“Kamu aja lagi yang jadi nyonya di rumah kita Rin,” Damar mengejar langkah Arina yang akan pulang sore itu.
“Maaf mas, aku bukan selera, kamu!” Arina berlari menuju halte menghindari gerimis yang mulai turun di awal Januari tahun ini.
“Kita punya Davian kan, ayo kita jalin kisah kita kembali Rin, saya mohon.”
Arina berbalik lalu tersenyum ke arah Damar Ganendra.
“Davian nggak tahu kalau punya papa, Mas. Di akte kelahirannya juga Cuma ada namaku sebagai orang tuanya.”
“Rin biarkan Davian merasakan keluarga yang utuh, punya papa dan mama!”
Rinai hujan mulai mengamuk, memerangkap dua sejoli yang dulu pernah menjadi mempelai dadakan.
“Ada ibu dan bapak yang jagain di rumah, beliau juga orang tua Davian Mas.”
Mendung semakin gelap diiringi gemuruh yang bertalu di langit yang tak lagi jingga.
“Beri saya kesempatan Arina!” Damar memaksa dengan wajah memelas.
Arina bergeming dengan netra yang mulai berkaca.
Hujan yang tak ramah sore itu menjadi saksi kisah dua insan yang dulu pernah satu namun terpisah karna orang ketiga, atau mungkin Arina lah yang orang ketiga itu.
Disini, di halte bis diiringi hujan yang nyaris badai, kisah cinta Arina dan Damar kembali dimulai setelah perpisahan mereka tiga tahun yang lalu.
Bab. 1
“Davi, udah maem belum?” Arina berjalan ke kantor sambil menjepit ponsel diantara telinga dan bahunya. Di teleponnya bapak dan ibunya pagi ini untuk memastikan keadaan anaknya yang semalam terkena demam dan batuk. Musim penghujan sekarang membuat anak – anak banyak yang sakit.
“Udah Ma. Mama kapan datang?” suara khas anak laki – laki terdengar menggelitik telinga Arina. Dia sudah rindu ingin mendekap anaknya itu. Tiap habis gajian Arina akan pulang ke kabupaten tempat orang tuanya berdomisili, menjaga dan membersamai anak lelakinya yang dulu lahir tanpa diketahui papanya.
“InsyaAllah hari sabtu mama pulang ya sayang, Davi mau dibelikan apa?” Arina menuju tempat absen karyawan.
“Pizza macam waktu itu Mama sama mainan robot.” Suara Davi kembali mengalu merdu
“Mainan robot yang mana, Sayang?,” Arina coba mengingat mainan robot anaknya itu, seingatnya baru dua kali Arina membelikan mainan itu pada pedagang asongan di pasar yang dilewati bila hendak pulang.
“Yang macam om Alan bawa kemarin Ma, Davi mau warna birunya, om Alan kemarin bawain warna hitam.” Perkataan Davi mengingatkan Arina pada pria berprofesi sebagai PNS itu di salah satu OPD di kabupaten tempat mereka tinggal.
Sudah setahun ini Alan gencar mendekati Arina, pria 31 tahun itu berniat serius menjalin hubungan dengannya dan akan menerima Davian sebagai anaknya sendiri.
Namun status Arina yang seperti ini tentu saja membuatnya menjadi pribadi yang tertutup dan tak mudah menerima pria dalam hidupnya.
“Ya udah, Davi nanti tunggu mama ya, mama kerja dulu, buat ...?” Arina menggantung ucapannya.
“Buat beliin Davi susu sama mainan terus buat beliin kakek obat.” Begitulah Davian yang akan menyambung bila Arina sudah menggantung ucapan yang sudah jadi kebiasaan antara ibu dan anak itu.
“Pinter anak mama, kemarin bilang makasih nggak sama om Alan?,”
“Bilang, Mama.”
“Oke, Davi anak pinter, anak baik tunggu mama datang ya Nak, mama kerja dulu sayang. Daah.”
“Daah mama.”
“Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam Mama.”
Arina meletakkan ponsel dan memutuskan membuat segelas teh hangat, akan dibawanya ke ruang kerjanya.
Arina ini bekerja di perusahaan consumer goods sebagai staf administrasi yang akan mencatat stok barang dan menginfokan ke bagian purchasing.
Namun Arina tak menyangka bila ternyata perusahaan ini adalah bagian dari perusahaan dari mantan mertuanya dulu.
Lebih tak menyangka lagi bahwa manager purchasing dan pemasaran adalah mantan suaminya.
Namun Arina tetap berusaha profesional, seolah -olah tak mengenal manajer ini. Entah mengapa Damar memilih menjadi manager di kota kecil ini, bukankah dulu dia bekerja di ibukota provinsi pada perusahaan yang lebih besar.
Hawa dingin semakin menyeruak, kalau bukan karna tuntuan pekerjaan Arina sebenarnya ingin bergelung saja dibalik selimut.
“Bikin satu lagi buat saya Rin!” Damar muncul dari belakang Arina dan membuat Arina terjengkit kaget.
“Astagfirullah, Pak, ngagetin!” Pekik Arina.
Damar tersenyum tanpa rasa bersalah.
“Tolong bawain sekalian ke ruangan saya Arina.” Suara pelan Damar membuat Arina gugup sesaat.
Tanpa menunggu persetujuan Arina, Damar berlalu kembali ke ruangannya karna karyawan lain sudah mulai berdatangan.
Kenapa pula harus menyuruh Arina, sedangkan ada OB khusus untuk membuatkan minum bagi para bos di kantor ini dan ruangan Damar yang terletak di lantai tiga sedangkan Arina di lantai dasar.
“Dasar mantan rese’.” gumam Arina jengkel namun tetap dibuatkannya teh untuk pak Damar dengan takaran gula seperempat sendok, tentu Arina masih ingat dengan takaran itu.
“Permisi, Pak, ini tehnya!” Arina masuk ke ruangan Damar dengan nampan the ditangannya. Sebisa mungkin dicobanya bersikap biasa saja. Namun begitu tetap saja tak bisa. Bagaimana pun profesionalnya bila dimasa lalu pernah ada hubungan, apalagi tentang hati maka kepingan kenangan itu tetap akan tertinggal.
Dinginnya cuaca diluar ditambah pendingin ruangan membuat Arina ingin segera berlalu dari hadapan Damar, namun saat berbalik Damar telah mengunci pintu dengan gerakan yang cepat tubuh mungil Arina telah terperangkap antara dinding dan tubuh besar Damar.
“Ba-Bapak mau ngapain?”
Bersambung...
Damar diam memerhatikan wajah panik Arina, wajah yang masih sama tiga tahun lalu yang dinikahinya lalu ditalak di depan wanita yang dicintainya saat itu. Tak ada yang berubah, hanya saja sedikit berisi. Wajah sendu Arina memerangkap memorinya.Wangi apel yang menguar dari rambut lurus sebahu milik Arina, buat angan Damar melayang sesaat. Mengingat kenangan singkat mereka.“Masih ada perasaan kamu untuk aku Arina?” Damar tak lagi formal mengucapkan itu. Dielusnya pipi mulus milik mantan istrinya yang wajah dan namanya masih bertahta di hatinya. Bahkan hari dimana Arina keluar dari rumah menggeret koper usang miliknya di depan Damar dan Yasmin, hati Damar tak utuh lagi.“Semoga mas Damar dan Mbak Yasmin bahagia.” Ucap tulus Arina saat itu sebelum berlalu dengan netra berkaca.Ijab qabul dan hubungan suami istri ternyata tak mampu mengeratkan pernikahan dadakan mereka. Hanya tiga bulan, setelahnya Damar dan Arina terpisah jarak dan waktu.Arina berurai air mata saat itu.Sementara Yasmin
Bekerja tak tenang dan tanpa konsentrasi membuat Arina beberapa kali salah menulis laporan, pertemuan Damar hampir dua bulan ini kembali membuat hatinya bertalu marah, kadang rindu kadang juga benci mengusik ingin meluapkan amarah bila mengingat yang dulu. Seperti naik roller coaster saja perasaan Arina hari ini, gara – gara segelas teh yang berakhir rayuan panjang Damar untuk rujuk dengannya yang hanya dibalas deraian air mata oleh Arina.Tak dipungkirinya bila dulu dirinya pernah jatuh cinta pada pria ini saat menatap mata hitamnya yang tegas dan tajam. Pria pertama yang membuatnya merasakan debaran cinta, namun pria ini juga yang pertama menorehkan luka di hatinya.“Hampir jam enam Rin, kamu belum selesai?,” suara Wiwid menyadarkan Arina dari kerjaannya, tangannya bekerja namun pikirannya bercelaru.Wiwid rekan kerja yang juga dulu satu sekolah dengannya. Wiwid yang merekomendasikan Arina dulu untuk bekerja di perusahaan ini. Sedikit banyak Wiwid tahu akan perjuangan Arina melahi
Sudah dua hari ini Arina makan siang sendiri. Biasanya ada Wiwid yang menemani, namun dua hari ini Wiwid dan pak Bos tak masuk. Sebenarnya pak Damar sudah hampir seminggu ini tak masuk, entah cuti entah apa. Ada bagusnya juga karna Arina merasa aman dari gangguan si bos. Entah dengan hatinya sendiri amankah atau bagaimana. Rasa bersalah juga terselip di hatinya sejak malam dirinya menolak makanan pemberian pak Damar.--“Kamu darimana sih dua hari nggak masuk dua hari juga nggak ada kabar.” Arina mencecar Wiwid yang baru datang.“Tadi mas Faris singgah di toko roti Maros, sekalian beli panada sama risoles, inget kamu suka panada.” Diberikannya sekotak panada dan risoles kesuakaan Arina tanpa menjawab pertanyaan Arina.“Makasih banyak Wid, makasih juga sama mas Faris, tapi kamu darimana sih?” ulang Arina.“Em itu kemarin pulang nengok ibu sama bapak Rin.” Wiwid berjalan kembali ke mejanya. Akan diselesaikan pekerjaan yang menumpuk dua hari ditinggal.Arina masih ingin bertanya, namun
Bagaimana mungkin Damar bisa melupakan tatapan mata bening putranya sore itu. Dia harus berterima kasih pada Wiwid, sahabat Arina. Atas bantuannya dirinya bisa melihat dan memeluk si kecil Davian tanpa sepengetahuan Arina, entah setelah dia mengetahui, mungkin akan diamuk dirinya ini. Tadi sempat dipeluknya diruang kerja wanita berwajah sendu itu, namun Arina menolak. Sudah sepantasnya kan, Arina bukan lagi istri Damar tentu dia akan membatasi diri, Damar saja yang tak bisa menahan diri.Satu hal yang Damar syukuri, ternyata orang tua Arina masih mau berbicara dengan dirinya baik – baik, tentu saja pak Sayuti dan bu Fatimah menahan egonya demi cucu mereka. Dapat Damar tangkap dari wajah mereka berdua yang mulai sepuh, ketulusan dan kasih sayang yang luar biasa untuk Davian.Sempat bu Fatimah kemarin mengira kalau Wiwid dan Damar ada hubungan, sedangkan yang beliau tahu Wiwid akan segera menikah. Bukan hanya Wiwid yang mengetahui tentang Davian, namun ibunya Wiwid juga, bu Salamah, bel
“Arin, sudah pulang?” suara Alan mengagetkan Arina tertunduk menunggu angkutan umum sore itu.“Mas Alan, koq disini?” Arina heran dengan keberadaan Alan di kota ini.dari pakaiannya nampaknya Alan baru saja menghadiri pertemuan. Kemeja putih bergaris biru yang dilipat hingga siku dengan bawahan celana kain warna hitam dan sepatu pantovel membuat pria tiga puluh tahunan ini nampak begitu menarik di mata kaum hawa. Beberepa pekerja wanita yang juga akan pulang sore itu nampak memandang kagum pada lelaki itu. Namun tidak dengan Arina, tak sedikitpun rasa yang lain terselip di hatinya untuk pria ini, meski Alan jelas sedang berusaha mendekatinya dan memberi perhatian pada Davian, namun Arina sungguh tak merespon, baginya Alan hanya sekedar kawan bermain di kampung dulu.“Ada kegiatan dari Dinas Sosial yang membahas bantuan untuk masyarakat kampung yang memiliki usaha kecil ataupun kebun Rin.”“Itu kaya gimana mas?”“Jadi masyarakat desa yang memiliki kebun atau sawah satu atau dua petak
Arina melangkah pasti, memasuki gedung kantor tempatnya dua tahun lebih ini mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.Apalagi yang dilihatnya kemarin malam cukuplah memantapkan hatinya untuk terus melangkah tanpa melihat kembali ke belakang apalagi menunggu masa lalu yang mulai mengganggu.Ditaruhnya tas pada meja kerja, tak dilihat lagi Wiwid pagi ini, ya hari ini Wiwid akan lamaran. Sebentar lagi sahabatnya itu akan dipersunting pria pujaannya yang tentunya saling mencintai, tak seperti dirinya yang menikah karna dijodohkan lalu berpisah karna hanya dirinya yang berusaha mencintai.Semoga kebahagian dan kebaikan menaungi rumah tangga sahabatnya itu. Do’a tulus terucap dari dalam hati Arina.Arina berjalan menuju pantri bawah, pantri khusus staf, dibawanya gelas keramik berwarna putih untuk diisi air minum, saat berjalan menuju pantri, dari arah pintu tengah yang dekat tangga menuju lantai atas, muncul Damar dengan kemeja hem warna biru cerah dengan celana kain warna hita
POV DamarBetapa senang mama dan papa saat tahu akan kubawa ke desa menengok cucu mereka. Tentu segala persiapan dilakukan mama dan papa, karna bukan hanya akan bertemu cucu yang didambakan namun juga akan bertemu sahabat mereka. Rasa malu dan sungkan masih ada, namun rencanaku untuk menyatukan kembali keluarga kami tak bisa ditawar lagi.Sebenarnya mama akan ke kantorku dulu bertemu dan minta maaf pada mantan menantu kesayangnnya itu, namun melihat pria kemarin mencoba mendekati Arina, tentu tak bisa kuanggap remeh.Aku harus berterima kasih pada mbak Eva dan mas Safri yang turut andil dalam menjalankan rencanaku, tentu saja tanpa Arina ketahui. Mereka berdua bukan hanya membantu mengurus Davian namun sekarang juga membantuku agar bisa bersatu kembali dengan Arina. Tentu mas Safri yang lebih dulu menyampaikan maksud pada pak Sayuti.Harusnya Arina pulang sore ini ke desa menengok putra kami, tentu rindu telah membuncah di dadanya, namun kuberi pekerjaan tambahan agar harus lembur sam
Sungguh Arina tak menyangka akan kehadiran Damar di rumah orang tuanya sore ini. Arina sebenarnya sudah merasa lain saat Damar memberinya tumpukan pekerjaan untuk menghitung nota yang sudah lama dan sudah dibayarkan, karna mati lampu dan tak mungkin lembur hingga larut meskipun Wiwid membantu tadi, Arina memutuskan untuk pulang, namun heran juga saat Wiwid berulang kali memastikan kalau dirinya tak pulang ke rumah ibu bapak dulu hari ini.“Besok aja Rin pulangnya,” wajah Wiwid nampak cemas, namun Arina berpura tak memperhatikan.Ah rupanya Wiwid juga ada dibalik kedatangan Damar ke rumah orang tuanya.Lalu saat Damar tak masuk kantor hampir seminggu, setiap Arina melakukan panggilan video pada ibu selalu ibu mengakhiri cepat- cepat dan bahkan sempat mendengar suara Davian memanggil papa namun ibu sudah langsung mematikan ponsel saat itu.Lebih kaget lagi saat Arina meihat bu Intan dan pak Mahmud kedua mantan mertuanya, pak Mahmud dan bapak bahkan nampak asyik berbincang di teras sampi