Malam ini seperti biasa, aktivitas di rumah Ririn mulai menyiapkan makan malam. Saat sore tadi mamak bilang suruh rebus beton(biji nangka), biar bisa buat cemilan malam.
Makan malam ini pakai lauk ikan goreng dari hasil pancingan sore tadi, tapi yang membuat selera makan lebih nikmat ada sambal terasi dan sayur bening kacang panjang.
Setelah selesai makan Ririn ikut membantu Mamaknya menyimpan sisa nasi ke dapur, sekalian dia bikin minum buat bapak kopi hitam dengan gula satu sendok takar.
Gadis itu menghidangkan beton di mangkuk, bapak hanya tersenyum sambil menikmati rokoknya saat melihat apa yang dibawa anaknya.
"Mbak...kok dapat beton dari mana?" tanya Reno sambil mengupas kulit beton.
"Mamak tadi yang mengambil dari lokasi(sawah belakang rumah)," jawab Ririn sambil ikut mengupas kulitnya.
Kami duduk sambil makan beton, ini kuaci ala kami di rumah. Kalau masih hangat enak empuk dan gurih karena dikasih garam tadi waktu merebusnya.
"Mbak kalau digoreng enak enggak ya?" tanya Reno, belum sempat aku menjawabnya bapak sudah menyela membuat kami semua langsung terdiam.
"Makan saja, enggak usah banyak tanya!" kata bapak.
Kami langsung diam saat bapak yang jarang ngomong, sekali ngomong langsung bikin anak-anaknya tidak berkutik.
Ketiganya diam satu persatu mulai kabur dan masuk kamar, Ririn hanya terkekeh melihatnya.
"Nduk, kamu jadi lusa pergi ke kota?" tanya Bapak sambil menatap Ririn.
"Apa boleh, Pak?" tanya Ririn sambil menunduk.
Bapak hanya diam, beliau menarik nafas panjang, gadis itu tahu apa yang bapak pikirkan. Pasti uang buat ongkos nantinya, tapi Ririn agak takut kalau harus bilang mbak Mynah mau pinjami uangnya dulu.
Mamak datang ikut bergabung, sambil membawa sesuatu di genggaman tangannya."Kalau mau pergi, ya pergi saja!" kata Mamak sambil melirik ke Bapak.
Bapak yang dilirik mamak hanya melengos, saat itulah Ririn merasa sedih. Namun, alangkah baiknya ia menunggu ada uang dulu untuk ke kota.
"Jangan terlalu dipikirkan, Pak," kata Ririn
"Bapak maunya kamu itu bantu di sawah dulu menanam padi, dari pada diborongkan lebih baik tanam sendiri," ujar bapak.
"Iya...Pak, nanti aku bilang ke mbak Mynah kalau lain kali saja," jawab Ririn.
"Bagaimana, Mak?" tanya bapak ke mamak.
"Ya ... terserah kamu to, Nduk," jawab Mamak
Aku hanya tersenyum, senang melihat keduanya kembali lagi akur setelah mendapat kesepakatan bersama.
Ririn segera beranjak dari teras untuk masuk rumah, ia terlihat begitu capek dan ingin segera bergulung di tikar pandan yang hangat.
Setelah kepergian Ririn, sepasang suami-istri itu hanya diam, entah apa yang sedang mereka pikirkan.
"Pak, coba cari pinjaman, tempat Wak," kata Mak Wati sambil menatap wajah suaminya yang terlihat semakin menua dimakan umur yang tak muda lagi.
"Coba besok ya Mak, kalau ada rezeki kita jual saja sepeda satu sama ayam jago (jantan) yang lima ekor itu," kata bapak sambil menghisap puntung rokok yang sudah pendek.
Pak Yanto entah mengapa sangat berat melepaskan putri bungsunya untuk pergi ke kota, Ririn itu anaknya polos ada rasa khawatir, apalagi kata adiknya kalau nantinya yang di jaga anaknya nakal karena cucu pertama.
Lelaki paruh baya itu menghisap rokoknya untuk terakhirnya, kemudian mematikan dengan cara di pijak. Pak Yanto masuk, saat sampai depan kamar Ririn dan Rini menghentikan langkahnya. Dibukanya harden pintu, dilihatnya kedua anak gadisnya sudah tertidur nyenyak walau hanya beralaskan tikar pandan.
"Maafkan bapak, Nduk." kata Pak Yanto lirih.
Pak Yanto menutup kembali gorden pintu anaknya, saat akan mengambil air putih dilihatnya istrinya duduk di dekat dipan yang ada di dapur.
"Ada apa, Mak? kok malah nangis, hem?" tanya bapak yang ikut duduk disamping istrinya.
"Pak aku kok sedih, Ririn itu enggak pernah minta apa-apa. Anaknya juga menurut, tapi melanjutkan sekolah saja kita enggak sanggup," ujar Mamak
"Lah, Bapak harus bagaimana, Mak?" tanya pak Yanto sambil menghela napas dalam.
"Aku juga enggak ngerti, Pak!" seru Mak Wati
"Bagaimana kalau kita gadaikan sawah saja? besok Bapak ke rumah Juragan, nanti uangnya bisa buat ongkos Ririn dan setengahnya buat beli pupuk."
"Yo ... wes Pak, aku mau bobok," kata Mamak sambil beranjak dari tempat duduknya menuju kamar belakang dekat dapur.
Tanpa keduanya sadari, ada yang diam-diam mendengarkan perbincanganya. Ririn yang terbangun karena merasa haus, ia pun pergi ke dapur, belum sampai ke tempat tujuannya gadis itu tanpa sengaja mendengarkan perbincangan orang tuanya.
Ririn bersandar di dinding yang terbuat dari anyaman bambu, ia begitu paham tidak setiap hari memegang uang, kalau mau ada pegangan uang harus ikut borongan kerja ke sawah.
Gadis itu memejamkan matanya, rasanya begitu sesak di dada saat mendengar perbincangan kedua orang tuanya tadi. Bulir-bulir bening yang sedari tadi ditahannya tanpa permisi mengalir membasahi kedua pipinya.
Ririn ingat nasehat Mamaknya, kalau kita ini harus bersyukur kepadaNya. Masih diberi kesehatan, bisa makan setiap hari walaupun pagi makan ketela. Gadis itu tersenyum, selama ini ia merasa sendiri. Namun, di luar sana masih banyak yang lebih menderita dari padanya.
"Setidaknya aku mempunyai keluarga yang selalu ada untuk berbagi," katanya Lirih sambil naik ke dipan untuk meluruskan tubuhnya.
***
Pagi harinya seperti biasa suara komprang- komprang dari dapur menjadi alarm untuk gadis kecil yang masih bergulung di atas tikar pandan.
Sebelum suara gedoran di dinding kamarnya Ririn enggan bangun, benar apa yang ditunggunya Mamak mengedor dinding dari anyaman bambu itu membuat Ririn tersenyum.
Ririn berjalan dengan langkah gontai menuju dapur, ia duduk di dipan kecil yang biasa buat duduk Bapak sambil minum kopi hitam.
"Rin, sebelum buka kandang kamu tangkap ayam jago lima ekor dulu ya!" perintah Mamak.
"Buat apa Mak?" tanyanya sambil menatap wajah mak Wati yang berkeringat.
"Mau dijual... to, Nduk," jawabnya sambil mengangkat dandang panas dari tungku.
Tanpa menunggu lama gadis itu melangkahkan kakinya menuju ke kandang ayam belakang rumahnya.
Perlahan ia membuka pintu kandang, karena masih mengantuk ia tak sengaja kepalanya membentur kayu yang melintang di pintu kandang.
Gadis itu hanya meringis menahan sakit, Ririn menyalakan senternya untuk menangkap Ayam jago sesuai pesanan Mamak.
Ririn keluar dari kandang di iringi suara ayam jago yang petak - petok, Bapak datang membawa kurungan dua biji untuk mengurung ayam jago itu.
"Nduk, kamu kasih makan dulu biar kenyang," kata Bapak.
Ririn segera mengambil berasa dan jagung ia tabur di dalam kurungan itu, setelah itu ia segera membuka kandang bebek dan ayam supaya keluar.
Saat ia melintasi kandang kambing, seakan kambing tau kalau Ririn akan kasih makan. Diambilnya sisa rumput yang belum di letakkan di atas kandang. setelah selesai gadis itu menarik nafas panjang sambil tersenyum menatap tiga ekor kambing.
"Kamu ya bing! jam segini sudah sarapan, aku saja belum," kata Ririn sambil turun dari kandang kambing.
Sampai bawah ia melihat Bapak sedang mengasah golok dan cangkul.
"Kamu itu kalau edan, jangan ajak-ajak kambing," kata bapak sambil tertawa lepas.
Ririn hanya tersenyum menanggapi ucapan Bapaknya, kemudian ia masuk ke dapur, sambil memeluk mamak.
"Ya ... ampun Rin! mandi sana. Anak gadis kok bau perengus," kata Mamak.
"Mbak bauk kambing," sahut Rini sambil tersenyum.
Gadis itu hanya cemberut saat sang adik yang baru siap mandi mengejeknya. Rini yang sekarang sudah masuk SMP. Ia berharap adiknya kelak bisa melanjutkan ke jenjang SMA.
Setelah dua puluh menit gadis itu siap membersihkan badan, tidak lupa ia mencuci baju kotor adik dan kedua orang tuanya.
Tangannya begitu lihai saat menyikat baju dinas punya Bapak, karena kata Mamak harus di sikat supaya bersih. Kini ia tinggal menjemur baju yang sudah siap di cuci.
"Rin, nanti siap sarapan kamu ikut Mamak ya!" titah mamak
"Njeh gusti ratu," jawabnya sambil mengambil pisang goreng yang masih panas.
"Ingat nanti di sana jangan dekat-dekat Bagas," kata Mamak.
"Enggaklah Mak, penggemarnya banyak di sini," jawab Ririn sambil tersenyum
"Mak senang kalau kamu sadar, Nduk!" jawab mak Wati
Ririn hanya menarik napas, dulu waktu SMP ia dekat dengan Bagas saat pemuda itu pulang liburan. Sekarang dia pulang karena Kakaknya mau menikah. Gadis itu segera bersiap-siap untuk pergi membantu di rumah juragan Halim orang terkaya di kampungnya.
"Nduk jalan kaki saja ya," kata Mamak sambil mengunci pintu.
"Iya Mak," jawab Ririn sambil berjalan beriringan menuju rumah juragan.
Rumah yang besar, kini tertutup tenda di halamanya. Ririn segera bergabung dengan Ibu-ibu yang lainya. Remaja karang taruna di desanya turut membantu di rumah juragan, Mela datang menghampiri Ririn yang sedang membungkus kue mendut.
"Rin, dipanggil Mas Bagas," ucap Mela
Ririn hanya menoleh ke arah Mela, tapi tak berapa lama ia mengikuti sahabatnya. Masuk keruangan yang biasanya banyak kursi, tapi sekarang terlihat lapang.
Dilihatnya Bagas yang sedang mengobrol dengan pemuda desa yang lainya. Pria itu tersenyum saat melihat Ririn datang.
"Rin sini," kata Bagas
"Ada apa to Mas?" tanya Ririn sambil duduk lesehan dekat Bagas.
"Kenapa kamu enggak lanjut sekolah, Dek?" tanya Bagas sambil menatap mata gadis di depannya dengan intens.
Ririn hanya menarik napas panjang, ia sebenarnya tidak ingin membahas masalah ini lagi. Apa lagi banyak orang di sekitarnya.
"Maaf Mas saya mau bantu di dapur lagi," elak Ririn
"Rin!" panggil Bagas, tapi gadis itu tetap berjalan menuju dapur.
Bagas hanya mengusap wajahnya dengan kasar, tapi ia sadar tidak akan memaksa gadis itu untuk bercerita.
Sore harinya rumah juragan semakin ramai, karena saudaranya mulai berdatangan. Ririn yang hendak pamit, dikejutkan dengan pelukan anak perempuan yang menangis memanggilnya Unda.
"Unda, jangan pergi lagi hiks ….." Suara tangisnya membuat gadis itu menunduk mensejajarkan tubuhnya dengan anak kecil yang sedang menangis.
"Kamu mencari Bunda?" tanya Ririn sambil tersenyum menatap wajah imut balita itu.
"Mbak mau membantu mencari Bundamu, tapi dengan syarat kamu harus diam. Anak cantik enggak boleh menangis nanti cantiknya diambil Wewe," ujar Ririn
"Unda Wewe itu apa?" tanya Sasa dengan polos.
"Oh, itu si Wewe yang cantik," jawab Ririn sambil terkekeh melihat anak kecil yang percaya saja dengan omongannya.
Ririn mengajak anak itu masuk kembali ke rumah juragan, saat ia akan menanyakan Bundanya muncul pria menjulang tinggi di depanya.
"MasyaAllah, kayak Ari Wibowo," gumam Ririn.
Adam yang melihat putrinya dengan orang asing menatap tajam ke arah wanita yang kini terpaku menatapnya.
Adam yang melihat gadis di depannya hanya diam mematung langsung menyentil kening Ririn dengan keras.
"Aduh!" teriak Ririn sambil mengusap keningnya yang rasanya panas.
Bersambung ya...
penasaran ikuti episode selanjutnya
Jangan lupa subscribe dan dukung dengan cara komen dan tekan bintang lima ya. Insyaallah up setiap hari. Aa zigant.
"Kamu mau menculik anak saya, hah!" Bentaknya. "Eh copot! siapa yang mau culik, Mas. Anak ini kehilangan Bundanya, makanya saya mau mengantarnya. Main tuduh culik saja!" kata Ririn kesal. "Dasar gadis aneh!" Umpatnya sambil pergi menggendong putrinya meninggalkan Ririn yang mulutnya masih komat-kamit mengumpatinya. "Untung ganteng, tapi sayang kaku seperti kanebo," gerutu Ririn Tanpa menunggu lama Ririn berbalik, tapi ia dikejutkan dengan munculnya ibu Hani istri juragan Halim. "Rin, sini ikut Ibu," ucap Hany sambil tersenyum menarik tangan gadis itu menuju ruangan dimana tempat keluarga besar juragan berkumpul. Deg, dada Ririn terasa sesak saat melih
Menjalani memang tak mudah memutuskan, itulah yang kini melintas di otak Ririn, sejak dia batal ke kota untuk mencari kerja, gadis itu memantapkan hatinya untuk membantu kedua orang tuanya di sawah. Sampai di rumah dia melihat Rini sedang mencuci piring bekas sarapan tadi, adiknya hanya tersenyum melihat sang Kakak yang baru pulang. "Mbak mandi sana, kok malah santai," kata Rini sambil menyusun piring yang sudah bersih. "Dek, nanti kalau mbak mau ke kota apa kamu enggak apa-apa?" tanya Ririn sambil menatap punggung Rini yang sedang sibuk menata gelas di rak. "Iya nggak papa, Mbak. Kata Bapak batal, tapi Juragan menyarankan bisa ke kota kerja sama mertuanya, apa Mbak mau?" tanya Rini. Ririn terdiam, walau dalam hati dia i
"Ririn pingsan, Pak!" seru mak Wati "Kenapa bisa, Mak?" tanya Pak Yanto sambil bertanya kepada istrinya. Tak lama Ririn membuka matanya, dilihatnya banyak tetangga dan juragan juga, gadis itu mencoba bangun walau kepalanya masih pusing, Mak Wati memberikan teh hangat untuk putrinya. "Kamu kok bisa pingsan di kandang kambing, Nduk?" tanya Mak Wati. "Tadi Ririn lihat sesuatu yang mengerikan, Mak," jawab Ririn lemah "Gendruwo lagi, Mbak?" tanya Rini. Ririn hanya mengangguk sambil bergidik ngeri ingat apa yang dilihatnya tadi, tak lama para warga pamit begitu juga dengan juragan sedangkan Adam menatap gadis yang juga menatapnya dengan datar. "Sekarang kamu istirahat, biar besok enggak telat," kata Mak Wati. "Iya Mak," jawab Ririn. Tak lama Ririn berjalan ke kamarnya untuk istirahat. ***** Mentari pagi mulai mengintip dari celah-celah langit, dedaunan yang masih basah terlihat segar terselimuti embun.
Mobil yang dikemudikan oleh mang Ujang, tanpa terasa sudah sampai di depan rumah berlantai dua. Ririn begitu takjub melihat halaman yang luas dan taman dipenuhi berbagai bunga yang terlihat terawat. Adam selama di mobil hanya diam, pria itu kembali lagi dingin sejak bertemu dengan mantan istrinya di Bandara tadi. Melihat majikanya cuek kepada wanita yang duduk di sebelahnya, mang Ujang mengajak Ririn turun, sedangkan gadis itu tidak menyadari kalau pria di sebelahnya tadi sudah tidak ada lagi di mobil. "Mang, ini rumah Ibu Mirna?" tanya Ririn sambil menatap pintu besar di depanya. "Iya Non," jawab mang Ujang. "Mang, jangan panggil, Non. Saya ke sini mau kerja." ujar Ririn sambil mengikuti mang Ujang yang berjalan lebih dulu.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti, tanpa terasa Ririn sudah hampir tiga tahun bekerja di rumah Ibu Mirna. Gadis itu setiap bulan minta tolong ke majikanya untuk mengirimkan uang gajinya ke juragan Halim. Semenjak ia merantau belum pernah sekali pulang, karena menurutnya daripada uangnya buat ongkos pulang lebih baik dikirim ke orang tuanya! apa lagi sekarang Bapak sedang ingin membangun rumah, karena rumahnya yang dulu dindingnya sudah mulai rapuh. Rumah di kampung yang dulunya hanya berdinding anyaman bambu, kini Bapak menggantinya dengan papan. Gadis itu juga begitu senang saat juragan dan istrinya berkunjung ke Jakarta. Ibu Hany mengatakan kalau keluarganya di kampung baik-baik saja dan sekarang rumahnya sudah bagus. Ririn yang mendengar itu, ingin sekali dia pulang, rasa rindu dengan
Tak lama handphone Adam bergetar, pesan dari Mamanya menyuruhnya menjemput Sasa dan membawanya ke rumah sakit tak jauh dari tempatnya berada. Adam tanpa pamit ia langsung membayar makananya, pria itu baru ingat kalau sudah meninggalkan Ririn di sekolah tadi. "Astagfirullah, kok bisa aku tinggalin gadis aneh itu!" kata Adam dengan memukul kemudi dengan keras. Sampai di sekolah Adam melihat putrinya sudah menunggunya, Sasa yang melihat Ayahnya yang datang hanya sendiri merasa sedih. "Maaf. Ayah terlambat, sayang." Kata Adam sambil menggendong putrinya. "Ayah, Bunda mana?" tanya Sasa saat masuk ke mobil Ayahnya. "Bunda, mungkin sudah ada di rumah, Nak." Jawab Adam dengan lembut
Pagi ini tak secerah biasanya, matahari tampak malu-malu menunjukkan sinarnya. Awan hitam menutupi keindahan dari pencerah bumi, pertanda akan segera turun hujan. Di kamar yang besar, Ririn sedang melihat ke arah jendela sambil termenung, entah apa yang dipikirkannya Setelah hampir dua minggu ia istirahat, dia tidak pernah lagi bertemu Adam. Pagi ini semua libur karena hari weekend. Ibu Mirna selalu mengajak cucunya untuk berjalan pagi ke taman. Tadi Ririn hendak ikut, tapi wanita paruh baya itu melarangnya karena luka di kaki dan tangannya belum kering betul. Ririn keluar dari kamar saat jam menunjukan pukul sebelas siang, rumah terlihat sepi. Dia berjalan menuju dapur, dilihatnya Bik Imah sedang membuat sesuatu. Gadis itu mendekati wanita paruh baya itu sambil mengejutkannya. "Dor," teriak Ririn mengejutkan Bik Imah. "Copot-copot, copot!" latah bik Imah sambil melempar spatula dari tangannya. "Ririn!" teriak Bik Ida yang terkena sasaran spat
Setelah satu minggu istirahat, Ririn sudah bisa berjalan normal. Bik Imah benar-benar merawatnya seperti yang diperintahkan oleh Adam. Pria itu tidak main-main semenjak kejadian seminggu yang lalu dia sering menanyakan keadaan kaki gadis aneh itu. Sasa yang melihat Bundanya sudah bisa berjalan lagi begitu senang, gadis kecil itu langsung memeluk Ririn yang berjalan menghampirinya. "Bunda sudah sembuh?" tanya Sasa dengan senyum yang menggemaskan. "Alhamdulillah sudah, sayang. Sasa enggak sekolah, Nak?" tanya Ririn merasa heran karena sudah jam sepuluh anak asuhnya masih ada di rumah. "Hari ini tanggal merah, Bunda,"Jawab Sasa sambil menarik tangan Ririn untuk duduk bersamanya di gazebo. "Oh, maaf Bunda lupa," ujar Ririn s