Damar diam memerhatikan wajah panik Arina, wajah yang masih sama tiga tahun lalu yang dinikahinya lalu ditalak di depan wanita yang dicintainya saat itu. Tak ada yang berubah, hanya saja sedikit berisi. Wajah sendu Arina memerangkap memorinya.
Wangi apel yang menguar dari rambut lurus sebahu milik Arina, buat angan Damar melayang sesaat. Mengingat kenangan singkat mereka.
“Masih ada perasaan kamu untuk aku Arina?” Damar tak lagi formal mengucapkan itu. Dielusnya pipi mulus milik mantan istrinya yang wajah dan namanya masih bertahta di hatinya. Bahkan hari dimana Arina keluar dari rumah menggeret koper usang miliknya di depan Damar dan Yasmin, hati Damar tak utuh lagi.
“Semoga mas Damar dan Mbak Yasmin bahagia.” Ucap tulus Arina saat itu sebelum berlalu dengan netra berkaca.
Ijab qabul dan hubungan suami istri ternyata tak mampu mengeratkan pernikahan dadakan mereka. Hanya tiga bulan, setelahnya Damar dan Arina terpisah jarak dan waktu.
Arina berurai air mata saat itu.
Sementara Yasmin tersenyum jumawa.
Dan...Damar hatinya bercelaru, entah mengapa terasa ada yang hilang. Meski dirinya berbalas cumbu di ruang tamu dengan Yasmin sesudahnya.
Sementara hujan di luar sana, mengiringi kepergian Arina, kembali pulang ke rumah ibu dan bapak kala itu.
“Kalau sudah tidak ada pekerjaan lagi untuk saya. Saya mau balik ke ruangan, Pak.” Arina menampik halus namun tegas tangan itu dari pipinya.
Damar terhenyak. Setegas itu Arina sekarang.
“Aku mencarimu Arina. Seminggu setelah kepergianmu.”
Arina menahan perasaan yang tiba-tiba sesak. Mengingat lagi kenangan yang suram itu. Lalu embun sudah mengaburkan pandangannya.
“ Buat apa mencariku, tentu Bapak sudah berbahagia dengan kekasih Anda.” Arina menggigit bibir menahan bulir yang akan jatuh.
“Sama sekali tidak Arina, dia tak sebaik yang kuduga.” Tampak Damar menahan kecewa dan geram.
“Saya permisi kembali ke ruangan kerja saya Pak, tolong buka pintunya!” Arina tak perduli.
Apa perdulinya, Arina pun hanyalah korban, mana dia tahu bila dirinya dinikahkan dengan kekasih wanita lain.
Pak Mahmud dan bu Intan mantan mertua Arina yang meminta Damar menikahi Arina saat itu, dilamar baik – baik namun hanya dinikahi secara siri, alasan Damar tempatnya bekerja tak boleh menikah sebelum masa kerja dua tahun. Padahal hanya alasan Damar saja, agar mudah menjatuhkan talak. Pak Sayuti dan bu Fatimah mengiyakan saja, bagi mereka yang hanya petani kecil dengan sepetak sawah yang penting ada yang mengawasi dan melindungi putrinya di kota tempatnya bekerja. Arina sudah bekerja di sebuah toko grosir saat dinikahi Damar tiga tahun lalu.
Sebenarnya orang tua Arina menggarap beberapa sawah, namun sawah pribadi yang dimiliki hanya satu petak, sisanya adalah milik pak Mahmud. Hasil sawah ini dibagi dua antara pemilik dan penggarap. Untuk pupuknya pak Mahmud dan pak Sayuti berkongsi dalam pembeliannya.
Persahabatan antara pak Mahmud dan pak Sayuti dimasa lalu yang membuat beliau ingin menikahkan putranya dan putri pak Sayuti. Pak Mahmud ini memang orang tuanya pedagang di kota dan juragan sawah di desa, namun begitu tak membuat pak Sayuti muda sombong dan Jumawa akan hartanya. Sebagai anak satu – satu tentu masa depan beliau sudah disiapkan dengan baik. Namun begitu pak Mahmud tetap rendah hati dan mau bergaul dengan pemuda desa lainnya, namun dengan pak Sayuti mudalah dirinya sangat dekat, keramahan orang tua dan kerajinan Sayuti muda yang membuat pak Mahmud senang bergaul dengan beliau. Bahkan menanam padi disawah pernah mereka lakukan bersama, setelahnya mereka akan ke sungai membersihkan diri, atau terkadang memanjat pohon asam di sebelah utara sawah milik orang tua pak Mahmud.
Mengapa tak menikahkan Damar dan Yasmin?, karna ada satu hal yang Damar tak tahu atau pura – pura tak tahu tentang orang tua kekasihnya itu.
“Seratus persen mama dan papa nggak merestui kamu sama cewekmu itu.” Ucap bu Intan dengan geram pada putranya saat Damar baru saja mengantarkan Yasmin pulang. Hari itu Damar pertama kalinya memperkenalkan Yasmin pada orang tuanya.
Tinggal di kota membuat pergaulan Damar sedikit liar. Jadi pak Mahmud ini setelah menikah dengan bu Intan yang anak seorang pedagang memutuskan hijrah ke kota membuka toko sembako sendiri, awalnya hanya toko kecil di pasar lama – lama kelamaan berkembang menjadi distributor besar, dengan suntikan dana dari mertua beliau, berdirilah perusahaan distributor consumer goods yang memegang hak jual beberapa keagenan produk kebutuhan masyarakat di daerah mereka, tentu selain dari mertuanya ada juga suntikan dana dari beberapa investor yang sudah mengenal beliu. Pak Mahmud dan bu Intan menjadi pengusaha yang sukses namun memilih hidup dan penampilan yang sederhana.
“Kenapa tak mencariku saat kamu hamil anak kita Arina?” suara Damar mengagetkan Arina. Dari mana Damar tahu kalau Arina hamil dan melahirkan anak mereka?, ah mudah saja bagi orang seperti Damar kan, menyewa orang untuk mencari tahu Arina.
Namun mengapa baru sekarang? Mengapa tak dari dulu mencarinya.
Ah dulu gelora asmara bersama Yasmin telah melenakan Damar.
“Buka pintunya pak!” netra Arina mulai berembun.
“Dia anak kita kan?” Damar mengenggam jemari yang tak terlalu halus itu.
“Saya mau kerja pak.” Arina mulai terisak.
“Jangan nangis sayang.” Damar menghapus air mata itu.
Sayang? Berapa lama panggilan itu tak didengar Arina. Bahkan dulu pun jarang diucapkan, hanya saat memburu hasratnya Damar mengucapkan itu pada Arina. Tak mencintai namun tetap menitipkan benih, bahkan sering sekali Arina dibuat keramas tengah malam saat itu.
Bersambung...
Bekerja tak tenang dan tanpa konsentrasi membuat Arina beberapa kali salah menulis laporan, pertemuan Damar hampir dua bulan ini kembali membuat hatinya bertalu marah, kadang rindu kadang juga benci mengusik ingin meluapkan amarah bila mengingat yang dulu. Seperti naik roller coaster saja perasaan Arina hari ini, gara – gara segelas teh yang berakhir rayuan panjang Damar untuk rujuk dengannya yang hanya dibalas deraian air mata oleh Arina.Tak dipungkirinya bila dulu dirinya pernah jatuh cinta pada pria ini saat menatap mata hitamnya yang tegas dan tajam. Pria pertama yang membuatnya merasakan debaran cinta, namun pria ini juga yang pertama menorehkan luka di hatinya.“Hampir jam enam Rin, kamu belum selesai?,” suara Wiwid menyadarkan Arina dari kerjaannya, tangannya bekerja namun pikirannya bercelaru.Wiwid rekan kerja yang juga dulu satu sekolah dengannya. Wiwid yang merekomendasikan Arina dulu untuk bekerja di perusahaan ini. Sedikit banyak Wiwid tahu akan perjuangan Arina melahi
Sudah dua hari ini Arina makan siang sendiri. Biasanya ada Wiwid yang menemani, namun dua hari ini Wiwid dan pak Bos tak masuk. Sebenarnya pak Damar sudah hampir seminggu ini tak masuk, entah cuti entah apa. Ada bagusnya juga karna Arina merasa aman dari gangguan si bos. Entah dengan hatinya sendiri amankah atau bagaimana. Rasa bersalah juga terselip di hatinya sejak malam dirinya menolak makanan pemberian pak Damar.--“Kamu darimana sih dua hari nggak masuk dua hari juga nggak ada kabar.” Arina mencecar Wiwid yang baru datang.“Tadi mas Faris singgah di toko roti Maros, sekalian beli panada sama risoles, inget kamu suka panada.” Diberikannya sekotak panada dan risoles kesuakaan Arina tanpa menjawab pertanyaan Arina.“Makasih banyak Wid, makasih juga sama mas Faris, tapi kamu darimana sih?” ulang Arina.“Em itu kemarin pulang nengok ibu sama bapak Rin.” Wiwid berjalan kembali ke mejanya. Akan diselesaikan pekerjaan yang menumpuk dua hari ditinggal.Arina masih ingin bertanya, namun
Bagaimana mungkin Damar bisa melupakan tatapan mata bening putranya sore itu. Dia harus berterima kasih pada Wiwid, sahabat Arina. Atas bantuannya dirinya bisa melihat dan memeluk si kecil Davian tanpa sepengetahuan Arina, entah setelah dia mengetahui, mungkin akan diamuk dirinya ini. Tadi sempat dipeluknya diruang kerja wanita berwajah sendu itu, namun Arina menolak. Sudah sepantasnya kan, Arina bukan lagi istri Damar tentu dia akan membatasi diri, Damar saja yang tak bisa menahan diri.Satu hal yang Damar syukuri, ternyata orang tua Arina masih mau berbicara dengan dirinya baik – baik, tentu saja pak Sayuti dan bu Fatimah menahan egonya demi cucu mereka. Dapat Damar tangkap dari wajah mereka berdua yang mulai sepuh, ketulusan dan kasih sayang yang luar biasa untuk Davian.Sempat bu Fatimah kemarin mengira kalau Wiwid dan Damar ada hubungan, sedangkan yang beliau tahu Wiwid akan segera menikah. Bukan hanya Wiwid yang mengetahui tentang Davian, namun ibunya Wiwid juga, bu Salamah, bel
“Arin, sudah pulang?” suara Alan mengagetkan Arina tertunduk menunggu angkutan umum sore itu.“Mas Alan, koq disini?” Arina heran dengan keberadaan Alan di kota ini.dari pakaiannya nampaknya Alan baru saja menghadiri pertemuan. Kemeja putih bergaris biru yang dilipat hingga siku dengan bawahan celana kain warna hitam dan sepatu pantovel membuat pria tiga puluh tahunan ini nampak begitu menarik di mata kaum hawa. Beberepa pekerja wanita yang juga akan pulang sore itu nampak memandang kagum pada lelaki itu. Namun tidak dengan Arina, tak sedikitpun rasa yang lain terselip di hatinya untuk pria ini, meski Alan jelas sedang berusaha mendekatinya dan memberi perhatian pada Davian, namun Arina sungguh tak merespon, baginya Alan hanya sekedar kawan bermain di kampung dulu.“Ada kegiatan dari Dinas Sosial yang membahas bantuan untuk masyarakat kampung yang memiliki usaha kecil ataupun kebun Rin.”“Itu kaya gimana mas?”“Jadi masyarakat desa yang memiliki kebun atau sawah satu atau dua petak
Arina melangkah pasti, memasuki gedung kantor tempatnya dua tahun lebih ini mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.Apalagi yang dilihatnya kemarin malam cukuplah memantapkan hatinya untuk terus melangkah tanpa melihat kembali ke belakang apalagi menunggu masa lalu yang mulai mengganggu.Ditaruhnya tas pada meja kerja, tak dilihat lagi Wiwid pagi ini, ya hari ini Wiwid akan lamaran. Sebentar lagi sahabatnya itu akan dipersunting pria pujaannya yang tentunya saling mencintai, tak seperti dirinya yang menikah karna dijodohkan lalu berpisah karna hanya dirinya yang berusaha mencintai.Semoga kebahagian dan kebaikan menaungi rumah tangga sahabatnya itu. Do’a tulus terucap dari dalam hati Arina.Arina berjalan menuju pantri bawah, pantri khusus staf, dibawanya gelas keramik berwarna putih untuk diisi air minum, saat berjalan menuju pantri, dari arah pintu tengah yang dekat tangga menuju lantai atas, muncul Damar dengan kemeja hem warna biru cerah dengan celana kain warna hita
POV DamarBetapa senang mama dan papa saat tahu akan kubawa ke desa menengok cucu mereka. Tentu segala persiapan dilakukan mama dan papa, karna bukan hanya akan bertemu cucu yang didambakan namun juga akan bertemu sahabat mereka. Rasa malu dan sungkan masih ada, namun rencanaku untuk menyatukan kembali keluarga kami tak bisa ditawar lagi.Sebenarnya mama akan ke kantorku dulu bertemu dan minta maaf pada mantan menantu kesayangnnya itu, namun melihat pria kemarin mencoba mendekati Arina, tentu tak bisa kuanggap remeh.Aku harus berterima kasih pada mbak Eva dan mas Safri yang turut andil dalam menjalankan rencanaku, tentu saja tanpa Arina ketahui. Mereka berdua bukan hanya membantu mengurus Davian namun sekarang juga membantuku agar bisa bersatu kembali dengan Arina. Tentu mas Safri yang lebih dulu menyampaikan maksud pada pak Sayuti.Harusnya Arina pulang sore ini ke desa menengok putra kami, tentu rindu telah membuncah di dadanya, namun kuberi pekerjaan tambahan agar harus lembur sam
Sungguh Arina tak menyangka akan kehadiran Damar di rumah orang tuanya sore ini. Arina sebenarnya sudah merasa lain saat Damar memberinya tumpukan pekerjaan untuk menghitung nota yang sudah lama dan sudah dibayarkan, karna mati lampu dan tak mungkin lembur hingga larut meskipun Wiwid membantu tadi, Arina memutuskan untuk pulang, namun heran juga saat Wiwid berulang kali memastikan kalau dirinya tak pulang ke rumah ibu bapak dulu hari ini.“Besok aja Rin pulangnya,” wajah Wiwid nampak cemas, namun Arina berpura tak memperhatikan.Ah rupanya Wiwid juga ada dibalik kedatangan Damar ke rumah orang tuanya.Lalu saat Damar tak masuk kantor hampir seminggu, setiap Arina melakukan panggilan video pada ibu selalu ibu mengakhiri cepat- cepat dan bahkan sempat mendengar suara Davian memanggil papa namun ibu sudah langsung mematikan ponsel saat itu.Lebih kaget lagi saat Arina meihat bu Intan dan pak Mahmud kedua mantan mertuanya, pak Mahmud dan bapak bahkan nampak asyik berbincang di teras sampi
“Jadi, nak Damar ini datang bersama orang tuanya ingin melamar kamu lagi nduk.” Suara bu Fatimah membuat Arina sedikit kaget, tak percaya dengan kenekatan Damar yang tak main-main.Beberapa kali memang dirinya diberi sinyal langsung maupun tak langsung akan perasaan Damar padanya, bahkan yang terakhir keluar langsung dari bibir ayah putranya itu sambil memeluknya di sofa kantor beberapa hari yang lalu.Namun Arina tetap saja ragu, bayang-bayang kesakitan yang dirasa sewaktu ditalak belum juga enyah sepenuhnya dari pikirannya, bahkan bayangan saat Damar mencumbui wanita itu di ruang tamu, masih Arina ingat saat suatu malam Yasmin datang menjemput Damar minta ditemani makan malam, Yasmin langsung memeluk Damar yang keluar dari ruang kerja dan memagut bibir lelaki yang saat itu berstatus suaminya, tanpa mereka sadari Arina melihat karna hendak ke dapur ingin mengambil air minum. Ya dulu memang Yasmin sering datang ke rumah, saat Damar sudah memberi tahu Arina akan keberadaan wanita yang