Share

Cerai

"Hasna ...." ucap Toha dengan ekspresi bersalah, wanita itu mengangkat tangannya, meminta sang suami berhenti bicara, tak ada yang ingin ia dengar selain jawaban atas pertanyaannya nanti.

"Silakan duduk, Bang!" ucapnya pelan dengan suara parau. Dia melangkah lebih dulu di ikuti Toha, mereka duduk berhadapan, Hasna mengumpulkan sisa-sisa tenaganya, ia tak boleh terlihat lemah dan menyedihkan di hadapan Toha.

"Alya mana, Dek?" tanya pria itu tiba-tiba, Hasna tersenyum getir mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut suaminya.

"Apa dia penting bagimu? Selama ini Abang bahkan tak pernah menyapanya, kenapa sekarang tiba-tiba menanyakan?" jawab Hasna bernada sarkastis, lelaki di hadapannya kini sangat berbahaya, ia tak dapat melakukan apa-apa, mau mengumpat dan menyumpahinya pun ia tak bisa.

Toha masih bergelar suaminya, ia tidak mau menambah dosa dengan perkataan kasar. Hasna bukan wanita serampangan, tiga tahun menimba ilmu di pondok pesantren sebelum menikah menempahnya menjadi wanita yang paham hakikat agama.

"Adek bicara apa? Aku ayahnya. Jangan lupakan itu!" lantang pria itu bersuara, ia marah dan merasa Hasna mencabut haknya. Wajahnya memerah melihat senyum miring yang tersungging di bibir Hasna.

"Siapa yang akan melupakan ayah yang buruk sepertimu! Sampai Alya dewasa nanti, ia tidak akan melupakan akhlak tercela ayahnya. Aku sungguh berharap tak ada satu pun sifat burukmu yang turun padanya," ucap wanita itu bernada tenang, dia mati-matian menahan diri agar tidak mempermalukan dirinya di hadapan Toha.

"Jangan keterlaluan kamu, Hasna! Aku pulang untuk membicarakan masalah kita baik-baik!" hardik Toha mulai tersulut emosi.

"Bicara apa? Memberi tahu padaku bagaimana nikmatnya masa pengantin baru?" tanya Hasna, ia menarik napas, memasok oksigen banyak-banyak menghalau sesak di dadanya, "Bahkan aku sedang berjuang memulihkan jalan lahir karena melahirkan zuriatmu, Bang ...." ucapnya lagi, ia menengadah mengahalau air hangat yang memenuhi netranya agar tak berurai di hadapan Toha.

"Maaf tentang itu, Hasna. Aku mencintainya, sudah sejak lama, kami dipertemukan kembali beberapa bulan lalu, kami menikah agar terhindar dari zina," ucap Toha dengan suara melunak, Hasna menatapnya nanar, baru ia tahu penyebab perubahan sikap Toha, ternyata ia telah melabuhkan hati kepada perempuan lain.

"Kau bahkan tidak memberi tahuku, Bang. Jika aku tahu mungkin rasanya tak 'kan sesakit ini," lirih wanita itu, bulir bening itu akhirnya luruh juga, ia tak mampu lagi berpura-pura tegar. Toha terlihat menyesal, pandangannya lekat menatap lantai.

Dengan gerak cepat, Hasna menghapus kasar air mata di pipinya, ia harus mengemukakan akhir dari masalah ini, bicara dengan Toha dan mengetahui fakta baru lainnya hanya akan membuat luka yang sudah menganga semakin perih dan terkoyak lebih dalam.

"Kita harus berpisah, Bang!" ucapnya penuh keyakinan, Toha mengangkat wajah seketika, bola matanya melotot tak percaya dengan penuturan Hasna.

"Jangan mengada kamu, Dek! Bagaimana dengan Alya kalau kita bercerai? Kau tidak punya hati? Dia akan hidup tanpa kasih sayang seorang ayah, apa kau tega?" ucap Toha menggebu-gebu, bersikap seolah Hasna adalah wanita zalim yang tega memisahkan ayah dan anak.

"Baru sekarang kau memikirkan nasib putriku? Ke mana saja kamu, Bang? Yang tak punya hati itu kamu! Pernah kau menganggap kami ada? Sudahlah, lepaskan aku supaya kau bisa hidup bahagia bersama istri mudamu," ucap wanita itu memelankan suara, tenaganya sudah habis menghadapi Toha.

"Tolonglah, Hasna! Pikirkan lagi, kita bisa hidup rukun bertiga, lagi pula adik madumu setuju jika kita tinggal seatap, dengan begitu Alya tidak akan kehilangan sosok ayahnya, dan kau tidak perlu pontang-panting mencari nafkah untuk biaya hidup," ucapnya enteng, Hasna menarik napas dalam, pria yang sudah membersamainya selama tiga tahun terakhir benar-benar menguji kesabarannya.

"Mudah sekali kau bicara, Bang! Tak kau pikirkan bagaimana perasaanku yang menjalaninya. Di mana pikiranmu? Kau mau menyabung dua wanita dalam satu atap? Kalau kau memang tak mau melepaskan kami, ceraikan istri mudamu!" ucap Hasna menatap Toha nyalang, ia tak habis pikir dengan suaminya itu.

"Bagaimana mungkin aku menceraikannya, Hasna? Kami baru menikah dua bulan lalu, lagi pula aku masih mencintainya," ujar Toha semakin menohok harga diri Hasna, pria itu lebih memilih istri mudanya, lalu kenapa berunding untuk tetap bersama. 

"Pergilah kalau begitu! aku bukan golongan perempuan yang sanggup di madu, dari pada menambah dosa karena nusyud, dan kau tentu tak mau berjalan pincang di akhirat nanti karena tak berlaku adil kepada istri-istrimu 'kan? Jadi lepaskan aku!" papar hasna penuh emosi.

"Tapi--"

"Cukup! Pergi atau bertahan. Pilih salah satunya!" i a lantang Hasna berucap, membuat Toha menghela napas berat, ia menatap istrinya sekali lagi, mencoba mencari kesungguhan ucapannya. Terlihat luka mendalam memancar dari sorot matanya.

"Baiklah jika itu sudah menjadi keputusanmu," ucap Toha, ia menjeda ucapannya, Hasna bergeming dengan tatapan lurus, menunggu hasil akhir dari keputusan mereka.

"Hasna Anandita, dengan sadar dan tanpa paksaan, aku menalakmu, mulai sekarang kau bukan lagi istriku."

Air mata Hasna jatuh, kini ia telah resmi menjadi seorang janda, ia mengangguk saat Toha berpamitan hendak pergi. Semua rasa dan Asa terkubur tak berbekas seiring punggung pria itu yang kian jauh, lalu menghilang di balik pintu.

Hasna berlari ke kamar, dipandanginya wajah damai putrinya yang sedang tertidur pulas, ia jatuh tergugu ke lantai, hari ini saja. Dia ingin menangis sepuasnya, untuk esok dan seterusnya tak 'kan ada lagi air mata yang tumpah untuk Toha.

Hasna terus tersedu-sedan, saking lamanya menangis wanita itu sampai tertidur, di bawah ayunan Alya.

*

Hasna terbangun saat tangisan Alya terdengar sayup di telinganya, ia bergegas bangkit, matanya terasa bengkak. Gegas ia meraih putrinya yang hampir berusia tiga bulan itu lantas menyusuinya.

Setelah menyusu sang putri kembali pulas, ia beranjak ke kamar mandi kemudian membersihkan diri, jam sudah menunjuk angka lima petang, saking lama ia tertidur sehingga telat melaksanakan shalat Asarnya.

Tak lama ia pun menyelesaikan shalatnya, tak lupa ia bermunajat kepada Allah, melangitkan doa tanpa selipan nama Toha, kini tak ada lagi gelar suami, nama pria itu telah berganti kepada kaum muslim saja, jika ia termasuk sebenar-benar muslim, Hasna hanya menganggap itu keharusan, mendoakan sesama Ummat muslim.

Setelahnya wanita itu bangkit, meraih gawai yang terletak di nakas lantas menelepon Rani--ibunya. Dia menyapa ibunya sebentar, sebelum menyatakan kebenaran yang cukup membuat Rani terkejut.

"Hasna janda sekarang, Bu!" ucap Hasna sedih, tetapi tak ada setitik air mata keluar dari netranya, tidak lagi mulai sekarang.

Rani sampai menangis di balik telepon, ibu mana yang tidak sedih mendengar anaknya dicerai, sang ibu memberi beberapa wejangan, agar ia sabar dalam menghadapi masalah yang tentu tak mudah baginya.

[Pulanglah ke rumah kita, Nak!] bujuk Rani, ia tak tega kalau anak dan cucu satu-satunya hidup sebatang kara jauh darinya.

"Tidak, Bu. Hasna akan tetap di sini, ibu tak perlu khawatir, Hasna akan menerima tawaran Kak Puspa," ucapnya mantap penuh keyakinan.

Bersambung.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fit Riani
buka nya harus pakai koin...‍♀️
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status