.
🏵️🏵️🏵️
Terus terang, aku sama sekali tidak takut melihat tatapan bapak mertua yang seolah-olah ingin melampiaskan amarahnya. Entah apa pun yang Ratih adukan kepada laki-laki paruh baya tersebut. Aku hanya mengatakan kebenaran kalau bapak dari suamiku itu tidak menunjukkan posisi sebagai kepala keluarga.
Hampir setiap hari, pekerjaannya hanya duduk, tidur, dan makan. Entah bermodalkan apa dia hingga masih dipertahankan sebagai suami oleh ibu mertua. Kalau dilihat dari perawakannya, aku pastikan dirinya bukan pria tampan saat masih muda. Kedua kakak iparku mewarisi wajahnya.
Berbeda dengan Mas Bimo dan Ratih. Kulit mereka berdua lebih tampak bersih dan wajahnya manis seperti ibu mertua. Mungkin kalau Mas Bimo mirip bapak mertua, aku masih berpikir untuk menerima cintanya dulu. Walaupun aku tidak melihat status sosial dalam menjalin hubungan, tetapi aku masih mempertimbangkan wajah dan penampilan.
“Ada apa, Pak?” Mas Bimo bangkit dari duduknya lalu berdiri di depan bapak mertua. Sementara aku langsung meraih Bagas, kemudian memangkunya.
“Siapa yang berani hina Bapak?” tanya laki-laki paruh baya itu.
“Siapa yang hina Bapak? Nggak ada, Pak.” Mas Bimo sepertinya tidak ingin jika bapaknya menyalahkan aku.
“Istri Mas, tuh. Mulutnya dijaga.” Ratih pun membuka suara sambil melihat ke arahku.
“Kamu yang harus jaga mulut dan sikap, Ratih! Clara itu kakak iparmu. Kamu harusnya menghormati dia!” Mas Bimo menaikkan suara.
“Kamu dari dulu selalu bela istri!” Bapak mertua juga turut menaikkan suara.
“Wajar kalau aku bela istri karena dia memang benar.” Mas Bimo kembali membuatku terharu.
“Jadi, menurut kamu, tindakan menghina Bapak itu benar?” Sekarang, ibu mertua menunjukkan aksinya yang langsung menatap sinis kepadaku.
“Clara tidak pernah menghina Bapak. Dia justru mengatakan yang sebenarnya. Selama ini aku diam hanya karena mengingat Ibu yang selalu bilang tidak bisa hidup tanpa Bapak.” Apa? Kenapa aku baru tahu kenyataan ini? Jadi, ibu mertua rela menjadi tulang punggung dulu hanya karena besarnya rasa cinta yang dia miliki kepada suaminya?
Ini benar-benar sangat langka. Biasanya aku mendengar kisah seorang istri yang tetap bertahan mendampingi suaminya yang pemalas, selingkuh, atau KDRT, itu semata-mata hanya demi anak. Ternyata ibu mertua sangat berbeda. Beliau pantas dijuluki dengan istilah bucin alias budak cinta.
Aku ingin tertawa setelah mengetahui kebenaran ini. Bisa-bisanya ibu mertua mengabdikan dirinya kepada laki-laki yang tidak menghargai cinta. Sepertinya bapak mertua memanfaatkan keadaan. Beliau sadar kalau istrinya sangat mencintai dirinya hingga dia pun dengan santai hidup tanpa beban.
🏵️🏵️🏵️
Pagi ini, suasana rumah sangat berbeda dari biasanya setelah kejadian tadi malam. Bapak mertua sepertinya masih kesal kepadaku karena saat aku menyapanya tadi, dia bersikap seolah-olah tidak melihatku. Namun, aku tidak peduli. Toh, bukan beliau yang memenuhi kebutuhan di rumah ini. Dia justru hanya memanfaatkan kebaikan Mas Bimo.
Kurang baik apa suamiku selama ini? Dia masih menyisakan uangnya untuk diberikan kepada bapaknya untuk membeli rokok. Bapak mertua adalah orang tua tersantai yang pernah aku kenal. Beliau hampir setiap hari minum kopi susu tiga kali dan menghabiskan rokok sebungkus sambil menonton televisi.
Melihat sikapnya yang tidak peduli dengan keluarga, aku jadi rindu Papa yang selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk istri, anak, dan cucunya. Mungkin kalau aku menikah dengan lelaki yang beliau anggap sepadan dengan keluarga kami, dia akan memanjakan Bagas seperti yang dilakukan terhadap Andra, anak dari Kak Revan—kakak sulungku.
“Sayang, aku berangkat kerja dulu, ya.” Mas Bimo berhasil membuyarkan lamunanku.
“Iya, Mas.” Aku pun mencium punggung tangannya lalu dia mendaratkan kecupan di keningku, kemudian aku mengantarkannya hingga menaiki Honda Beat hitam yang selalu setia menemaninya.
Aku kembali memasuki rumah dan langsung menuju dapur. Ternyata ibu mertua telah menyambutku dengan gayanya yang bertolak pinggang. Beliau seolah-olah menunjukkan tatapan yang paling menakutkan.
“Kenapa kau menghasut anak saya?” Pertanyaan apa itu? Kapan aku menghasut Mas Bimo?
“Saya tidak pernah menghasut Mas Bimo, Buk. Untuk apa?” Aku dengan tegas memberikan jawaban.
“Kenapa dia selalu membelamu?”
“Orang benar, kan, wajar kalau dibela.”
“Jadi, menghina suami saya, kau anggap benar?” Wanita itu menaikkan suaranya.
“Saya sama sekali tidak ada niat untuk menghina Bapak. Saya hanya mengingatkan Ratih supaya tidak mengikuti Bapak yang tidak memiliki rasa peduli terhadap keluarga. Apa saya salah?” Aku tidak peduli apakah pernyataan yang kuberikan akan membuat ibu mertua tersinggung atau apalah.
Tiba-tiba, wanita itu mengangkat tangan kanannya dan ingin mendaratkan tamparan. Aku dengan gesit langsung meraih tangannya. Dia pikir aku wanita lemah? Seharusnya dia tahu sejak dulu kalau aku tidak pernah membiarkan mereka menyakitiku.
“Lepasin tangan saya! Berani kamu melawan saya? Kamu lupa hanya numpang di rumah ini?” Wajahnya tampak memerah.
“Apa-apaan ini, Buk?” Mas Bimo tiba-tiba muncul dan kini berdiri di depan pintu dapur. Sementara aku masih memegang tangan ibu mertua.
🏵️🏵️🏵️
Kenapa Mas Bimo tiba-tiba muncul? Padahal, tadi aku melambaikan tangan saat motornya meluncur meninggalkan rumah. Apa ada yang tertinggal? Dia sangat jarang melupakan sesuatu saat akan berangkat kerja. Kenapa dia jadi pelupa?
Akhirnya, aku pun melepaskan tangan ibu mertua dari genggamanku. Aku yakin kalau wanita itu tidak mungkin berani mengangkat tangan lagi untuk mencoba menamparku di depan Mas Bimo. Selama ini, beliau lebih berani kepadaku ketika anaknya sedang tidak di rumah.
Seandainya Mas Bimo lebih mendengar ucapanmu daripadanya ibunya, mungkin sekarang, kami tidak akan tinggal di rumah ini. Saat awal pernikahan, aku langsung mengajukan permintaan kepada Mas Bimo agar kami mengontrak rumah saja daripada harus tinggal bersama orang tuanya.
“Mas, kita ngontrak aja, ya. Aku pengen hidup mandiri tanpa campur tangan orang tuamu. Kamu tahu sendiri kalau mereka nggak pernah menerimaku sebagai istrimu.” Aku mengutarakan niat itu setelah dua hari menikah dengan Mas Bimo.
“Kita tinggal di sini aja, Sayang. Kasihan Ibu. Aku nggak mau melihat beliau cari nafkah seperti dulu lagi. Aku sebagai anak laki-laki satu-satunya harus berbakti dan membalas pengorbanan Ibu selama ini. Kamu tahu sendiri bagaimana kelakuan Bapak. Aku udah cerita semuanya ke kamu sebelum kita nikah.”
Aku pun tidak mampu berkata apa-apa lagi ketika Mas Bimo menjelaskan alasannya. Aku tidak ingin melihat dia merasa bersalah karena tidak membalas pengorbanan ibunya. Oleh karena itu, aku pun akhirnya setuju untuk tetap tinggal di rumah ini hingga sekarang.
Banyak hal yang membuatku kesal menghadapi keluarga ini. Pertama, bapak mertua yang tidak memiliki keinginan untuk bekerja walaupun beliau masih sangat sehat. Kedua, ibu mertua yang selalu memandangku sebelah mata karena dianggap tidak punya apa-apa. Ketiga, adik ipar yang sikapnya seperti tidak pernah diajari sopan santun terhadap orang yang lebih tua darinya.
Sementara itu, kedua kakak ipar ingin agar Mas Bimo punya mertua yang dapat diandalkan dalam segi materi dan harta. Sungguh, pemikiran keluarga ini memang sangat aneh menurutku. Untung saja Mas Bimo memiliki sifat yang berbeda dari mereka.
“Ada apa, Sayang?” Mas Bimo membuyarkan lamunanku.
“Ini, Mas … Ibu tadi mau nampar aku. Tapi aku nggak membiarkan itu terjadi.” Aku jujur mengatakan apa yang ingin ibu mertua lakukan kepadaku.
“Kok, Ibu tega melakukan itu pada istriku?” Mas Bimo seperti biasa, tetap selalu membelaku.
“Wajar kalau Ibu nampar dia karena dia tidak menghargai orang tua.” Ibu mertua sepertinya ingin memberikan pembelaan atas dirinya.
“Nggak menghargai gimana maksud Ibu?” tanya Mas Bimo. Dia melangkah mendekatiku.
“Ibu nggak terima dia menghina Bapak kamu.” Aku ingin tertawa mendengar jawaban ibu mertua. Dia seolah-olah ingin mendewakan suaminya yang tidak bertanggung jawab itu.
“Bucin,” ucapku sambil tersenyum lalu beranjak meninggalkan dapur.
“Dasar menantu tidak tahu diri!” Aku mendengar teriakan ibu mertua sebelum aku memasuki kamar.
Apa wanita itu mengerti arti kata yang aku ucapkan tadi? Terus terang, aku merasa puas melontarkan lima huruf itu kepadanya. Sebenarnya aku ingin mengatakan lebih dari itu. Aku bahkan ingin membuka pikirannya agar tidak selalu membela suaminya yang seolah-olah tidak memiliki perasaan sama sekali.
“Kamu ada-ada aja, Sayang.” Setelah beberapa menit, Mas Bimo memasuki kamar sambil tersenyum. Dia pun meraih jam tangannya yang tertinggal. Entah apa yang dia lakukan tadi untuk menenangkan ibunya.
🏵️🏵️🏵️
“Mas, Ibu tiba-tiba banyak diam, ya, sejak kejadian tadi pagi. Biasanya pasti ngoceh terus sambil nyindir aku. Dia selalu bilang aku nggak tahu diri, nggak punya apa-apa, asal-usul nggak jelas, dan hidup hanya numpang.”
Malam ini seperti biasa setelah selesai makan malam, aku dan Mas Bimo beserta anak kami memilih menghabiskan waktu di kamar untuk berbincang. Mas Bimo selalu ingin mendekatkan diri kepada Bagas setelah seharian penuh berkutat dengan pekerjaan.
“Kamu pasti penasaran, ‘kan, kenapa sikap Ibu berbeda hari ini? Bukan hanya Ibu, Bapak juga nggak mengeluarkan sepatah kata pun tadi saat kita makan.” Mas Bimo memberikan balasan yang membuatku penasaran.
“Iya, Mas. Ada apa, sih?” tanyaku.
“Aku hanya bilang, kalau Ibu masih bersikap kasar padamu, kita akan keluar dari rumah ini. Kita akan ngontrak.” Aku bahagia mendengar penuturan Mas Bimo. Apakah aku akan terbebas dari ketidaknyamanan di rumah ini?
“Serius, Mas? Kita akan ngontrak?” Aku benar-benar bersemangat.
“Nggak, Sayang. Itu hanya gertakan aja. Kita akan tetap tinggal di sini. Kasihan Ibu.” Ternyata harapanku tinggal harapan karena kenyataannya, alasan Mas Bimo tetap sama dengan apa yang dia katakan saat awal kami menikah.
Aku tidak memberikan respons, tetapi lebih memilih memainkan ponsel untuk meredam rasa kesal dan kecewaku setelah mendengar ucapan Mas Bimo. Aku pun mengusap layar benda pintar itu, terdapat pesan masuk dari nomor yang tidak tersimpan di daftar kontak.
[Kamu di mana, Cla? Apa kamu nggak kangen rumah dan keluargamu?]
Siapa yang mengirim pesan itu? Setelah aku menikah dengan Mas Bimo, aku sengaja mengganti nomor kontak dan sosial mediaku. Aku tidak bermaksud untuk melupakan orang tua dan keluarga, tetapi aku masih sangat sedih saat Papa tidak menganggapku lagi sebagai anak.
“Ada apa, Sayang?” Mas Bimo mengagetkanku.
🏵️🏵️🏵️ Satu kebenaran lagi yang membuatku terkejut, tetapi juga bahagia. Ternyata suami Bu Dewi adalah adik kandung papi mertua. Pantas saja sifatnya sangat mirip dengan Mas Bimo. Di samping itu, Bu Dewi juga menyayangi Bagas seperti cucu sendiri. Sebenarnya, beberapa petunjuk telah mengungkapkan kebenaran itu, tetapi aku tidak berani menyimpulkan. Bu Dewi sama sekali tidak mengetahui kebenaran tentang Mas Bimo dari awal karena mereka bertetangga sejak suamiku itu telah duduk di bangku SMP. Mungkin jika Bu Dewi bertemu Mas Bimo waktu masih kecil, pasti wanita itu akan mengenali keponakannya sendiri. Aku sangat bahagia karena ternyata Mas Bimo memiliki keluarga yang sifatnya tidak kasar seperti keluarga yang membesarkannya. Ini benar-benar anugerah yang aku harapkan selama ini. Akhirnya, aku berada di tengah-tengah orang-orang yang berhati mulia. 🏵️🏵️🏵️ Aku dan Mas Bimo berhasil mengajak Andrew pulang setelah kami memberikan penjelasan dan pengertian kepadanya. Dia berjanji
🏵️🏵️🏵️ “Ibu udah nggak ada, Sayang.” Aku tidak mengerti apa maksud Mas Bimo. “Nggak ada? Maksudnya apa?” tanyaku ingin tahu. “Ibu udah pergi untuk selamanya seminggu yang lalu.” “Apa?” Aku sangat terkejut. Walaupun wanita yang aku anggap sebagai ibu mertua selama ini sering menyakitiku, tetapi aku tidak pernah berharap agar dirinya pergi secepat ini. “Walaupun beliau bukan ibu kandungku, tetapi beliau yang telah merawat dan membesarkanku.” Mata Mas Bimo berkaca-kaca. “Ibu sakit apa, Mas?” Mas Bimo akhirnya menceritakan apa yang terjadi terhadap Bu Sukma—wanita yang telah menganggap dirinya sebagai anak selama ini. Bu Sukma disiksa habis-habisan oleh orang-orang suruhan istri laki-laki yang memiliki hubungan terlarang dengannya. Bu Sukma patah tulang dan tiba-tiba lumpuh hingga membuat dirinya tidak dapat bertahan hidup. Di samping itu, wajah wanita itu juga disiram menggunakan air keras. Beliau sempat dirawat beberapa minggu di rumah sakit. “Permintaan terakhirnya, tidak m
🏵️🏵️🏵️ Hari ini genap sebulan, aku dan Bagas berada di kota ini. Entah kenapa akhir-akhir ini, aku sering merasa pusing dan mual. Padahal, aku harus membantu Mama mempersiapkan acara ulang tahun Bagas. Walaupun hanya mengundang keluarga dan kerabat dekat, tetapi Mama ingin memberikan yang terbaik untuk Bagas. “Ini perayaan ulang tahun Bagas yang pertama kali di rumah ini. Sebelumnya, kamu tidak pernah menghubungi Mama atau Papa jika Bagas ulang tahun.” Aku sedih mendengar ucapan Mama. “Jadi, Mama ingin acaranya tampak meriah. Ini juga Papa yang ngusulin.” Ternyata Papa tetap sangat menyayangi Bagas walaupun pintu hatinya belum terbuka untuk memberikan maaf kepadaku. “Terima kasih, Mah. Maafin Cla.” Aku pun mencium pipi Mama. “Yang lalu biarlah berlalu. Yang penting sekarang kamu udah kembali pulang.” Beliau mengecup puncak kepalaku. Uek! Aku kembali merasakan mual seperti beberapa hari terakhir ini. Ada apa denganku? Apa mungkin … tidak! Aku belum siap hamil dalam status yang
🏵️🏵️🏵️ Suara telepon masuk mengagetkanku, juga membuyarkan lamunanku tentang Mas Bimo. Aku melihat nama Andrew di layar. Kenapa pria itu meneleponku malam-malam? Apa mungkin ada hal penting yang ingin dia sampaikan? Walaupun aku telah berusaha menghindarinya, tetapi tidak membuat dirinya untuk menjauhiku. Terus terang, aku merasa bersalah dan kasihan melihat pengorbanannya yang tetap setia mencintaiku. Namun, aku tidak memiliki balasan untuk itu. “Halo.” Aku pun mengangkat teleponnya. “Maaf, ganggu kamu malam-malam.” Dia tetap bersikap sopan terhadapku. “Ada apa?” tanyaku singkat. “Mami minta foto suami kamu.” “Untuk apa?” Aku penasaran. “Tadi mereka melihat laki-laki yang mirip denganku. Papi dan Mami udah cerita tentang kemiripan aku dengan suamimu. Pantes aja Bagas cepat dekat denganku. Kenapa kamu nggak ngomong selama ini, Cla?” Ternyata Andrew baru tahu kebenaran tentang kemiripan dirinya dengan Mas Bimo. Dia tidak tahu kalau aku baru menyadarinya setelah kembali berte
🏵️🏵️🏵️ Bukan hanya aku yang merasa heran, tetapi Mama juga. Wanita itu justru berharap kalau anak Om Rio dan Tante Marisa yang hilang saat masih kecil adalah Mas Bimo. Beliau mengaku yakin kalau hal itu memang benar, Papa akan memberikan maaf kepadaku. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa karena Mama tidak tahu pasti permasalahan yang aku hadapi dengan Mas Bimo. Jika laki-laki yang masih berstatus sebagai suamiku itu memang benar anaknya Om Rio dan Tante Marisa, tidak menutup kemungkinan kalau kami akan diminta kembali bersatu. Apakah perbuatan Mas Bimo akan makin nekat jika memiliki banyak uang dan harta? Saat dia masih hidup apa adanya, dirinya berani bermain api dengan wanita lain. Aku tidak sanggup membayangkan hal itu akan terulang kembali. Mungkin aku lebih baik mencoba menerima kenyataan jika kami tidak memiliki hubungan lagi. Jadi, aku tidak akan melarangnya bergaul dengan wanita mana pun jika ikatan kami telah terputus. Aku tidak akan memaksa dirinya untuk tetap me
🏵️🏵️🏵️ “Cla! Tante Marisa minta kamu ke sini. Katanya beliau kangen!” Aku mendengar teriakan Mama. “Iya, Mah.” Aku tidak mampu menolak ataupun mengelak. Aku segera berjalan menuju ruang tamu lalu duduk di samping Mama. Sementara Bagas duduk di pangkuan Papa. “Anak kamu, Cla?” tanya Tante Marisa kepadaku sambil menunjuk Bagas. “Iya, Tante.” “Tampan, ya. Tapi, kok, mirip Andrew?” Apa? Apa yang kurasakan dan Bagas, ternyata keluar dari bibir Tante Marisa. Sejak awal melihat Andrew, aku juga merasa kalau dirinya memiliki kemiripan dengan Mas Bimo. Apa mungkin hal ini hanya kebetulan saja? Aku pernah dengar bahwa manusia memiliki tujuh kembaran tidak sedarah. Atau setidaknya mempunyai orang yang benar-benar mirip dengan dirinya. Menurut sains, hal ini memang sangat mungkin terjadi karena kemiripan susunan genetik yang dimiliki tiap manusia. Itu artinya, aku telah menemukan satu orang yang mirip dengan Mas Bimo. Aku tidak tahu apakah itu fakta atau mitos. Namun, waktu masih duduk
🏵️🏵️🏵️ Ternyata Papa serius dengan kemarahannya. Dua hari berada di rumah ini, beliau tidak memberikan respons jika aku mengajaknya berbicara. Orang tua itu seolah-olah tidak melihat keberadaanku. Namun, aku tetap bersyukur karena beliau dekat dengan Bagas. Tidak masalah jika Papa tidak menganggapku saat ini, yang penting beliau menunjukkan kasih sayangnya terhadap Bagas. Akhirnya, anakku itu merasakan kasih sayang dari seorang kakek. Selama ini, dia tidak mendapatkannya dari bapak mertua. “Kamu yang sabar, ya, Sayang. Mama yakin kalau Papa kamu pasti akan menerima kamu kembali. Terbukti beliau sayang banget sama Bagas.” Sepertinya Mama berusaha meyakinkanku. “Iya, Mah. Cla tahu kalau Papa orang baik.” Aku percaya kalau suatu saat nanti, pintu hati Papa akan terbuka untukku. Walaupun sikap Papa seperti itu, aku tetap bersemangat karena dapat melihat beliau setiap hari. Aku tidak merasa menyesal karena telah meninggalkan Mas Bimo dan keluarganya. Ternyata aku jauh lebih bahagia
🏵️🏵️🏵️ Sedalam itu rasa benci Papa terhadapku hingga tidak mengharapkan kehadiranku lagi di rumah ini. Apa yang kulakukan di masa lalu, kini telah mendapatkan balasannya. Semua itu terjadi karena aku dengan tega menentang keputusan orang tua dan bahkan mengabaikan permohonan mereka. “Papa mohon, kembalilah ke rumah. Jangan menikah dengan pemuda yang akan membuat hidupmu menderita.” Papa memohon kepadaku untuk tidak menikah dengan Mas Bimo kala itu. “Nggak, Pah. Cla hanya akan menikah dengan Mas Bimo. Cla akan bahagia bersama dia.” Aku dengan yakin mengatakan bahwa kebahagiaanku hanya bersama Mas Bimo. Ternyata apa yang Papa katakan dulu, kini menjadi kenyataan. Sangat benar kalau aku menderita setelah mengetahui pengkhianatan Mas Bimo. Dia tidak hanya selingkuh, tetapi juga memberikan tuduhan menyakitkan dan lebih membela orang tuanya yang selalu jahat terhadapku. “Jangan ngomong seperti itu, Pah! Clara tetap anak kita, darah daging Papa!” Mama menaikkan suaranya. “Setiap orang
🏵️🏵️🏵️ Lebih baik aku fokus dengan apa yang akan aku jelaskan kepada Papa dan Mama nanti saat bertemu. Apa mereka akan marah setelah melihat diriku kembali ke kota ini? Atau mereka akan bahagia karena aku telah meninggalkan menantu yang tidak mereka harapkan? Aku harus mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun yang akan Papa dan Mama katakan. Mungkin mereka akan menganggap apa yang terjadi terhadapku saat ini, sebagai akibat karena telah menentang keputusan orang tua. “Sampai kapan kamu di luar, Cla? Andrew juga udah pergi. Gitu amat mandangin dia tadi.” Kak Ratu membuyarkan lamunanku. Aku pun segera memasuki rumah. Setelah menghempaskan tubuh ke sofa ruang TV, aku segera meraih ponsel yang sejak tadi aku non aktifkan. Ternyata tidak sedikit panggilan tidak terjawab dari Mas Bimo. Nama Ratih juga ada. Kenapa adik iparku itu beberapa kali menghubungiku? Aku pun beralih ke pesan masuk. Mas Bimo bertubi-tubi mengirim pesan kepadaku. Hampir semuanya permintaan maaf dan ungkapan p