Lusia tersenyum miring. "Santai aja, Mas. Aku nggak segila itu buat nyebarin sekarang. Aku perempuan yang tahu diri'--asal kamu nggak macam-macam."
Tanpa membalas, Alvin langsung berbalik dan meninggalkan apartemen itu. Tapi di dalam hatinya, ia tahu... masalah ini belum selesai. Lusia tak akan semudah itu pergi dari hidupnya.***[Jangan lupa gaes, lusa kita arisan ke dua, siapa nanti yg dapat. Kocok di kocok-kocok!] Tulis Rinta mengawali pembicaraan di grup Arisan Girls Squad.Obrolan di grup arisan itu langsung ramai.[Lah, ini tempatnya sama seperti bulan lalu atau pindah?][Pindah aja sih, kita ke villa pinggir pantai aja, jadi selain arisan kita juga bisa jalan-jalan. Tapi, ajak pasangan masing-masing ya. Indah, kamu juga bisa ajak tunanganmu ya,] tulis Ayu.Indah langsung menatap layar ponselnya, seraya mengernyit pelan.[Ya benar. Kalau udah gitu, semua yang datang, bawa pasangan ya. Jangan sampe ada yan[Dia bisa segitunya ya ... padahal kita udah percaya banget.][Berarti bener ya, dia dari awal emang udah niat kabur bawa uang arisan?][Kayaknya sih gitu. Soalnya aku juga sempet liat satu mobil box beberapa hari lalu pas lewat situ, ternyata mereka pindahan.][50 juta itu bukan uang kecil, gaes. Kita nggak bisa diem aja.][Kalau gitu, seperti yang udah disepakati, kasih dia waktu dua bulan. Kalau tiga kali nggak setor juga, kita lapor polisi aja. Ada bukti transfer kan dari masing-masing kita?][Iya, semua masih ada. Gue juga udah save bukti-buktinya.]***Beberapa minggu berlalu ....Bu Ratna datang dengan semangat membara, membawa beberapa katalog tebal penuh contoh dekorasi dan desain undangan. Suaranya nyaring mengisi ruang tamu rumah Indah saat berbincang dengan Bu Laras, seolah tak kenal lelah meski hari sudah petang."Ini, lihat nih, Dek Indah. Tema garden party ala Eropa ini lagi tren, terus i
Part 22Fina yang sebelumnya tenang kini menatap Rinta dengan pandangan tajam. "Dia beneran ninggalin kita gitu aja?" ucapnya, meski nada suaranya terkesan lebih tenang dari yang lainnya.Rinta melemparkan ponselnya ke meja, kesal. "Dia benar-benar ninggalin kita. Sialan banget, nggak tau malu!"Nora terlihat terkejut, lalu mulai menyela. "Tapi, dia nggak mungkin kabur gitu aja tanpa alasan. Mungkin ada yang salah."Fina menggeleng. "Ya mungkin Rina punya banyak masalah, tapi nggak seharusnya dia ngelakuin ini. Itu uang kita, gaes!"Suasana di villa semakin tegang. "Gue kecewa banget. Kok Rina jadi begini sih?""Tiga hari yang lalu dia masih update status di IG nya loh, kelihatannya baik-baik saja.""Coba di DM aja."Fina segera mengirim pesan di IG Rina, namun sayangnya akunnya sudah di privat dan tak bisa sembarangan orang mengirim pesan padanya. "Gaes, akun Rina sekarang diprivat, terus gak bisa kir
Lusia tersenyum miring. "Santai aja, Mas. Aku nggak segila itu buat nyebarin sekarang. Aku perempuan yang tahu diri'--asal kamu nggak macam-macam."Tanpa membalas, Alvin langsung berbalik dan meninggalkan apartemen itu. Tapi di dalam hatinya, ia tahu... masalah ini belum selesai. Lusia tak akan semudah itu pergi dari hidupnya.***[Jangan lupa gaes, lusa kita arisan ke dua, siapa nanti yg dapat. Kocok di kocok-kocok!] Tulis Rinta mengawali pembicaraan di grup Arisan Girls Squad.Obrolan di grup arisan itu langsung ramai.[Lah, ini tempatnya sama seperti bulan lalu atau pindah?][Pindah aja sih, kita ke villa pinggir pantai aja, jadi selain arisan kita juga bisa jalan-jalan. Tapi, ajak pasangan masing-masing ya. Indah, kamu juga bisa ajak tunanganmu ya,] tulis Ayu.Indah langsung menatap layar ponselnya, seraya mengernyit pelan.[Ya benar. Kalau udah gitu, semua yang datang, bawa pasangan ya. Jangan sampe ada yan
Part 21"Mas, kenapa? Wajah kamu tiba-tiba pucat begitu?" tanya Indah, sedikit khawatir.Alvin tersenyum paksa, mencoba tetap tenang. "Nggak apa-apa, cuma… notifikasi kerja. Tiba-tiba disuruh balik, padahal lagi jam istirahat."Indah mengangguk, meski masih curiga.Sementara itu, jantung Alvin berdetak begitu cepat. Video yang dikirim Lusia berdurasi sekitar dua menit, berisi adegan syur semalam yang terekam jelas dari sudut tempat tidur apartemen. Lusia merekamnya diam-diam … dan kini menggunakannya sebagai senjata.Alvin berdiri buru-buru. "Maaf, aku harus balik ke kantor sekarang. Nanti aku kabarin lagi, ya."Indah mengangguk pelan, melihat Alvin yang tampak makin aneh hari ini. Penuh gelisah, seperti menyimpan sesuatu yang besar.Begitu masuk ke mobilnya, Alvin langsung mengunci pintu, membuka pesan Lusia lagi.[Aku nggak main-main, Mas. Aku udah terlalu dalam sama kamu. Kalau kamu bener-bener ninggalin aku,
Alvin hanya bisa mengangguk pelan, meskipun dalam hati, ia tahu situasinya semakin sulit. Ia merasa terjebak di antara dua dunia yang sama-sama menghancurkannya.Ia menunduk dan berjalan ke kamar, meninggalkan ibunya yang masih berdiri di ruang tamu, penuh kekhawatiran. Alvin berdiri di bawah pancuran air dingin yang mengalir deras, berusaha menyegarkan pikirannya yang kusut. Setiap tetes air yang jatuh ke tubuhnya terasa seperti beban dosa yang tak bisa terhapus begitu saja. Ia memejamkan mata, mengingat lagi wajah Lusia yang terlelap di ranjang apartemennya pagi tadi. Hatinya semakin sesak.Setelah selesai mandi, Alvin berganti pakaian dengan cepat dan langsung bersiap menuju kantor. Ia tahu, ada banyak hal yang menunggunya hari ini—dan sebagian besar bukanlah hal baik.Begitu tiba di kantor, suasana terasa tegang. Beberapa rekan kerja hanya melirik sekilas, tapi sorot mata mereka seperti keheranan. Dan benar saja, belum sempat Alvin duduk, sal
Part 20 Lusia menggeliat pelan, kelopak matanya terbuka dengan perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada Alvin yang duduk di tepi ranjang dengan wajah tegang dan rambut yang acak-acakan.“Mas ...?” Suaranya serak, masih lekat oleh sisa-sisa kantuk.Alvin menoleh dengan ekspresi penuh amarah dan kecewa. “Kamu puas sekarang?” ucapnya tajam. “Aku harusnya pulang tadi malam! Mama, Papa, Indah, mereka semua nelponin aku semalaman!”Lusia terduduk pelan, menarik selimut menutupi tubuhnya. Matanya mulai berkaca-kaca melihat ekspresi Alvin yang jauh berbeda dari semalam.“Kamu marah karena semalam kita--” Ia menggigit bibir, tak sanggup melanjutkan.Alvin berdiri, membelakangi ranjang, suaranya tertahan. “Kita seharusnya nggak ngelakuin itu. Aku datang ke sini cuma buat nenangin kamu, bukan … bukan buat ini semua.”“Mas …” Lusia bangkit, hanya dibungkus selimut, lalu berdiri di belakang Alvin. “Kita ngelakuin itu karena sama