DIKIRA MISKIN 5
Aku maklum jika Mbak Wiwid menganggap uang yang kubelanjakan diberi Ibu. Saat ini Ibu memang sedang panen cabai, apalagi harga cabai juga sekarang lumayan bagus. Hasil panen Ibu juga melimpah, karena memang sawahnya luas, meski sekarang lahan yang Ibu garap sudah berkurang karena diberikan kepada Mbak Ranti dan Mbak Wiwid. Ya, Mbak Wiwid dan Mbak Ranti sudah punya bagian sawah masing-masing.
Lahan yang digarap Ibu saat ini adalah bagian Mas Yudi. Namun, karena Mas Yudi merantau, maka, lahan itu Ibu yang menggarapnya meski Ibu harus mengupah orang untuk membantu menggarap sawahnya.Ibu hanya ke sawah hanya untuk melakukan pekerjaan ringan saja. Seperti mencabuti rumput liar atau saat musim panen seperti sekarang. Biasanya cabai akan dipetik setiap lima hari sekali.Semenjak sakit, Ibu tidak pernah ke sawah lagi. Beliau menyuruh orang untuk memetik cabainya. Sekarang Mas Yudi juga tengah ikut panen di sawah bersama para pekerja lain."Nggak usah pelit sama aku kalau yang kamu belanjakan itu milik Ibu. Enak banget, ya Yudi, saat panen disuruh pulang untuk menikmati hasilnya sedangkan ia tidak pernah merasakan jerih payah menggarapnya," cecar Mbak Wiwid.
"Sudahlah, Wid, kamu juga selalu ikut menikmati hasil panen sawah Ibu. Makanya kalau punya sawah itu digarap biar ada hasilnya, bukan malah dianggurin seperti itu," ucap Ibu yang membuat Mbak Wiwid mengerucutkan bibir mendengarnya.
"Malas, ah, kalau harus ke sawah segala, nanti kulitku yang mulus dan putih ini jadi gosong terkena panas sinar matahari," ucap Mbak Wiwid manyun."Kalau takut gosong, kamu, kan bisa mengupah orang seperti punya Ibu," kata Ibu lagi "Memangnya menyuruh orang nggak butuh biaya banyak? Mending kalau berhasil, kalau gagal bagaimana? Udah keluar modal yang tidak sedikit malah gagal panen, mending nggak usah digarap biar nggak keluar modal," ucap Mbak Wiwid bersungut-sungut."Ucapan adalah do'a Mbak, benar kata Ibu, sebaiknya punya sawah itu diolah bukan malah dianggurin seperti itu. Jangan takut gagal, Mbak harus yakin. Soal berhasil atau tidak itu hak Allah, yang penting kita sudah berusaha," ucapku."Halah, kamu tahu apa soal persawahan? Aku malas mengolah sawah karena dulu pernah keluar modal banyak, eh, malah zonk, sudah rugi tenaga, rugi uang juga. Kamu kalau nggak tau apa-apa nggak usah ceramah. Bikin kupingku panas saja," ucap Mbak Wiwid dengan menutup kedua telinganya.Benar kata Mbak Wiwid. Menjadi petani memang punya banyak resiko. Mengolah lahan pertanian memang tidak mudah. Mulai dari pencangkulan, pembibitan, penyemprotan pestisida, tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi, kalau saat panen tiba-tiba harga anjlok, tentu akan sangat merugikan para petani. Alasan inilah yang membuat Mas Yudi lebih memilih berdagang daripada bertani meski sawah orang tuanya luas.
Semua pekerjaan memang ada ada resikonya sendiri. Hanya pegawai yang tidak beresiko dan tidak kenal musim. Hujan tidak kehujanan, panas pun tidak kepanasan, pantas lah kalau bapak mertua sangat bangga dengan para menantunya yang menjadi pegawai sehingga membuat tidak suka dengan anak dan menantu yang tidak menjadi pegawai. Baginya menjadi pegawai adalah sebuah pekerjaan yang keren karena setiap bulan gajian dan lebih bermartabat di mata masyarakat.Enam bulan yang lalu, Ibu menghubungi Mas Yudi melalui telepon, beliau minta uang tambahan untuk modal menggarap sawahnya, apalagi sawah yang Ibu garap juga sebenarnya milik Mas Yudi. Jadi, menurutku tidak masalah jika sekarang Mas Yudi ikut menikmati hasilnya. Meski sebenarnya kami tidak pernah ikut merasakannya. Uang kami sudah cukup tanpa minta Ibu. Namun, di mata Mbak Ranti dan Mbak Wiwid, kami tetaplah sepasang suami istri yang tidak punya uang sehingga setiap mau belanja harus minta ke Ibu."Benar kata Antika, seharusnya sawah yang kuberikan kamu garap bukannya dianggurin biar ada penghasilannya, bukan bisanya cuma duduk dan gemar goyang tik tok yang tidak bermanfaat." Ucap Ibu.
"Ibu kenapa sekarang berubah semenjak ada Antika di sini ya? Apa jangan-jangan Ibu sudah kesurupan?" Kata Mbak Wiwid seraya mendekat dan meraba kening Ibu, namun dengan cepat Ibu menepis tangan anak perempuannya itu."Anak nggak ada akhlak, bisa-bisanya bilang Ibu kesurupan?" Ucap Ibu kesal.
"Habis Ibu sudah berani ceramahin aku, sih? Ini pasti gara-gara Antika. Yang anak Ibu itu aku, bukan Antika. Jadi, seharusnya yang Ibu bela itu aku bukan Antika. Sepertinya Ibu sudah mulai sayang dengan Antika?" Kata Mbak Wiwid dengan nada tinggi."Ini bukan soal anak atau bukan anak. Aku memang sudah mulai sayang dengan Antika karena dia menantu yang sangat baik dan perhatian. Kamu lihat, semenjak ada dia, Ibu semakin sehat karena makan tidak pernah terlambat, dan ada teman ngobrol. Sedangkan kamu sebagai anak perempuan, apa pernah perhatian sama Ibu saat sakit? Nggak, kan? Kamu hanya datang saat ibu panen karena ingin minta uang." Jelas Ibu yang membuat mata Mbak Wiwid makin melebar."Halah, Antika baik pasti karena ada maunya. Orang miskin memang begitu, Bu. Dia pasti senang saat diminta tinggal di sini agar bisa nebeng makan sama Ibu, iya, kan? Ayo ngaku!" Kata Mbak Wiwid dengan tatapan tajam ke arahku.
"Kamu ini ngomong apa tho, Wid? Harusnya kamu sadar diri, siapa yang selama ini nebeng sama Ibu kalau bukan kamu. Sedangkan Antika dan Yudi tidak pernah minta uang padaku, bahkan setelah bapakmu tiada, Yudi rutin mengirimiku uang setiap bulan," kata Ibu panjang lebar."Apa?"Waduh, kenapa Ibu mesti bilang kalau Mas Yudi selalu memberinya uang setiap bulan setelah Bapak tiada?DIKIRA MISKIN 7"Apa Ibu bilang, coba katakan sekali lagi? Aku nggak salah dengar, kan, kalau Yudi setiap bulan selalu mengirim uang kepada Ibu?" Mbak Wiwid melebarkan mata seraya maju dan mencoba meraba kening Ibu lagi. Ibu mundur beberapa langkah saat tanya anak perempuannya itu ingin meraba keningnya. "Ibu tidak panas, tapi, kenapa dari tadi bicaranya seperti ada yang tidak beres? Ngaco terus ngomongnya.Tadi nyeramahin aku dan sekarang bilang kalau setiap bulan Yudi selalu kirim uang. Tidak mungkin, Bu. Ibu jangan mimpi, bangun, woy!" ucap Mbak Wiwid dengan nada tinggi dengan tangan yang ia kibaskan di depan wajah Ibu.Aku menekan dada perlahan karena kaget melihat perlakuan Mbak Wiwid pada ibunya. Beginikah sikap seorang anak yang sangat di sayang pada ibunya? Sungguh tidak pantas."Mbak, nggak sopan berbicara seperti itu dengan Ibu. Ibu ini ibu kandung Mbak yang harus kita hormati." Ucapku seraya menepuk pundak Ibu, posisiku kini berada di belakang Ibu."Habis aku kesel, dari t
DIKIRA MISKIN 8Aku mengambil minum untuk meredakan emosi yang sudah tersulut ini. Jika tiba saatnya nanti, akan aku katakan yang sebenarnya dan kupastikan mereka tidak akan menghina dan menertawakanku seperti ini lagi. "Tentu saja dia nggak akan bilang, pasti malu, seandainya benar Yudi memberi uang pasti jumlahnya tidak seberapa. Percuma saja mengirimi uang kalau pada kenyataanya uang yang Mas Yudi berikan lebih sedikit daripada punya Ibu sendiri. Itu sama artinya dengan menabur garam di atas laut, percuma. Atau jangan-jangan kamu memang sengaja ngasih uang biar dikira anak dan menantu baik padahal hanya ingin mendapatkan uang yang lebih banyak dari Ibu. Licik ya, rupanya kalian paham dengan konsep memancing, untuk mendapatkan ikan harus menggunakan umpan. Ya, seperti Antika ini, sok-sokan ngasih uang padahal hanya ingin mendapatkan yang lebih banyak. Selamat Tik, kamu berhasil memperdaya Ibu. Buktinya sekarang kamu dan Yudi diminta tinggal di sini," ucap Mbak Wiwid dengan nada sin
DIKIRA MISKIN 9Aku dan Ibu saling berpandangan melihat Mbak Wiwid yang masih saja tertawa."Tolong, hentikan khayalan tingkat tinggi kamu itu, Tik, aku bisa mati tertawa mendengarnya," pinta Mbak Wiwid masih dengan tertawa lebar. Ia mengusap air matanya yang berderai-derai karena tertawa setelah itu memegang perutnya. "Terserah, Mbak, mau bilang apa, yang penting memang benar apa yang dikatakan ibu, Mas Yudi juga selalu mengirimi ibu uang. Bahkan untuk menanam cabai di sawah itu juga pakai modal dari Mas Yudi. Kebetulan kami baru saja ada rezeki lebih." Jelasku, berharap Mbak Wiwid berhenti menertawakan kami. Namun, bukannya berhenti tertawa, wanita yang selalu tampil cantik dan dandan menor di setiap kesempatan itu malah semakin tertawa terbahak-bahak. Apa perlu aku memanggil seseorang agar ia mau berhenti tertawa? Tetapi siapa? Aku takut ia kebablasan soalnya. "Alah, sok bilang ada rezeki lebih, lebihnya berapa, sih? Paling-paling cuma lima puluh ribu," ucap Mbak Wiwid masih sin
DIKIRA MISKIN 10"Terserah kamu, Mbak, mau bilang suami kamu pegawai dengan gaji besar, tapi, pada kenyataannya tetap punya ut_," kututup mulutku sendiri karena Mbak Wiwid melotot kearahku saat aku mau bilang kalau dia punya utang. "Punya ut, utang, maksudnya? Kamu punya utang Wid?" tanya Ibu dengan tatapan tajam ke arah Mbak Wiwid, sehingga membuat ia salah tingkah.Mbak Wiwid melotot ke arahku dan aku paham dengan kode yang ia berikan yaitu memintaku untuk tidak memberi tahu ibu kalau ia punya utang tiga puluh juta. "Ah, nggak, kok, Bu?" Mbak Wiwid tersenyum dan maju kemudian menepuk pundak ibunya dengan lembut."Tapi, Antika bilang?" Kini ibu beralih menatapku."Nggak ada, Bu, aku punya utang tapi cuma sedikit, iya, kan, Tik?" Kata Mbak Wiwid dengan mengedipkan matanya berulang kali sebagai kode aku harus mengiyakan ucapannya. Semoga saja bulu mata palsunya tidak rontok digunakan berkedip seperti itu. Mbak Wiwid memang modis dan pintar dandan. Saat di rumah pun, ia selalu memaka
DIKIRA MISKIN 11"Assalamualaikum," terdengar suara salam dari luar, Mas Yudi baru saja pulang dari sawah habis membantu memetik cabai bersama tiga orang lainnya. Hasil panen kali ini cukup banyak."Waalaikumsalam," jawabku seraya membuka pintu. Mas Yudi tampak sangat lelah, wajahnya sampai terlihat merah karena panas terkena sengatan sinar matahari.Aku tidak ikut membantu memetik cabai di sawah dan memilih tinggal di rumah. Bukan karena takut kulitku gosong terkena sinar matahari seperti Mbak Wiwid, tapi, karena aku punya anak kecil. Ya, usia Sasya sekarang baru dua tahun saja masih kurang sebulan lagi. Dua hari yang lalu, saat kuajak serta ke sawah, dia malah menginjak-injak tanaman yang baru saja tumbuh, tentu ini sangat merugikan.Kami menikah sudah hampir sembilan tahun, tapi, kami termasuk pasangan yang harus sabar lama dalam mendapatkan momongan.Masih teringat dengan jelas saat tahun pertama aku belum hamil juga, Mbak Wiwid serta Mbak Ranti mulai nyinyir karena aku belum pun
DIKIRA MISKIN 12Aku pikir kehamilanku ini akan disambut dengan suka cita oleh keluarga Mas Yudi, seperti saat Mbak Ranti hamil, mereka begitu bahagia mendengarnya, bahkan sampai diadakan acara besar-besaran untuk merayakannya. Namun, jangankan dirayakan, disambut dengan senyuman pun tidak. Sedih dan sakit hati ini. Hampir saja tangisku pecah menghadapi kenyataan ini.Kami pun mengurungkan niat untuk menginap di rumah Ibu dan memilih pulang lagi dengan membawa sejuta luka yang entah bisa disembuhkan atau tidak. Luka terkena senjata tajam, lambat laun akan mengering dan menghilang. Namun, luka karena lidah yang tajam, sulit untuk dihilangkan. Mas Yudi tetap memberi kabar saat aku melahirkan. Berharap mereka mau datang untuk menyambut kehadiran anggota keluarga baru mereka. Tapi, mereka tidak mau datang juga."Malas, ah, datang, jangankan mendapatkan jamuan yang enak, tempat yang layak saja, pasti tidak akan kami dapatkan," kata Mbak Wiwid dari seberang telepon.Bukan hanya Mbak Wiwid
DIKIRA MISKIN 13Waktu seminggu terasa berjalan sangat lambat tidak seperti biasa. Aku masih penasaran dengan apa yang akan terjadi dengan Mbak Wiwid jika Mbak Ranti tidak menepati janjinya.Hari yang ditunggu itu masih kurang dua hari lagi. Pagi ini, aku melihat Mbak Wiwid tengah menyiram aneka bunga yang ia tanam di dalam pot yang berjejer rapi di depan rumahnya. Bukan hanya menyiram saja, ia bernyanyi kecil sambil menggoyangkan pinggulnya. Begitu lah, Mbak Wiwid, ia hanya mau mengurus tanaman bunga yang ada di halaman rumah, tapi kalau diminta ke sawah, langsung angkat tangan.Heran aku, kok ada ya, orang punya utang banyak masih bisa bersenandung dan berjoget seperti itu. Hari yang dinanti tiba, jantungku berdebar tidak karuan. Lho, padahal bukan aku yang punya utang, tapi, kenapa malah aku yang ketakutan. Aku takut kakau Mbak Ranti tidak dapat memenuhi janjinya.Sebentar sebentar aku melihat kearah rumah Mbak Wiwid yang bisa terlihat dari sudut rumah Ibu. Semoga hal buruk tidak
DIKIRA MISKIN 14"Kenapa kalian nggak makan?" Tanya Mbak Ranti dengan mulut belepotan dan kepedasan karena ia terlalu banyak memasukkan sambal ke dalam mulutnya. Ia pasti tidak tahu kalau sambal yang kubuat adalah sambal setan dengan pedas level tiga puluh."Melihat kamu makan saja sudah kenyang aku," ucap Ibu, aku hanya mengangguk membenarkan ucapan Ibu."Bagaimana kami mau makan, Mbak, sedang nasinya tinggal sedikit, dan lauknya juga sudah kalian habiskan semua," ucapku dengan bibir mengerucut."Nggak usah cemberut gitu kenapa, nggak enak banget dilihatnya, buat nggak selera makan saja," ucap Mbak Ranti seraya meletakkan sendok ke dalam piring dengan kasar. Gimana mau selera makan, dia sudah memasukkan makanan terlalu banyak ke dalam perut, pasti sudah kenyang banget dia. Aku tidak salah duga, setelah itu dia bersendawa cukup keras. Aduh, aduh, orang nggak berakhlak. Janganlah kamu sendawa dengan keras saat makan di rumah orang, itu termasuk adab saat bertamu. Itulah pesan dari ust