Nadia menatap Adam dengan mata yang sudah sembab karena menangis sedari tadi, dia langsung berhambur di pelukan Omnya. Adam membalas pelukan ponakannya dan berharap putrinya baik-baik saja. Sedangkan Rangga hanya bisa menghela napas panjang, tak lama dokter keluar dari ruang UGD sambil tersenyum menatap Rangga rekan sejawatnya.
"Bagaimana?" tanya Rangga langsung.
"Demamnya terlalu tinggi, dan dia alergi protein sapi makanya keluar ruam merah di tubuhnya," ujar Maya sambil menepuk bahu Rangga.
Adam diam terpaku, ia menatap lekat Rangga. Devan yang melihat sahabatnya hanya diam mematung mengajaknya untuk duduk sedangkan Nadia mengikuti dokter untuk mengurus kepindahan ruang rawat Sasa si bayi mungil.
Setelah Sasa di pindahkan ke ruang rawat semuanya masuk ke ruangan, hati Adam begitu pedih saat melihat tangan mungil bayi berumur satu bulan itu harus dipasang jarum Infus.
"Om, coba hubungi Tante Fani. Sasa butuh asinya sekarang," jelas Nadia yang sedang duduk di samping branker di mana tubuh kecil itu sedang berbaring.
Adam menatap Devan dan Rangga kedua pria itu mengangguk menyetujui usul dari Nadia, saat Adam menghubungi Fani nomornya sudah tidak aktif. Pria itu bergegas pergi dengan langkah panjang.
"Dasar gila!" umpat Devan saat melihat Adam pergi begitu saja.
Devan dengan berlari mengejar Adam, ia tak akan membiarkan sahabatnya itu untuk mengendarai motor sendiri.
"Dam, biar aku yang bawa motornya. kamu bilang saja minta antar kemana!" seru Devan.
"Apartemen Fani," kata Adam
Tanpa menunggu lama Devan melajukan motor sport warna hitam itu membelah jalanan ibukota. Setelah tiga puluh menit keduanya sampai di lobby apartemen tempat Adam dan Fani tinggal dulu.
"Apa kamu yakin, dia ada di dalam," kata Devan Saat Adam akan memasukan password apartemennya.
Devan tak ingin jika Adam langsung masuk akan melihat pemandangan yang akan membuatnya terpuruk nantinya. Namun, Adam tetap membukanya. Keduanya masuk sambil memperhatikan sekeliling, tetapi tiba-tiba keduanya saling tatap saat mendengar suara desahan dari kamar.
Adam mengepalkan kedua tangannya, rahangnya mengetat dengan wajah yang sudah memerah. Dia langsung mendobrak pintu kamar dengan kekuatan penuh hingga membuat dua orang yang sedang memadu kasih di dalam terperanjat.
Fani langsung menutup tubuhnya dengan selimut, sedangkan Raka hanya diam tanpa ada rasa bersalah. Devan yang melihat sahabatnya sudah di batas kesabaran langsung mengajaknya pergi, tetapi Adam tiba-tiba memberikan bogeman ke wajah pria yang sedang memakai kaosnya.
"Fani Santika! detik ini aku talak kamu dan sekarang kamu bebas!" seru Adam lantang membuat Fani menegang sedangkan Raka hanya tersenyum sinis sambil mengusap bibirnya yang berdarah.
Adam seakan lupa dengan tujuannya datang ke apartemen, pria itu tidak menyangka kalau wanita yang masih sah menjadi istrinya berbuat hal menjijikkan seperti tadi.
Devan menatap Adam yang terlihat berantakan, dia sudah mengira ada Raka karena melihat mobil yang tak asing terparkir tak jauh dari motor Adam tadi.
"Temani aku mencari susu kedelai buat Sasa," ajak Adam.
"Air tahu mana ada jam segini, Dam!" sahut Devan kesal.
"Cih, siapa cari air tahu," guman Adam
"Serah deh!" balasnya Devan kesal
Devan kembali mengendarai motornya menuju apotek terbesar di ibukota, Adam tanpa ragu segera turun, ia konsultasi terlebih dahulu dengan apoteker yang menghampirinya. Setelah ia mendapatkan apa yang dicarinya Adam segera menghampiri Devan.
"Sudah dapat air tahunya?" tanya Devan yang melihat Adam membawa kantong besar.
Adam tak menjawab, tetapi matanya menatap jengah sahabatnya itu. Setidaknya susu yang dibelinya cukup buat Sasa, sampai menjelang gajian nanti. Pria itu sekarang akan fokus kepada Sasa, karena rasa sakit atas apa yang ditorehkan oleh mantan istrinya begitu dalam.
Setelah menempuh perjalanan dua puluh menit Kedua pria itu sampai di rumah sakit. Berjalan beriringan keduanya selalu menjadi perhatian pengunjung dan para perawat wanita.
Adam perlahan membuka ruang rawat anaknya, ia begitu terkejut saat melihat Mamanya sedang menjaga Sasa.
"Mama, kenapa bisa ada di sini?" tanya Adam sambil memeluk wanita yang dari siang tadi tak dijumpainya.
"Mama mau jaga Sasa, Sayang. Hari ini Nadia harus ada operasi dadakan," ujar Mirna sambil tersenyum menatap putranya.
Wanita paruh baya itu melihat ada luka yang menganga dari tatapan putranya, walau Adam tersenyum hangat padanya, tetapi dia tahu apa yang kini dirasakan oleh Ayah satu anak itu.
"Apa kalian sudah makan?" tanya Mirna sambil menatap Adam dan Devan bergantian.
"Belum Tante, takutnya saya lagi makan Adam menggila!" gerutu Devan sembari menghempaskan tubuhnya di sofa yang ada di pojok ruang rawat bayi mungil itu.
Adam hanya melengos saja saat Devan mengatakan dirinya gila, ia akhirnya keluar untuk membeli makanan. Setelah Adam pergi Mirna beranjak dari duduknya, dia menghampiri Devan yang terlihat begitu lelah.
"Van, apa Adam tadi mencari Fani?" tanya Mirna sambil duduk di depan pria yang kini membetulkan posisi duduknya.
Devan menatap wanita yang sudah di anggap seperti ibunya sendiri itu hanya menganggukan kepalanya, ia juga menceritakan kalau Adam sudah menalak istrinya, karena sudah melihat perselingkuhan Fani.
Mirna hanya menarik napas panjang sembari mendesah, sedetik kemudian air matanya mengalir begitu saja membasahi wajah keriputnya. Anaknya harus menjadi duda dan membesarkan putrinya sendiri, Fani begitu tega kepada putri kandungnya sendiri.
Sebagai seorang wanita Mirna begitu membenci kalau ada seorang Ibu yang menelantarkan putri kandungnya sendiri, tetapi ini kenyataan di depan matanya saat Fani dengan senang hati meninggalkan Sasa.
Sasa cucunya yang malang harus dirawat ke rumah sakit karena alergi protein sapi, Devan yang melihat wanita paruh baya itu sedang bersandar sambil menangis dalam diam merasa iba, di saat umurnya seharusnya hanya bermain dengan cucu-cucunya. Namun, harus membantu Adam untuk membesarkan Sasa.
Bayi itu pastinya membutuhkan sosok seorang ibu, Devan beranjak dari duduknya untuk melihat malaikat kecil Adam yang sedang tertidur nyenyak. Tak lama pintu terbuka yang memperlihatkan sosok tegap berjalan menuju ke sofa di mana mamanya terlelap.
"Dam, lihat dia mirip sekali dengan mu, aku yakin dia anakmu," ujar Devan.
Adam mengerutkan dahinya, bahkan dia tidak pernah berpikir kalau Sasa anak dari pengusaha kaya itu, tetapi karena rasa penasarannya pria itu ikut memperhatikan wajah putrinya yang kini terlelap.
"Apa kamu mau tes DNA?" tanya Devan yang langsung kena centil keningnya oleh Adam.
"Aku yakin dia anakku, banyak kesamaan coba kamu lihat telinganya," ucap Adam sambil melangkah ke arah sofa karena sedari tadi cacingnya sudah demo.
Seketika tawa Devan langsung meledek membuat Sasa menangis histeris karena terkejut. Mirna yang mendengar cucunya menangis segera menghampirinya.
"cup ... cup ... cup," Kata Mirna sambil menepuk punggung cucunya pelan.
"Kamu itu jelas sedang di ruang rawat bayi, ketawa enggak bisa pelan!" umpat Adam kesal saat melihat putrinya menangis sampai wajahnya memerah.
"Sudah-sudah, jangan ribut sana pada makan dulu, biar mama buatkan susu!" seru Mirna yang mendengar anaknya ribut
Devan dan Adam akhirnya duduk bersebelahan, tanpa menunggu lama keduanya makan dengan lahap, Mirna yang melihat itu merasa lega. Namun, sedetik kemudian tiba-tiba tubuh kecil itu kejang untuk kedua kalinya. Hingga ketiganya panik, tetapi dengan gesitnya Devan langsung meminta pertolongan.
Adam lemas saat melihat mata putrinya hanya terlihat putihnya saja, kini ketiganya disuruh keluar ruangan oleh suster, Devan akhirnya harus menenangkan Ibu dan anak yang terlihat begitu khawatir menunggu dokter memeriksa Sasa.
"Cucuku malang nasibmu, Nak!" serunya sambil menangis didekapan Devan.
Jangan lupa subscribe dan dukung dengan cara komen dan tekan bintang lima ya. Insyaallah up setiap hari. Aa zigant.
Adam mondar mandir di depan pintu rawat putrinya, terlihat dari wajahnya lelaki itu begitu Khawatir. Devan semakin pusing melihat sahabatnya yang tak mau duduk. Tak lama dokter keluar sambil tersenyum menatap Adam, sambil berucap. "Mari ikut ke ruangan saya." Adam langsung berjalan mengikuti dokter yang sudah merawat anaknya itu, saat sampai di ruangan dokter ia dipersilahkan untuk duduk. "Bagaimana Dok?" tanya Adam yang sudah tidak sabar mendengarkan penjelasan dokter mengenai putrinya. Dokter wanita itu hanya bisa menarik napas panjang, ia juga terkejut saat mendengar kalau ibunya sang bayi tidak mau memberikan asinya kepada anaknya. Apa lagi sekarang balita mungil itu sedang alergi protein sapi. Semua itu ia dengan sendiri dari rekannya Nadia.
Selama dirawat selama tiga hari kondisi Sasa sudah semakin baik, bayi berumur satu bulan lebih itu terlihat lebih menggemaskan sekarang, ruam merah di tubuhnya juga sudah mulai memudar. Adam begitu antusias saat tahu kalau siang ini putrinya di perbolehkan pulang. Devan juga sudah mengurus surat perceraian Adam ke pengadilan agama, Ayah beranak satu ini mulai lagi fokus untuk mengajar lagi. Nadia yang kini masih di ruang rawat Sasa, tak hentinya tersenyum menatap sepupunya itu. Tak lama Devan dan Adam datang untuk menjemputnya. Pria itu mengambil alih menggendong putrinya dari dekapan ponakannya. "Apa semua sudah siap, Nad?" tanya Adam tak henti-hentinya mencium pipi gembul Sasa. "Sudah Om," jawabnya sambil mengambil tas kecil tempat keperluan Sasa. Ketiganya berjalan melewati lorong rumah sakit, Devan hanya menggelengkan kepala melihat Adam yang berjalan cool sambil menggendong putrinya, Sedangkan Nadia mengikuti dari belakang Adam. K
Pagi ini Adam sudah bersiap untuk menuju ke salah satu kampus yang ada di ibu kota, dia akhirnya menerima tawaran Devan. Adam merasa ini mungkin ini rezeki untuk putrinya. Tanpa ragu pria berbadan tegap itu melangkahkan kakinya menyelusuri lorong untuk mencari ruang Devan. Sedangkan pria yang dicarinya sedang berdiri santai di tengah pintu ruangannya sambil berucap, "Anda telat lima belas menit." Adam tak menjawab, ia langsung masuk ke ruangan sahabatnya itu. Devan hanya menatap jengah rekannya yang main masuk saja sebelum di suruhnya. "Ruangan mu di sebelahku, tapi ingat jangan minta pindah ke lantai dua. Itu ruangan khusus dosen wanita," jelas Devan "Apa hanya untuk wanita?" tanya Adam sambil memperhatikan ruangan Devan yang tetap rapi seperti biasa. "Aku tahu kamu seorang yang tak suka diganggu, makanya saat dekan menyuruh menyiapkan ruangan di lantai dua langsung aku cegah," kata Devan "Terimakasih sayang, jadi makin cinta," goda A
Malam harinya Adam dan keluarganya sedang berkumpul di ruang keluarga, walau hanya bertiga saja mereka terlihat bahagia, terkadang Mang Ujang dan istrinya juga ikut bergabung. Adam sibuk dengan laptopnya. Pria itu tidak terasa sudah hampir dua minggu mengajar di kampus barunya, tidak jarang dia menemukan kado dari para mahasiswanya. Namun, duda anak satu itu selalu mengabaikannya. Tak lama Nadia menghampirinya, gadis itu dengan manja bergelayut manja di lengan kekar Adam, hal itu membuat Neneknya hanya bisa menggeleng, terkadang Rangga saja mencibir ulah calon istrinya itu. "Ada apa?" tanya Adam yang hafal betul dengan tingkah Nadia pasti ada maunya. Gadis itu tersenyum girang saat Omnya begitu hafal keinginannya, Nadia membetulkan posisi duduknya. "Om, tadi Nadia me
Pagi harinya di ruangan seorang dosen yang selalu menjadi perbincangan mahasiswa wanita, Adam yang sedang memeriksa tugas karena jam sepuluh nanti baru ada kelas, pria itu terlalu fokus hingga tak mendengar saat pintu ruangannya terbuka oleh seseorang yang hanya menatapnya heran. Devan melemparkan amplop coklat ke meja Adam membuat yang empunya terperanjat. "Kebiasaan ketuk dulu napa!" kata Adam kesal. Adam menyingkirkan amplop coklat itu ke lacinya, hal itu membuat Devan hanya mencibirnya. "Kamu enggak mau lihat apa isinya, Dam?" tanya Devan sambil menatapnya intens. "Untuk apa?" tanya Adam dingin. "Siapa tahu mau minta rujuk lagi," balas Devan yang langsung kena lempar pena oleh Adam.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, tanpa terasa sekarang Sasa sudah berumur tiga tahun, bocah kecil itu sedang berlari-lari di taman belakang rumah Neneknya. Adam yang baru pulang langsung mencari putri kecilnya di kamar hingga ia bertemu dengan Bik Imah. "Bik, Sasa mana?" tanya Adam sambil melihat sekeliling ruang keluarga. "Sedang di taman sama Ibu, Den." Jawab bik Imah sambil tersenyum. Adam dengan langkah cepat menuju taman belakang, melihat Ayahnya datang gadis kecil itu berlari ke arah Adam. "Hoe ... hoe.... Ayah sudah pulang!" teriak Sasa sambil berlari. Adam langsung berjongkok mensejajarkan dengan tubuh putrinya. Pria itu begitu games langsung mencium kedua pipi gembul Sasa.
Sore pun tiba di mana mereka mempunyai tugas masing-masing yang sudah dibagi oleh bapak, Ririn harus menyiapkan makan malam. Rini bagian mencari rumput buat makan kambing sedangkan Reno dan Rey memasukkan kambing ke kandang. Tadi saat pulang dari sekolah, Ririn melihat ada terong ungu rencana akan di kukus nanti makanya di colek pakai sambal saja. Keluarganya berjumlah enam orang sedangkan ayamnya bertelur cuma dua butir hari ini Ririn ingat pesan mamak nanti goreng saja telurnya buat adikmu, tapi gadis itu tidak tega kalau bapak dan mamak makannya hanya pakai sayur dan sambal. Ririn memecahkan telur ayam yang hanya dua butir itu, kemudian segera menggorengnya buat lauk malam ini. Tidak lupa sambal korek pesanan bapak dan pucuk ubi rebus untuk pelengkapnya di tambah terong.
Hany terkejut saat melihat jam sudah pukul sebelas lewat, ia takut besok pagi kesiangan, karena jam enam pagi harus sudah ke dermaga menunggu speedboat. Dilihatnya suaminya sudah tertidur nyenyak, Hany segera ikut naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Halim. Namun, matanya enggan terpejam. Halim yang merasa terganggu dengan ulah istrinya yang tidak mau diam, akhirnya membalikan badan menghadap sang istri. "Kalau enggak bisa tidur kasih tahu," ucap Halim sambil memeluk sang istri. Hany hanya tersipu malu, dia tidak akan bisa tidur kalau tidak berada di pelukan suaminya, hal itu yang membuatnya selalu mengikuti kemana Halim pergi. Tak lama keduanya kembali terlelap, hingga alarm membangunkan Hany. Wanita itu melihat jam di dinding sudah menunjukan pukul empat t