DIKIRA MISKIN 5
Rasa penasaran masih bergelayut dalam dada, apa rencana Mbak Ranti sebenarnya?
"Kamu nggak usah khawatir dan bersedih lagi, semingggu lagi uang itu pasti sudah ada." Senyum Mbak Ranti mengembang. Tangannya membelai rambut adik kesayangannya itu.
"Benar kata kamu, uang 30 juta itu kecil," imbuh Mbak Ranti dengan menjentikkan jarinya.
"Ya, Mbak, bagi kita uang segitu memang kecil, tidak seperti Antika, dia tidak mungkin punya uang sebanyak itu. Jangankan punya, lihat saja pasti belum pernah, kan?" kata Mbak Wiwid sinis.
"Kalau begitu aku pulang dulu Mbak," ucapku. Tiba-tiba aku menyesal, kenapa aku tadi buru-buru menolongnya kalau seperti ini keadaannya. Jangankan ucapan terima kasih, justru hinaan yang kudapatkan. Seharusnya aku sadar diri, orang seperti Mbak Wiwid dan Mbak Ranti tidak mungkin butuh bantuanku.
"Pulang ya pulang saja, tidak ada yang melarang, kamu ke sini juga tidak ada yang mengundang, kamu datang sendiri. Oh ya, jangan bilang sama Ibu kalau hari ini ada yang menagih utang ke rumahku!" kata Mbak Wiwid.
Aku hanya mengangguk tanpa menjawab sepatah kata pun, mereka berdua lantas tersenyum dengan senyum yang sulit kuartikan, kompak banget kakak beradik itu.
_________________
"Kamu masak makanan sebanyak ini, Nak?" tanya ibu mertua saat melihat aneka makanan yang berjejer di meja makan.
"Iya, Bu, ini aku juga masak makanan kesukaan ibu, semoga ibu suka," ucapku seraya mengambil makanan dan menyodorkan pada ibu. Tanpa menunggu lama, ibu segera mengambil makanan itu dan memasukkan ke dalam mulutnya.
"Enak, ternyata kamu pintar masak to? Belajar di mana? Dulu, kamu kan nggak bisa masak? Bisanya cuma masak air, ya kan?" ucap ibu dengan mengacungkan jempolnya.
"Aku belajar secara otodidak, Bu." Aku tersenyum saat melihat ibu mengambil makanan lagi. Sepertinya ia begitu menikmati masakanku kali ini.
"Otodidak? Apakah itu nama guru kamu yang mengajari masak? Kalau begitu aku juga ingin belajar sama dia kalau hasilnya seperti ini." Ibu kembali menambah makanan ke dalam piringnya.
Aku tertawa pelan," Otodidak itu artinya aku belajar sendiri. Kadang coba-coba meski terkadang gagal."
"Oh, gitu. Syukurlah Ibu tidak menolak saat kamu tawari makan tadi. Kalau menolak, pasti akan menyesal saat tahu makanannya seenak ini."
Dulu, ibu maupun bapak tidak pernah mau makan hasil masakanku dengan berbagai alasan. Takut nggak higienis sehingga membuat sakit perut katanya.
"Terima kasih, ya, Nak, kamu sudah mau menemani ibu di sini, padahal dulu ibu sama bapak dulu sudah memperlakukan tidak baik padamu. Maafkan juga kesalahan bapak kamu, ya," ucap ibu mengusap bahuku dengan lembut.
"Iya, Bu, itu sudah kewajiban saya sebagai menantu, ibu tenang saja, aku tidak akan meninggalkan ibu," ucapku tersenyum.
"Semenjak ada kamu, ibu jadi terurus, makan tidak pernah telat dan juga ada teman untuk ngobrol. Anak-anak perempuan Ibu mana ada yang mau memperhatikan ibu," ucap ibu dengan mata berkaca-kaca.
Saat masih hidup bapak mertua memang tidak menyayangi aku sebagai menantu di rumah ini. Bapak tidak menyukai aku karena hanya aku satu-satunya menantu perempuan di rumah ini. Seharusnya disayang, kan, jika menantu satu-satunya? Namun, kenyataannya tidak, beliau lebih sayang pada para anak perempuannya, Mbak Ranti dan juga Mbak Wiwid. Apalagi, mereka menikah dengan lelaki pegawai yang selalu memakai pakaian rapi.
Masih terekam dengan jelas, saat bapak mertua membanding-bandingkan diriku dengan para menantunya itu. Di rumah ini selain sebagai menantu perempuan satu-satunya, aku juga menantu yang tidak menjadi pegawai.
Bapak mertua meninggal tiga tahun yang lalu, sehingga kini ibu tinggal seorang diri di rumah yang lumayan besar ini.
"Tik, seandainya bapak masih ada, ia juga pasti bisa menerimamu sekarang." Ibu menepuk pundakku.
Seminggu sudah aku dan suami tinggal di sini, tetapi selama itu pula aku tidak pernah melihat anak-anak perempuan yang selalu dia banggakan itu datang, padahal rumahnya tidak jauh dari sini. Mungkin ini adalah salah satu alasan kenapa Ibu meminta aku dan Mas Yudi tinggal di sini. Beginilah nasipku, diharapkan kehadirannya saat benar-benar dibutuhkan.
Ibu memang sakit, tetapi masih bisa berjalan dan makan sendiri. Hanya saja beliau sudah tidak mampu mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Apalagi pergi ke sawah seperti biasanya. Ya, Ibunya Mas Yudi adalah seorang petani yang mempunyai sawah yang cukup luas, bahkan mungkin paling luas di kampung ini.
____________"Mbak Wiwid, ada apa Mbak?" tanyaku saat melihatnya masuk ke dalam rumah tanpa permisi, apalagi mengetuk pintu.
"Ini rumah Ibu dan aku adalah anak perempuannya, jadi, aku bebas dong keluar masuk di rumah ibu, kamu ini hanya menantu, jadi nggak usah belagu." Mbak Wiwid menerobos masuk dengan tergesa hingga menyenggol pundakku, untung saja aku masih berdiri tegak dan tidak jatuh.
Aku hanya mengelus dada melihat kelakuan wanita berstatus kakak ipar itu.
"Tik, naget yang tadi kamu beli mana? Aku mau minta, hari ini aku malas masak gara-gara ada penagih tadi,"
"Itu," jawabku seraya menunjuk naget di dalam piring.
"Aku mau yang mentah, tidak mungkin kamu goreng semua, kan? Kamu tadi beli yang besar, tidak akan habis kalau hanya dimakan Sasya, kamu dan Yudi kan tidak suka naget, apalagi ibu," ujarnya seraya matanya jelalatan ke sana kemari.
Kuhela napas perlahan dan memutar bola mata malas. Menghadapi orang model Mbak Wiwid ini memang butuh kesabaran tingkat tinggi.
"Ini, tapi jangan semua ya, Mbak." Kuberikan naget dalam plastik yang masih lebih dari separuh.
"Ah, nggak usah pelit, lagian Sasya tidak habis naget segini, apalagi kamu tidak ada kulkas, jadi, nggak bisa menyimpan ini, kan? Sudah buat aku saja." Mbak Wiwid tetap ingin membawa naget itu semuanya, padahal masih banyak yang mentah daripada yang sudah digoreng. Aku memang sengaja menggoreng sedikit, biar tetap hangat saat makan.
"Ada apa ini?" Tiba-tiba ibu keluar dari kamar, ia pasti terganggu mendengar keributan kami. Ya, suara Mbak Wiwid memang cukup keras saat ini sehingga suara satu orang saja mampu menandingi suara lima orang.
"Ini, Bu, aku mau minta naget, dari pada mubazir," jawab Mbak Wiwid.
Wanita yang selalu tampil cantik setiap saat itu mengangkat naget ke udara untuk ditunjukkan pada ibu.
"Kok mubazir?" tanya ibu dengan dahi berkerut.
"Soalnya tadi Antika beli nagetnya kebanyakan, nggak habis kalau dimakan sendiri, ya, udah sisanya yang belum digoreng aku ambil, nanti bisa aku simpan dalam kulkas," imbuh Mbak Wiwid dengan percaya diri.
"Tapi jangan semuanya, sisakan buat Sasya juga," kata ibu.
"Kok tumben Ibu belain Antika dan cucu Ibu yang nyebelin itu. Lagian, beli naget ini juga uang Ibu, kan?"
Kembali aku mengelus dada mendengar ucapan Mbak Wiwid. Ia pasti mengira aku masih tidak punya uang sampai saat ini.
DIKIRA MISKIN 5Aku maklum jika Mbak Wiwid menganggap uang yang kubelanjakan diberi Ibu. Saat ini Ibu memang sedang panen cabai, apalagi harga cabai juga sekarang lumayan bagus. Hasil panen Ibu juga melimpah, karena memang sawahnya luas, meski sekarang lahan yang Ibu garap sudah berkurang karena diberikan kepada Mbak Ranti dan Mbak Wiwid. Ya, Mbak Wiwid dan Mbak Ranti sudah punya bagian sawah masing-masing.Lahan yang digarap Ibu saat ini adalah bagian Mas Yudi. Namun, karena Mas Yudi merantau, maka, lahan itu Ibu yang menggarapnya meski Ibu harus mengupah orang untuk membantu menggarap sawahnya.Ibu hanya ke sawah hanya untuk melakukan pekerjaan ringan saja. Seperti mencabuti rumput liar atau saat musim panen seperti sekarang. Biasanya cabai akan dipetik setiap lima hari sekali.Semenjak sakit, Ibu tidak pernah ke sawah lagi. Beliau menyuruh orang untuk memetik cabainya. Sekarang Mas Yudi juga tengah ikut panen di sawah bersama para pekerja lain."Nggak usah pelit sama aku kalau yang
DIKIRA MISKIN 7"Apa Ibu bilang, coba katakan sekali lagi? Aku nggak salah dengar, kan, kalau Yudi setiap bulan selalu mengirim uang kepada Ibu?" Mbak Wiwid melebarkan mata seraya maju dan mencoba meraba kening Ibu lagi. Ibu mundur beberapa langkah saat tanya anak perempuannya itu ingin meraba keningnya. "Ibu tidak panas, tapi, kenapa dari tadi bicaranya seperti ada yang tidak beres? Ngaco terus ngomongnya.Tadi nyeramahin aku dan sekarang bilang kalau setiap bulan Yudi selalu kirim uang. Tidak mungkin, Bu. Ibu jangan mimpi, bangun, woy!" ucap Mbak Wiwid dengan nada tinggi dengan tangan yang ia kibaskan di depan wajah Ibu.Aku menekan dada perlahan karena kaget melihat perlakuan Mbak Wiwid pada ibunya. Beginikah sikap seorang anak yang sangat di sayang pada ibunya? Sungguh tidak pantas."Mbak, nggak sopan berbicara seperti itu dengan Ibu. Ibu ini ibu kandung Mbak yang harus kita hormati." Ucapku seraya menepuk pundak Ibu, posisiku kini berada di belakang Ibu."Habis aku kesel, dari t
DIKIRA MISKIN 8Aku mengambil minum untuk meredakan emosi yang sudah tersulut ini. Jika tiba saatnya nanti, akan aku katakan yang sebenarnya dan kupastikan mereka tidak akan menghina dan menertawakanku seperti ini lagi. "Tentu saja dia nggak akan bilang, pasti malu, seandainya benar Yudi memberi uang pasti jumlahnya tidak seberapa. Percuma saja mengirimi uang kalau pada kenyataanya uang yang Mas Yudi berikan lebih sedikit daripada punya Ibu sendiri. Itu sama artinya dengan menabur garam di atas laut, percuma. Atau jangan-jangan kamu memang sengaja ngasih uang biar dikira anak dan menantu baik padahal hanya ingin mendapatkan uang yang lebih banyak dari Ibu. Licik ya, rupanya kalian paham dengan konsep memancing, untuk mendapatkan ikan harus menggunakan umpan. Ya, seperti Antika ini, sok-sokan ngasih uang padahal hanya ingin mendapatkan yang lebih banyak. Selamat Tik, kamu berhasil memperdaya Ibu. Buktinya sekarang kamu dan Yudi diminta tinggal di sini," ucap Mbak Wiwid dengan nada sin
DIKIRA MISKIN 9Aku dan Ibu saling berpandangan melihat Mbak Wiwid yang masih saja tertawa."Tolong, hentikan khayalan tingkat tinggi kamu itu, Tik, aku bisa mati tertawa mendengarnya," pinta Mbak Wiwid masih dengan tertawa lebar. Ia mengusap air matanya yang berderai-derai karena tertawa setelah itu memegang perutnya. "Terserah, Mbak, mau bilang apa, yang penting memang benar apa yang dikatakan ibu, Mas Yudi juga selalu mengirimi ibu uang. Bahkan untuk menanam cabai di sawah itu juga pakai modal dari Mas Yudi. Kebetulan kami baru saja ada rezeki lebih." Jelasku, berharap Mbak Wiwid berhenti menertawakan kami. Namun, bukannya berhenti tertawa, wanita yang selalu tampil cantik dan dandan menor di setiap kesempatan itu malah semakin tertawa terbahak-bahak. Apa perlu aku memanggil seseorang agar ia mau berhenti tertawa? Tetapi siapa? Aku takut ia kebablasan soalnya. "Alah, sok bilang ada rezeki lebih, lebihnya berapa, sih? Paling-paling cuma lima puluh ribu," ucap Mbak Wiwid masih sin
DIKIRA MISKIN 10"Terserah kamu, Mbak, mau bilang suami kamu pegawai dengan gaji besar, tapi, pada kenyataannya tetap punya ut_," kututup mulutku sendiri karena Mbak Wiwid melotot kearahku saat aku mau bilang kalau dia punya utang. "Punya ut, utang, maksudnya? Kamu punya utang Wid?" tanya Ibu dengan tatapan tajam ke arah Mbak Wiwid, sehingga membuat ia salah tingkah.Mbak Wiwid melotot ke arahku dan aku paham dengan kode yang ia berikan yaitu memintaku untuk tidak memberi tahu ibu kalau ia punya utang tiga puluh juta. "Ah, nggak, kok, Bu?" Mbak Wiwid tersenyum dan maju kemudian menepuk pundak ibunya dengan lembut."Tapi, Antika bilang?" Kini ibu beralih menatapku."Nggak ada, Bu, aku punya utang tapi cuma sedikit, iya, kan, Tik?" Kata Mbak Wiwid dengan mengedipkan matanya berulang kali sebagai kode aku harus mengiyakan ucapannya. Semoga saja bulu mata palsunya tidak rontok digunakan berkedip seperti itu. Mbak Wiwid memang modis dan pintar dandan. Saat di rumah pun, ia selalu memaka
DIKIRA MISKIN 11"Assalamualaikum," terdengar suara salam dari luar, Mas Yudi baru saja pulang dari sawah habis membantu memetik cabai bersama tiga orang lainnya. Hasil panen kali ini cukup banyak."Waalaikumsalam," jawabku seraya membuka pintu. Mas Yudi tampak sangat lelah, wajahnya sampai terlihat merah karena panas terkena sengatan sinar matahari.Aku tidak ikut membantu memetik cabai di sawah dan memilih tinggal di rumah. Bukan karena takut kulitku gosong terkena sinar matahari seperti Mbak Wiwid, tapi, karena aku punya anak kecil. Ya, usia Sasya sekarang baru dua tahun saja masih kurang sebulan lagi. Dua hari yang lalu, saat kuajak serta ke sawah, dia malah menginjak-injak tanaman yang baru saja tumbuh, tentu ini sangat merugikan.Kami menikah sudah hampir sembilan tahun, tapi, kami termasuk pasangan yang harus sabar lama dalam mendapatkan momongan.Masih teringat dengan jelas saat tahun pertama aku belum hamil juga, Mbak Wiwid serta Mbak Ranti mulai nyinyir karena aku belum pun
DIKIRA MISKIN 12Aku pikir kehamilanku ini akan disambut dengan suka cita oleh keluarga Mas Yudi, seperti saat Mbak Ranti hamil, mereka begitu bahagia mendengarnya, bahkan sampai diadakan acara besar-besaran untuk merayakannya. Namun, jangankan dirayakan, disambut dengan senyuman pun tidak. Sedih dan sakit hati ini. Hampir saja tangisku pecah menghadapi kenyataan ini.Kami pun mengurungkan niat untuk menginap di rumah Ibu dan memilih pulang lagi dengan membawa sejuta luka yang entah bisa disembuhkan atau tidak. Luka terkena senjata tajam, lambat laun akan mengering dan menghilang. Namun, luka karena lidah yang tajam, sulit untuk dihilangkan. Mas Yudi tetap memberi kabar saat aku melahirkan. Berharap mereka mau datang untuk menyambut kehadiran anggota keluarga baru mereka. Tapi, mereka tidak mau datang juga."Malas, ah, datang, jangankan mendapatkan jamuan yang enak, tempat yang layak saja, pasti tidak akan kami dapatkan," kata Mbak Wiwid dari seberang telepon.Bukan hanya Mbak Wiwid
DIKIRA MISKIN 13Waktu seminggu terasa berjalan sangat lambat tidak seperti biasa. Aku masih penasaran dengan apa yang akan terjadi dengan Mbak Wiwid jika Mbak Ranti tidak menepati janjinya.Hari yang ditunggu itu masih kurang dua hari lagi. Pagi ini, aku melihat Mbak Wiwid tengah menyiram aneka bunga yang ia tanam di dalam pot yang berjejer rapi di depan rumahnya. Bukan hanya menyiram saja, ia bernyanyi kecil sambil menggoyangkan pinggulnya. Begitu lah, Mbak Wiwid, ia hanya mau mengurus tanaman bunga yang ada di halaman rumah, tapi kalau diminta ke sawah, langsung angkat tangan.Heran aku, kok ada ya, orang punya utang banyak masih bisa bersenandung dan berjoget seperti itu. Hari yang dinanti tiba, jantungku berdebar tidak karuan. Lho, padahal bukan aku yang punya utang, tapi, kenapa malah aku yang ketakutan. Aku takut kakau Mbak Ranti tidak dapat memenuhi janjinya.Sebentar sebentar aku melihat kearah rumah Mbak Wiwid yang bisa terlihat dari sudut rumah Ibu. Semoga hal buruk tidak