Share

6. Bab 6

DIKIRA MISKIN 5

Aku maklum jika Mbak Wiwid menganggap uang yang kubelanjakan diberi Ibu. Saat ini Ibu memang sedang panen cabai, apalagi harga cabai juga sekarang lumayan bagus. Hasil panen Ibu juga melimpah, karena memang sawahnya luas, meski sekarang lahan yang Ibu garap sudah berkurang karena diberikan kepada Mbak Ranti dan Mbak Wiwid. Ya, Mbak Wiwid dan Mbak Ranti sudah punya bagian sawah masing-masing.

Lahan yang digarap Ibu saat ini adalah bagian Mas Yudi. Namun, karena Mas Yudi merantau, maka, lahan itu Ibu yang menggarapnya meski Ibu harus mengupah orang untuk membantu menggarap sawahnya.

Ibu hanya ke sawah hanya untuk melakukan pekerjaan ringan saja. Seperti mencabuti rumput liar atau saat musim panen seperti sekarang. Biasanya cabai akan dipetik setiap lima hari sekali.

Semenjak sakit, Ibu tidak pernah ke sawah lagi. Beliau menyuruh orang untuk memetik cabainya. Sekarang Mas Yudi juga tengah ikut panen di sawah bersama para pekerja lain.

"Nggak usah pelit sama aku kalau yang kamu belanjakan itu milik Ibu. Enak banget, ya Yudi, saat panen disuruh pulang untuk menikmati hasilnya sedangkan ia tidak pernah merasakan jerih payah menggarapnya," cecar Mbak Wiwid.

"Sudahlah, Wid, kamu juga selalu ikut menikmati hasil panen sawah Ibu. Makanya kalau punya sawah itu digarap biar ada hasilnya, bukan malah dianggurin seperti itu," ucap Ibu yang membuat Mbak Wiwid mengerucutkan bibir mendengarnya.

"Malas, ah, kalau harus ke sawah segala, nanti kulitku yang mulus dan putih ini jadi gosong terkena panas sinar matahari," ucap Mbak Wiwid manyun.

"Kalau takut gosong, kamu, kan bisa mengupah orang seperti punya Ibu," kata Ibu lagi 

"Memangnya menyuruh orang nggak butuh biaya banyak? Mending kalau berhasil, kalau gagal bagaimana? Udah keluar modal yang tidak sedikit malah gagal panen, mending nggak usah digarap biar nggak keluar modal," ucap Mbak Wiwid bersungut-sungut.

"Ucapan adalah do'a Mbak, benar kata Ibu, sebaiknya punya sawah itu diolah bukan malah dianggurin seperti itu. Jangan takut gagal, Mbak harus yakin. Soal berhasil atau tidak itu hak Allah, yang penting kita sudah berusaha," ucapku.

"Halah, kamu tahu apa soal persawahan? Aku malas mengolah sawah karena dulu pernah keluar modal banyak, eh, malah zonk, sudah rugi tenaga, rugi uang juga. Kamu kalau nggak tau apa-apa nggak usah ceramah. Bikin kupingku panas saja," ucap Mbak Wiwid dengan menutup kedua telinganya.

Benar kata Mbak Wiwid. Menjadi petani memang punya banyak resiko. Mengolah lahan pertanian memang tidak mudah. Mulai dari pencangkulan, pembibitan, penyemprotan pestisida, tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi, kalau saat panen tiba-tiba harga anjlok, tentu akan sangat merugikan para petani. Alasan inilah yang membuat Mas Yudi lebih memilih berdagang daripada bertani meski sawah orang tuanya luas.

Semua pekerjaan memang ada ada resikonya sendiri. Hanya pegawai yang tidak beresiko dan tidak kenal musim. Hujan tidak kehujanan, panas pun tidak kepanasan, pantas lah kalau bapak mertua sangat bangga dengan para menantunya yang menjadi pegawai sehingga membuat tidak suka dengan anak dan menantu yang tidak menjadi pegawai. Baginya menjadi pegawai adalah sebuah pekerjaan yang keren karena setiap bulan gajian dan lebih bermartabat di mata masyarakat.

Enam bulan yang lalu, Ibu menghubungi Mas Yudi melalui telepon, beliau minta uang tambahan untuk modal menggarap sawahnya, apalagi sawah yang Ibu garap juga sebenarnya milik Mas Yudi. Jadi, menurutku tidak masalah jika sekarang Mas Yudi ikut menikmati hasilnya. Meski sebenarnya kami tidak pernah ikut merasakannya. Uang kami sudah cukup tanpa minta Ibu. Namun, di mata  Mbak Ranti dan Mbak Wiwid, kami tetaplah sepasang suami istri yang tidak punya uang sehingga setiap mau belanja harus minta ke Ibu.

"Benar kata Antika, seharusnya sawah yang kuberikan kamu garap bukannya dianggurin biar ada penghasilannya, bukan bisanya cuma duduk dan gemar goyang tik tok yang tidak bermanfaat." Ucap Ibu.

"Ibu kenapa sekarang berubah semenjak ada Antika di sini ya? Apa jangan-jangan Ibu sudah kesurupan?" Kata Mbak Wiwid seraya mendekat dan meraba kening Ibu, namun dengan cepat Ibu menepis tangan anak perempuannya itu.

"Anak nggak ada akhlak, bisa-bisanya bilang Ibu kesurupan?" Ucap Ibu kesal.

"Habis Ibu sudah berani ceramahin aku, sih? Ini pasti gara-gara Antika. Yang anak Ibu itu aku, bukan Antika. Jadi, seharusnya yang Ibu bela itu aku bukan Antika. Sepertinya Ibu sudah mulai sayang dengan Antika?" Kata Mbak Wiwid dengan nada tinggi.

"Ini bukan soal anak atau bukan anak. Aku memang sudah mulai sayang dengan Antika karena dia menantu yang sangat baik dan perhatian. Kamu lihat, semenjak ada dia, Ibu semakin sehat karena makan tidak pernah terlambat, dan ada teman ngobrol. Sedangkan kamu sebagai anak perempuan, apa pernah perhatian sama Ibu saat sakit? Nggak, kan? Kamu hanya datang saat ibu panen karena ingin minta uang." Jelas Ibu yang membuat mata Mbak Wiwid makin melebar.

"Halah, Antika baik pasti karena ada maunya. Orang miskin memang begitu, Bu. Dia pasti senang saat diminta tinggal di sini agar bisa nebeng makan sama Ibu, iya, kan? Ayo ngaku!" Kata Mbak Wiwid dengan tatapan  tajam ke arahku.

"Kamu ini ngomong apa tho, Wid? Harusnya kamu sadar diri, siapa yang selama ini nebeng sama Ibu kalau bukan kamu. Sedangkan Antika dan Yudi tidak pernah minta uang padaku, bahkan setelah bapakmu tiada, Yudi rutin mengirimiku uang setiap bulan," kata Ibu panjang lebar.

"Apa?"

Waduh, kenapa Ibu mesti bilang kalau Mas Yudi selalu memberinya uang setiap bulan setelah Bapak tiada?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status