POV INDAH
"Katanya mau minta tolong?" ujar Haris lagi. "Kok kaya kebanyakan mikir?" lanjutnya.
"Katakan, Ndah. Jangan malu-malu. Kalau kami bisa bantu, akan kami bantu." Tiba-tiba saja Reyhan datang dan langsung menimpali. Pemuda dingin itu langsung duduk di sampingku membuat mata Haris nyaris membulat sempurna.
"Kenapa lo liatin gue segitunya?" tanya Reyhan.
"Nggak ada si, Rey. Cuma bingung aja. Tumben gitu," jawab Haris.
"Kamu katakan apa yang bisa kami bantu?" Kali ini Reyhan yang bertanya.
"Mau minta tolong aja ribet banget kamu, Ndah. Ngomong aja. Nggak usah nggak enak-enakan!" lanjutnya lagi. Ya Allah, jutek banget Reyhan ini.
"Ris, aku mau minta tolong, apa ada pekerjaan untukku? Aku harus bekerja. Untuk kehidupan kedepannya. Aku juga harus mencari tempat tinggal yang baru untuk orang tuaku."
"Kebetulan sekali, Ndah. Aku sedang membutuhkan sekretaris. Kamu bisa kerja di perusahaan kami menjadi sekretaris peribadiku," ucap Reyhan. Aku terdiam tak percaya dengan apa yang barusan kudengar.
"Terus Novi sekretarismu mau dikemanakan? Jelas-jelas aku yang sedang membutuhkan sekretaris untuk membantu pekerjaanku," pungkas Haris. Entah kenapa aku jadi ingin tertawa. Padahal kondisi hatiku saat ini harusnya tengah bersedih. Reyhan juga tidak seformal seperti saat di mobil tadi. Lucu juga cara mereka berbicara saat tengah santai seperti ini.
"Jadi apa ada pekerjaan untukku?" Kembali aku bertanya.
"Ada!" jawab mereka serempak. Aku bergantian menatap keduanya.
"Jadi dengan siapa aku bekerja?"
"Aku!" jawab keduanya lagi secara serempak. Sungguh membuatku bingung.
"Kalau kalian seperti ini aku jadi bingung. Maaf, Rey. Kamu 'kan sudah ada sekretaris, jadi aku ingin bekerja bersama Haris," ujarku.
Mendengarku menjatuhkan pilihan, Haris tertawa lebar. "Pilihan yang tepat, Ndah," ujarnya. "Oh ya, ngomong-ngomong, soal tempat tinggal orang tuamu bagaimana?" tanyanya lagi. Aku terdiam karena memang bingung. Sementara Reyhan beranjak entah kemana tanpa suara.
"Jangan bingung, besok kita cari tempat tinggal untuk mereka. Kalau dapat, mereka bawa saja kesini, Ndah. Besok sama-sama kita jemput mereka," ucap Haris lagi seperti mengerti dengan apa yang tengah aku pikirkan.
"Terima kasih, Haris. Nanti kamu tinggal potong dari gajiku saja." Sekarang tinggal pakaian yang aku pikirkan. Ya Allah, segininya hidupku. Sampai pakaian pun tak punya setelah terusir dari rumah Mas Danang.
"Pakai nih!" Tiba-tiba saja Reyhan melempar pakaian wanita setelah kembali. Haris yang melihat itu pun mengulas senyum. "Pakai, Ndah. Itu pakaian Kak Mila. Kakak kami yang perempuan. Dia tidak ada di sini karena ikut suaminya tinggal di Australia," terang Haris. Aku mengangguk.
"Ris, lo bawa aja ke kamar Kak Mila ganti saja di sana. Sekalian suruh pilih sesuatu. Gue mana bisa megang-megang benda itu," ucap Reyhan. Benda apa? Aku tak mengerti dengan maksud ucapannya.
Dengan sigap, Haris pun mengajakku ke kamar Kak Mila. Sesampainya di kamar, Haris membuka lemari. Disana tersusun rapi dan apik pakaian Kak Mila. Ada pakaian kantor juga. Ada dalaman wanita yang tersusun rapi. Oh, mungkin ini yang dimaksud benda itu oleh Reyhan," batinku
"Kamu ambil saja yang mau kamu kenakan. Kak Mila sudah tidak akan memakainya lagi. Bahkan jika kau mau, semua ini bisa menjadi milikmu. Oh iya, kamu juga pakai saja kamar ini," ujarnya penuh senyum.
"Tapi nanti kalau Kakakmu marah bagaimana?" tanyaku.
"Dia tidak mungkin marah. Malah pernah dia menyuruhku menyumbangkan semua pakaian ini, tapi aku saja yang tidak sempat," ujarnya. Wah, kenapa bisa kebetulan begini. Ini seperti sudah menjadi jalan untukku.
"Dah, sekarang kamu ganti pakaian dan tidur," ucap Haris.
"Oh iya, kenapa rumah ini sepi sekali? Apa kalian hanya tinggal berdua saja? Orang tua kalian kemana?"
"Mama dan Papa ada di Australia tinggal bersama Kak Mila. Di sana mereka sudah punya cucu. Papa juga ada mengurus bisnis di sana dengan menantunya. Urusan disini, menjadi urusan kami," ucapnya. Aku mengangguk penuh senyum.
"Sudah kamu istirahat. Besok kita jemput orang tua kamu. Oh iya, tidak usah merasa sungkan," ujarnya. "Terima kasih banyak, Ris," balasku. Haris hanya tersenyum kemudian gegas keluar dan menutup pintu kamar.
Setelah berganti pakaian, aku pun membuang pakaian yang dikenakan dari rumah Mas Danang. "Selamat tinggal masa lalu suram yang penuh kepahitan, serta penghinaan," ucapku setelah memasukkan pakaian bekas pakai itu ke tempat sampah.
"Sampai bertemu dalam dunia bisnis, Mas Danang."
******
Pagi menyapa, karena aku terbiasa bangun pagi, aku pun bangun setelah mendengar adzan subuh. Selesai menjalankan shalat subuh, aku gegas keluar kamar. Sepertinya dua pemuda itu masih tidur. Aku langkahkan kaki ke dapur untuk membuat teh. Memang seperti itu rutinitasku setiap pagi.
Rumah tampak berantakan tidak ada yang merapikan. Apa mungkin tidak ada pembantu rumah tangga di rumah sebesar ini? Ada bekas makan dan juga dapur yang sedikit berantakan. Setelah membuat teh, aku pun berinisiatif untuk merapikan semuanya.
Tepat pukul 07.00 pagi, aku selesai menyulap rumah yang berantakan tadi menjadi sangat rapi. Nasi goreng dengan telor ceplok dan juga 2 gelas susu coklat panas pun sudah kusediakan di meja makan.
"Ndah! Indah!" Terdengar suara Haris memanggil namaku. Kau segera berlari ke sumber suara itu untuk menemuinya.
"Ya, Ris?"
"Kamu merapikan semua ini?" tanya laki-laki yang terlihat sangat tampan ini dengan pakaian santainya yang hanya mengenakan kaos oblong putih tipis dan celana pendek.
"Ris! Pesan sarapan!" ucap Reyhan sambil menyusuri anak tangga berjalan menghampiri kami.
"Waow, rapi sekali," puji Reyhan. Lelaki itu melirikku dar atas hingga bawah. Membuatku merasa risih. Apa mungkin penampilanku ada yang aneh hingga seperti itu dia menatapnya.
"Pesan sarapan, Ris," ujarnya.
"Hum, jangan pesan sarapan aku sudah siapkan nasi goreng untuk kalian di meja makan. Ayo kita sarapan," ujarku.
"Wah kebetulan sekali. Nasi goreng rumahan, pasti yummy sekali," ujar Haris. Kami bertiga pun gegas menuju meja makan.
*
"Waow, aromanya begitu mampu memancing perut," ucap Haris sesampainya di meja makan. Sementara Reyhan hanya diam saja. Setelahnya, dia menyeruput susu coklat panasnya.
"Maaf ya, kalau rasanya kurang enak," ucapku merasa tidak PD. Jelaslah, mungkin saja masakanku ini bukan selera mereka. Kami makan tanpa suara. Hanya ada bunyi sendok yang sing berdentingan.
"Sarapan kali ini begitu istimewa, masakanmu sangat enak, Ndah. Terimakasih ya. Oh iya, hari ini kamu terlihat sangat cantik dengan pakaian itu," puji Haris.
"Uhuk … uhuk …." Reyhan tersedak susu yang tengah diminumnya. "Pelan-pelan saja, Rey. Gue nggak bakal minta minuman lo!" ucap Haris tertawa. Sementara Reyhan, hanya diam saja.
"Sudah yuk, kita bersiap dan segera pergi menjemput orang tuamu," ujar Haris.
"Gue ikut!" ucap Reyhan. Haris mengangangkat kedua alisnya seakan tak percaya.
"Serius?" tanya Haris.
"Emang Lo liat tampang gue bercanda?" Reyhan terdengar kesal dan balik bertanya. Sementara Haris lagi dan lagi hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
Kami bertiga pun kembali ke kamar masing-masing untuk segera bersiap.
"Ayah, Ibu sebentar lagi kita bisa kumpul. Aku pulang, Bu," lirihku setelah membayangkan pertemuan yang akan segera tiba. Semoga mereka baik-baik saja, Ammin ….
*************
POV DANANG
Pagi ini aku sangat senang sekali hatinya. Buru-buru aku meminta Maya bersiap. Mengajaknya untuk segera pergi ke kampung mantan mertuaku itu. Tahukah kalian untuk apa? Jelas untuk mempermalukan keluarga Indah di sana.
POV DANANGPagi ini aku sangat senang sekali hatinya. Buru-buru aku meminta Maya bersiap. Mengajaknya untuk segera pergi ke kampung mantan mertuaku itu. Tahukah kalian untuk apa? Jelas untuk mempermalukan keluarga Indah di sana."Bangun dong, Sayang. Mandi cepat," ujarku mencubit hidungnya yang mungil dan mancung itu. Malam ini Maya benar-benar luar biasa. Perempuan itu memang sangat berbeda sekali."Aku masih ngantuk, Mas," ucapnya sembari memanyunkan bibir. Persis sekali seperti anak kecil."Mas mau pergi ke kempung orang tua Indah. Mas mau usir mereka. Memang kamu tidak ingin lagi melihat kampung itu?""Kamu serius mau usir mereka? Kasihan, Mas. Lagi pula itu kan tanah orang tua Indah yang aku tahu. Tak la
POV DANANGKenapa rumah ini terasa begitu sunyi. Sangat sunyi dan tidak seperti biasanya. Kemana penghuninya berada."Bu! Ibu!" Aku terus memanggil mantan mertuaku itu. Tapi tak kunjung dibuka pintunya. Dari menekan bel hingga gedoran pintu cukup keras tidak ada yang membukanya. "Sial!" gumamku. Karena sangking kesalnya, akhirnya pintu rumah itu kutendang sekencang mungkin."Buka! Woy! Pada mati nggak ketahuan kali ya!" teriakku lagi. Entah kenapa, setelah mentalak Indah, hilang juga rasa hormatku pada mereka."Assalamualaikum," terdengar suara mengucap salam. Aku dan Maya menoleh ke sumber suara itu. Berat rasanya menjawab salamnya. Lagian moodku juga sedang tidak bagus. "Walaikumsalam," jawab Maya lirih."Eh Bu Endah," s
POV MAYASebenarnya aku senang Mas Danang berbuat sedemikian itu pada Indah. Aku juga senang pada akhirnya Indah Pergi. Aku jadi tidak memiliki saingan lagi. Karena jelas aku menjadi istri satu-satunya. Istri Mas Danang. Sudah kaya, tampan pula. Tapi …..Tapi yang aku takutkan Mas Danang akan memperlakukan aku seperti Indah. Wajah tampan yang terlihat kalem ternyata hatinya seperti itu. Mengerikan juga. Aku tidak boleh bodoh seperti Indah harus selangkah lebih maju.Jujur aku mencintai Mas Danang. Aku bahagia dia bisa menjadi suamiku. Meskipun aku jadi yang kedua, toh aku yakin bisa sepenuhnya mendapat kasih sayang dari Mas Danang. Sebab, istri pertamanya itu kan tidak bisa memberikan keturunan. Sedangkan Mas Danang sangat menginginkan seorang anak. Hanya saja, baru sehari aku menjadi istri Mas Danang,
POV INDAH"Gue jalan dulu, Bos," ucap Haris dengan raut wajah meledek. Entah apa maksudnya. Reyhan tak menjawab dan memilih untuk menghabiskan roti bakarnya."Si Reyhan kenapa, Ris. Aneh ya? Kadang baik, kadang judes. Kayak orang angot-angotan gitu," lirihku setengah berbisik. Haris terlihat cekikikan."Jangan begitu, Ndah. Kayak baru kenal Reyhan aja," ujarnya. Aku hanya menganggukan kepala."Kalau mau berangkat kerja, berangkat aja! Nggak usah ghibahin saya!" sungutnya sembari berjalan cepat. Padahal tadi dia masih makan roti bakar. Cepet banget tiba-tiba sudah ada di belakang. Aku sedikit merasa tak enak. Sementara Haris hanya menertawakannya.Saat kami sampai di mobil, Reyhan yang sudah berada di da
POV DANANGSeperti rencana, selepas makan siang, kami pergi menemui Pak Andalas di kantorku. Sejak dua hari ini mulai ada yang mengganggu pikiran. Rasanya aku tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Entahlah, tiba-tiba saja pikiranku terbesit akan bayangan seorang Indah, senyum manisnya, dan sambutannya saat aku pulang dari kantor.Lepas bayangan manis, tiba-tiba singgah juga bayangan saat dirinya berdiam diri. Saat aku mengusirnya hingga jidatnya terpentok tiang dan meninggalkan bekas memar. Hujan-hujan aku tega mengusirnya. Tak menyangka aku bahkan bisa sampai berbuat demikian karena rasa sakit hati. Aneh memang, kenapa seperti ada rasa merindukanya. Tapi jika kuingat hal yang membuat kesal, rasa marah itu kembali lagi. Sebisa mungkin aku menolak rasa kalau aku merindukannya.Sampai di
Tok … tok … tok ….!Suara pintu itu kembali terdengar. Aku segera bergegas membuka pintunya. Mungkin saja itu Reyhan yang akan memberikan obat untukku."Mana obatnya?" tanyaku."Lah, memang belum dikasih sama Reyhan?" tanyanya. Aku menggeleng.Ternyata Haris yang datang."Sudah kuduga," lirihnya."Apa?" tanyaku tak mengerti. Haris hanya diam saja. Tapi wajahnya terlihat sangat kesal. "Keterlaluan," ujarnya lagi semakin membuatku tak mengerti. Aku melirik jam di dinding sudah pukul 18.45 menit. Itu artinya lima belas menit lagi dari sekarang."Kayaknya aku nggak bisa ikut, Ris. Maaf ya? Kamu pergi sendiri aja. Perutku masih sakit,"
"Ingat Adit Tiagautama?" tanyanya sambil mengajakku duduk di meja yang sedikit jauh dari kebisingan."Aditya Tiagutama? Aku ingat. Mahasiswa yang paling gendut di kelas? Korban bully anak satu kelas. Terutama Mas Danang? Tiada hari tanpa dikerjai Mas Danang. Dijauhi oleh hampir semua siswa karena bau badan? Dianggap jorok dan ….""Dan hanya kamu kan yang mau berteman sama dia? Kamu selalu belain dia. Pasang badan di depan dia. Sering berantem sama Danang gara-gara belain dia. Terakhir kamu bertengkar hebat sama Danang, gara-gara Danang minta dibeliin kopi panas di kantin, tapi dia bawain es cofe, dan Danang marah terus ngeguyur minumannya ke kepala dia. Danang juga sering banget minta dia buat joget di depan kelas. Buat hiburan mereka. Kalau Adit berjoget, karena badannya yang besar bagaikan gajah itu, meliuk-liuk, anak satu kelas akan tertawa terbahak
Malam kian larut, aku melirik waktu di jam tangan sudah menunjukkan pukul 01.00 malam. Lima menit kemudian, tepat pukul 01.05 WIB, mobil Mas Danang berhenti di depan sebuah vila cukup besar dengan nuansa white. Halamannya terdampar begitu luas dengan beberapa bangku dan meja taman. Kemungkinan Vila ini sangat pas untuk liburan keluarga.Sebuah plang besar tertulis Vila Indah Asri. Letaknya lumayan jauh dari ibu kota. Sepertinya kini aku telah berada di luar kota. Suasana disini sangat sepi dan lumayan jauh dari pemukiman warga.Mas Danang langsung melepas sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil dan keluar. Aku sudah paham betul dengan sikapnya, jadi aku harus berusaha supaya tetap tenang. Ya Allah, semoga tidak terjadi sesuatu pada diriku. Jangan sampai Mas Danang menodaiku dan melakukan dosa besar."