Share

Aku bukan penculik

"Kamu mau menculik anak saya, hah!" Bentaknya.

"Eh copot! siapa yang mau culik, Mas. Anak ini kehilangan Bundanya, makanya saya mau mengantarnya. Main tuduh culik saja!" kata Ririn kesal.

"Dasar gadis aneh!" Umpatnya sambil pergi menggendong putrinya meninggalkan Ririn yang mulutnya masih komat-kamit mengumpatinya.

 "Untung ganteng, tapi sayang kaku seperti kanebo," gerutu Ririn

 Tanpa menunggu lama Ririn berbalik, tapi ia dikejutkan dengan munculnya ibu Hani istri juragan Halim.

 "Rin, sini ikut Ibu," ucap Hany sambil tersenyum menarik tangan gadis itu menuju ruangan dimana tempat keluarga besar juragan berkumpul.

 Deg, dada Ririn terasa sesak saat melihat Bagas dan wanita lain sedang bercanda terlihat seperti sepasang kekasih.

 "Rin!" kata Bagas yang terkejut saat melihat gadis itu.

 Ririn hanya tersenyum menanggapinya, kemudian ia dipeluk lagi oleh anak kecil tadi.

"Unda," kata Sasa sambil memeluk kaki Ririn.

 "Eh, Bundanya belum ketemu juga?" tanya Ririn sambil mengusap kepala bocah kecil itu.

 Semua yang di ruangan itu memperhatikan interaksi keduanya, sedangkan Adam hanya menarik napas panjang.

 "Ini Unda Sasa," jawab bocah kecil itu sambil duduk di pangkuan Ririn.

"Lah, kapan saya melahirkan kamu, ya ampun aku masih perawan, Nduk," Kata Ririn gemes sambil menoel pipi gembul anak yang nama Sasa.

Ibu Hani melihat itu merasa sedih, apa serindu itu Sasa dengan Bundanya yang tega meninggalkanya saat anak itu berumur satu bulan.

 "Ririn besok kamu memakai pakaian ini ya, Nak!" kata Ibu Hani sambil tersenyum.

 Ririn hanya mengangguk, kalau boleh jujur dia tidak ada baju untuk kondangan besok.

 Setelah itu Ririn pamit, tapi sebelumnya ia memindahkan Sasa yang sudah tertidur di pangkuannya.

 Sesampainya di rumah tiba-tiba gadis itu memekik karena telinganya ditarik oleh Mamak.

 "Aduh, Mak sakit ampun!" teriakRirin sambil meringis.

 "Mamak udah bilang jangan dekat-dekat Bagas dan keluarganya!" bentak mak Wati

 Ririn hanya menunduk, apalagi mata Bapak sudah menatapnya tajam.

 "Besok kamu ke sawah saja petik cabe, enggak usah datang lagi ke rumah juragan. Kamu itu sadar Rin! kita ini siapa!" kata Bapak dengan suara naik satu oktaf dari seperti biasanya.

 Ririn hanya diam, gadis itu tak berani menjawabnya karena itu akan membuat emosi Mamak dan Bapak semakin meradang.

 Setelah kepergian kedua orang tuanya, Rini datang memeluk Kakaknya sambil terisak.

"Kamu kenapa menangis, Dek?" tanya Ririn.

 "Tadi Mamak juga marah sama aku, Mbak!" kata Rini sambil mengusap air matanya.

 "Ya sudah, Dek. Besok bantu Mbak ke sawah saja memetik cabe ya," ucap Ririn sambil tersenyum menatap Rini yang hanya mengangguk menanggapi ucapan Mbaknya.

 Semenjak kejadian Sore tadi, Ririn dan Rini sedang mengikat kacang panjang yang akan dijual bapak besok pagi ke pasar, sedangkan Mamak memilih terong ungu mana yang pantas untuk dijual. Bapak selain petani Padi, dia juga menanam beberapa sayuran.

Seperti sekarang ini panen kacang panjang, cabe rawit dan cabe keriting. Semua itu hasil panen hari ini, Bapak masih diam saja sedari tadi. Sampai suaranya terdengar mengejutkan kedua anaknya.

 "Rin, kamu enggak jadi berangkat ke kota! Padahal uang buat ongkos sudah ada," kata Bapak

"Karena apa, Pak?" tanya Ririn penasaran.

Ririn terkejut, ia kembali lagi kecewa karena tidak bisa bekerja di kota. Gadis itu belum tahu apa alasannya.

 "Kamu yang sabar saja, Nduk. Nanti kalau sudah cukup umurnya bisa buat KTP," ucap mamak sambil mengangkat keranjang yang sudah penuh dengan terong ungu.

 "Iya Pak, enggak apa-apa. Di desa juga bisa bantu di sawah nanti," jawab Ririn sambil kembali lagi mengumpulkan kacang panjang yang akan di jual besok pagi.

 "Tadi Bapak bicara dengan adik juragan Halim, kalau kamu itu masih di bawah umur. Jadi belum boleh bekerja, Nduk" jelas bapak.

 Ririn yang baru paham hanya menganggukan kepalanya, harusnya dia sekolah. Namun, karena kondisi ekonomi keluarganya yang tidak memungkinkan  membuat gadis itu berhenti untuk menempuh pendidikan ke jenjang selanjutnya.

“Jangan putus asa, dua tahun lagi baru bisa ikut kerja ke kota, Nduk," hibur mamak yang melihat anaknya hanya diam saja.

 "Sore tadi ada yang bilang kamu ngobrol lagi sama Bagas! Mamak tahu kamu berteman dengan dia dari kecil," ujar Mamak

"Mak, Ririn hanya anggap Bagas itu seperti Mas sendiri, lagian jangan terlalu mendengarkan kata tetangga," jawabnya sambil menatap Bapaknya.

"Bukan apa-apa, Nduk. Mamak hanya tidak ingin ada yang membicarakanmu di belakang," jelas mak Wati

"Iya Pak, lagian Ririn masih kecil. Belum berani namanya kayak gitu," kata Ririn sambil memasukan kacang panjang yang sudah selesai di ikat.

Setelah selesai membantu kedua orang tuanya Ririn dan Rini segera beristirahat di kamarnya masing-masing. Sesampai di kamar Ririn menatap fotonya dengan ketiga sahabatnya yang sekarang sudah sekolah di kota.

Air matanya menetes, niatnya untuk pergi bekerja gagal karena belum cukup umur. Gadis itu duduk di tepi dipan di kamarnya. Ia bingung bagaimana caranya membantu keuangan keluarganya sekarang, karena sudah sangat lelah dia berbaring sambil memeluk bingkai foto sahabatnya.

Baru saja gadis itu terlelap terdengar suara keributan dari luar, dengan mata mengantuk Ririn berjalan mendekati arah suaranya. Dilihatnya ada Juragan sedang berbicara dengan Bapak terlihat serius.

"Ada apa, Mak?" tanya Ririn sambil menatap Mamak yang masih memperhatikan kedua pria itu.

Bapak tiba-tiba menatap anaknya yang berdiri tak jauh dari istrinya, begitu juga Juragan menatap Ririn. Namun, kemudian tersenyum.

"Rin, kamu ikut Juragan sekarang!" titah Bapak sambil menatap anak gadisnya dengan tatapan yang berbeda.

Mamak yang penasaran, mendekati Bapak dan juragan yang masih duduk di bangku ruang tamu. Bapak menjelaskan ke Mamak kalau ponakan Juragan menangis dari jam sembilan sampai sekarang belum diam.

"Rin, sudah pergi sana. Sajak kapan kamu jadi pawang anak?" tanya mamak pelan.

 "Enggak tahu juga, Mak" jawabnya sambil keluar rumah mengikuti Juragan.

Juragan yang membawa motor, menyuruh Ririn untuk naik biar cepat sampai rumahnya. Tanpa menunggu lama gadis itu naik, udara di malam hari membuatnya merinding apalagi sekarang sudah hampir jam dua.

Sampai Rumah Juragan masih terdengar suara tangis bocah kecil itu, Ibu Hany yang melihat suaminya datang dengan Ririn langsung tersenyum. Ditariknya tangan gadis itu dan membawanya masuk ke kamar di mana ada Sasa yang masih menangis sambil memanggil nama Unda.

Adam yang melihat Kakaknya datang bersama gadis aneh tadi siang hanya menautkan kedua alisnya, Pria itu sudah terlihat putus asa membujuk putrinya yang tidak mau diam.

"Sasa, lihat siapa yang datang!" seru Ibu Hany sambil mengusap kepala anak umur empat tahun itu. Sasa membuka matanya sambil melihat seseorang.

 "Unda!" serunya

 Ririn tersenyum sambil menghampiri anak kecil yang mengulurkan tangan ke arahnya.

 "Jangan menangis lagi ya, nanti cantiknya hilang," bujuk Ririn ke Sasa

 "Diambil wewe ya, Unda," jawabnya sambil menyandarkan kepalanya ke dada Ririn.

 Adam yang melihat itu hanya bisa meringis, dadanya begitu sesak melihat anaknya merindukan sosok seorang bunda di hidupnya. Melihat pemandangan di depan, Ibu Hany mengusap bahu Adam dengan lembut.

 "Apa dia sering seperti ini?" tanya Hany ke Adam

 "Tidak Mbak, ini pertama kalinya saat melihat gadis aneh itu," jawab Adam datar

 "Astagfirullah, itu mulut bisa di filter enggak, Dam!" kata Hany kesal.

 Adam hanya diam kemudian dia keluar dari kamar, membiarkan putrinya tidur dengan gadis yang menurutnya aneh. Saat pria itu sampai ruang tengah ia melihat Abangnya sedang duduk di sofa sambil mengurut keningnya.

"Kalau pusing istirahat, Bang!" katanya sambil duduk di depan Halim

 "Eh, kamu Dam. Bagaimana apa sudah tidur?" tanya Halim

Adam hanya menganggukan kepalanya, walaupun Abangnya tidak menyebutkan namanya. Namun, dia tahu siapa yang dimaksud. Malam semakin larut dilihatnya benda kecil yang melingkar di tangan.

Waktu sudah menunjukan jam tiga, kenapa gadis aneh itu belum keluar dari kamar. Enggak mungkin ia tidur di sofa, bisa-bisa besok badannya remuk semua.

 'Fani, andai kamu bisa melihat putrimu sangat merindukan kehadiranmu saat ini,'

Adam menyugar rambutnya ke belakang, karena matanya sudah sangat mengantuk ia masuk kamar. Dilihatnya putrinya sedang tidur nyenyak sambil memeluk erat Ririn yang dijuluki gadis aneh.

Adam mengembangkan bibirnya sedikit, saat melihat gadis aneh itu tidur sambil menepuk punggung Sasa dengan pelan di saat putrinya bergerak. Ada rasa hangat dalam hatinya, tapi sedetik kemudian senyum itu pudar. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar.

"Astagfirullah Dam," kata hatinya sambil membuang pikiran kotornya.

Mana mungkin ia seorang pria dewasa memikirkan gadis bau kencur, tak ingin berlama-lama berada satu ruangan dengan wanita. Adam langsung keluar kamar dan berbaring di sofa, karena sudah sangat lelah akhirnya dia bisa terlelap.

Pagi yang cerah matahari sudah bersinar menembus dari celah jendela kamarnya, Ririn yang baru terbangun dari tidur nyenyaknya kemarin, belum menyadari kalau dia masih di rumah juragan Halim.

Ririn merasa aneh, sejak kapan tikar pandan terasa empuk seperti kasur. Gadis itu mencoba turun dari ranjang, tapi saat akan menggerakan kakinya tanpa sengaja melihat ke sisi kiri, matanya langsung melebar saat dia mengingat  masih di rumah juragan.

Buru-buru turun dari ranjang, saat hendak meraih handle pintu tiba-tiba pintu terbuka dari luar. Bark ..., hingga membuat tubuh gadis itu tersungkur ke lantai.

"Aduh .... Huwaa ... Mamak," teriak Ririn membuat pria yang tak lain Adam langsung membekap mulut Ririn."

"Jangan berisik! makanya jangan berdiri di belakang pintu!" bentak Adam

"Harusnya saya yang marah sama Anda!" balasnya dengan tatapan tidak kalah tajam dengan Adam.

"Dasar aneh, awas keluar sana!" usir Adam sambil melewati begitu saja gadis yang masih terduduk di lantai.

Ririn hanya bisa menggeram kesal sambil mengepalkan kedua tangannya, ingin rasanya ia menghajar lelaki yang sudah membuatnya emosi saat baru bangun. Baginya pagi ini merupakan hari yang melelahkan, gadis itu berjalan menuju dapur.

Mamak yang melihat anak gadisnya baru bangun langsung menghampirinya, dicekalnya tangan Ririn membuat gadis itu meringis menahan sakit. Wanita itu membawanya keluar rumah juragan.

"Mak, jangan ditarik-tarik gini sakit," keluh Ririn sambil meringis menahan sakit di tangannya.

"Kamu itu anak perawan, Nduk. Ini sudah jam berapa baru bangun? jangan bikin malu Mamak sama Bapak, Rin. Sudah tidur di rumah orang, bangun kesiangan!" kata Mamak pagi-pagi sudah memberikan siraman rohani.

Saat Ririn akan menjelaskan, tapi sayangnya Emaknya sudah keburu pergi meninggalkannya sendiri. Gadis itu hanya bisa menghela napas, dia berjalan dengan langkah gontai menuju rumahnya.

Dari jauh Adam yang tidak sengaja mendengar Ririn dimarahi merasa iba, tetapi kemudian ia menyadari kenapa harus memikirkan gadis aneh itu, tapi entah mengapa ada perasaan aneh.

"Apa ini yang di nama," kata Adam langsung berhenti saat melihat siapa yang di depannya sekarang.

Aa Zigant

Jangan lupa subscribe dan dukung dengan cara komen dan tekan bintang lima ya. Insyaallah up setiap hari. Aa zigant.

| Like

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status