"Percuma pintar dan jadi juara kelas terus saat SMA kalau ujung-ujungnya cuma jadi penjual nasi kuning! Panas-panasan di jalan raya. Berdebu, bikin dekil pula. Beda banget sama aku, yang meski nggak pernah juara kelas, tapi sekarang bisa kerja kantoran dan di ruangan ber-AC." Kesombongan teman-temannya adalah salah satu sebab Lana tidak pernah ikut reuni SMA. Tapi tahun kelima ini dia sengaja ikut di acara itu, karena ingin bertemu Dikta, cinta pertamanya. Namun, rupanya kesempatan itu benar-benar tidak dilewatkan oleh orang-orang untuk menghinanya. Mereka mengira Lana hanya sebagai penjual nasi kuning saja, tepat di hadapan Dikta. Mereka tidak tahu bahwa nasi itu dia bagikan gratis setiap hari untuk sedekah karena dia memiliki penghasilan jutaan. Haruskah Lana mengumbar semua pencapaiannya di sini?
Lihat lebih banyak"Dia Lana, kan? Siswa terpintar di SMA kita dulu? Nggak nyangka banget kalau sekarang cuma jualan nasi kuning!" pekik seorang perempuan yang wajahnya tak asing bagiku. Aku masih ingat betul siapa dia. Riana, siswa tercantik dan terpopuler di SMAku dulu.
"Iya, dia Lana. Saingan terberatmu untuk mendapatkan Dikta," seru perempuan di sampingnya yang masih kuingat pula siapa namanya. Ratna, salah satu sahabat terbaik Riana."Videoin, Rat. Nanti kita kirim ke grup alumni. Biar mereka semua tahu, kalau nasib siswa paling berprestasi di sekolah kita dulu ternyata mengenaskan. Kita pikir setelah lima tahun menghilang, dia sudah kerja kantoran dengan ruangan berAC, berseragam dan dengan gaji jutaan seperti kita. Ternyata ... oh My God! Cuma menjadi penjual nasi kuning!" Riana kembali menutup mulutnya dengan telapak tangan sembari geleng-geleng kepala, seolah pemandangan di depannya kali ini benar-benar membuatnya shock dan tak percaya."Bukannya ibunya dulu juga penjual nasi uduk, Rat? Wah, ternyata dia mewarisi bakat ibunya!" ucap perempuan dengan dres selutut itu lagi. Kedua perempuan yang masih berdiri beberapa langkah di depanku itu masih saling bicara, merekam aktivitasku yang mulai sibuk melayani beberapa orang yang datang ke lapak.Satu persatu kuberikan sebungkus nasi kuning itu pada mereka. Senyum bahagia pun terpancar di wajah-wajah mereka seperti biasanya. Tiga puluh nasi kuning sudah habis tak bersisa. Kuhela napas lega tiap kali melihat antusias mereka saat melihatku sudah berdiri di tempat ini setiap paginya. Mereka yang sudah kuanggap bagian dari keluarga setelah ibu tiada setahun yang lalu."Hai, Lan. Masih kenal aku kan?" Riana mulai mendekat saat aku membereskan keranjang nasi kuningku lalu meletakkannya di samping motor."Hai, Ri, Rat. Tentu aku masih kenal dan ingat. Bagaimana kabar kalian berdua?" balasku sembari mengulurkan tangan.Namun, kedua perempuan di depanku itu hanya saling pandang lalu mengedikkan bahu. Sama-sama mundur selangkah sebagai penolakan uluran tanganku. Cukup tahu diri, aku pun menarik tanganku kembali."Maaf ya, Lan. Bukannya menolak uluran tanganmu, hanya saja tanganmu pasti kotor. Belum cuci tangan kan? Sekali lagi maaf, kalau terkesan sok higienis, tapi--"Aku ngerti kok, Ri. Tak apa, santai saja," balasku lagi dengan senyum tipis."Oh, oke kalau kamu ngerti." Aku mengangguk lalu kembali melempar seulas senyum pada mereka berdua."Kok bisa sih kamu jadi penjual nasi kuning, Lan? Bukannya kamu dapat beasiswa buat lanjutin kuliah?" Ratna menimpali."Iya, memang saat itu aku dapat beasiswa, Ri. Hanya saja--"Nggak ada biaya buat kost, makan dan lain-lain? Aku ngerti kok kalau kamu kesulitan ekonomi. Bahkan aku juga tahu kalau saat SMA kamu harus bantuin ibu kamu jualan nasi uduk demi bisa bayar buku-buku dan uang saku kan?" Belum sempat menjelaskan, lagi dan lagi mereka memotong pembicaraan. Mau tak mau aku pun mengiyakan saja jawaban mereka yang memang ada benarnya.Aku sengaja tak mengambil beasiswa itu karena harus kuliah ke Jogjakarta, sementara saat itu kondisi ibu mulai sakit-sakitan. Tak mau ambil resiko, aku pun memilih kuliah di universitas swasta sembari bekerja membantu perekonomian keluarga. Aku tak mungkin tega membiarkan ibu bekerja sendirian di tengah sakit diabetes dan hipertensinya."Sayang banget ya, Lan. Padahal kamu pinter, selalu juara kelas bahkan sering mengikuti lomba antar sekolah. Ternyata masa depan seseorang itu tak tergantung dengan nilai akademiknya di sekolah. Buktinya sekarang kamu cuma penjual nasi kuning, mengikuti jejak ibu kamu yang hanya jualan nasi uduk waktu itu. Sementara aku dan Ratna yang nilainya di bawah kamu justru bisa kerja kantoran dengan gaji jutaan. Kami juga bisa melanjutkan kuliah di kampus negeri seperti yang diidamkan banyak siswa," celoteh Riana dengan bangganya. Aku kembali tersenyum lalu menganggukkan kepala."Benar kata kamu, Ri. Kita memang nggak bisa memprediksi masa depan. Dari sini kita bisa petik hikmahnya kalau nggak semua siswa berprestasi itu akan sukses di masa depan. Begitu pun sebaliknya."Kedua perempuan itu saling menimpali untuk menyudutkan dan mengejekku dengan sengaja. Lirikan mata dan senyum tipis mereka cukup membuatku paham bahwa lima tahun tak bersua ternyata tak mengubah sikap angkuh mereka berdua."Eh, Lan. Minta nomor handphone kamu dong. Di kelas kita, cuma kamu saja yang nggak masuk grup W******p loh. Tiap habis lebaran kami selalu ada reuni kecil-kecilan, kali aja nanti kamu bisa ikut. Teman-teman yang lain pasti heboh kalau kamu bisa menyempatkan waktu buat datang ke acara itu. Secara, selama ini kamu menghilang seperti ditelan bumi. Dengar-dengar kamu juga sudah nggak tinggal di rumah yang lama kan? Rumahmu terpaksa dijual demi pengobatan ibu kamu, benar?" Tak menyangka jika Riana juga tahu soal penjualan rumah itu. Mungkin dia sempat ke rumah dan tanya ke tetangga soal rumah penuh kenangan itu, entahlah."Iya, Ri. Maklumlah, saat itu kondisi ibu memang cukup parah dan aku nggak ada tabungan lain untuk biaya pengobatannya. Jadi, daripada menumpuk hutang lebih baik jual yang ada saja.""Kasihan hidup kamu ya, Lan. Semoga saja nanti kamu dapatkan ganti yang lebih daripada itu dan bisa dapatkan pekerjaan yang lebih baik juga. Btw, kami pergi dulu ya. Mau ke salon buat perawatan badan. Biasalah, tiap bulan wajib nyalon supaya badan terawat dan enak dipandang," balas Riana lagi sembari mengusap lenganku yang tertutup hijab panjang."Kamu juga harus nyisihin dana buat nyalon, Lan. Biar kelihatan fresh dan nggak tua sebelum waktunya." Ratna menimpali dan kujawab dengan anggukan kepala."Ohya, Lan. Kapan hari aku ketemu Dikta. Dia baru balik dari Jogja. Sempat tanya kabar kamu, tapi aku jawab nggak tahu. Nggak masalah kan ya misal nanti aku telepon dia dan kasih tahu soal kamu yang sekarang cuma jualan nasi kuning?" Riana tersenyum tipis ke arahku yang baru saja naik di motor matic andalanku.Aku hanya tersenyum tipis saat dua perempuan itu masuk mobil yang terparkir di seberang jalan. Andai mereka tahu apa pekerjaan dan berapa penghasilanku tiap bulan, mungkinkah mereka masih merendahkanku seperti ini?Apalagi jika mereka tahu hadirku di sini bukan untuk menjual nasi kuning melainkan memberi nasi kuning gratis tiap hari, mungkin sikap mereka tak akan seperti tadi.***"Cantik." Suara itu terdengar di ambang pintu kamar saat Mbak Agnes fokus merapikan kebaya berwarna salem dengan taburan swarovski yang membuatnya semakin terlihat elegan.Mbak Agnes ikut menoleh lalu tersenyum lebar."Siapa dulu calon suaminya," ujarnya memuji. Kulihat sosok itu dari cermin yang kini memantulkan bayanganku dengan balutan kebaya yang kupilih, senada dengan jas dan celana panjangnya. Dikta, lelaki itu terlihat semakin tampan dengan penampilannya sekarang. Dia masih bersedekap sembari menatapku lekat."Ngapain ke sini, Dikta? Harusnya kamu di luar menyambut tamu, sebentar lagi penghulu juga datang," ujarku sedikit gugup. Aku mendadak salah tingkah saat ditatap begitu lekat olehnya. Mbak Agnes pun tak henti menggodaku, membuat wajah ini mulai memerah seperti tomat matang."Nggak apa-apa, Lana. Calon suami mau lihat calon istrinya masa nggak boleh. Takut diculik mungkin." Mbak Agnes kembali terkekeh."Jangan digoda lagi, Mbak. Calon istriku itu memang pemalu. Takutnya ng
Aku dan Dikta berjalan beriringan keluar bioskop, sementara Denada dan teman-teman yang lain sepertinya sudah pulang sejak beberapa menit lalu. Kulihat jarum jam menunjuk angka setengah sembilan malam. Weekend begini jalanan masih ramai bahkan padat di beberapa tempat. "Kita ke taman Bianglala dulu, Lan. Mau?" tanya Dikta tiba-tiba setelah menghentikan mobilnya perlahan karena terjebak lampu merah. "Jadi kangen taman itu ya setelah nonton film kita." Aku dan Dikta bersitatap lalu sama-sama tersenyum. "Ternyata kamu seromantis itu, Lan. Mengingat semua momen kebersamaan kita dulu. Novelmu cukup detail menceritakan kisah kita dan ternyata ending yang kamu tulis nyaris sama dengan kejadian aslinya. Hanya saja kita belum menikah, sementara dalam novelmu Dikta dan Lana sudah menikah dan hidup bahagia." Dikta menatapku sekilas lalu kembali fokus dengan stirnya. "Iya, Dik. Kita sudah lamaran dan sebentar lagi kamu akan menikahiku bukan? Itu artinya imajinasiku dulu akan menjadi kenyataan
"Mbak Lana!" Aku dan Dikta yang masih duduk santai di lantai atas menoleh seketika. Di samping tangga kulihat gadis cantik dengan hijab cokelatnya tersenyum lebar ke arahku. Aku menatap Dikta beberapa saat lalu kembali pada perempuan modis itu."Denada," ujar Dikta membuatku kembali tersenyum. Baru kali ini aku melihat adik Dikta yang cantik itu. Usianya menginjak dua puluh satu tahun. Beda empat tahun dibandingkan kakaknya. Meski jarak usia mereka tak terlalu dekat, tapi kulihat keduanya cukup akrab. Denada datang dengan wajah cerianya lalu menyalamiku dan Dikta. "Buat calon kakak iparku yang cantik sekaligus penulis favoritku." Denada sedikit berteriak sembari memberikan sebuah kado untukku. Dikta tersentak melihatku yang sudah akrab dan terlihat cocok dengan adiknya. Dia pasti bingung dan tak menyangka kami seakrab ini. "Kalian akrab banget kaya sudah kenal lama." Dikta mulai curiga. Dia menatapku dan Denada bergantian. "Memang sudah kenal lama kakakku sayang." Denada merangkul
"You are mine." Lagi kudengar kalimat spesial darinya, membuatku semakin berbunga. "Iya, iya. Semoga saja prosesnya tak membutuhkan waktu yang lama. Nanti kamu ikut aku buat urus ini itu kan?" Aku menoleh ke arahnya yang masih menyandarkan punggung ke sofa sembari menatapku lekat. Senyum tulusnya kembali terukir di bibir. Dia mengangguk lalu mengedipkan kedua matanya yang bening itu. "Tentu aku akan selalu dampingi kamu, Lana. Aku benar-benar bangga memiliki kamu. Perempuan hebat, mandiri dan istimewa." Lagi, pujiannya membuat hidungku kembang kempis. Gegas mengalihkan pandangan sebab tak ingin dia tahu jika wajahku kali ini pasti sudah memerah seperti tomat karena pujiannya yang berlebihan. "Kita nonton bareng saat gala premiere." Dikta berucap yakin sembari mengangguk pelan saat aku menoleh. "Makasih banyak ya, Dik. Kamu selalu menjadi pendukung pertama selain Ryan di setiap hal yang kulakukan." Aku berkaca. Tiap kali mengingat momen-momen membahagiakan kami di masa lalu maupun
Kebahagiaan mulai datang silih berganti. Setelah Dikta kembali dan restu dari mamanya kugenggam, muncul kabar lain yang tak kalah membahagiakan. Novel berjudul Bianglala yang mengisahkan tentang perjalanan cintaku sendiri dengan Dikta ternyata dipinang sebuah rumah produksi ternama. Production House yang biasa meminang novel-novel terbaik menurutnya. Kulihat ekspresi bangga di wajah Dikta saat aku menjelaskan kabar bahagia yang kudengar dari Pak Abdullah. Tante Delima dan Om Erwin pun terlihat bangga sembari mengucapkan selamat untukku. Akhirnya kini aku bisa membuktikan pada mereka jika aku bisa mandiri dan sukses dengan caraku sendiri. Setidaknya sekarang aku merasa lebih layak bersanding dengan Dikta dan tak merasa terus rendah diri saat bersamanya. Meski Dikta tetap menerimaku apa adanya dan tak pernah memandang dari segi karir yang kupunya, tapi aku ingin membuatnya bangga dan merasa lebih bersyukur memilikiku sebagai calon pendamping hidupnya. "Tante bangga sama kamu, Lana. I
"Aku bawa nampannya. Kamu pasti masih shock dengan kabar bahagia ini." Dikta mengambil alih tugasku membawa nampan berisi empat cangkir teh hangat dan camilan itu. Aku pun mengikutinya kembali ke ruang tamu. "Maaf menunggu lama, Om, Tante." Aku kembali tersenyum lalu menata cangkir dan piring berisi camilan itu ke atas meja dan menyimpan nampan di bawah mejanya. "Nggak apa-apa, Lana. Justru kami yang minta maaf karena sudah mengganggumu pagi-pagi begini." Om Erwin tersenyum tipis lalu menoleh ke arah istrinya yang ikut mengangguk pelan."Nggak masalah kok, Om, Tante. Lagipula saya nggak ada kerjaan. Saya merasa beruntung sekali pagi ini karena mendapatkan tamu spesial." Aku tersenyum tipis lalu melirik Dikta yang ikut manggut-manggut dengan senyumnya yang menawan. "Langsung saja ya, Lana. Kedatangan Om dan Tante ke sini selian untuk silaturahmi, Tante juga mau minta maaf sama kamu atas sikap buruk Tante selama ini. Kepergian Dikta lima hari belakangan karena penculikan itu membuat
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen