Melinda bersama ibunya Dani kini tengah berada di mobil. Mereka menyusul Dani. Seolah telah mengetahui rencana mereka, mobil Dani justru melaju hampir meninggalkan mereka."Mama!" seru Melinda. "Anak itu sepertinya sudah tahu maksud kita, Melinda," kata Ibunya Dani."Gimana, dong, Ma? Apa kita nyerah aja?""Nggak perlu. Kita harus tetap menyusul." Ibunya Dani segera menambah kecepatan mobil. Dani sebenarnya tidak menyadari keberadaan mereka, ia hanya tengah terburu-buru karena ingin segera pergi ke WC umum yang ada di sekitar pom bensin. Setelah tiba di pom bensin ia segera berlari ke WC. Mobil berhenti tepat di sekitar pom bensin. Melinda celingukan mencari sosok Dani dengan tatapannya. "Ngapain dia di sini kalau nggak lagi ngisi bensin?" gumam Ibunya Dani."Apa aku keluar aja, nyari Kak Dani-nya?" Melinda melirik calon mertuanya."Itu dia," kata Ibunya Dani."Lekas, Ma, jangan sampai ketinggalan!" perintah Melinda saat mobil Dani akan pergi. Mobil yang dikendarai Ibunya Dani se
"Dani, mamamu!" jerit Melinda. Dani segera memangku kepala ibunya yang berdarah. Ia menyesal telah membuat ibunya terluka. " Mama, bangun!""Ayo, bawa mama ke rumah sakit!" ajak Melinda. Dani seketika tersadar dari kesedihannya, ia yang panik segera membawa ibunya ke rumah sakit Parikesit Tenggarong. "Aku ingin menjenguknya," kata Alisha, tetapi Yeni segera menarik lengan kanannya sambil menggelengkan kepalanya. "Why?" Ia mengerutkan kening, heran pada larangan perempuan itu."Akan tambah runyam lagi urusannya. Mending kita menunggu kabar saja."Alisha sejenak terdiam, lalu ia membenarkan nasihat teman barunya itu. "Sebenarnya ada hubungan apa kau dengan Pak bos? Kenapa ibunya bos nggak kenal kamu dan kamu malah dituduh sebagai orang ketiga?" tanya Yeni. Perempuan cantik ini menatap Alisha penuh selidik.Alisha kebingungan. "Aku ....""Jangan-jangan kamu sama bos ada hubungan lain?" Alisha membalik tubuhnya, tak sanggup mengatakan kebenarannya. "Maaf," katanya sambil menelan luda
Alisha menatap Dani yang kini tengah uring-uringan di meja kerjanya. Perempuan ini menatap sekitarnya, kemudian perlahan menghampiri lelaki itu. "Bapak, lagi sakit, ya atau kondisi Tante masih memerihatinkan?" Dani sejenak termenung mendengar suara Alisha."Maaf, ini kesalahan saya. Andai saja saya tidak bertemu Anda...." Alisha sekuat tenaga menahan air matanya, tapi ia tak berdaya. Airmata itu mengalir begitu derasnya. "Aku harus membayar utang bapakku," katanya dengan suara pasrah. Dani kemudian menyodorkan tisu yang berada di mejanya untuk menyeka airmata Alisha. "Jadi kamu nggak perlu merasa bersalah.""Tapi kalau bukan karena saya, kamu nggak mungkin begini, kan? Nggak mungkin mamamu datang terus hal itu terjadi, kan?" Ia menatap Dani, seolah ia yang paling bersalah di dunia ini."Lupakan itu!" kilahnya. "Bagaimana kondisi bayimu?" Alisha terdiam sejenak, tangannya kini menyentuh perutnya. "Aku mungkin akan berhenti bekerja sampai anak ini lahir. Tunggu kandunganku berusia li
Alisha tidak dapat menahan muntahnya, ia memuntahkan makanannya di sebelah pohon mangga yang ada di depan kantor. Penderitaannya itu disaksikan oleh beberapa karyawan. Mereka mulai berbisik membicarakan kemungkinan Alisha hamil atau mungkin karena Alisha tengah masuk angin saja. "Kamu kenapa, Lis?" tanya Yeni. Alisha terkejut, baru menyadari bahwa kini ia tengah menjadi pusat perhatian mereka dan karena malu ia terpaksa pergi tanpa mengindahkan Yeni."Sakit apa dia, sih? Aneh." Yeni bergumam sambil melihat ke arah perginya Alisha."Dia hamilkah?" tanya Siska. Yeni menggeleng. "Aku juga nggak tahu.""Ada lakinya nggak, sih?" "Ih, mana kutahu juga. Belum nanya, sih." Yeni tertawa sambil menepuk pundak Siska."Kali aja hamil, kan?""Mungkin cuma demam. Soalnya dia punya penyakit maag." Siska mengangguk-angguk. "Ouh, bisa jadi." "Belum sarapan juga tadi, sih," ujarnya sambil mengingat-ingat kejadian pagi tadi."Ya, mungkin karena itu. Ah, masih banyak kerjaanku. Nanti aku ke kosanmu
Alisha menekuk buku yang kini berada di atas meja. Ia tidak menyadari perbuatannya, hanya satu fokusnya adalah ucapan Dani semalam. Masih terngiang permintaan tolong lelaki itu. "Tolong bantu aku, Lish. Aku banyak utang, harus menikahi Melinda. Bisakah kamu menjauh dariku?" pinta Dani di malam itu. Alisha mencintai Dani, tetapi bila menjauhinya, lalu bagaimana ia akan bertahan sendirian di sana? "Bu Lish, kamu sudah baikkan?" tanya Siska. Alisha terkejut, ia segera merapikan buku yang telah lecek ditekuk olehnya. "Aku nggak papa, kok." "Bos Dani bilang kamu nggak boleh lagi bersih-bersih di ruangannya." Alisha tersenyum sedih. Itu artinya ia tidak bisa lagi melihat Dani sedekat kemarin. "Makasih, ya, infonya." "Kamu ada masalah?" Siska diam-diam memerhatikan perubahan sikap Alisha setelah beberapa hari kemarin. "Nggak ada, kok." "Bener?" Alisha menganggukkan kepala sambil tersenyum. "Iya, nggak ada apa-apa.""Ya, sudah, deh. Aku lanjut kerja dulu, ya. Soalnya tugas bersih-be
Alisha melangkah mundur saat lelaki itu kian mendekat padanya. "Aku akan teriak!" "Ah, tenang aja. Kita di sini gak macam-macam, kok. Cuma semacam aja, kok," katanya sambil menyentuh pundak Alisha dan langsung ditepis oleh perempuan itu. "Mundur!" Ancam Alisa dengan tas di tangannya. Siap menyerang bila lelaki itu nekat maju.Lelaki yang sebenarnya memiliki senyum yang lumayan manis, tapi mengesalkan itu, kini mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah, tapi Alisha tahu bahwa di pikiran lelaki itu pasti menyimpan niat yang jahat padanya. "Jangan berpikir yang lain-lain. Kamu kan kesepian. Apa salahnya aku dan kamu di sini, berdua?""Gak! Aku bisa tidur sendirian." "Ah, sok, jual mahal, lu. Tadi kamu muntah, kan? Hamil, kan?" Alisha terkejut sekaligus marah. Wajahnya merah juga menahan malu yang tak mampu dibendung lagi. Mungkin saja semua sudah menyadari kehamilannya. Kini ia sangat malu, tapi demi mempertahankan harga dirinya ibu muda ini membantah keras perkataan itu. "P
Alisha berusaha untuk berdiri, tetapi pandangannya seketika berkunang-kunang, membuatnya semakin tidak berdaya. Kini kebencian akan lelaki itu membuatnya bersumpah akan mengutuknya bila sampai berani menyentuhnya. "Sakit, ya, sayang? Ayo, sini, biar kubantu." Lelaki ini menyentuh pundak kanan Alisha, tetapi perempuan itu dengan sisa tenaganya menepisnya. "Jangan jual mahallah.""Pergi!" teriak Alisha. Suaranya serak."Tuh, kan, tambah parah. Sini!""Pergi kau!" teriaknya. Kini suara Alisha lantang. Entah datang darimana tenaga itu, ia dapat berteriak hingga terdengar sampai ke luar kantor."Loh, ada suara cewek?" Satpam baik ini sontak terkejut sambil melihat ke arah pintu kantor. Sejenak ia menatap tanah kemudian berkata, "Apa jangan-jangan..." Tanpa mau membuang waktu lagi, ia segera berlari ke dalam kantor untuk mencari Alisha. "Ah, sial. Kenapa kamu gak mau diajak bersenang-senang, sih? Cuma sebentar. Setelah itu kita ke Rumah sakit." Ia mengepalkan tinju ke wajah Alisha. Walau
Melinda tiba di Rumah sakit. Perempuan ini langsung melabrak Dani. "Ngapain kamu di sini, hah? Apa kamu lupa sama perjanjian kita?" tanya Melinda sambil menatap marah."Aku gak lupa." "Terus?" "Aku cuma gak tega kalau ada yang sakit terus gak ditolongin." Melinda tersenyum sinis sambil mengalihkan tatapan ke arah kiri, lalu ia kembali menatap lelaki itu. "Jangan bohong, Dani. Akui saja kalau kamu sama dia ada main di belakangku." Dani mendesah kesal, tapi ia tidak ingin menjawab pertanyaan itu. "Jawab! Iya, kan?" "Ini Rumah sakit, Melinda. Lebih baik kita jangan berdebat di sini." "Peduli amat," ujarnya sambil melirik ke arah pintu kamar pasien di hadapannya. Dokter Feni keluar dari kamar rawat Alisha. Ia langsung akan mendatangi Dani, tetapi Dani langsung mencegahnya dengan langsung mengajaknya menjauh dari Melinda. "Kenapa mereka menjauh?" Melinda penasaran. Ia perlahan mendekati mereka. "Dia dan bayinya berhasil selamat, tapi kondisinya sangat memerihatinkan," ujar Dokte