Share

GRUP WA

Author: NawankWulan
last update Huling Na-update: 2024-04-18 04:22:57

Setelah menyelesaikan tugas wajib memberikan nasi kuning gratis di tempat biasa, aku pun buru-buru belanja ke pasar untuk mengisi kulkas. Sekalian belanja bahan-bahan untuk membuat nasi kuning esok hari. Tak banyak, hanya sekitar tiga puluh bungkus saja yang mampu kubuat setiap harinya.

Sebenarnya jika aku mau, bisa saja beli jadi. Hanya saja aku belajar untuk menikmati prosesnya, sebab entah mengapa ada nikmat berbeda di tiap aktivitasnya. Setidaknya, dengan ini aku bisa terus merasakan kenangan bersama ibu dulu. Ibu yang berjuang sendirian membesarkanku dan adik lelakiku setelah bapak tiada. Ibu yang kini telah kembali ke sisiNya.

Telur, tempe, bumbu-bumbu dapur, aneka sayuran, ayam dan ikan sudah lengkap di tas belanja. Tak lupa membeli kertas nasi yang hampir habis. Aku kembali memeriksa belanjaan dan kurasa cukup. Bahan untuk membuat nasi kuning pun lengkap.

Aku biasa membuat nasi kuning dengan lauk orek-orek tempe campur kacang panjang, telur balado dan tumis mi. Cukup simple dan tak terlalu memakan waktu lama untuk memasaknya, tapi disukai banyak orang sebab selalu habis tak bersisa.

Entah karena gratis atau karena memang enak rasanya, tapi Ryan selalu bilang kalau masakanku memang enak. Mirip sekali dengan masakan almarhum ibu.

Gegas kembali ke rumah dengan motor andalan. Baru sampai garasi, terdengar suara sendok beradu. Sepertinya Ryan, adik lelakiku yang kini duduk di bangku SMA kelas dua itu baru saja sarapan. Meski sering kali dengan menu yang sama, nasi kuning saja, tapi sepertinya Ryan tak pernah bosan. Dia selalu menghabiskan apa yang kuhidangkan di meja makan. Anak itu nyaris tak pernah merepotkanku sejak kepergian ibu setahun lalu.

"Mbak, aku berangkat sekolah dulu ya! Jangan telat makan." Ryan buru-buru menutup pintu kamar lalu berjalan tergesa ke arahku. Seperti biasa, dia tak pernah lupa menyalamiku sebelum berangkat sekolah dengan sepeda kesayangannya.

Sekolah Ryan tak terlalu jauh dari rumah. Jadi, cukup dengan bersepeda lima belas menit saja sudah sampai di pelataran sekolah. Meski teman-temannya sebagian besar bersekolah dengan kendaraan bermotor, tapi Ryan lebih memilih bersepeda saat ke sekolah.

Alasan utamanya, dia merasa belum pantas naik kendaraan bermotor karena belum memiliki SIM. Alasan lain, lebih hemat seklian olah raga supaya badan lebih bugar setiap harinya.

"Mbak, gerbangnya kunci saja kalau mau kerja." Ryan kembali bersuara saat menutup gerbang. Aku pun mengiyakan. Gegas mengunci gerbang setelah membuka jendela dan pintu rumah.

Sengaja mengunci gerbang sebab tak ingin kejadian beberapa hari lalu terulang. Tiba-tiba ada orang gila yang masuk rumah lalu nongkrong di teras beberapa menit lamanya. Beruntung ada Ryan di rumah, kalau nggak, aku pasti akan sangat ketakutan sebab di rumah sendirian.

Kuambil segelas air putih lalu masuk kamar. Tak lupa membuka jendela untuk menikmati semilir angin dan harum mawar dari taman kecil di luar kamar.

Baru saja menyelonjorkan kaki di sofa kamar, handphone di saku gamis bergetar berulang kali. Mau tak mau, aku pun membuka layarnya. Aku hanya tersenyum tipis saat melihat namaku dicolek berulang kali di grup W******p itu. Grup alumni yang ternyata isinya hanya teman-temanku di kelas tiga saja.

Seperti yang direncanakan Riana dan Ratna tadi pagi, dia benar-benar memasukkan nomor handphoneku ke grup buatannya itu. Tak hanya itu saja, bahkan dia mengirimkan kegiatanku saat memberikan nasi kuning gratis dengan caption yang begitu menyudutkanku.

[Lihatlah teman-teman, siswa terpintar di kelas bahkan di sekolah kita ternyata nasibnya tak seberuntung kita yang kerja kantoran dengan ruangan berAC. Dia sekarang hanya jualan nasi kuning di pinggir jalan yang penuh polusi, kepanasan dan kadang kehujanan. Jadi, hikmah yang bisa kita petik di sini adalah ... jangan pernah putus asa dan down jika nilai akademik kita tak memuaskan. Perjuangan masih panjang dan kita tak tahu bagaimana nasib di masa depan. Ternyata yang kita kira akan sukses, belum tentu sesukses yang pernah kita bayangkan.]

Seperti biasa, Riana mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan teman-teman sesuai dugaannya saja. Meski kadang benar-benar membuatku geleng-geleng kepala atas ke-sok tahuannya tentang keseharianku.

Dia pasti akan sangat shock jika tahu apa pekerjaan utamaku sebenarnya. Pekerjaan yang bisa membuatku membeli rumah sendiri seharga dua ratus juta secara cash, membeli motor matic dan menyekolahkan adik lelakiku.

Silakan saja jika sekarang dia merasa menang dan bisa meremehkanku sedemikian rupa, tapi kelak dia akan sadar jika aku tak seburuk yang dia kira. Nilai akademik memang tak merujuk kesuksesan seseorang, tapi dia tak seharusnya menyudutkan seseorang hanya karena jualan di tepi jalan. Sekalipun orang itu pernah berprestasi di sekolah.

[Lan, kenapa kamu nggak cerita yang sebenarnya kalau kamu juga sarjana meski kuliah di universitas swasta? Apa aku yang harus cerita kalau sebenarnya kamu punya pekerjaan yang menjanjikan dengan hasil jutaan juga? Atau aku perlu klarifikasi kalau nasi kuning itu bukan kamu jual melainkan sengaja kamu bagikan gratis?]

Pesan dari Ike, teman terdekatku yang melanjutkan kuliah dan kini kerja di Solo itu pun muncul di layar. Sepertinya dia cukup kesal membaca tuduhan-tuduhan Ratna dan Riana di grup itu yang cukup menyudutkan dan menyakitkan. Wajar dia kesal, sebab dia tahu apa yang sebenarnya kulakukan.

[Biar saja, Ke. Esok atau lusa mereka akan malu sendiri karena sudah menuduhku ini dan itu, padahal mereka sendiri belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.] Balasanku pun terkirim. Ike mulai mengetik pesan kembali.

[Kamu selalu melarangku memasukkan nomormu ke grup, tapi kenapa kamu kasih nomor handphonemu ke mereka, Lan? Tahu sendiri bagaimana mereka sejak dulu, ribet. Aku nggak mau sahabat aku dijadikan bahan gosip dan celaan di grup. Baiknya aku beberkan bukti saja ke mereka siapa kamu sebenarnya ya! Biar mereka shock sekalian, kalau gaji mereka sebagai karyawan kantor itu tak sebanding dengan gaji dan omset laundry kamu tiap bulan]

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • DIKIRA PENJUAL NASI KUNING   KEJUTAN SPESIAL [END]

    "Cantik." Suara itu terdengar di ambang pintu kamar saat Mbak Agnes fokus merapikan kebaya berwarna salem dengan taburan swarovski yang membuatnya semakin terlihat elegan.Mbak Agnes ikut menoleh lalu tersenyum lebar."Siapa dulu calon suaminya," ujarnya memuji. Kulihat sosok itu dari cermin yang kini memantulkan bayanganku dengan balutan kebaya yang kupilih, senada dengan jas dan celana panjangnya. Dikta, lelaki itu terlihat semakin tampan dengan penampilannya sekarang. Dia masih bersedekap sembari menatapku lekat."Ngapain ke sini, Dikta? Harusnya kamu di luar menyambut tamu, sebentar lagi penghulu juga datang," ujarku sedikit gugup. Aku mendadak salah tingkah saat ditatap begitu lekat olehnya. Mbak Agnes pun tak henti menggodaku, membuat wajah ini mulai memerah seperti tomat matang."Nggak apa-apa, Lana. Calon suami mau lihat calon istrinya masa nggak boleh. Takut diculik mungkin." Mbak Agnes kembali terkekeh."Jangan digoda lagi, Mbak. Calon istriku itu memang pemalu. Takutnya ng

  • DIKIRA PENJUAL NASI KUNING   WILL YOU MARRY ME?

    Aku dan Dikta berjalan beriringan keluar bioskop, sementara Denada dan teman-teman yang lain sepertinya sudah pulang sejak beberapa menit lalu. Kulihat jarum jam menunjuk angka setengah sembilan malam. Weekend begini jalanan masih ramai bahkan padat di beberapa tempat. "Kita ke taman Bianglala dulu, Lan. Mau?" tanya Dikta tiba-tiba setelah menghentikan mobilnya perlahan karena terjebak lampu merah. "Jadi kangen taman itu ya setelah nonton film kita." Aku dan Dikta bersitatap lalu sama-sama tersenyum. "Ternyata kamu seromantis itu, Lan. Mengingat semua momen kebersamaan kita dulu. Novelmu cukup detail menceritakan kisah kita dan ternyata ending yang kamu tulis nyaris sama dengan kejadian aslinya. Hanya saja kita belum menikah, sementara dalam novelmu Dikta dan Lana sudah menikah dan hidup bahagia." Dikta menatapku sekilas lalu kembali fokus dengan stirnya. "Iya, Dik. Kita sudah lamaran dan sebentar lagi kamu akan menikahiku bukan? Itu artinya imajinasiku dulu akan menjadi kenyataan

  • DIKIRA PENJUAL NASI KUNING   KADO YANG MANIS

    "Mbak Lana!" Aku dan Dikta yang masih duduk santai di lantai atas menoleh seketika. Di samping tangga kulihat gadis cantik dengan hijab cokelatnya tersenyum lebar ke arahku. Aku menatap Dikta beberapa saat lalu kembali pada perempuan modis itu."Denada," ujar Dikta membuatku kembali tersenyum. Baru kali ini aku melihat adik Dikta yang cantik itu. Usianya menginjak dua puluh satu tahun. Beda empat tahun dibandingkan kakaknya. Meski jarak usia mereka tak terlalu dekat, tapi kulihat keduanya cukup akrab. Denada datang dengan wajah cerianya lalu menyalamiku dan Dikta. "Buat calon kakak iparku yang cantik sekaligus penulis favoritku." Denada sedikit berteriak sembari memberikan sebuah kado untukku. Dikta tersentak melihatku yang sudah akrab dan terlihat cocok dengan adiknya. Dia pasti bingung dan tak menyangka kami seakrab ini. "Kalian akrab banget kaya sudah kenal lama." Dikta mulai curiga. Dia menatapku dan Denada bergantian. "Memang sudah kenal lama kakakku sayang." Denada merangkul

  • DIKIRA PENJUAL NASI KUNING   YOU ARE MINE

    "You are mine." Lagi kudengar kalimat spesial darinya, membuatku semakin berbunga. "Iya, iya. Semoga saja prosesnya tak membutuhkan waktu yang lama. Nanti kamu ikut aku buat urus ini itu kan?" Aku menoleh ke arahnya yang masih menyandarkan punggung ke sofa sembari menatapku lekat. Senyum tulusnya kembali terukir di bibir. Dia mengangguk lalu mengedipkan kedua matanya yang bening itu. "Tentu aku akan selalu dampingi kamu, Lana. Aku benar-benar bangga memiliki kamu. Perempuan hebat, mandiri dan istimewa." Lagi, pujiannya membuat hidungku kembang kempis. Gegas mengalihkan pandangan sebab tak ingin dia tahu jika wajahku kali ini pasti sudah memerah seperti tomat karena pujiannya yang berlebihan. "Kita nonton bareng saat gala premiere." Dikta berucap yakin sembari mengangguk pelan saat aku menoleh. "Makasih banyak ya, Dik. Kamu selalu menjadi pendukung pertama selain Ryan di setiap hal yang kulakukan." Aku berkaca. Tiap kali mengingat momen-momen membahagiakan kami di masa lalu maupun

  • DIKIRA PENJUAL NASI KUNING   BANGGA

    Kebahagiaan mulai datang silih berganti. Setelah Dikta kembali dan restu dari mamanya kugenggam, muncul kabar lain yang tak kalah membahagiakan. Novel berjudul Bianglala yang mengisahkan tentang perjalanan cintaku sendiri dengan Dikta ternyata dipinang sebuah rumah produksi ternama. Production House yang biasa meminang novel-novel terbaik menurutnya. Kulihat ekspresi bangga di wajah Dikta saat aku menjelaskan kabar bahagia yang kudengar dari Pak Abdullah. Tante Delima dan Om Erwin pun terlihat bangga sembari mengucapkan selamat untukku. Akhirnya kini aku bisa membuktikan pada mereka jika aku bisa mandiri dan sukses dengan caraku sendiri. Setidaknya sekarang aku merasa lebih layak bersanding dengan Dikta dan tak merasa terus rendah diri saat bersamanya. Meski Dikta tetap menerimaku apa adanya dan tak pernah memandang dari segi karir yang kupunya, tapi aku ingin membuatnya bangga dan merasa lebih bersyukur memilikiku sebagai calon pendamping hidupnya. "Tante bangga sama kamu, Lana. I

  • DIKIRA PENJUAL NASI KUNING   SEGENGGAM RESTU

    "Aku bawa nampannya. Kamu pasti masih shock dengan kabar bahagia ini." Dikta mengambil alih tugasku membawa nampan berisi empat cangkir teh hangat dan camilan itu. Aku pun mengikutinya kembali ke ruang tamu. "Maaf menunggu lama, Om, Tante." Aku kembali tersenyum lalu menata cangkir dan piring berisi camilan itu ke atas meja dan menyimpan nampan di bawah mejanya. "Nggak apa-apa, Lana. Justru kami yang minta maaf karena sudah mengganggumu pagi-pagi begini." Om Erwin tersenyum tipis lalu menoleh ke arah istrinya yang ikut mengangguk pelan."Nggak masalah kok, Om, Tante. Lagipula saya nggak ada kerjaan. Saya merasa beruntung sekali pagi ini karena mendapatkan tamu spesial." Aku tersenyum tipis lalu melirik Dikta yang ikut manggut-manggut dengan senyumnya yang menawan. "Langsung saja ya, Lana. Kedatangan Om dan Tante ke sini selian untuk silaturahmi, Tante juga mau minta maaf sama kamu atas sikap buruk Tante selama ini. Kepergian Dikta lima hari belakangan karena penculikan itu membuat

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status