Share

ALVIN MENEMANIKU MENJENGUK FAREL

Kami pun langsung melangkah menuju mobil. Kak Alvin menyalakan mobilnya, mengantar aku dan Bunda menjenguk Farel di rumah sakit.

"Vin, besok kalian akan menikah. Bunda tidak ingin Zahra terus menyimpan masalalunya sehingga menjadi duri dalam rumah tangga kalian."

Bunda memegang tanganku, matanya dilirikan ke arah kak Alvin yang sedang menyetir.

Aku pun mengerti maksud Bunda.

"Kak, mantan kekasihku mengalami kecelakaan, tadi kakaknya memintaku untuk menemuinya, sekarang kita akan menjenguk."

Siiit!

Mendadak kak Alvin menghentikan mobilnya. Terlihat kalau ia sangat terkejut dengan perkataanku.

"Ma-af," Ia kembali menjalankan mesin mobilnya.

"Apa Alvin keberatan dengan permintaan, Bunda? Mengantar Zahra ke rumah sakit?" tanya Bunda.

"Tidak, Bun. Bukankah menjenguk orang sakit adalah sunah, apa lagi dia adalah orang yang kita kenal."

Bukan hanya kenal, Kak. Dia juga orang yang aku sayang. Andai kamu tahu itu. Pasti kamu akan kecewa padaku.

Aku sudah hampir sampai di depan pintu gerbang baru. Ada kak Alvin yang sedang menungguku di sana. Dengan tanggung jawab yang ia pikul karena dulu telah melukaiku. Namun, Farel datang meminta uluran tanganku, berharap aku mau ikut masuk di istana yang kami pernah bangun bersama. Pada siapa harus ku langkahkan kaki ini?

Kak Alvin memarkirkan mobilnya, dengan sopan ia membukakan pintu untukku dan Bunda. Kami bertiga pun masuk menuju ruangan tempat Farel dirawat.

"Nak, syukur kamu ke sini." Bu Irma, mamahnya Farel memeluku. Ia terus terisak membuat kerudungku basah akan airmatanya.

"Mah, biarkan Zahra menemui Farel dulu," ucap kak Indah.

Bu Irma pun melepaskan pelukannya.

"Ra, masuklah! Tolong bantu kami menyadarkan Farel. Telinganya bisa mendengar, akan tetapi saat ini tubuhnya tidak bisa merespon."

Aku menatap Bunda, meminta persetujuannya.

"Vin, kamu ikut masuk ke dalam!" Bunda menyuruh kak Alvin mengikutiku, sedari tadi ia hanya mematung di belakang kami. Aku tahu, mungkin saat ini kak Alvin mengira kalau kami sedang mempermainkan perasaanya.

"Maaf, Bun. Ini siapa?" tanya bu Irma.

"Alvin, calon suaminya Zahra," jawab Bunda. Ku lihat bu Irma terkejut, lalu memeluk kak Indah.

Langkah kaki ini begitu gamang memasuki ruangan Farel, entah bagaimana dengan kak Alvin yang mengekor di belakangku, ia harus menerima kenyataan kalau calon istrinya akan menemui mantan pacarnya. Maaf, Kak.

Di atas ranjang rumah sakit, tubuh Farel tak berdaya. Berbagai macam selang menempel di tubuhnya. Hidung, mulut juga tangan. Monitor pendeteksi detakan jantung di sampingnya, menunjukan kalau saat ini, ia benar-benar sekarat.

Aku terus menahan agar airmata ini tidak keluar, agar tidak menyinggung perasaan kak Alvin yang sekarang berstatus sebagai calon suamiku.

"Assalamu'alaikum, Rel. Aku Zahra." Kudekatkan diri duduk di kursi yang ada disamping ranjang. Ingin sekali tangan ini memegang jemarinya yang tertutup pasangan infus. Tapi aku tidak bisa. Ia bukan yang halal untukku sentuh.

"Rel, kamu ingat tidak? Saat kita pertama masuk SMA, kamu menaruh petasan di tas salah satu kakak kelas yang mengerjaiku. Kamu dihukum berlari keliling lapangan, hanya demi membalas kejailan mereka terhadapku."

Aku mencoba membangkitkan kenangan untuk merangsang otaknya, walau sejujurnya ini akan membuatku semakin sulit melupakannya.

"Kamu juga nekat manjat gerbang sekolah untuk mengambil surat cinta yang tertinggal di dalam kelas. Kamu memang bodoh." Kuusap airmata yang mulai menetes. Seakan tidak lagi memperdulikan kak Alvin. Maaf.

"Bangunlah, Rel. Akan banyak yang rindu kekonyolanmu, kalau kamu terus terbaring seperti ini."

Aku memberanikan menatap wajahnya.

Astagfirullah, mata ini telah berzina. Ampuni aku ya Allah.

Aku melihat disudut mata Farel yang terpejam, ada airmata mengalir.

"Rel.. " tidak sanggup lagi, aku berdiri dan lari keluar ruangan itu. Terus berlari menjauh dari semua orang. Hingga kaki ini berhenti di sudut lorong rumah sakit. Kusandarkan tubuh di tembok dan perlahan terkulai lemas jatuh ke bawah. Aku menangis tersedu.

Suara langkah kaki menghampiriku, ketika ku dongakan kepala, ternyata kak Alvin. Ia mengejarku. Kak Alvin duduk disampingku, tentunya dengan jarak yang sedikit jauh.

"Kamu masih mencintainya?" tanya kak Alvin.

Tidak menjawab, Aku mengusap airmataku sampai tidak tersisa. Membenarkan posisi tubuhku.

"Jika kamu masih mencintainya, aku ikhlas kalau kamu membatalkan pernikahan kita besok."

Kak Alvin berdiri, kulihat ia mengusap lembut pipinya.

Ikhlas. Ketika senja rela kehilangan keindahannya menenggelamkan diri, agar sang rembulan bisa menunjukan pesonanya.

Ikhlas. Ketika ranting kering yang jatuh rela terbakar, untuk menghangatkan jiwa yang dingin.

Seperti itukah keikhlasan yang ingin kau tunjukan.

Demi kebahagiaanku kamu rela mengorbankan kewajibanmu yang ingin mempertanggung jawabkan perbuatanmu dihadapan Allah.

"Kak!" aku berdiri.

Kak Alvin menghadapakan diri ke arahku.

"Allah selalu memberi kesempatan untuk hambanya yang mau memperbaiki diri, kenapa aku tidak bisa memberi kesempatan untuk kakak memperbaiki hatiku? Aku ingin tahu sebesar apa kakak mencintai Allah. Besok, kita akan tetap menikah"

Maafkan aku, Rel. Berat hati ini untuk meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini, kamu yang pertama mengenalkanku akan cinta, tapi saat ini yang kamu butuhkan bukan aku, melainkan Allah sang maha pencerah.

Kak Alvin memang orang yang telah menabur racun hingga mematikan rasa dalam diri ini, tidak lagi mengenal apa itu bahagia karena yang terbayang hanya luka. Namun, aku begitu mencintai Allah, takdirNYA yang mempertemukanku kembali dengan kak Alvin, mungkin isyarat kalau kak Alvin adalah jodoh yang dikirimNYA melalui jalan hijrah.

Kami pun kembali pulang, setelah mengantarkanku sampai rumah, kak Alvin pamit kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya.

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status