Ali bangun terlebih dahulu. Ia ingat tadi sebelum satu kamar bersama dengan Gu karena digoda. Ali mendapatkan pesan bahwa ia memang harus pergi ke wilayah yang baru dikembangkan di bagian pinggiran. Lelaki itu mengusap wajahnya. Masih berusaha menimbang antara mimpi dan kenyataan. Namun, Gu yang berbaring di sebelahnya menjadi bukti bahwa mereka tadi malam memang menjadi suami istri yang sebenarnya. “Salah minum obat mungkin dia ini. Selama ini jual mahal luar biasa,” ujar lelaki itu. Ia memakai bajunya yang tadi malam dibuka paksa oleh Gu. Jelas sekali Ali ingat betapa memang istrinya berubah seperti serigala kelaparan, dan sekarang sedang tidur nyenyak karena kelelahan. Ali membersihkan dirinya di kamar mandi. Kulitnya terasa perih terkena air hangat. Ada beberapa bekas cakaran tipis yang tercipta baik di punggung atau bagian dada. Tak habis pikir Ali kenapa istrinya berubah dalam waktu semalam saja. Namun, ia berharap hal itu tidak hanya untuk sementara waktu saja, jika bisa sela
Cuti masih lama selesai. Maira juga sudah berangsur-angsur membaik, bahkan sudah diantar kembali ke rumah kakek dan neneknya. Terhitung dua bulan lagi Gu dan Ali baru kembali bekerja. Bingung, tak ada yang bisa diperbuat, siang itu keduanya memutuskan membeli cat baru. Mengganti suasana rumah dengan warna yang lebih segar dan terang. Kamar maira didesain lebih ramah anak-anak dengan warna-warna cerah. Sedangkan Gu dan Ali yang kini sudah satu kamar bersama memutuskan menukar cat putih dengan cat biru, dengan corak daun maple yang berguguran. Tidak ada jasa tukang cat yang mereka gunakan, selama dua hari lamanya suasanya rumah itu akhirnya bertukar juga. Sesekali keduanya bersenda gurau dan tak jarang baju mereka kotor karena terkena tumpahan cat. Tak ada lagi dendam, malu, gengsi dan bayang-bayang masa lalu. Semua sudah keduanya ikhlaskan. Yang sudah terjadi tak akan mungkin bisa diperbaiki lagi. Hanya perlu menatap masa depan lebih baik lagi. Cat sudah selesai dan barang-barang jug
Gu terbangun dengan napas berlomba-lomba. Ia barusan memimpikan hal kelam lima tahun lalu. Wanita itu mengucek matanya, lalu melihat jam di dinding. Jam empat sore, pantas saja ternyata ia melewati wakthu Ashar sampai 30 menit lamanya. Tak ada Ali di rumah itu. Judul saja suaminya cuti, tapi sesekali masih dipanggil jika menyangkut hal yang teramat sangat penting. “Kenapa aku mimpi hal itu lagi, ya? Kan, sudah lama aku ikhlaskan kejadian di masa lalu,” gumam Gu perlahan. Ia ambil wudhu lalu tunaikan kewajiban. Setelahnya wanita itu angkat dua tangannya tinggi. Mendoakan agar kedua orang tua juda saudara-saudara muslimnya yang tewas saat pembantaian itu mendapatkan tempat terbaik, dan satu hal yang baru pertama kali ini ia ucapkan juga. “Ya Allah, andai adikku masih hidup, tolong tunjukkan jalan. Jika mampu akan kuselamatkan dia. Aamiin.” Wanita itu mengusap wajah dengan dua tangannya. Sejak Ali mengaku bahwa ia Adhilzan dari seminggu lalu, beberapa kali ia memimpikan tentang adik la
Ali sudah mencari informasi terkait keberadaan Nursultan Berik, adik iparnya. Tak ayal kamar itu berubah menjadi ruang investigasi. Ada foto, gambar terowongan, camp serta gambar penjaga di sana. Mantan sahabat Ali dulu menjadi kepala penjara—Hendrik. Mungkin saja jika Ali tak diberikan hidayah maka ia yang akan memegang posisi penting itu. “Ini adikku sekarang?” tanya Gu ketika melihat foto anak lelaki berusia 10 tahun. Rambut lurus dan mata hitam, wajah mirip dengan wanita berambut keriting itu. “Iya, data yang kudapat begitu. Namanya dulu Nursultan, tapi sudah diganti menjadi Andrey Boris,” jawab Ali sambil menghubungkan benang merah dari satu foto ke foto lain. “Dia benar-benar lupa denganku?” Gu memegang foto wajah adiknya. Sudah lama sekali tak berjumpa. Ia senang kalau Sultan masih hidup. “Biasanya seperti itu. Akan lebih bahaya kalau adikmu di usia sekarang, misalnya sudah baligh. Pihak militer Balrus tak akan membiarkannya di dalam asrama saja. Tentu akan diadakan uji cob
“Panas,” ujar Gu dari tadi. Keringat tak henti-hentinya menetes dari seluruh tubuhnya, padahal di atas sana sedang musim dingin. Ali sudah biasa melewati tempat-tempat menyeramkan seperti itu. Namun, tidak bagi istrinya. Tiba-tiba saja Gu muntah karena tak tahan dengan aroma di dalam tanah. “Beginilah kalau susah dikasih tahu. Disuruh di rumah saja tak mau dengar.” Ali menepuk punggung Gu agar semua beban di dalam perutnya keluar. “Padahal aku sudah minum vitamin supaya kuat menghadapi perjalanan jauh.” Wanita bermata biru itu masih berjongkok, pandangan matanya serasa berkunang-kunang. “Ya, jangan disamakan perjalanan orang biasa dengan tentara.” Ali mengeluarkan tabung oksigen, ia berikan agar istrinya merasa lebih segar. Terdiam sesaat dua orang itu, tanah di atas sana bergetar kuat. Ali melindungi kepala Gu dengan kedua tangannya. Takut sewaktu-waktu ada gempa lagi. Namun, beberapa saat kemudian keadaan mulai tenang. Perjalanan sudah mereka lewati lebih dari setengahnya, untuk
Ali juga berganti baju dengan meniru kebiasaan orang-orang di sana. Terpaksa ia mencukur janggut yang telah ia pelihara selama bertahun-tahun. Mereka kini berada dalam sebuah kamar mandi berdua saja. Gu memperhatikan suaminya yang sedang merapikan sisa-sisa cambang yang masih ada. Persis terlihat seperti ketika mereka pertama kali berjumpa. “Aneh, ya. Di kepala tak ada rambut, tapi bisa tumbuh cambang segitu lebatnya,” ujar Gu sambil melipat baju militer putih. Ia masukkan dalam tas siapa tahu berguna satu hari nanti. “Mana aku tahu. Diciptakan sudah begini dari awal. Kau pun aneh juga, kukira pendiam, kalem dan mudah diatur. Ternyata cerewet, susah dikasih tahu, dan tak bisa diam,” jawab Ali tak mau kalah. “Apa dengan Fir dulu begitu juga?” tanya lelaki itu lagi. Sebab dari pembawaan Gu dulu ia kira wanita itu seperti ratu atau tuan putri yang menjaga cara bicara dan tata krama, nyatanya lepas begitu saja. “Tak akan kuberi tahu. Nanti aku bertanya tentang Sintia kau tak mau menjaw
Ali menggunakan rambut palsu. Gu hanya tertawa melihatnya. Ia jadi terlihat berbeda, ditambah rambut itu berwarna pirang. Suaminya jadi terlihat seperti orang lain. Gu nyaris tak mengenali suaminya jika tak pernah menghabiskan waktu sepanjang hari bersama lelaki bermata abu-abu itu. “Kunci pintu rapat-rapat, jangan dibuka kalau bukan aku yang datang. Kota ini sedikit tak ramah dengan pendatang. Ganjal saja dengan kursi. Aku pergi sendirian, kau tak boleh tahu karena ini sangat berbahaya. Paham sampai di sini?” Ali benar-benar memastikan kalau istrinya harus mematuhi apa katanya. “Iya, kali ini aku paham. Lagi pula aku sedang malas keluar. Pinggangku serasa mau patah,” jawab Gu. Usai diyakinkan oleh Gu, Ali pergi berjalan kaki menemui dua orang pengkhianat yang akan membantunya masuk ke dalam camp konsentrasi. Ia tahu dari dulu sepak terjang mereka. Sayangnya belum sempat diadili Ali sudah harus keluar dari Balrus, dan kini dua orang itu justru berguna baginya. Sesekali ayah Maira me
Gu terbangun karena bara api yang ia hidupkan telah hampir mati. Lekas ia tambahkan kayu agar tak menggigil kedinginan. Ia mengenakan baju tebal dari ujung rambut sampai kaki. Sudah terhitung dua minggu ia ditinggalkan oleh suaminya. Stok makanan masih sangat melimpah. Wanita itu tak terlalu berselera makan, ia hanya rajin minum teh atau cokelat panas saja. Gu juga tak bisa tidur di dalam kamar, sebab tak ada cerobong api di sana. Kadang ia tak tahan dengan pusing di kepalanya, lalu ia benar-benar hanya berbaring saja sambil menonton televisi, satu-satunya media yang bisa menghiburnya. Ponselnya sendiri sudah lama dimatikan, kata suaminya agar tak ada yang melacak. Ali juga tak membawa handphone ke dalam camp. Sebab dari sana identitasnya nanti bisa ditemui. Terkadang ketika wanita bermata biru itu mulai bosan, ia hidupkan alat komunikasi tersebut lalu berbalas pesan dan tertawa sendiri. Diam dalam kesendirian membuatnya nyaris gila. “Haah, lama sekali waktu berjalan,” gumamnya samb