Jonathan merasa tubuhnya begitu ringan kali ini, padahal dengan jelas semalam ia tidur sembari mendekap Jenia. Ia tidak bisa merasakan keberadaan gadis yang semalam menggigil kedinginan di dalam dekapannya.
Jonathan membuka matanya ia segera membetulkan posisi duduknya. Jenia sudah tidak ada di dekatnya. Ia menatap ke sekitar, Jenia sudah tidak ada di dalam ruangan itu.
Jonathan berdiri dan mencari Jenia keluar. Berharap gadis itu masih berada di dalam apartemennya.
“Gadis itu sudah pergi, dia pasti berpikir yang tidak-tidak tentangku!” pikirnya sembari memukul-mukul kepalanya. Jonathan merasa bersalah pada Jenia, karena gadis itu baru saja keluar dari masalahnya dan kini ia memberikan masalah baru pada Jenia.
“Bodoh… bodoh… bodoh!” ucap Jonathan mengatai dirinya sendiri.
Jenia pasti tidak akan menerima alasannya hingga ia harus mendekap Jenia semalaman. Jonathan tidak bisa berpikir lain, selain memikirkan tanggapan Jenia kepadanya.
Jonathan mengambil ponselnya yang ia taruh di atas nakas. Ponsel itu sedari malam mati karena kehabisan bateray. Sambil mencharger ponselnya, Jonathan menyalakan kembali ponselnya.
Seketika ponsel itu baru saja menyala, satu panggilan masuk dari adiknya, Ferdinand. Jonathan merasa ragu untuk mengangkat telpon itu atau membiarkan saja karena pikirannya kini terpaku pada Jenia yang melarikan diri dari rumahnya dan Jonathan yang diselimuti rasa bersalah.
[Kak Jo, kakak dari mana saja? Kenapa kakak tidak mengaktifkan ponsel kakak?] tanya Ferdinand bertubi-tubi. Suara Ferdinand terdengar begitu kesal padanya.
“Maaf, semalaman ponselku mati karena kehabisan bateray, ada apa Fer?” Jonathan berbalik tanya.
[Marvin mengalami kecelakaan semalam, saat ini ia sedang di rawat di rumah sakit di dekat Vila.]
“Lalu keadaannya bagaimana?” tanya Jonathan kaget dengan kabar yang diberikan Ferdinand.
[Keadaannya sudah mulai membaik. Rencananya siang ini dia akan dipindahkan ke rumah sakit keluarga di Jakarta.]
“Ah, syukurlah kalau begitu. Kenapa dia begitu ceroboh hingga bisa kecelakaan?” tanya Jonathan.
[ceritanya sangat panjang, aku minta kakak untuk mengurus ke rumah sakit keluarga, dan minta mereka menyiapkan kamar naratama yang sangat nyaman untuk Marvin,]
“Baiklah, aku akan mengurusnya. Kamu jaga saja dia baik-baik!”
Jonathan menutup telponnya, setelah membersihkan tubuhnya, Jonathan segera menuju rumah sakit swasta milik keluarga Marvin untuk menyampaikan pesan yang disampaikan oleh Ferdinand kepadanya.
Setelah melaksanakan tugasnya, Jonathan tidak segera kembali ke kantornya ataupun menunggu kedatangan Ferdinand dan Marvin di rumah sakit itu, tetapi Jonathan pergi ke sebuah tempat untuk melepaskan rasa rindunya pada sang kekasih yang tidak dapat ia sampaikan meskipun melalui telpon saja.
Jonathan menghentikan mobilnya di parkiran sebuah kossan, di mana biasanya setiap pagi ia menunggu untuk menjemput salah seorang gadis yang ngekoss di sana dan bersama-sama dengan gadis itu menuju ke kantornya.
“Eh, Nak Jo, mencari Cherry juga?” sapa Bu Yuni yang tengah menyapu halaman di bantu dengan penghuni lain.
Jonathan tersenyum dan tidak menjawab. Ia sendiri sudah tahu bahwa Cherry sudah tidak ada di sana sekarang ini, karena Cherry sudah pergi meninggalkannya entah kemana.
Jonathan melangkah dengan pasti tanpa menjawab pertanyaan Bu Yuni dan masuk ke dalam kamar Cherry yang tidak terkunci. Jonathan berharap di dalam kamar yang ditinggalkan Cherry terdapat sebuah surat ataupun poto serta sebuah alamat Cherry di kampungnya sehingga ia bisa menyusul gadis yang ia rindukan.
Jonathan mendengarkan suara gemercik air dari dalam kamar mandi milik Cherry. Jonathan merasa senang ia berpikir bahwa Cherry masih berada di sana.
“Mungkin saja Cherry mengurungkan niatnya untuk pergi dari sini, tetapi dia enggan untuk mengatakannya padaku,” pikir Jonathan terus melangkah menuju kamar mandi yang terenggang pintunya.
Jonathan membulatkan matanya melihat seseorang yang tampak pasrah membenamkan dirinya di dalam bathtub itu. Jonathan mengira gadis itu adalah Cherry, dengan segera ia menarik tangan gadis di dalam bathtub itu dan menggendongnya keluar.
“Jenia!” Jonathan merasa heran dengan keberadaan Jenia.
“Apa yang dia lakukan di sini?” tanya Jonathan menggendong Jenia yang basah kuyup dan mengeluarkan Jenia dari bathtub itu.
“Je, bangun Je!” panggil Jonathan menggoyang-goyangkan tubuh Jenia. Namun, Jenia juga tidak jua sadar. Tubuh Jenia yang basah kuyup begitu dingin.
Jonathan merasakan denyut nadi Jenia. Matanya membulalang ketika ia merasa denyut nadi Jenia begitu lemah.
“Dasar bodoh, apa dia mau bunuh diri dengan cara seperti ini?” geram Jonathan melepaskan jas yang menempel di tubuhnya dan menyelimuti Jenia dengan jasnya itu.
Jonathan mengambil tindakan pertolongan pertama. Ia menekan dada Jenia dengan kedua tangannya berharap air yang masuk ke dalam tubuh Jenia bisa segera keluar. Namun, Jenia tidak jua tersedak.
Jonathan menggoyang-goyangkan tubuh Jenia, mengusap-usap kedua tangan Jenia dengan tangannya, agar Jenia merasakan kehangatan karena gesekan tangannya itu.
“Apa aku harus memberikan napas bantuan kepadanya?” tanya Jonathan pada dirinya sendiri sejenak ia berpikir apakah cara itu dapat ampuh dan membuat gadis itu terbangun.
Tidak ada cara lain, Jonathan menekan kembali di bagian dada Jenia, kemudian ia memencet hidung Jenia dengan kedua jari kirinya dan memberikan napas buatan melalui bibirnya. Jonathan terpaksa melakukan hal yang belum pernah ia lakukan kepada siapapun termasuk kepada Cherry, kekasihnya dulu.
Jonathan mengulangi kegiatan yang sama hingga tiga kali. Jenia tersedak, ia pun terbatuk hingga mengeluarkan air dari mulut dan hidungnya.
Melihat Jenia yang tersedak, Jonathan mengusap kembali telapak tangan Jenia. Jenia sudah mulai sadar ia mendorong Jonathan yang telah menyelamatkannya.
Bu Yuni sedari tadi berada di belakang Jonathan untuk melihat pasti apa yang terjadi pada Jenia saat ini. Bu Yuni yang semulanya merasa cemas dan khawatir pada Jenia, mulai merasa sedikit lega karena pertolongan pertama yang diberikan oleh Jonathan.
“Bu Yuni, saya minta tolong sama Ibu untuk membantu gadis ini mengganti pakaiannya yang basah,” Jonathan yang terjatuh di lantai segera beranjak dan memberikan tugas selanjutnya kepada Bu Yuni.
Jenia sudah sadar sepenuhnya. Ia duduk di atas lantai, memandang marah pada Jonathan karena telah menyelamatkannya.
“Kenapa kamu di sini? Kenapa kamu menyelamatkan aku? Kenapa kamu tidak membiarkan aku mati saja?” rengek Jenia merasa kesal dengan Jonathan yang telah menyelamatkannya di saat ia merasa putus asa.
“Nak Je, kenapa berkata seperti itu, apa yang dilakukan oleh nak Jo adalah benar, jika dia tidak datang, entah apa yang akan terjadi padamu,” ucap Bu Yuni menengahi.
“Sebaiknya, kamu tunggu di luar saja!” Bu Yuni meminta Jonathan untuk keluar dan menutup pintu kamar itu.
“Di dalam lemari Cherry ada beberapa pakaian yang ia tinggalkan, Ibu harap, kejadian seperti ini tidak terulang lagi. Ibu tidak ingin kossan ini menjadi angker karena ada seorang gadis yang berusaha untuk bunuh diri di sini!” ucap Bu Yuni dengan jelas.
Jenia memeluk Bu Yuni dengan sangat erat. Kali ini ia tidak tahu harus bersandar pada siapa. Jenia merasa tidak memiliki tempat untuk melabuhkan kepalanya dan menangis, menumpahkan segala kesedihan, kemarahan dan emosi yang menyelimuti dirinya.
Jenia memang sudah terlepas dari jerat pria kejam yang mengurungnya di Vila dengan memaksanya untuk menandatangani perjanjian yang begitu konyol baginya. Namun, rasa amarah masih menggeluti Jenia sehingga ia tidak bisa lagi berpikir dengan logikanya.
“Menangislah nak!” ucap Bu Yuni mengusap kepala Jenia dengan lembut, seakan ia menjadi seorang ibu yang berusaha untuk mengertikan anaknya yang tengah berkelibut asa.
“Huhuhu!” tangisan Jenia terdengar hingga ke telinga Jonathan yang masih berdiri di depan kamar itu. Jonathan merasa iba pada gadis yang tengah terisak di dalam kamar itu. Ia merasa bersalah, apakah gadis itu marah kepadanya karena semalaman Jonathan mendekapnya?
*** Bersambung ***
Jonathan kembali ke rumah sakit. Sedangkan Jenia tidak ingin berlama-lama berada di kamar kossan Cherry. Setelah mendengarkan cerita Bu Yuni panjang lebar, Jenia memberanikan dirinya untuk kembali pulang ke rumah. “Aku pulang!” sapa Jenia dengan lemas. Julia, Ibu tiri Jenia tengah sibuk membaca majalah harian terkejut dengan kedatangan Jenia kali ini. Ia berdiri bertolak pinggang menatap Jenia dengan tatapan yang begitu kejam berselimut amarah. “Oh, enak sekali ya hidupmu, setelah pergi tanpa kabar kamu pulang begitu saja!” omel Julia dengan nada tinggi. “Ma, aku lelah. Aku tidak ingin berdebat dengan Mama!” ucap Jenia terus melangkah masuk ke dalam rumahnya berusaha untuk mengabaikan Julia yang memerah karena marah. Julia berjalan menghampiri Jenia. Ia merasa kesal dengan sikap Jenia yang mengabaikannya. Plak!!! Satu tamparan melesat di pipi Jenia sehingga pipi itu berjejak merah. Jenia memegang pipinya yang terasa sakit. Ia b
Jonathan kembali masuk ke dalam ruangan di mana Ferdinand tampak tegang. Entah apa yang sedang mereka bicarakan kali ini membuat rasa penasarannya semakin membuncah. “Apa yang sedang kalian bicarakan? Kenapa sikap kamu seperti kawat tegang begitu?” tanya Jonathan menepuk pundak Ferdinand yang tengah berusaha menyembunyikan wajahnya dari sang kakak. “Ha, enak saja, lihat ini, bahkan aku lebih tampan darimu!” keluh Ferdinand. “Kami hanya sedang membicarakan pertemuan kita yang gagal.” “Oh ya, aku juga minta maaf karena ada hal yang mendesak sehingga aku tidak bisa mengunjungimu tadi malam!” ucap Jonathan penuh sesal. “Hal mendesak apa yang pernah kamu lakukan kak, selain pekerjaan? Bukankah semua pekerjaan sudah beres?” tanya Ferdinand merasa curiga. Ferdinand merasa heran karena kakaknya selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan, bahkan dari yang Ferdinand tahu selama ini, Cherry berniat memutuskannya karena Jonathan tidak pernah memilik
Jenia menyeka air mata yang terus-terusan tumpah karena penyesalan atas diri yang tidak bisa ia jaga. Ia tidak ingin terus berada di ambang kehancuran seperti yang ia rasakan. Ia berdiri di depan pintu, berniat untuk keluar kamar. Namun, Jenia mengurungkan niatnya ketika mendengar suara perdebatan antara Erliza dan Erlina di depan kamarnya. Di luar kamar, Erlina membawakan makanan untuk Jenia. Ia merasa iba kepada Jenia, meskipun Jenia hanyalah adik tirinya saja, tetapi rasa sayangnya kepada Jenia sama besar dengan kasih sayang yang Erlina berikan kepada Erliza. “Kakak kenapa selalu bersikap sok baik sama Jenia? Biarkan saja dia mati kelaparan karena tidak makan. Siapa suruh dia mengurung diri saja di kamar sejak dia pulang?” gerutu Erliza merasa cemburu melihat Erlina yang selalu baik kepada Jenia. “Za, kamu tidak boleh berkata kasar seperti itu, bagaimanapun Jenia adalah adikku, aku tidak ingin terjadi sesuatu hal kepadanya,” “Dia hany
Sudah dua bulan lamanya Jenia kembali pulang ke rumah. Ia juga memutuskan untuk kembali menjalankan aktifitasnya di sebuah toko kue tempat ia bekerja. Jenia tidak ingin menghabiskan waktu dan tenaganya untuk menangisi apa yang telah terjadi padanya saat ini. Ia masih terus berusaha untuk membungkam semua rahasia tentang malam itu dari keluarga besarnya. Jenia tidak ingin menjadi beban pikiran bagi keluarganya, Jenia memutuskan untuk selalu diam dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja. "Je, kamu terlihat pucat, apa kamu sedang kurang sehat?" tanya Dion, salah seorang rekan kerja Jenia. "Iya, sepertinya aku agak sedikit pusing," ucap Jenia memija-mijat pelipisnya. "Kalau kamu merasa pusing, sebaiknya kamu duduk dan istirahat saja dulu, biar aku yang menggantikan kamu mengadon kue-kue ini." "Tidak Dion, pekerjaanmu juga masih banyak bukan? Aku masih bisa mengerjakan semua ini." Jenia menolak. Jenia tidak ingin Dion men
Jonathan menghentikan mobilnya di parkiran sebuah café. Namun, ia tidak segera turun dari mobil. Dia masih duduk diam menantikan jawaban dari bibir Jenia yang masih bungkam.Sementara di sebelahnya, Jenia hanya bisa melentikkan jarinya. Jenia enggan menjawab pertanyaan yang disodorkan oleh Jonathan kepadanya.“Apa begitu sulitnya bagimu untuk menjawab pertanyaanku?” Tanya Jonathan tidak mampu untuk menunggu lama atas pertanyaan itu.“Aku tidak tahu, apa sebenarnya hubunganku dengan Cherry dan kenapa kamu sangat ingin tahu apa yang terjadi antara aku dan Cherry?” Tanya Jenia dengan nada datar.Jonathan memandang tak percaya kepada gadis yang hanya menatap ke arah depan tanpa mengabaikannya.“Hm…” Jonathan mengembuskan napas dengan kasar.Hatinya berkata lain, ada sesuatu yang telah terjadi antara Jenia dan Cherry. Jonathan semakin penasaran, ia semakin ingin tahu apa yang telah membawa Cherry
“Apa yang Dokter katakan? Kenapa Anda tidak bisa memeriksa putri kami? Bukankah Anda seorang Dokter professional?” Tanya Maheza.Maheza tidak memahami dengan pasti apa yang dimaksud oleh Dokter Vina. Entah alasan apa yang membuat Dokter Vina meminta Jenia untuk diperiksa oleh Dokter kandungan dan melakukan test.“Sebaiknya, tunggu Jenia sampai sadar dan minta dia untuk melakukan test pack, Julia.” ucap Dokter Vina kepada Julia.“Apa maksudmu, Vin? Apa yang terjadi pada Jenia? Katakan kepada kami, Vin! Jangan membuat kami merasa bodoh seperti ini!” Julia tampak tidak bisa menerima apa yang sahabatnya katakan.Selain menjadi Dokter keluarga, Dokter Vina merupakan sahabat Julia sejak mereka masih kuliah.“Aku tidak bisa memberikan diagnosis pasti, Julia, tetapi dari hasil pemeriksaan dan diagnosisku, Jenia hamil!”Bagaikan guruh dan petir yang menyambar bersamaan di atas puncak kepala, semua
“Apa yang membuat kakak termenung seperti ini? Tidak biasanya seorang Jonathan murung seperti ini karena wanita!” Ferdinan mengambil pena yang berada di tangan Jonathan dengan paksa, membuyarkan lamunan Jonathan yang menerawang jauh entah kemana. Jonathan hanya bisa pasrah ketika sang adik, Ferdinan mengganggunya di saat-saat seperti ini. Sebelum pulang, pria jangkung itu sudah terbiasa mendatangi ruang kerja kakaknya untuk memastikan bahwa Jonathan sudah pulang atau masih sibuk dengan pekerjaannya. “Kak, kenapa kakak tidak pulang? Kenapa harus termenung di sini? Apa kakak masih memikirkan Cherry?” goda Ferdinand. “Jangan asal bicara, aku hanya sedang memikirkan pekerjaanku saja!” ucap Jonathan kembali duduk di atas kursi kerjanya. “Kakak tidak akan bisa berbohong kepadaku, matamu focus menatap langit. Mana ada pekerjaanmu di atas langit,” kekeh Ferdinand. “Aku hanya memikirkan tentang proyek kerja sama kita dengan Marvin,” sela Jonath
Jenia duduk tersandar di sudut kamarnya. Kedua tangannya memeluk lutut dengan kepala dimiringkan ke samping. Ia menatap ke arah langit luar di mana langit mendung seakan menemaninya. Tatapannya begitu kosong, sorot mata itu seakan tidak ada kegairahan dalam hidup. Menerawang jauh akan masa depan yang akan ia hadapi saat ini. Ia semakin mengeratkan tangannya, tangisannya kembali pecah. Namun, ia sembunyikan di balik lipatan tangannya. Jenia bingung, ia tidak tahu harus berbuat apa lagi setelah keluarganya mengetahui kehamilannya. Menjadi seorang wanita yang gagal dalam menjaga kehormatan dirinya sendiri dan keluarganya membuat Jenia semakin merasa bersalah. Bagaikan seorang benalu yang hanya bisa memberikan malu dan aib bagi keluarganya, itulah yang dirasakan oleh Jenia saat ini. Jenia terus menangis penuh penyesalan. “Jenia, bersiap-siaplah, kita harus ke rumah sakit!” panggil Julia dari luar kamar. Mendengarkan suara Julia yang memang