Share

Kembali Pulang

Jonathan kembali ke rumah sakit. Sedangkan Jenia tidak ingin berlama-lama berada di kamar kossan Cherry. Setelah mendengarkan cerita Bu Yuni panjang lebar, Jenia memberanikan dirinya untuk kembali pulang ke rumah.

“Aku pulang!” sapa Jenia dengan lemas.

Julia, Ibu tiri Jenia tengah sibuk membaca majalah harian terkejut dengan kedatangan Jenia kali ini. Ia berdiri bertolak pinggang menatap Jenia dengan tatapan yang begitu kejam berselimut amarah.

“Oh, enak sekali ya hidupmu, setelah pergi tanpa kabar kamu pulang begitu saja!” omel Julia dengan nada tinggi.

“Ma, aku lelah. Aku tidak ingin berdebat dengan Mama!” ucap Jenia terus melangkah masuk ke dalam rumahnya berusaha untuk mengabaikan Julia yang memerah karena marah.

Julia berjalan menghampiri Jenia. Ia merasa kesal dengan sikap Jenia yang mengabaikannya.

Plak!!!

Satu tamparan melesat di pipi Jenia sehingga pipi itu berjejak merah. Jenia memegang pipinya yang terasa sakit. Ia berusaha untuk menahan amarahnya karena tidak ingin memperpanjang masalah dengan ibu tirinya saat ini.

Jenia melanjutkan langkah kakinya menaiki anak tangga yang sudah berada di depan matanya saat ini.

“Dari mana saja kamu, heh? Pergi tanpa kabar seperti ini. Apa kamu tidak pernah memikirkan sedikitpun perasaan Papamu, Jenia?” tanya Julia dengan suara yang lantang.

“Ma, aku sangat lelah, aku ingin istirahat, aku tidak ingin berdebat dengan Mama saat ini!” ucap Jenia  terus melangkah.

“Dasar anak tidak tahu di untung kamu, kami semua di rumah ini sudah sangat resah karena kamu yang pergi tanpa kabar, tetapi kamu malah bersikap seolah kamu tidak membuat kesalahan saat ini!” omel Jenia.

“Lalu aku bisa apa Ma? Aku sudah bilang pada Mama, aku tidak ingin berdebat dengan Mama kali ini, biarkan aku istirahat!” bentak Jenia.

“Jenia! beginikah caramu bicara dengan orang tua, heh?” Maheza keluar dari dalam kamarnya untuk menghampiri Julia dan Jenia yang tengah berdebat.

“Ma, Pa. Maafkan aku, tetapi aku sedang tidak ingin berdebat dengan kalian saat ini!” Jenia berlari masuk ke dalam kamarnya.

“Jenia!” panggil Maheza.

Jenia terus berlari dan mengacuhkan panggilan Maheza dan Julia yang tampak kesal dengan sikap Jenia.

“Kamu lihat sendiri ‘kan mas, dia sama sekali tidak hormat padaku, padahal aku sebagai ibu sambungnya juga memiliki hak untuk mempedulikan dia dan menanyakan keberadaannya,” keluh Julia.

“Kamu tidak salah sayang, anak itu sungguh keras kepala, nanti aku yang akan bicara padanya!” ucap Maheza berusaha untuk menenangkan sang istri yang tengah kesal pada Jenia.

Di dalam kamar, Jenia menyembunyikan wajahnya di balik bantal. Ia menumpahkan air mata yang tidak lagi mampu ia tahan.

Entah dosa apa yang pernah Jenia lakukan selama ini, sehingga ia harus menjalani kehidupan yang ia sendiri merasa jijik untuk memikirkan apa yang telah terjadi padanya.

Jenia terus menangis, hingga ia tertidur dan langit semakin gelap. Sedangkan di ruang makan, Julia, Maheza dan kedua kakak tirinya Erlina serta Erliza, sudah berkumpul menantikan kehadirannya.

“Erlina, panggil adikmu ke sini. Ajak dia makan bersama dengan kita di sini! Sedari siang dia tidak keluar” titah Julia.

“Apa Jenia sudah pulang, Ma?” tanya Erliza yang juga berada di sana merasa kaget mendengarkan Julia meminta kakaknya untuk memanggil Jenia.

“Baiklah, Ma!” Erlina beranjak dan melangkah menuju kamar Jenia.

“Je, kamu masih di dalam ‘kan Je, turun yuk, kita makan malam bersama, Mama dan Papa sudah menunggumu, Je.” Erlina berusaha untuk memanggil Jenia.

Dibandingkan dengan Erliza, Erlina lebih baik dan lebih peduli kepada Jenia. Erlina memperlakukan Jenia sama seperti ia memperlakukan Erliza.

Erlina terus mengetuk pintu kamar Jenia yang terkunci. Tidak biasanya Jenia mengunci pintu kamarnya.

“Je, kamu belum makan loh dari kamu pulang tadi!” ajak Erlina lagi.

“Aku tidak makan kak! Sampaikan pada Mama dan Papa, aku masih kenyang!” sorak Jenia dengan suara parau dari dalam kamarnya.

“Je, bagaimana bisa kamu masih kenyang, sedangkan tadi siang juga kamu tidak makan sedikitpun!”

“Kak, jangan pedulikan aku. Katakan pada Mama dan Papa bahwa aku sudah makan dari tadi. Pergilah!” sorak Jenia dari dalam kamar.

Erlina merasa bingung, ada hal yang aneh yang tidak biasa Jenia tunjukkan kepadanya. Selama ini bagi Jenia makan adalah hal yang nomer satu. Meskipun ia sedang bertengkar dengan Mama ataupun dengan Papa, dia tetap akan berada di sana.

Namun, kali ini Jenia tampak berbeda setelah kembali ke rumah. Entah masalah apa yang tengah Jenia hadapi saat ini sehingga ia begitu enggan untuk turun bersama dengan Erlina.

Jenia memandang dirinya dari balik kaca. Matanya membengkak karena air mata yang enggan berhenti mengalir dari bendungannya. Pikirannya masih mengarah pada apa yang telah ia terima semalam.

Ia merasa menjadi gadis yang begitu malang, setelah keluar dari perangkap singa, ia malah ditangkap dan ditikam oleh sang buaya. Bayangan yang terjadi padanya masih terus terlintas dalam benaknya.

“Aaah…” Jenia melempar cermin yang sedari tadi ia pandangi dengan sisir yang ada di tangannya.

Kaca itu pecah dan jatuh berderaian. Jenia kembali ke atas tempat tidur.

“Ma, apa salah Jenia Ma? Kenapa takdir hidup Jenia harus seperti ini, Ma?” rengek Jenia memandang pada poto sang ibu kandung yang ia dekap.

“Jenia selama ini selalu berusaha untuk menjadi anak yang baik, Ma. Apa Jenia tidak pantas untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik seperti gadis lain?”

“Kenapa Jenia harus menempuh jalan yang penuh dengan duri dan penuh dengan debu sehingga Jenia merasakan kepedihan ini, Ma?”

“Ma, Jenia butuh Mama untuk menumpahkan derita hati Jenia saat ini, Ma!”

“Ma, apa Jenia harus mati sehingga Jenia bisa mendapatkan pelukan dari Mama dan mengakhiri semua ini?” tanya Jenia penuh penyesalan.

“Apa yang harus Jenia lakukan, Ma? Katakan padaku Ma? Jenia harus apa?”

Jenia terus merengek, menangis terisak. Ruangan yang kelam itu menambah sendu malam Jenia. Tubuh Jenia menggigil kedinginan, meskipun ia sudah menyelimuti tubuhnya, tetapi rasa dingin itu enggan untuk pergi.

Jenia berselimutkan duka dan air mata. Meringkuk dalam penyesalan rasa bersalah yang ia sendiri tak tahu apa salahnya sehingga takdir begitu kejam kepadanya.

Sementara itu, Jonathan berada di dalam ruangan di mana Marvin di rawat. Ia menatap iba pada Marvin yang terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit. Selama ini sahabatnya begitu anti dengan rumah sakit, meskipun dia memiliki rumah sakit keluarga.

Tetapi kali ini, Marvin tampak seperti orang lemah dengan balutan perban di kepalanya.

“Vin, kamu kenapa ceroboh begini sih? Padahal kamu adalah orang yang paling teliti. Kamu tidak mungkin salah dalam mempekerjakan pengawal, hingga kamu mendapatkan celaka seperti ini!” keluh Jonathan memandang iba pada sahabatnya.

Marvin hanya bisa tersenyum. Ia tahu sahabatnya itu tengah mengasihaninya. Namun, Marvin bukanlah sosok yang menerima kata kasihani begitu saja dari sahabatnya.

“Kamu mau tahu cerita yang sebenarnya?” bisik Marvin tersenyum simpul.

Ferdinand seketika menghampiri Marvin dan berdiri di sebelah Jonathan. Ferdinand menggeleng-gelengkan kepalanya kepada Marvin.

Ponsel Jonathan kembali berdering, segera Jonathan mengangkat panggilan telpon itu dan meninggalkan Ferdinand dan Marvin.

“Aku mohon Vin, jangan katakan apapun kepada Kak Jonathan. Hal ini akan tetap menjadi rahasia kita berdua, jika kamu peduli dengan hubungan kami, jangan libatkan dia!” pinta Ferdinand.

Marvin mengerjapkan matanya dengan pelan, sejenak ia memikirkan apa yang akan terjadi jika Jonathan tahu tentang apa yang menimpanya hingga ia terbaring di rumah sakit.

“Aku rasa aku harus menyampaikan kepada Jonathan!” bisik Marvin pelan.

Ferdinand merasa hidupnya akan segera berakhir kali ini mendengarkan perkataan Marvin.

“Kamu benar-benar akan membunuhku secara perlahan-lahan!” geram Ferdinand mengepalkan tangannya.

*** Bersambung ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status