya ke teman lainnya. Informasi dari teman ke teman yang akh