🏵️🏵️🏵️
“Jangan lupa, sisain untuk Ibu.” Aku sangat terkejut saat Ratih—adik iparku, melontarkan kalimat itu ketika aku hendak membuka tudung saji untuk mengambil lauk.
Sejak aku menikah dengan Mas Bimo, hampir semua anggota keluarganya tidak menyukaiku. Mereka selalu memandangku sebelah mata. Saat makan saja, mereka sering memperhatikanku hingga membuatku tidak nyaman untuk menikmati makanan.
Mungkin mereka bersikap seperti itu karena aku hidup sendiri di kota ini. Sementara keluargaku tinggal di kota yang berbeda. Pernikahanku dan Mas Bimo tidak mendapatkan restu dari orang tuaku karena Papa menganggap Mas Bimo bukan menantu pilihannya.
“Kalau kamu tetap memilih menikah dengan laki-laki itu, Papa tidak akan memberikan uang atau fasilitas apa pun padamu. Urus dirimu sendiri bersama pilihanmu.” Pernyataan itu yang Papa ucapkan kepadaku ketika aku memberitahukan rencana pernikahanku dengan Mas Bimo tiga tahun yang lalu.
Sekarang, aku harus terima hidup sederhana. Tidak ada lagi kemewahan seperti yang aku dapatkan di rumah orang tua. Sikapku juga bahkan sangat berubah setelah menikah dengan Mas Bimo. Aku bertingkah seolah-olah tidak memiliki apa-apa.
Oleh sebab itu, orang tua Mas Bimo selalu menganggapku tidak pantas untuk anak mereka, padahal mereka bukan berasal dari keluarga berada. Mereka hanya mengandalkan Mas Bimo yang bekerja sebagai sales marketing perumahan.
“Iya. Kakak tahu, Rat.” Aku berusaha sabar untuk membalas Ratih.
“Sayurnya juga jangan dihabisin.”
Kadang aku tidak mengerti kenapa lidah adik iparku setajam itu. Dia sepertinya tidak ingat kalau aku yang memasak di rumah ini dan uang belanja juga berasal dari suamiku. Harusnya dia sadar hanya menumpang makan. Ya, walaupun ini rumah orang tuanya.
“Ya ampun, Rat, siapa juga yang mau habisin. Kakak paling ambil sedikit aja. Kakak juga kurang suka sawi. Kakak masak itu karena Mas Bimo suka banget.” Aku memberikan penjelasan kepadanya.
“Siapa tahu Kakak jarang makan seperti ini di rumah Kakak dulu. Kan, asal-usul Kakak juga nggak jelas.” Ingin rasanya aku berteriak di depannya dan mengatakan kalau makanan di rumah orang tuaku jauh lebih banyak dan nikmat daripada di rumah ini.
Akan tetapi, aku mengurungkan niat itu karena mengingat diriku yang belum direstui Papa dan Mama. Aku harus sabar menghadapi sikap keluarga Mas Bimo sebelum aku kembali mendapatkan kasih sayang orang tuaku.
🏵️🏵️🏵️
“Nggak ada wanita lain yang jelas asal-usulnya untuk kamu nikahin, Bim?” Pertanyaan itu yang ibu mertua lontarkan kepada Mas Bimo tiga tahun yang lalu.
“Aku mencintai Clara, Buk.” Mas Bimo tetap dengan bangga mengaku mencintaiku.
“Nama sok pakai nama orang kaya, tapi miskin.” Orang tua itu meruncingkan mulutnya.
“Terserah Ibu mau bilang apa, tapi aku akan tetap menikahi Clara.” Mas Bimo langsung memegang tanganku.
“Terserah! Tapi, jangan harap ada resepsi pernikahan seperti kedua kakakmu. Nikah aja di KUA.” Aku sangat sedih ketika ibu mertua menganggapku seolah-olah tidak layak untuk merayakan resepsi pernikahan.
Wanita itu mungkin lupa kalau Mas Bimo selalu menyimpan uangnya kepada dirinya sejak memasuki dunia kerja. Tujuannya adalah agar uang tersebut dia gunakan untuk acara resepsi pernikahan kami. Namun, apalah daya, ibu mertua berkata kalau aku tidak pantas bersanding dengan anaknya.
Tiga tahun berlalu, sikap ibu mertuaku tetap tidak berubah walaupun kini, aku dan Mas Bimo telah memiliki Bagas—buah hati kami tercinta yang baru berusia dua tahun. Ibu mertua tidak hanya membenciku, tetapi juga anakku.
“Gantengnya anak lanang.” Bu Dewi—tetangga sebelah rumah, sering berkunjung jika melihatku duduk di teras depan sambil memangku Bagas.
“Lebih ganteng lagi cucu-cucuku dari anak perempuanku.” Ibu mertua langsung memberikan balasan mendengar tetangga memberikan pujian terhadap Bagas.
“Tapi saya lebih suka Bagas,” ucap Bu Dewi sambil mengajak Bagas bermain. Beliau belum memiliki cucu karena anak tunggalnya masih kuliah.
“Bu Dewi sepertinya harus pakai kacamata supaya bisa menilai orang.” Ibu mertua tampak cemberut. Dia pun memasuki rumah.
Seandainya wanita itu tahu kalau orang tuaku kaya, dia tidak akan memperlakukan aku dan Bagas seperti ini. Dia boleh membenciku, tetapi kenapa hatinya tidak bisa berbuat lembut terhadap anak kecil yang tidak berdosa?
Kalau bukan karena besarnya rasa cintaku kepada Mas Bimo, mungkin aku akan membawa Bagas pergi dari rumah ini. Di samping itu, hingga detik ini, Mas Bimo masih setia mencintaiku. Dia tidak pernah menunjukkan gelagat yang mencurigakan.
🏵️🏵️🏵️
Hari ini, Mas Bimo menyerahkan gajinya kepadaku. Seperti biasa, dia telah memberikan jatah ibunya seperempat dari jumlah yang dia dapatkan. Sementara bagian yang aku terima akan kugunakan untuk memenuhi kebutuhan di rumah ini. Dia tidak pernah mengutak-atik gajinya setiap bulan untuk dirinya sendiri karena dia sering mendapatkan bonus.
Sebenarnya, aku tidak keberatan jika Mas Bimo memberikan jatah ibunya, tetapi yang aku tidak habis pikir, kenapa harus seperempat dari gajinya? Sementara kebutuhan di rumah ini, aku yang memikirkan semuanya. Aku harus bisa mengatur uang yang aku terima sebelum dia kembali menerima gaji.
Aku juga sering kesal melihat Ratih yang sok-sok memilih makanan. Kalau lauk yang aku sediakan tidak sesuai dengan yang dia inginkan, dia akan meminta uang untuk mencari makan di luar. Dia seolah-olah menganggap Mas Bimo memberikan uang yang banyak kepadaku.
“Aku minta uang. Aku nggak selera makan telur. Tenggorokanku nggak terima.” Gaya bicara adik iparku itu layaknya seseorang yang selalu hidup berkecukupan sejak dulu. Kadang aku ingin tertawa.
“Makan aja apa yang ada. Kak Clara udah masakin, harusnya kamu bersyukur.” Mas Bimo yang memberikan balasan kepada adiknya itu.
“Mas kenapa, sih? Mas tega lihat adik sendiri nggak makan karena nggak selera?” Ratih justru bersikap seakan-akan menyudutkan Mas Bimo.
“Udahlah, Bim … bilang aja ke istrimu supaya kasih uang untuk Ratih.” Ibu mertua turut membuka suara. Dia selalu membela anak bungsunya itu.
Seperti biasa, Mas Bimo selalu luluh. Dia pun memintaku untuk memberikan uang kepada Ratih. Sungguh, keluarga ini sering menguji kesabaranku. Aku tetap menuruti kemauan Mas Bimo karena bagiku, dia suami yang pantas dihargai dan hormati.
Lamunanku buyar karena Mas Bimo mengagetkanku yang sedang menyiapkan makan malam. Dia merangkulku dari belakang. Perhatian dan keromantisan yang dia berikan, akhirnya mampu membuatku bertahan hidup bersama keluarganya yang menyebalkan.
Seperti biasa setiap menerima gaji, Mas Bimo memintaku masak ayam gulai kesukaannya, tepatnya kesukaan semua anggota keluarganya. Kami pun mulai menikmati makan malam hari ini di ruang TV. Kedua orang tua Mas Bimo dan Ratih sangat lahap menikmati lauk favorit mereka.
Aku hanya membatin, kok, bisa cara makan mereka seperti orang kelaparan yang tidak melihat makanan berhari-hari. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah mereka. Ayam gulai bagi mereka seperti makanan paling mewah. Sebenarnya, kadang aku merasa iba, tetapi mengingat kesombongan mereka, rasa itu aku tepiskan.
🏵️🏵️🏵️
“Kamu kenapa senyum-senyum?” tanya Mas Bimo setelah kami di kamar. Dia tidak tahu kalau aku masih mengingat sikap keluarganya tadi saat di meja makan.
“Nggak apa-apa, Mas. Ingat hal lucu aja.” Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya kepadanya.
“Hal lucu apa, Sayang? Masak suami sendiri nggak boleh tahu.” Sepertinya dia penasaran.
“Udah, ah … lupain aja.” Aku pun memilih bermain bersama Bagas di tempat tidur. Aku tidak ingin membuat Mas Bimo merasa malu karena kelakuan orang tua dan adiknya.
Tiba-tiba terdengar suara Ratih dari balik pintu kamar. “Mas, aku masuk, ya.”
“Iya,” jawab Mas Bimo.
Gadis hitam manis itu pun masuk lalu melangkah ke tempat tidur menghampiri kami. “Minta duit, dong, Mas. Kan, baru gajian.” Aku heran karena biasanya, ibu mertua yang memberikan uang jajan untuk Ratih. Di samping itu, bapak mertua masih sehat dan kuat untuk bekerja walaupun memang sangat dikenal pemalas.
“Mas, kan, udah kasih ke Ibu.” Mas Bimo memberikan balasan.
“Ibu yang nyuruh aku minta sama Mas.” Ternyata ibu mertuaku makin keterlaluan.
Akhirnya, Mas Bimo pun meraih dompetnya dari saku celana lalu memberikan selembar uang seratus ribu kepada Ratih. Namun, ternyata gadis itu tetap tidak bersyukur dan berterima kasih. Dia mengeluh dan mengaku nominal yang diberikan kakaknya tidak cukup.
“Mana cukup, Mas.” Aku menggeleng melihat sikapnya.
“Kenapa kamu nggak minta sama Bapak? Apa fungsi beliau sebagai kepala keluarga? Mas Bimo udah memenuhi kebutuhan di rumah ini. Apa harus dia lagi yang kasih jajan kamu? Lagi pun, kamu udah lulus sekolah, hobby banget nganggur. Mau ikutin jejak Bapak?” Aku pun menyampaikan yang seharusnya aku ungkapkan sejak dulu.
“Berani-beraninya istri Mas hina Bapak. Aku nggak terima.” Wajah Ratih langsung mengalami perubahan. Dia pun segera beranjak dari kamar.
Mas Bimo tidak memberikan respons apa-apa karena selama ini, dia telah menceritakan kelakuan bapaknya yang tidak peduli terhadap keluarga. Sebelum Mas Bimo mendapatkan pekerjaan, ibu mertua yang menggantikan posisi suaminya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Wanita paruh baya itu bahkan beberapa tahun menjadi buruh cuci. Aku sangat iba mengetahui kenyataan itu. Namun, beliau selalu merendahkan aku karena dianggap tidak punya harta yang bisa mengubah kehidupan mereka.
“Siapa yang menghina Bapak?” Suara bapak mertua mengagetkanku. Laki-laki paruh baya itu beserta istri dan putrinya melangkah ke arah kami. Apa yang akan mereka lakukan?
==========
.🏵️🏵️🏵️Terus terang, aku sama sekali tidak takut melihat tatapan bapak mertua yang seolah-olah ingin melampiaskan amarahnya. Entah apa pun yang Ratih adukan kepada laki-laki paruh baya tersebut. Aku hanya mengatakan kebenaran kalau bapak dari suamiku itu tidak menunjukkan posisi sebagai kepala keluarga.Hampir setiap hari, pekerjaannya hanya duduk, tidur, dan makan. Entah bermodalkan apa dia hingga masih dipertahankan sebagai suami oleh ibu mertua. Kalau dilihat dari perawakannya, aku pastikan dirinya bukan pria tampan saat masih muda. Kedua kakak iparku mewarisi wajahnya.Berbeda dengan Mas Bimo dan Ratih. Kulit mereka berdua lebih tampak bersih dan wajahnya manis seperti ibu mertua. Mungkin kalau Mas Bimo mirip bapak mertua, aku masih berpikir untuk menerima cintanya dulu. Walaupun aku tidak melihat status sosial dalam menjalin hubungan, tetapi aku masih mempertimbangkan wajah dan penampilan.“Ada apa, Pak?” Mas Bimo bangkit dari duduknya lalu berdiri di depan bapak mertua. Sem
🏵️🏵️🏵️Mungkin Mas Bimo tetap memperhatikan sikapku yang fokus melihat layar ponsel walaupun dirinya sedang bermain bersama Bagas. Apa yang akan kukatakan kepadanya? Lebih baik aku hapus pesan yang baru masuk tadi sebelum dia memeriksanya.Dia tipe suami yang harus tahu semua kegiatan istri. Tidak sedikit teman-temannya mengatakan dirinya terlalu mencintaiku. Terus terus, aku terharu mendengar kenyataan tersebut. Itu artinya, Mas Bimo menikahiku bukan karena harta atau kekayaan orang tuaku, tetapi tulus memilihku sebagai pendamping hidupnya.Aku juga sengaja tidak mengatakan tentang keluargaku kepada Mas Bimo karena ingin tahu apakah dirinya benar-benar baik atau hanya pura-pura. Ternyata, aku dengan bangga mengatakan kalau dia suami idaman untukku walaupun kadang aku kesal jika mengingat dirinya yang tidak bersedia pindah dari rumah ini.“Kamu kenapa, Sayang?” Mas Bimo kembali bertanya.“Nggak apa-apa, Mas.”“Apa kamu marah karena aku tidak bersedia kita ngontrak?” Itu pertanyaan
🏵️🏵️🏵️Aku tidak habis pikir kenapa sifat Mas Bimo dan ketiga saudarinya sangat bertolak belakang. Apa mungkin suamiku itu bukan anak kandung? Bingkai foto yang berjejer di dinding rumah ini saja tidak ada satu pun yang menunjukkan wajah manisnya. Orang tuanya seolah-olah hanya memiliki tiga anak.Sementara foto Kak Desi dan Kak Mira—kedua kakak iparku, masih terpampang di dinding rumah ini. Apa mungkin aku yang sangat beruntung memilki suami seperti Mas Bimo? Seandainya dia mengikuti jejak orang tua dan saudari-saudarinya, mungkin aku tidak akan bertahan menjadi pendamping hidupnya.Aku bukan ibu mertua yang terlalu memuja cinta suami yang tidak bertanggung jawab. Wanita itu seolah-olah tidak pernah mengenal laki-laki lain sebelum menikah dengan bapak mertua. Kedua anak perempuannya yang telah menikah, akhirnya mengikuti jejaknya, tetap bertahan dengan suami yang tidak pengertian.Aku tidak tahu apakah Ratih akan menyusul seperti kedua kakaknya. Namun yang pasti, gadis itu tidak m
🏵️🏵️🏵️ Aku pikir Mas Bimo telah melupakan tentang kalung berlian tadi sore. Ternyata dugaanku salah. Apa yang harus aku katakan kepadanya? Waktunya belum tepat untuk mengetahui statusku yang sebenarnya. Aku masih ingin melihat sejauh mana kesetiaan dan tanggung jawabnya. Aku beberapa kali melihat acara di televisi tentang suami yang tampak sangat romantis di depan istrinya. Namun kenyataannya, tetap bermain api di belakang. Aku tidak bermaksud untuk mencurigai Mas Bimo. Aku hanya ingin tetap waspada. Lagi pun, usia pernikahan kami baru seumur jagung. Aku juga masih menunggu maaf dari orang tua dan keluargaku. Aku tidak ingin Mas Bimo tahu siapa aku sebenarnya saat ini. Walaupun dia selalu menunjukkan perhatian dan rasa peduli, juga pembelaan terhadap diriku, tetapi dia kadang membuatku kesal. Dia tidak memenuhi keinginanku untuk keluar dari rumah ini. Awal kami menikah, aku sempat berpikir kalau Mas Bimo tidak ingin melihatku bahagia. Dia tahu kalau keluarganya sangat membenciku
🏵️🏵️🏵️ Terus terang, walaupun ibu mertua sering melukai perasaanku, tetapi aku tidak ingin melihatnya berdebat atau adu mulut dengan Bu Dewi hanya karena hal sepele. Aku pun langsung meraih Bagas lalu memberikan isyarat kepada tetanggaku itu agar menjauh. Akhirnya, Bu Dewi pun memilih berpamitan kepadaku lalu pulang, begitu juga dengan Mbak Rere dan anaknya. Sementara ibu mertua masih saja menunjukkan kekesalannya. Aku pun memilih memasuki rumah daripada mendengar ocehannya yang tidak tahu ujungnya. Aku langsung menuju ruang TV untuk menyaksikan siaran yang bisa menghibur hati. Kebetulan juga, bapak mertua sedang tidak di rumah. Biasanya, dia yang menguasai ruangan ini dengan asap rokoknya yang sering membuatku pusing. Sejak kecil, aku alergi mencium asap rokok. Dampaknya bisa membuatku sesak dan sakit kepala hingga mual. Sepertinya, Allah telah mengatur Mas Bimo untuk berjodoh denganku karena dia bukan pria pada umumnya yang gemar mengonsumsi barang bulat panjang itu. Mas Bimo
🏵️🏵️🏵️ “Iya, Buk, masuk aja.” Mas Bimo mempersilakan wanita itu masuk. “Ibu mau minta tolong sama kamu.” Ibu mertua langsung duduk di samping anaknya. “Minta tolong apa, Buk?” “Ibu kasihan lihat Kakak kamu.” “Memangnya ada apa, Buk?” “Kak Mira sekarang lagi kesusahan. Untuk makan aja kadang bingung harus cari duit dari mana.” Wanita itu selalu saja sangat menunjukkan perhatiannya terhadap anak perempuannya walaupun telah memiliki keluarga. “Jadi, maksud Ibu gimana?” tanya Mas Bimo. “Bantulah keponakan kamu untuk beli beras.” “Kan, ada Mas Fajar, Buk.” “Fajar sekarang nggak bisa diharapkan.” “Kenapa jadi Ibu yang bingung? Kak Mira, kan, udah punya keluarga. Suaminya harusnya usaha untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya.” Sepertinya Mas Bimo tidak setuju dengan sikap ibunya yang terlalu mencampuri rumah tangga Kak Mira. “Jangan pelit sama kakak sendiri. Tuh, istri kamu pegang duit banyak.” Ibu mertua melihat uang dalam genggamanku yang belum sempat aku simpan. 🏵️🏵️?
🏵️🏵️🏵️ “Mau nambah, Sayang?” tanya Mas Bimo. Dia berhasil membuyarkan lamunanku. “Nggak, dong, Mas. Ini aja udah kenyang banget.” Aku pun menyeruput air lemon kesukaanku. “Oh, ya, Mas … jangan lupa bungkusin untuk Bapak, Ibu, dan Ratih.” Aku tidak ingin dianggap sebagai menantu yang lupa keluarga suami ketika sedang makan di luar. “Lain kali aja, Sayang. Sekarang timing-nya lagi nggak pas. Kamu tahu sendiri tadi sikap Ibu. Bisa-bisa nanti makanan yang kita bawa, nggak dimakan. Aku udah hafal banget sifat Ibu.” Mas Bimo justru memberikan penjelasan panjang lebar dan tidak bersedia membeli makanan untuk orang tua dan adiknya. “Ya udah, terserah kamu aja.” Aku tidak ingin berdebat. Lagi pun, Mas Bimo pasti lebih tahu sifat keluarganya. Kami pun segera keluar dari tempat makan tersebut menuju parkiran. Ternyata Bagas sudah tidur di pangkuan Mas Bimo sejak tadi. Aku pun menggendongnya lalu menaiki kendaraan roda dua milik Mas Bimo, kemudian mulai membelah jalanan. Sepuluh menit kem
🏵️🏵️🏵️ Malam ini setelah selesai makan bersama, Mas Bimo meminta kedua orang tuanya, juga adiknya agar tetap duduk. Dia mengaku ingin menyampaikan hal yang sangat penting. Aku sangat tahu, apa yang akan dia sampaikan. Kami akan segera meninggalkan rumah ini. “Ada apa?” tanya Bapak mertua dengan nada ketus. Sepertinya dia tidak memiliki rasa malu, padahal baru saja menikmati makanan dari hasil jerih payah anaknya. Untuk bicara saja, tidak bisa lebih lembut. “Besok sore, kami akan pindah dari rumah ini.” Mas Bimo pun langsung menyampaikan niatnya tanpa basa-basi. “Apa? Kamu nggak sayang lagi sama keluargamu?” Ibu mertua membuka suara. “Seorang anak pasti akan tetap menyayangi orang tuanya. Tapi, aku beserta istri dan anakku ingin hidup mandiri. Sampai kapan kami akan tetap tinggal di rumah ini?” Mas Bimo memberikan jawaban dengan bijak. “Bagaimana dengan hidup kami?” Ibu mertua menunjukkan wajah teduh. Aku ingin tertawa melihat aktingnya. “Ibu tenang aja, jatah yang biasa Ibu t