Hidup Jenia berubah seketika saat malam ia bertemu dengan sahabatnya yang sedang patah hati di sebuah bar. Namun, kehadiran Jenia bukan untuk menghibur sahabatnya, Cherry, tetapi gadis itu malah menjual Jenia kepada seorang duda kaya angkuh dan kasar, Marvin Hadijaya Sasena CEO dari Sasena Group yang sangat menginginkan seorang ahli waris tanpa harus menikah dengan Jenia. Rasa cemburu social dan kebencian yang sudah tertanam di hati Cherry karena sikap baik Jenia,terlebih hutang yang melilit keluarganya di kampung membuatnya mengambil tindakan lain dan menjual Jenia dengan harga tinggi. Namun, Jenia tidak pernah menyangka dengan apa yang dilakukan oleh sahabatnya. Baginya Cherry tetaplah seorang sahabat. Dengan mencelakai Marvin, Jenia berhasil lolos dari tempatnya terkurung kemudian ia bertemu dengan Jonathan seorang CEO tampan dari Aleandra Group yang merupakan sahabat Marvin, juga kekasih Cherry. Jonathan menyelamatkan Jenia dan membawa Jenia kembali ke Jakarta. Cukup lama Jenia berusaha untuk bangkit dari keterpurukannya dan menjalin pertemanan dengan Jonathan yang selalu berusaha untuk membantunya. Penderitaan lain menghampiri Jenia. Kenyataan bahwa ia tengah hamil diketahui oleh keluarga bahkan teman-teman di tempatnya bekerja. Namun, Jenia terus bungkam dan enggan untuk menyebutkan siapa yang telah menghamilinya karena Jenia sendiri tidak tahu seperti apa wajah dan nama pria yang menghamilinya, karena setiap bertemu, pria itu menggunakan topeng di wajahnya. Bahkan pria bertopeng itu hanya menyebutkan Mr.M sebagai inisialnya. Hanya Cherry yang tahu siapa pria yang telah membuatnya hamil. Namun, keberadaan Cherry sama sekali tidak Jenia ketahui.
View MoreMentari pagi beranjak naik menyinari bumi pertiwi. Hangatnya sinar sang surya tembus mencapai ruangan di mana seorang gadis berparas imut dan lugu terbaring di sebuah ranjang bewarna keemasan.
Namanya Jenia Maheza, gelitik sinar mentari seakan memintanya untuk segera bangkit dari lelapnya.
Perlahan Jenia membuka kelopak matanya. Menatap pada sumber sinar yang berasal dari jendela ruangan itu. Cahaya mentari menyilaukan mata, membuatnya kesulitan untuk membuka matanya, kepalanya juga terasa begitu berat, padahal Jenia sangat ingat, ia sama sekali tidak menyeruput minuman berbau alcohol yang terhidang di hadapannya, tadi malam.
Tubuhnya terasa pegal-pegal, membuat Jenia enggan untuk beranjak dari tempatnya berbaring. Ia kembali menarik selimut dan menutupi tubuhnya. Sontak ia merasa hal yang aneh menyelimutinya saat ini.
Dengan perasaan was-was, Jenia melirik tubuhnya yang mungil itu dari balik selimut.
“Haa?” Jenia kaget, ia segera duduk dan melihat dirinya sendiri. Tidak ada sehelai benangpun yang menempel di tubuhnya saat ini.
Sigap, Jenia duduk, masih dengan selimut sebagai pembungkus tubuhnya.
“Apa yang terjadi padaku? Kemana pakaianku?” tanya Jenia dengan lugu pada dirinya sendiri.
Matanya melirik ke sana kemari mencari-cari pakaian yang ia kenakan semalam. Ia mendapati pakaian itu berserakan di atas lantai di kamar yang asing baginya. Entah di mana ia berada saat ini.
“Apa yang terjadi padaku? Aku di mana? Ini bukan kamarku. Apa aku berada di kossan Cherry? Tidak! Ini bukan tempatnya!” Jenia terus bertanya-tanya meskipun ia tahu, ia tidak akan mendapatkan jawaban atas pertanyaannya itu karena tak ada orang di sana.
Jenia beranjak, masih dengan menggunakan selimut sebagai pembungkus tubuhnya. Segera ia mengutip satu persatu pakaiannya yang berserakan, lalu mengenakan kembali pakaian itu dengan tergesa-gesa.
Jenia merasa kakinya begitu lemas, bagian kewanitaannya pun terasa begitu sakit dan nyeri. Jantungnya semakin berdetak tidak karuan saat melihat noda merah di atas ranjang tempat semula ia terjaga.
“Apa yang terjadi padaku? Ini bukan jadwal menstruasiku keluar,” dadanya mulai turun naik, napasnya seakan tercekat di tenggorokan. Dengan mata yang berlinang ia pun di bibir ranjang.
“Mungkinkah aku…” Jenia tidak bisa membayangkan apa yang sempat terlintas dalam benaknya saat ini.
“Tidak mungkin!” Jenia menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya dengan pikiran bodoh yang sempat terlintas olehnya.
“Hanya Cherry yang tahu apa yang terjadi padaku semalam!” seketika ingatannya mengarah pada Cherry, sahabat yang ia temui tadi malam di sebuah bar karena sahabatnya meminta untuk ditemani.
“Di mana ponselku?” Jenia membongkar tas tangan miliknya yang berada di atas nakas. Namun, ia tidak menemukan ponsel di dalam tas itu.
Tubuhnya seketika merasa semakin lemas. Harapannya seakan tidak terwujud.Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri akan apa yang terjadi padanya, pada malam di mana dia tidak mengingat apapun.
Jenia berjalan menuju pintu, tetapi pintu kamar itu terkunci dari luar. Jenia merasa terkurung di dalam ruangan mewah itu.
“Hallo, apa ada orang di luar? Aku terkunci di dalam sini. Jika kalian petugas hotel, tolong keluarkan aku!” pekik Jenia dangan hati yang lara.
Tidak ada sahutan dari luar kamar membuat Jenia semakin merasa aneh dan ketakutan.
Jenia duduk di atas lantai sembari memeluk lutut dan menangisi apa yang telah terjadi padanya.
Jenia harus berusaha ekstra untuk mengingat apa yang telah terjadi padanya saat ini, meskipun ingatan itu sedang tidak bersahabat dengannya.
Perlahan Jenia mulai mengingat apa yang terjadi padanya semalam.
Ia mendapatkan telpon dari Cherry, sahabat karibnya sejak mereka duduk di bangku SMA. Saat itu, Jenia baru saja pulang dari toko tempat ia bekerja.
“Je, aku mohon, temani aku malam ini!” suara rengekan Cherry terdengar jelas di telinga Jenia ketika Jenia baru saja mengangkat telponnya. Dari suara si penelpon, Jenia dapat merasakan kegusaran dalam hati Cherry.
“Ada apa, Cher? Kenapa kamu menangis seperti ini?” Jenia yang begitu polos menanyakan apa yang terjadi pada sahabatnya. Jenia paling tidak bisa mendengarkan sahabatnya yang menangis.
“Aku patah hati, aku baru saja putus dengan pacarku!” rengeknya lagi.
Jenia diam sejenak sebelum ia memutuskan untuk kembali bertanya pada Cherry. Jenia menatap pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Masih pukul sembilan kurang,” gumam Jenia.
Sejenak Jenia berpikir apakah malam ini ia akan menemani Cherry atau menolak ajakan Cherry untuk bertemu. Namun, Jenia merasa tidak tega mendengarkan suara rengekan Cherry yang masih terdengar jelas di telinganya. Bagaimanapun Cherry adalah sahabat terbaik yang selalu mendengarkan keluh kesahnya.
Bagi Jenia, Cherry tidak hanya seorang sahabat, ia sudah menganggap Cherry seperti saudaranya sendiri. Jenia tidak akan membiarkan Cherry menangis karena putus cinta dan bertindak yang aneh-aneh.
“Oke, aku akan segera ke sana, kamu kirim saja lokasinya! Sudah, kamu jangan menangis lagi!” Jenia berusaha menenangkan Cherry via telpon.
“Harus datang ya, Je!” pinta Cherry.
“Iya, Kamu tenang ya, Cher, tunggu aku sampai datang jangan beranjak selangkahpun, oke!” ujar Jenia kemudian menutup panggilan telponnya.
Jenia berdiri di bibir jalan, ia harus menyebrang untuk mendapatkan kendaraan yang akan membawanya ke tempat Cherry. Tidak sabar dengan lampu lalu lintas yang tidak kunjung menyalakan warna merah, Jenia menerobos, menyebrang di antara mobil yang saling bersahutan membunyikan klakson.
Hampir saja Jenia tertabrak oleh sebuah mobil sport, tanpa meminta maaf, Jenia terus berjalan, sedangkan pemilik mobil menghampiri Jenia dan memberikan Jenia sebuah kartu nama lalu pergi tanpa berkata-kata.
“Dasar orang aneh, hampir saja menabrak bukannya meminta maaf, malah memberikan kartu nama,” gumamnya membolak-balikan kartu nama yang ada di tangannya, lalu Jenia memasukkan kartu itu ke dalam saku celananya.
Tidak lama ia berdiri, sebuah taksi berhenti tepat di hadapannya dan mengantar Jenia ke alamat yang Jenia tunjukkan kepada sopir itu.
Setibanya di depan sebuah gedung, di mana di dalam gedung itu terdapat sebuah bar yang biasa dikunjungi Cherry ketika Cherry sedang merasa jenuh dengan kesibukannya sehari-hari, sedangkan Jenia hanya dua kali datang ke tempat itu.
Jenia celingak-celinguk menatap sekitar. Banyak muda mudi di sana untuk menghibur diri dari kepenatan menjalankan tugas duniawi di siang hari. Beberapa orang satpam berdiri dengan gagahnya di depan pintu.
Jenia melewati satpam itu dan masuk ke dalam, mencari keberadaan Cherry yang menelponnya sambil menangis-nangis. Sebelum masuk, Jenia membaca doá. Tempat itu bukanlah tempat yang pantas untuk Jenia masuki. Jika tidak karena terpaksa demi membahagiakan dan menghibur sahabatnya, Jenia begitu enggan untuk berada di sana.
“Cher, kamu kenapa?” tanya Jenia memeluk Cherry yang masih duduk sambil memegang minuman di tangannya.
“Lepaskan!” Jenia yang lugu melepaskan gelas yang ada di tangan Cherry. Jenia dapat merasakan kedukaan yang Cherry rasakan saat ini. Cherry tampak begitu patah hati, sehingga ia melarikan diri ke tempat hiburan malam dan meminum-minuman alcohol itu.
“Cher, ceritakan padaku ada apa? Kenapa pacarmu sampai memutuskan hubungan kalian?” tanya Jenia duduk di hadapan Cherry, menggenggam erat jari jemari Cherry, menguatkan Cherry yang tengah patah hati.
“Dia menuduhku berselingkuh, Je!” rengek Cherry lagi.
Jenia berusaha menghapus air mata yang mengalir di wajah Cherry.
“Kamu yang sabar ya, Je. Kamu harus kuat, lelaki di dunia ini tidak hanya dia saja!” Jenia berusaha untuk menguatkan sahabatnya yang tampak sedih karena perpisahan itu.
“Je, apa aku boleh minta sesuatu padamu?” tanya Cherry.
“Boleh, kamu mau apa?” tanya Cherry.
“Aku ingin kamu menemani aku minum malam ini!” pinta Cherry. Jenia terdiam sejenak menatap pada gelas dan sebotol anggur di mejanya saat ini.
Jenia meneguk salivanya, bagaimana bisa dia meminum-minuman beralkohol seperti itu, sedangkan Jenia tidak pernah merasakannya walau setetespun.
Jenia menarik napas dalam sebelum ia memberikan keputusan besar kepada Cherry.
“Baiklah aku akan menemanimu minum, tetapi aku tidak ingin minum-minuman anggur yang beralkohol seperti ini!” Jenia menyetujui permintaan Cherry dengan memberikan satu permintaan.
“Baiklah, kamu mau minum apa? Hm… maksudku, apa kamu mau jus orange?”
“Ya, jika ada, jika tidak ada, cukup berikan aku air putih saja,”
“Kamu ini nai’f atau bodoh sih, Je!” kekeh Cherry.
“Kamu tahu sendiri bukan, aku paling tidak bisa dengan minuman seperti ini, mencium aromanya saja, aku rasa mau muntah, bagaimana jika aku meminumnya, hergh!” Jenia bergidik merinding seketika ia membayangkan saat menyeruput minuman itu.
“Aku akan membawakan jus untukmu, tunggulah di sini!” Cherry beranjak hendak mengambil jus untuk Jenia, sedangkan Jenia duduk sembari tangannya sibuk dengan ponsel yang ada di tangannya.
“Ini, jus-mu, Je!” tidak lama, Cherry datang dan menyodorkan minuman itu kepada Jenia, Jenia pun menyeruput minuman itu.
Sambil duduk dan berusaha mengingat, akhirnya Jenia dapat mengingat bahwa dia tidak sadarkan diri setelah meminum jus jeruk yang diberikan Cherry kepadanya.
“Ya, aku ingat, aku meminum sebuah jus jeruk, lalu apa mungkin jus jeruk itu mengandung alcohol sehingga aku kehilangan kesadaranku?” Jenia memukul keningnya sendiri.
“Hanya segelas jus jeruk, rasanya sungguh tidak mungkin membuatku mabuk dan kehilangan kesadaranku,” pikirnya lagi membuatnya semakin pusing.
Ia mengambil tasnya dan menyalempangkan tas itu. Beranjak menuju pintu dengan kaki yang masih terasa lemas bergemetar.
Jenia menarik panel pintu, tetapi pintu itu masih terkunci, Jenia berteriak, “hey, apa ada orang? Aku terkunci di dalam sini, tolong keluarkan aku!”.
Jenia berharap lengkingan suaranya dapat didengarkan oleh orang yang berada di luar kamar itu.
“Ingat! Kalian harus menjaga gadis itu. Jangan biarkan dia keluar dari kamarnya, apa lagi keluar dari vila ini!” Jenia dapat mendengarkan suara parau seorang pria yang berada di luar kamarnya dengan menempelkan telinganya ke pintu. Nada bicaranya cukup tinggi dan membentak.
Mendengar bentakan itu, napas Jenia kembali tidak beraturan. Ia menjauhi dirinya dari balik pintu. Rasa takut mulai menghampirinya. Jenia berjalan menuju jendela. Menatap keluar, begitu rimbun pepohonan yang menjulang tinggi di luar sana.
“Di mana aku? Kenapa pria di luar itu mengatakan bahwa ini adalah Vila?” Jenia terus bertanya pada dirinya sendiri.
Ia begitu ingat semalam ia berada di sebuah bar, lalu mengapa ia ada di sebuah vila? Di vila mana ia berada saat ini? Apa yang sebenarnya terjadi pada Jenia hingga ia berada di tempat yang asing baginya?
*** Bersambung***
Jenia menyentak tubuh Jonathan ke dinding. Jonathan terpaku dengan sikap yang ditunjukkan Jenia kepadanya. Ia tidak menyangka gadis itu begitu kuat dan terpancar aura kemarahan darinya“Apa rahasia yang kamu ketahui tentang Cherry?” tanya Jenia lagi dengan nada memaksa.“Rahasia apa? Aku tidak tahu apa-apa,” sahut Jonathan kaget dengan sikap Jenia yang tiba-tiba bersikeras ingin mengetahui sesuatu darinya.“Ah, aku benar-benar merasa gila sekarang. Bagaimana mungkin aku berada di sini, sedangkan aku tidak tahu di mana keberadaan Cherry saat ini,” keluh Jenia.“Je, aku benar-benar bingung, sebenarnya apa hubunganmu dengan Cherry? Maksudku, saat itu kamu enggan untuk menjawab pertanyaanku yang menanyakan hubungan antara kamu dengan Cherry, tetapi sekarang kamu yang ingin membahas ini,”sahut Jonathan.Jenia membuka matanya dengan lebar. Apa yang dikatakan Jonathan memang benar. Selama ini Jenia ber
Pintu terbuka lebar, begitupun dengan netra hitam pekat yang berdiri di hadapan Jenia saat ini. Matanya tidak berkedip sedetikpun melihat keberadaan Jenia di hadapannya saat ini.“Siapa ya?” tanya Jenia lagi.“Kamu kenapa bisa ada di sini?” tanya pria itu segera masuk ke dalam rumah meskipun Jenia belum memberikan ia aba-aba untuk masuk.“Tunggu dulu, kamu siapa?” tanya Jenia kemudian ia menutup pintu.“Kamu pasti sudah lupa padaku, tetapi aku masih ingat dengan jelas siapa kamu,” ujarnya duduk di atas sofa dengan kaki bersilang.“Hmm ….” Jenia berusaha mengingat kembali sosok yang ada di hadapannya saat ini. Ingatan Jenia sangatlah buruk, ia tidak bisa mengingat sosok yang baru sekali ia temui.“Hai, Dave!” sapa Jonathan yang baru saja keluar dari dapur dengan apron yang masih melekat di tubuhnya.“Hai, Jo. Aku tidak sedang mengganggu kalian berdua k
Jenia berusaha untuk menghindari sosok pria yang terus melangkah mendekatinya. Semakin dekat, membuat Jenia dapat melihat dengan jelas sosok pria bertopeng di hadapannya saat ini. Dua bulan sudah berlalu. Namun, dalam tempo yang singkat itu masih belum bisa membuat Jenia lupa pada sosok pria bertopeng di hadapannya saat ini. Pria angkuh yang selalu memperlakukannya secara kasar selama dua hari berada di sebuah Vila yang Jenia sendiri tidak ingat dengan pasti di mana Vila itu berada. Pria yang selalu menyodorkan surat kontrak agar Jenia bersedia hamil dan melahirkan anak untuknya, tetapi Jenia tidak memiliki hak atas anak yang dikandungnya, dialah pria itu. “Mr.M!” risik Jenia terus berjalan mundur sedangkan pria itu semakin melangkah cepat mendekati Jenia. “Kamu masih ingat padaku gadis nakal?” suara itu menggelegar di telinga Jenia, membuat bulu remang Jenia bergidik merinding mendengarkannya. Suara itu begitu menakutkan di telinga Jen
saJenia menyeka air matanya. Penuturan sang kakak membuat dirinya terasa semakin lemah. Hati siapa yang tidak merasa sedih dengan pertanyaan yang ia sodorkan? Jenia beranjak, membelakangi Erlina yang masih duduk menantikan jawabannya. Ia berniat untuk meninggalkan Erlina tanpa memberikan jawaban, tetapi Jenia mengurungkan niatnya. Jenia kembali duduk, menghadap pada kakak yang selama ini selalu ia anggap baik, tetapi sejak saat ini, Jenia merasa ragu dengan sikap yang ia tunjukkan saat ini. “Kak, apa kakak bukan seorang wanita? Kenapa kakak mempertanyakan hal ini kepadaku?” tanya Jenia. Kali ini, gentian Erlina yang terdiam mendengarkan pertanyaan Jenia. Tidak ada kegentaran sama sekali di wajah Jenia. “Bukankah kakak sendiri tahu apa yang benar dan apa yang salah di dunia ini? Selama ini aku selalu kagum pada kakak yang rajin mengikuti kegiatan keagamaan, bahkan dari yang aku lihat, setiap malam kakak selalu membaca kitab,” tutur Jenia.
Jenia kembali mengemasi barang-barangnya dan bersiap-siap untuk pergi meninggalkan tempatnya saat ini. Jonathan hanya bisa memandang tanpa bisa berkata apa-apa lagi.Bukan karena Jonathan tidak berusaha untuk menahan Jenia untuk tetap berada di tempatnya sementara waktu, tetapi Jenia terus bersikeras untuk mencari tempat tinggal lain.“Je, jika kamu bersedia, kamu bisa tinggal di sini,” ucap Jonathan mengulang ucapan yang sudah pernah ia katakan sebelumnya.“Jonathan, bagaimana bisa seorang wanita dan pria yang belum menikah tinggal bersama? Kita ini berada di sebuah Negara yang taat akan hokum,” Jenia beralasan.“Ya, aku tahu, tetapi jika kamu mau untuk tinggal di sini, aku bisa tinggal di tempat yang lain,” ucap Jonathan berusaha untuk membuat Jenia mengerti.“Bagaimana bisa aku tinggal di rumah ini, sedangkan pemiliknya harus terusir karena aku?” tutur Jenia lagi.Bagaimanapun Jonathan sudah
“Apa kita harus ke rumah sakit?” tanya Jonathan bersiap untuk melajukan kendaraannya.“Seharusnya aku yang mengatakan hal itu kepadamu, kamu terluka dan wajahmu juga memar!” ucap Jenia menunduk merasa bersalah karena telah menjadi penyebab luka di wajah Jonathan.“Kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku, karena aku begitu khawatir melihat kamu jatuh tersungkur karena pria banci itu,” geram Jonathan mengingat kejadian beberapa menit lalu.“Aku tidak apa-apa, hanya merasa sakit sedikit saja! Sebaiknya kita ke rumah sakit untuk mengobati lukamu ini,” ucap Jenia.“Tidak, aku tidak akan ke rumah sakit hanya karena luka kecil ini.” Jonathan bersikeras untuk tidak ke rumah sakit, “lama sekali temanmu datang membawakan barang-barangmu,”sambung Jonathan.Jenia hanya diam tidak menjawab, karena Jenia sendiri tidak tahu kenapa Dion begitu lama membawakan koper miliknya. Tidak lama mereka men
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments