Share

FAREL MENGALAMI KECELAKAAN

Pagi ini cuaca benar-benar mewakili hatiku. Tidak ada hangatnya sinar mentari, tertutup oleh awan mendung. Mampukah aku menghalau awan hitam itu? Sementara sang mentari saja ikhlas akan takdirnya.

"Zahra, apa yang sedang kamu pikirkan?" Bunda menghampiriku yang sedang duduk di teras rumah.

"Tidak ada, Bun," jawabku singkat.

Mata Bunda menerawang jauh ke depan.

"Rasulullah pernah bersabda. Jika datang melamar kepadamu orang yang engkau ridhoi akan agama dan akhlaknya, maka nikahkan lah dengannya, jika kamu tidak menerima lamarannya niscaya terjadi fitnah dibumi dan kerusakan yang luas."

Pandangannya tidak beralih.

"Alvin adalah lelaki yang telah menghancurkan hidupmu. Namun, saat dia datang memintamu berjalan bersama untuk mencari ridho Allah, Bunda tidak kuasa menolaknya. Berada di posisimu mungkin sangat berat, karena Bunda yakin, kamu masih mencintai Farel."

Di hadapkannya tubuh Bunda ke arahku.

"Besok, kamu akan menikah. Apa kamu bisa menjaga kehormatan Bunda dengan menjadi istri yang baik? Kalau tidak, kamu bisa mundur sekarang."

"Bun, a-ku... " belum sempat aku menjawab ucapan Bunda, sebuah mobil terparkir di halaman rumahku. Mata kami tertuju pada siapa yang keluar dari mobil itu.

Kak Indah? Mau apa beliau ke sini? Semoga Farel tidak melakukan sesuatu yang bisa menggoyahkan hatiku. Semoga Farel tidak bertindak bodoh seperti dulu. Waktu aku dan ayah mau menikmati liburan ke rumah nenek di luarkota, Farel pura-pura sakit, ia menyuruh kak Indah menjemputku main ke rumahnya. Sesampainya di rumah Farel, ia malah sedang asik bermain dengan kucing peliharaanya. Dulu aku begitu di perbudak oleh cinta. Aku sangat mencintai Farel.

Sekarang mau apa kak Indah ke sini?

"Assalamu'alaikum," sapa kak Indah.

"Wa'alaikum salam," kami menjawab.

Setelah bersalaman Bunda mengajak kak Indah masuk, sedangkan aku berjalan menuju dapur untuk membuatkan secangkir kopi.

"Silahkan diminum, Kak," suguhku.

"Terima kasih."

Aku duduk di samping Bunda.

"Semalam Farel kecelakaan, sekarang dia sedang kritis. Telinganya masih bisa mendengar, sementara tubuhnya tidak bisa merespon."

Berita apa ini ya Allah, kecelakaan lalu lintas semalam, apa itu Farel? Hujan belum turun, tetapi petir seakan menyambar meluluhlantakan jiwa ini.

"Tolong Farel, Ra. Dulu saat mendengar kabar tentang pemerkosaan yang terjadi terhadap kamu, ia sampai tidak mau melanjutkan kuliah sebelum bertemu denganmu yang pindah tanpa memberi tahu siapapun. Kami memberi pengertian, kelak kalau dia sudah menemukanmu, dia sudah menjadi orang sukses. Akhirnya ia pun mau belajar dengan giat. Sekarang, hanya kamu yang bisa menyadarkanya. Tolong, Ra." kak Indah memohon.

Cambukan apa lagi yang takdir gunakan untuk menggoyahkan hatiku? Rasanya begitu sakit, hingga mata tak bisa menahan untuk berlinang.

"Zahra, ikutlah denganku ke rumah sakit, sekarang. Aku mohon."

Kualihkan pandangan pada Bunda yang juga ikut meneteskan airmata. Ingin aku berlari melihat keadaan Farel, memberinya semangat untuk hidup. Namun, tanpa izin dari Bunda aku tidak bisa.

"Zahra akan pergi," ucap Bunda mengejutkanku.

"Tapi bisakah menunggu sebentar!"

Kak Indah tersenyum mengangguk. Bunda mengajakku masuk ke dalam kamar.

"Hubungi, Alvin!" suruh Bunda menyodorkan posel dari tangannya.

"Bun.." aku tidak mengerti.

"Minta dia kesini sekarang."

"Tapi, Bun."

"Ini saatnya. Bunda ingin melihat hasil dari pendidikan hijrahmu. Seteguh apa hatimu ketika Allah menghadapkanmu pada pilihan yang sulit. Alvin yang tulus mencintaimu karena kecintaanya pada Allah atau Farel pemuda yang pertama kali mengukir namanya dihatimu. Hubungi Alvin sekarang!"

Tanpa bertanya lagi aku menuruti Bunda. Kutekan nomor ponsel kak Alvin hingga tersambung.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam" Terdengar seperti bukan suara Alvin yang menjawab.

"Apa ini nomor kak Alvin?"

"Iya, benar. Saya Beni asisten pribadinya, sekarang pak Alvin sedang di kamar mandi."

"Bisa tolong sampaikan pada kak Alvin, untuk datang ke rumah saya sekarang? Ini Zahra."

"Oh, bu Zahra. Baik, Bu. Akan aku sampaikan."

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam"

Aku menutup gagang ponselku, dan Bunda kembali mengajaku ke ruang tamu menemui kak Indah.

"Sebelum pergi, kita tunggu seseorang dulu, yang akan mengantar kami ke rumah sakit."

"Baik, Bun," ucap kak Indah.

Hampir setengah jam kami menunggu, akhirnya kak Alvin datang. Ia langsung dipersilahkan masuk.

"Vin, Bunda mau minta tolong. Tolong antar Bunda sama Zahra ke rumah sakit."

Kak Indah nampak bertanya akan sosok pemuda yang di hadapannya itu.

"Siapa yang sakit, Bun?" Kak Alvin kelihatan cemas.

"Kamu ikut aja ya," ucap Bunda.

Kali ini, Bunda meragukan keimananku. Tapi kenapa kak Alvin harus di undang ke sini? Menyuruh kak Alvin mengantar calon istrinya untuk menemui mantan pacarnya. Bagaimana kalau ia Tahu tentang siapa yang akan dijenguk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status