Share

Fakta Terkuak

Seminggu setelah kedatangan Puspa, Hasna berpikir keras tentang keputusan yang harus di ambilnya, ia menghubungi Rani, meminta saran dari sang ibu.

[Wow, Sayang! Itu kesempatan besar buat kamu, terima saja, ya! Jangan dilewatkan!] Seru rani di ujung telepon, mereka tinggal terpisah dengan jarak lumayan jauh, sehingga Hasna hanya bisa menanyakan pendapat tanpa bertemu langsung.

Rani menceritakan pada Hasna bahwa Puspa adalah anak dari sahabatnya dulu, perusahaannya sangat besar menaungi beberapa cabang yang tersebar di beberapa kota pulau Jawa.

[Dengar, Nak! Satu desain baju, mereka beli dengan harga jutaan rupiah, kamu beruntung sekali didatangi langsung begitu,]

Hasna semakin tergiur mendengar pernyataan ibunya, tetapi wanita itu berniat menunda jawaban lebih dulu, ia menghubungi Puspa, meminta waktu satu bulan lagi, bagaimanapun ia harus fokus mengurus bayinya lebih dulu, Puspa mengiyakan, dia sangat menantikan ketersediaan Hasna bekerja di perusahaannya.

*

Hari ini Hasna berniat menghubungi Toha, sudah seminggu lebih pria itu tak pulang pun memberi kabar, wanita itu berniat menanyakan perihal tunjangan hidup yang tak masuk ke rekeningnya bulan ini, walaupun hanya tujuh ratus ribu, setidaknya uang itu membantu kecukupan kebutuhan Alya, jika untuk makan sehari-hari, ia harus merogoh uang hasil promosi yang diberikan ibunya.

Gegas wanita itu meraih gawainya, kemudian menelepon kontak suaminya, setelah beberapa kali terdengar nada tunggu, akhirnya panggilan terhubung, baru hendak membuka mulut--

[Halo ... Mas Toha lagi mandi,]

Hasna tercekat saat mendengar suara seorang wanita mengalun di seberang sana, siapa dia? Kenapa sangat lancang mengangkat telepon suaminya, dan apa tadi? Mas Toha? Demi apa pun itu bukan kebetulan.

"Siapa kamu?" tanya Hasna setenang mungkin, ia tak ingin memancing pertikaian dengan wanita itu, bisa-bisa ia akan kehilangan informasi darinya.

[Saya istrinya, kamu siapa, ya?] Tangan Hasna gementar, seluruh persendiannya lemah, apa lagi ini ya Allah? batinnya. Dia menelan saliva susah payah, mengumpulkan puing-puing ketegaran untuk menerima fakta sebenarnya tentang Toha.

"Oh ya? Sejak kapan kalian menikah? Saya kerabat jauhnya, kami berbeda pulau," tutur Hasna dengan suara bergetar, ia terus saja bicara dengan air mata yang jatuh tanpa isakan. Allah ... ini sangat sakit, lebih sakit dari hinaan yang kuterima selama ini, batinnya.

[Oh, begitu. Kami baru menikah dua bulan lalu,] ucap wanita itu terdengar semringah. Hati Hasna ikut hancur, seiring gawai yang jatuh berserak ke lantai. 

Dua bulan? Jadi selama ia masih berjuang melalui masa nifas, suaminya berleha-leha mereguk manis masa pengantin baru dengan istri mudanya? Ya Allah ... tega sekali Bang Toha, batin Hasna menjerit pilu, baru ia tahu, ke mana perginya Toha berminggu-minggu tak pulang.

Wanita berhijab itu terus menangis sejadi-jadinya, mau menyumpahi pun tak guna, poligami tak dilarang dalam agama, tetapi kenapa harus dengan cara ini suaminya melakukan itu, tanpa pemberitahuan apatah lagi meminta izin padanya.

Hasna mengusap kasar wajahnya, dia harus menyelesaikan masalah ini dengan Toha secepatnya, ia bukan wanita yang sanggup dimadu, sesalihah apa pun ia masih belum sampai ke level tersebut.

Gegas ia meraih Alya, menyampirkan pasmina instan berwarna senada dengan gamis kebesaran miliknya. Detik selanjutnya wanita itu pergi menggunakan taksi ke rumah ibu mertuanya, bermaksud menanyakan keberadaan Toha.

Setelah berkendara selama dua puluh menit, ia tiba di rumah orang tua suaminya, wanita itu berjalan tergesa ke arah pintu, kemudian mengetuk pintu berkali-kali, setelah beberapa saat, pintu pun terbuka, dari balik pintu menyembul wajah yang sangat dikenalnya, Rita-kakak iparnya. Wanita itu berdiri di ambang pintu seraya bersedekap, ia melayangkan tatapan sinis ke arah adik iparnya.

"Ada apa ke sini?" tanya Rita ketus, Hasna menghela napas ia bahkan tak dipersilakan masuk oleh saudari suaminya itu.

"Mau mencari Bang Toha, Kak Rita. Apakah kalian tahu di mana dia sekarang?" tanya Hasna tak tenang, ia seperti tersengat panas bara api, tak ada yang bisa meredamnya kecuali kebenaran tentang Toha.

"Ngapain cari ke sini, memangnya kamu tidak tahu keberadaan suami sendiri? Heh makanya jangan suka menodong suami dengan pertanyaan saat pulang, sekarang kelimpungan 'kan, saat adikku tidak pulang,"

Rita berucap sarkastis, ia sangat membenci Hasna sedari dulu, perlakuan bapaknya yakni bapak mertua Hasna yang selalu mengistimewakan wanita itu hingga ke akhir hayat beliau membuatnya menaruh dendam.

"Siapa yang datang, Rit?" terdengar suara Rusni dari dalam. wanita paruh baya itu melongok keluar demi melihat menantu pertama yang tak pernah di sukainya, ya. Rusni mengetahui pernikahan kedua Toha.

"Ini, Bu. Wanita ini mencari suaminya? Kasihan sekali ditinggal nikah. ups!" ucap Rita, wanita itu membekap mulutnya, pura-pura terkejut. Hasna tercengang, menatap bergantian kedua manusia di hadapannya, Rusni terlihat menyikut lengan Rita.

"Jadi kalian mengetahuinya?" tanyanya masih tercengang.

"Itu keinginan Toha sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan ibu!" ketus wanita itu berkacak pinggang.

"Ya! Tidak bersangkut paut denganmu, Bu! Tetapi Ibu berdausa tak menasihati putramu untuk sekedar mengabarkan padaku!" Hardik Hasna geram.

"Heiiii! Jalang! Jaga mulutmu dari menghakimi ibuku, dasar tidak tahu di untung!" teriak Rita tak kalah lantang, mata wanita berkulit kecokelatan itu nyalang menatap Hasna.

Wanita itu mengusap kepala putrinya yang menangis karena terkejut mendengar teriakan Rita, ia menghirup udar dalam-dalam guna menetralkan emosinya, berbicara dengan dua orang kurang adab sama sekali tak berguna. Masalahnya adalah Toha, secepatnya ia harus bertemu dengan lelaki itu.

"Baiklah, Bu! Aku tahu kalian tak menyukaiku, bahkan anakku, darah daging putra Ibu. tetapi bersimpatilah, setidaknya sebagai sesama perempuan. Jika kalian mengetahui keberadaan Bang Toha, tolong suruh dia pulang, kami harus menyelesaikan masalah ini berdua," 

Setelah berkata demikian Hasna membalikkan badan, kemudian melangkah pergi, menumpangi taksi yang masih setia menunggunya di depan pagar. Tak ia pedulikan lagi hardik cebik dua manusia di belakangnya.

Alya terus menangis hingga di dalam mobil, ia mencoba menenangkannya dengan shalawat dan nasyid-nasyid merdu meski pun air matanya terus berderai, merasa sakit karena persekongkolan mereka untuk menghianatinya. Tidak ada siapa pun di sana untuk di harapkan membelanya, wanita itu tergugu pilu, sopir taksi yang melihatnya turut merasa iba, pria paruh baya itu menyodorkan kotak tisu untuk Hasna.

"Ini, Neng. Saya tidak tahu masalah Neng, tapi serumit-rumitnya masalah pasti ada jalan keluarnya. Yang sabar ya!" ujar sopir itu bersimpati.

"Makasih, Pak!" sahut Hasna seraya menerima kotak tisu itu, netranya menerawang jauh ke jalanan. Sopir itu benar, ia harus berhenti menangisi dia yang tak menganggapnya ada. 

Tak lama setelahnya ia sampai di kediamannya, ia membuka pagar rumah kontrakan sederhananya, ia bahkan rela tinggal di sana, membayar sewa setiap bulan tanpa membebani Toha, tetapi apa yang di dapatnya? Pengkhianatan paling kejam sebagai balasan.

Wanita itu berjalan memasuki rumah, menidurkan bayinya ke dalam ayunan, kemudian beranjak melaksanakan shalat Zuhur. Dia mengibai kepada Rabbnya, melangitkan doa kepada sang pencipta.

"Ya Allah ... jika jodohku dengan suamiku berakhir di sini, berilah hamba kekuatan untuk melepasnya, pelihara hamba daripada dosa, pelihara hamba dari bisikan syaitan, amin." Hasna menutup doanya dengan mengusap tangan di wajahnya.

Wanita itu menyimpan peralatan salatnya, tiba-tiba terdengar langkah kaki tergesa dari ruang tamu, ia bergegas keluar. Hasna mematung di tempat, penyebab semua sesak sudah berdiri menjulang di hadapannya, dia berjalan dengan langkah pelan dan tatapan lurus ke arah Toha.

"Hasna ...."

Bersambung.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status