Habiburrahman El-Shirazy pernah berkata dalam tulisannya, bahwa cinta sejati adalah cinta yang terjalin setelah akad nikah. Cinta yang telah dirodhoi Allah dan didoakan oleh seratus ribu malaikat penghuni langit.
Namun, rasa-rasanya cinta yang agung itu tak berlaku dalam kisah rumah tangga Wildan dan Ratih. Wanita bergelar istri itu sudah merusak sebuah komitmen dalam ikrar suci yang tiga tahun lalu telah Wildan lantunkan. Janji sakral yang pernah Wildan ucapkan telah dirusak oleh wanita yang selalu ingin ia perjuangkan.
Wildan sering melihat wanita yang dicampakkan oleh suaminya. Diselingkuhi, dipu*kul, hanya dijadikan ATM berjalan, bahkan sampai dijadikan budak pem*uas na*fsu atau pabrik penghasil keturunan saja. Dalam hati, Wildan berjanji akan meratukan istrinya. Menjadikan ia sebagai pelabuhan terakhir dalam kisah asmaranya di dunia. Bahkan jika Tuhan berkehendak, ia akan bawa cinta yang agung itu hingga ke surga.
Namun ... kenapa yang ia dapatkan adalah sebuah pengkhianatan? Ratih seolah-olah lebih mengagungkan cinta sang selingkuhan daripada cinta sang suami yang kini sudah menjadi mantan.
Wajah marah Rizal–suami Murti–yang tak lain adalah ketua RW bersirobok dengan wajah Pak Dandi, ayah dari Dito. Ia marah dan malu pada kelakuan Ratih, keponakan yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Ketua RT setempat juga hadir lepas salat Isya dilaksanakan. Tentu hal ini berkaitan dengan tertangkap basahnya Ratih dan Dito yang berbuat me*sum di rumah peninggalan ibu dari Bu Marni.
“Jadi ... kamu sudah ikhlas melepas Ratih, Nak Wildan?” tanya Rizal dengan nada tenang. Namun, hatinya cukup tercubit.
“Saya akan tetap bertahan jika istri saya mau kami terus berjuang, Paklik. Tapi ... saya akan ikhlas melepaskan jika kehadiran saya sudah tak lagi diinginkan.”
Bu Marni menangis. Hati Murti pun ikut teriris. Namun, ia harus terlihat tegar demi sang kakak. Sementara itu, Ratih bersikap biasa saja. Berbeda dengan Dito yang terlihat takut-takut sebab ditatap sangat taj*am oleh ayahnya.
Rizal mengangguk mendengar jawaban dari Wildan. Toh, talak tiga sudah Wildan jatuhkan untuk sang keponakan.
“Insya Allah, secepatnya saya akan urus ke pengadilan untuk–“
“Biar aku yang urus!" sela Ratih.
Wildan menatap Ratih. “Baik. Jika itu mau kamu,” balasnya datar.
“Tentu saja ini mauku. Aku akan urus secepatnya, karena setelah akta cerai turun, aku dan Dito akan segera menikah,” ucap Ratih dengan tangan bergelayut di lengan Dito.
Sungguh tak tahu malu. Saat semua yang hadir menyayangkan kelakuan Ratih, tetapi yang bersangkutan justru terlihat bahagia tanpa ada mimik wajah malu setelah tertangkap basah.
Dito masih menunduk dalam. Ia takut akan tatapan sang ayah yang sedari tadi menatapnya dengan tatapan memb*nuh. Tentu saja Pak Dandi amat sangat malu dengan kelakuan putra tunggal yang sangat dibanggakannya itu. Terlebih ia sudah memilih calon menantu yang sepadan dan sekufu.
“Ratih! Jangan terlalu mengumbar kebahagiaan!” tegur Rizal sebagai sang paman. “Kamu masih harus menjalani masa idah.”
“Tapi, Paklik, aku dan Mas Wildan sudah lama tak berhu*bungan suami istri. Hampir empat bulan. Jadi ... apa tak sebaiknya aku dan Dito segera menikah saja? Toh, kalau aku hamil, sudah jelas ini anakku dan Dito.”
“Astagfirullahal’azim ....”
Semua yang ada di ruangan itu terlihat mengucap istigfar. Urat malu Ratih bukan hanya sudah putus, tapi mungkin sudah lenyap.
“Ratih! Kamu benar-benar memalukan!” desis Murti dengan sedikit membentak. Tak enak dengan Pak RT sebagai orang lain. “Nyebut, Ratih! Nyebut!”
Ratih hanya mengedikkan kedua bahunya, acuh.
“Ya, kamu benar, Ratih. Jika kamu positif hamil, itu memang anakmu dan Dito,” ucap Wildan.
“Ya, tentu saja. Karena kamu man*dul, Mas.”
Wildan memejam sesaat. Ucapan Ratih tak hanya meremas segumpal daging dalam dadanya, tetapi juga mencabik-cabik harga dirinya.
“Ya, maaf jika aku tak bisa memberikanmu seorang anak. Tapi, kamu tetap harus menunggu masa idah selesai jika mau menikah dengan Dito. Jangan membuat aturan sendiri.”
“Ck! Enggak usah ceramah!”
“Ratih!” Lagi-lagi Murti membentak. Ia benar-benar tak mengenal keponakannya yang sekarang. Ratih yang dulu seolah-olah sudah mati.
“Yang dikatakan Wildan benar, Nak Ratih. Kamu harus menjalani masa tunggu selama tiga kali suci dari menstruasi jika mau melegalkan hubungan dengan Dito,” ujar Pak RT yang juga cukup paham soal agama.
“Tentu saja kami akan melegalkan hubungan ini, Pak. Iya, kan, Sayang?” jawab Ratih, lalu bertanya pada Dito di sebelahnya.
Dito hanya tersenyum kikuk. Ia benar-benar takut dicoret dari KK oleh ayahnya, lebih-lebih tak mendapat sepeser pun dari kekayaan orang tuanya. Walau Dito anak tunggal, tetapi sang ayah tak akan segan-segan memberikan hartanya kepada banyak yayasan jika sang anak tak mau menuruti kemauannya.
Pak Dandi berdehem. “Maaf, Pak RW, Pak RT, boleh saya bicara?”
“Oh, tentu saja boleh, Pak. Silakan ....”
“Sebelumnya, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kelakuan anak saya. Saya janji, ini akan menjadi hal memalukan pertama dan terakhir yang diperbuat oleh Dito.”
Kepala pria dengan rambut cepak dan wajah yang rupawan itu semakin menunduk dalam.
“Untuk Nak Wildan, tolong maafkan Dito, ya, Nak. Dia sudah merebut milikmu.”
Wildan berusaha tersenyum seolah-olah berlapang dada, padahal hatinya sedang berbelasungkawa.
“Saya akan menjaga Dito dan memastikan ia tak bertemu dengan Ratih sampai masa idah Ratih selesai.”
Pak Rizal dan Pak RT mengangguk. Bu Marni hanya pasrah dengan nasib anaknya. Sementara Murti mencium aroma lain dari ucapan Pak Dandi.
“... akan menjaga Dito dan memastikan ia tak bertemu dengan Ratih sampai masa idah Ratih selesai ....”
(*)
Rabbani menepuk-nepuk pipi istrinya, tetapi Adiba tak merespons. Bani langsung keluar dari kamarnya dan memberitahu papa mamanya. Sarah langsung datang ke kamar Bani dan mengecek kondisi menantunya, sementara Ibrahim langsung mengeluarkan mobil untuk membawa Adiba ke rumah sakit. “Ada apa, Bani? Istrimu kenapa?” Sarah pun tak kalah panik. “Enggak tahu, Ma. Tiba-tiba aja Diba menggigil. Bani minta tolong bawakan ponsel dan dompet Bani, ya, Ma.” Bani langsung membopong Adiba ke mobil. Kondisi istrinya benar-benar mendadak. Membuat Bani benar-benar diserang panik dan mulai tak tenang. Begitu sampai di rumah sakit, Adiba langsung dilarikan ke ruang IGD untuk dilakukan pemeriksaan awal. Kebetulan di koridor depan bertemu dengan istri dari dokter Malik, dokter senior yang merupakan teman baik Ibrahim. “Loh? Pak Ibra? Bu Sarah? Siapa yang sakit?" "Menantu saya, Dok?" "Adiba? Sakit apa?” “Entah, Dok. Tiba-tiba badannya panas dingin dan menggigil.” Dokter dengan name tag Khadijah i
Kumandang azan Subuh terdengar samar-samar hingga akhirnya jelas menyapa telinga. Adiba menggeliat, lalu sedikit terkejut melihat seorang pria di sebelahnya. Namun, beberapa detik senyumnya terbit. Ia kembali menenggelamkan kepalanya di balik selimut putih tebal. Aksi semalam kembali terbayang. Membuat Adiba malu sekaligus bahagia. Ia tak menyangka bahwa malam pertamanya benar-benar dilakukan di hari yang sama lepas akad dan resepsi dilaksanakan. Adiba yang sudah sangat menginginkan atau Bani yang memang tak sabaran? Ah, sepertinya sama saja. Rasa ingin sudah menjadi pahala yang sangat besar nilainya. Bahkan Bani tak henti membuat istrinya berteriak menyebut namanya saat pelepasan. Benar-benar malam yang sangat dahsyat. Kepala Adiba menyembul dari selimut. Ia tersenyum. Rasanya seperti mimpi bisa bersama dan menyatukan cinta dengan orang yang kita pinta dalam doa. “Kenapa senyum-senyum?”“Eh?”Adiba terkejut melihat wajah bantal Bani yang tetap terlihat tampan dan akan selalu tamp
“Saya terima nikah dan kawinnya Adiba Khumairo binti Daud Abdullah dengan mas kawin tersebut, tunai!”“Bagaimana para saksi?”“Sah!”Rabbani memejam dengan lirih bibirnya mengucap hamdalah. Diusapkannya kedua telapak tangan ke wajah dan ia pun sibuk mengamini doa barakah yang dibacakan seorang penghulu. Tak hanya Bani, para undangan yang ikut menjadi saksi pernikahan sepasang anak Adam dan Hawa itu pun juga ikut melangitkan pinta atas doa yang dipimpin. Di ruangan lain, Adiba menahan air mata harunya. Pernikahan yang ia impikan telah terhelat dengan cukup sempurna. Pria yang diinginkan, kini telah sah berstatus suami. Hatinya sedikit gerimis mengingat Salman. Namun, jodoh dan maut memang rahasia Sang Pemilik Kehidupan. Doa selesai.Sarah tak bisa membendung air mata bahagianya. Ia memeluk sang menantu tanpa mengucap sepatah kata pun. Air matanya cukup mewakili bahasa bahagia yang membuncah hingga kata-kata lenyap dengan sendirinya. “Ayo, Nak. Kita ke depan,” ucap Fatimah.Dua wanit
Rizal baru saja keluar dari rumahnya dan hendak pergi ke balai desa karena suatu urusan. Namun, langkahnya terhenti kala sebuah bunyi notif pesan masuk ke ponselnya. “Pak, Ibu sekalian antar ke pasar, ya. Berangkatnya aja, nanti pulangnya Ibu bisa pakai ojek pangkalan.” Suara Murti yang dibawa dari belakang hingga ke depan teras hanya samar-samar di telinga Rizal. Ketua RW tersebut kaget dan juga mengucapkan hamdalah dengan lirih. “Pak, lihat apa, to? Ucapan Ibu malah gak ditanggepin?” gerutu Murti sambil mengunci pintu rumah. Rizal menoleh pada istrinya. “Bu, Ratih ketemu.” Murti langsung membalik badan. “Subhanallah, yang bener, Pak?” Rizal menyodorkan ponselnya kepada Murti. Seketika wajah Murti langsung berubah sendu, bibirnya bergetar, dan air matanya mulai berjatuhan. “W-Wildan yang ngabarin Bapak? Dia yang nemuin Ratih, Pak?” Pria berkemeja lengan pendek itu mengangguk. “Iya, Bu. Itu pesan dari Wildan. Ternyata Ratih ke Jakarta.” “Ya Allah ....” Murti terduduk
Dito menarik kembali kepalanya. Kini, Bani bisa kembali menatap wajah Dito yang terlihat sangat serius, sementara Bani sendiri masih berusaha biasa saja. Tak terlalu terkejut walau ada sedikit guratan tanda tanya di antara kedua alisnya. “Apa kali ini ucapanmu bisa aku percaya?”Lagi-lagi Dito mengembuskan napas panjangnya. Ia lebih dulu menatap sekeliling. Memastikan jika posisinya dan Bani cukup jauh dari beberapa orang. “Aku tak akan meminta maaf atas apa yang sudah aku perbuat padamu dan juga Ratih di masa lalu. Bukan aku sombong dan tak tahu diri. Aku hanya merasa ... tak pantas untuk mendapat maaf darimu, Bani. Kamu juga tak perlu memaafkanku. Dosaku sudah sangat besar dan banyak hingga membuat kalian bercerai.”Hening. Jika seorang sahabat berbuat jahat itu membahayakan, maka seorang rival yang berbuat baik itu cukup mencurigakan. Namun ... apa iya seorang Dito masih merencanakan kejahatan part dua pada Bani? “Katakan saja!” pinta Bani dengan nada datar. Kali ini Dito benar
“Pa?”Ibrahim menoleh. “Ya?”“Bani masih belum terlalu paham dengan perusahaan. Papa yakin mau resmiin Bani buat jadi pimpinan?”Sang ayah mengulas senyum. Tak lain halnya Sarah sang istri yang semakin hari semakin semangat menjalani hari, pun dengan Ibrahim yang semakin terlihat berwibawa dengan ketegasan yang ia miliki. Kehadiran Rabbani mampu mengembalikan cahaya dalam keluarga sang presdir. “Apa Papa akan setega itu melepasmu terjun sendiri tanpa bimbingan, Nak? Om Felix dan Papa sendiri yang akan mendampingimu mengelola kerajaan bisnismu sendiri. Rabbani Corp itu amanah untukmu. Kamu hanya perlu meyakinkan kami, bahwa seorang penerus tak akan mengecewakan para pendahulunya.”Rabbani mengangguk samar. Beberapa hari belajar tentang perusahaan milik keluarganya, Bani baru tahu jika Madava Grup dan Rabbani Corp bukan perusahaan kecil. Ada ribuan karyawan di beberapa perusahaan cabang yang menggantungkan harapan pada perusahaan milik keluarganya. “Jangan risau. Kamu tetap bisa belaj
“Kay, kenapa harus ke sini, sih?”Kayla hanya tersenyum dengan tangan hendak membuka pintu mobil. Namun, satu tangannya lagi berhasil Dito genggam. “Mas Dito, bukannya kamu yang maksa buat ngantar aku dan mau ikut apa pun kegiatan aku?”“Iya, tapi ... mana aku tahu kalau kamu mau ke tempat beginian?”“Mas Dito nyesel? Mau balik? It's oke. Nanti aku bisa pulang pakai GoCar.”Kayla pun langsung turun tanpa memedulikan Dito yang tengah mengembuskan napas kasar. Akhir-akhir ini mood-nya sedang tidak baik. Tepatnya, setelah tahu jika mantan suami dari mantan kekasihnya, orang yang dia hina sedemikian rupa, pria yang ia pandang sebelah mata karena berprofesi sebagai sopir, ternyata dia adalah putra seorang presdir. Apalagi tak lama setelah ini ia dan keluarga besarnya mendapat undangan resmi dari sang presdir Madava Grup. Undangan pesta tasyakuran dan juga peresmian pengangkatan Rabbani Asraf Madava sebagai CEO Rabbani Corp. Tentu tak hanya keluarga Dandi, tetapi juga keluarga Daud dan be
Kabar soal menghilangnya Ratih yang sempat disembunyikan dari Marni sampai juga di telinga wanita itu. Sebagai seorang ibu, tentu saja Marni ikut panik walau ia tak bisa berbuat apa-apa. Ke mana putri semata sayangnya itu pergi? “Ibuk kenapa sampai kecolongan, sih, Buk?” Rizal terlihat frustrasi. “Maafin Ibuk, Pak. Ibuk panik saat dengar suara benda pecah. Ibuk masuk buat memastikan. Ternyata benar Mbak Marni butuh bantuan.”Sampai jam dua belas malam, beberapa warga yang ikut mencari keberadaan Ratih juga tak menemukan tanda-tanda. “Ibuk juga enggak tahu kalau gembok pasungnya Ratih lepas, Pak. Makanya Ibuk enggak khawatir waktu ninggalin pintu dalam keadaan sudah terbuka.”“Sudah, Pak Rizal. Jangan salahkan Bu Murti. Dia bukan lalai, hanya saja situasi dan kondisinya tidak pas. Benar kata Pak Rizal, kita kecolongan,” sela Pak RT menengahi. Rizal menghela napas panjang dan meminta maaf kepada sang istri. “Apa perlu lapor polisi?” usul salah satu warga. “Tidak bisa, Pak. Seseora
Kali ini Rabbani benar-benar merasa terkepung rasa bahagia. Diantar oleh kedua orang tua kandungnya untuk meminta sang belahan jiwa. Bidadari bermata bening yang sudah pernah ia lihat, kini akan kembali memperlihatkan keindahan parasnya sebelum berlanjut ke meja akad. Heuh? Akad? Bani tersenyum saat pikirannya sudah berkelana ke pelaminan. Senyum itu pun kian merekah saat raut hangat Daud, Fatimah, dan Adnan menyambut di dalam ruang keluarga. Sementara Adiba masih ada di kamarnya bersama Aisyah, sang kakak ipar. “Selamat datang, Kawan!” Daud memeluk erat Ibrahim. Ibrahim pun menyambut. “Semoga sebentar lagi kita akan resmi menjadi besan,” sambut Ibrahim dengan berbisik. Daud hanya tersenyum sembari menepuk-nepuk bahu teman karibnya itu. Tak lain halnya dengan Fatimah dan Sarah. Kiya juga disambut dengan sangat hangat. Begitu tiba giliran Bani, pria tampan itu pun sedikit kikuk saat bersalaman dengan Daud. “Om?” Daud tersenyum dan mendekap Bani. Ada rasa haru yang menyeruak.