Menjalani memang tak mudah memutuskan, itulah yang kini melintas di otak Ririn, sejak dia batal ke kota untuk mencari kerja, gadis itu memantapkan hatinya untuk membantu kedua orang tuanya di sawah.
Sampai di rumah dia melihat Rini sedang mencuci piring bekas sarapan tadi, adiknya hanya tersenyum melihat sang Kakak yang baru pulang.
"Mbak mandi sana, kok malah santai," kata Rini sambil menyusun piring yang sudah bersih.
"Dek, nanti kalau mbak mau ke kota apa kamu enggak apa-apa?" tanya Ririn sambil menatap punggung Rini yang sedang sibuk menata gelas di rak.
"Iya nggak papa, Mbak. Kata Bapak batal, tapi Juragan menyarankan bisa ke kota kerja sama mertuanya, apa Mbak mau?" tanya Rini.
Ririn terdiam, walau dalam hati dia ingin kerja jaga toko, tapi kalau untuk sementara kerja di rumah mertuanya juragan enggak apa-apa juga, batinya.
"iya, mbak mau!" seru Ririn.
Ririn mengambil handuk langsung menuju ke kamar mandi samping rumahnya, setelah lima belas menit ia selesai membersihkan diri, gadis itu langsung mengambil sarapan. Sedang asik makan di ruang tengah Rini datang menghampirinya.
"Mbak masih lama makannya?" tanya adiknya di dekat pintu.
"Udah siap," jawab Ririn dengan mulut penuh nasi.
Rini hanya terkekeh melihat tingkah Kakaknya itu, sudah besar tapi kalau makan seperti anak kecil.
"Ada apa, Dek?" tanya Ririn setelah minum air putih.
"Di depan ada adik Juragan dan Mas Bagas," ucap Rini
Ririn dengan santai berjalan menuju teras, memang betul apa yang dikatakan oleh adiknya, Adam duduk di bangku teras sambil memperhatikan Sasa yang sedang bermain kejar-kejaran dengan Bagas."Ada apa. Pak?" tanya Ririn sambil melihat pria dewasa di depanya.
"Aku bukan Bapak mu!" kata Adam ketus.
"Ya Allah itu bibir ketus amat!" cibir Ririn
Ririn kembali lagi masuk ke rumah, ia membuat minum untuk tamunya, tidak lupa ia hidangkan kue bolu entah dari mana asalnya.
"Diminum kopinya, Bang,"tawarnya sambil tersenyum seramah mungkin.
"Sejak kapan aku jadi Abangmu!" sahut Adam
"Terserah!" kata Ririn tak kalah ketus.
Adam hanya diam, dilihatnya kopi yang masih mengepul asapnya itu. Bagas yang melihat Ririn sudah di luar tersenyum lalu menghampirinya.
"Rin, kata Ayahku kamu mau kerja di rumah Nenek?" tanya Bagas
"Belum pasti, Mas," jawabnya sambil mengangkat Sasa duduk di pangkuannya.
Adam mendengar jawaban gadis aneh di sampingnya mengerutkan keningnya, seingatnya Mamanya bilang kalau Ririn akan membantu Mbak Sum di rumah. Namun, dia tidak akan bertanya pada wanita yang sedang asyik bermain dengan putrinya.
Bagas yang ditarik oleh Sasa akhirnya mengikutinya mengejar ke capung di halaman rumah Ririn, hal itu membuat Adam dan Ririn tersenyum bersamaan saat anak itu gagal menangkapnya.
"Maaf," kata Adam sambil menundukan kepalanya.
Ririn merasa bingung saat Adam mengatakan kata maaf, ia melihat ke sampingnya, tepatnya ke pria yang masih menundukan kepalanya itu.
"Anda minta maaf ke siapa?" tanya Ririn yang merasa bingung.
"Capung," jawab Adam singkat.Ririn yang mendengar jawaban itu langsung tertawa, tapi sedetik kemudian ia terdiam. Gadis itu merasa penasaran di mana Bundanya Sasa sebenarnya.
"Pak, kenapa Bundanya Sasa enggak diajak ke desa?" tanya Ririn karena merasa penasaran.
Adam menatap gadis aneh di sampingnya, dia tidak suka kalau ada yang menanyakan tentang istrinya saat ini. Tujuan ikut ke desa untuk menenangkan diri melupakan segala luka yang telah ditorehkan oleh istrinya.
"Maaf," kata Ririn yang tahu arti dari tatapan tajam pria di sampingnya.
Adam hanya diam, entah mengapa ada rasa ingin menceritakan permasalahan rumah tangganya.
"Bundanya pergi sejak Sasa berumur satu bulan," jawab Adam
Ririn terkejut, tapi dia tidak berani lagi bertanya lebih. Adam tak melanjutkan ucapannya karena itu membuat dadanya sesak.
Ririn merasa iba, saat melihat Sasa yang sedang bermain dengan Bagas, dia tidak bisa membayangkan kalau dirinya yang ada diposisi bocah itu.
Gadis itu melihat ke samping, di mana sosok pria yang sedang tersenyum menatap anaknya yang sedang bermain dengan riangnya. Senyum mengembang di bibir ranum wanita itu saat melihat lesung pipi pria berwajah tampan di sebelahnya.
"Pak, Bundanya Sasa meninggal sakit apa?" tanya Rriin penuh penasaran.
Adam yang mendengar pertanyaan itu terkejut! seketika matanya menatap tajam ke arah gadis aneh di sampingnya. Reflek tangannya menyentil kening Ririn dengan keras.
"Auw ... Bapak!" teriaknya sambil memegang keningnya yang terasa sakit.
"Apa? kamu itu sembarangan kalau bicara! Bunda Sasa masih hidup sampai sekarang," ujarnya dengan tatapan yang berbeda.
"Kalau masih hidup ya biasa saja. Enggak usah pakai menyentil kening saya," ucap Ririn sambil cemberut.
"Iya maaf enggak sengaja," kata Adam sambil melihat kening wanita di sampingnya.
"Apa lihat-lihat! awas nanti naksir," goda Ririn sambil cengengesan.
"Cih, dasar aneh!" guman Adam langsung mengalihkan tatapan ke arah lain.
Karena hari sudah mau sore, gadis itu harus ke sawah memetik cabe sesuai pesan Mamaknya tadi, jika ia mengusir Adam dan Bagas merasa sungkan. Adam yang melihat ke samping, wanita itu terlihat resah, sesekali dia meremas jari-jari tangannya.
"Kamu kenapa?" tanya Adam.
"Pak maaf ya, saya harus petik cabe ke sawah sekarang. Kalau Bapak masih mau duduk di sini enggak apa-apa," kata Rriin sambil tersenyum merasa tidak enak.
Adam hanya tersenyum, kemudian dia mengangguk tanda mengerti. Ririn merasa lega, dengan cepat ia masuk rumah dan menutup pintu.
"Mas Bagas, aku tinggal ya mau ke sawah dulu," pamit Ririn
"Iya Rin, hati-hati," ucap Bagas sambil membalas senyuman Ririn.
Ririn dan Rini segera pergi ke sawah melewati jalan setapak, keduanya kadang bercanda dan berakhir dengan tawa yang menggema dari suara dua gadis anak pak Yanto itu.
Sesampainya di sawah, Ririn segera memetik cabe yang sudah tua, sedangkan adiknya menjauh untuk memetik kacang panjang. Selang satu jam keduanya sudah selesai, keranjang yang tadinya kosong kini sudah berisi penuh dengan cabe dan kacang panjang untuk di jual besok pagi.
"Mbak pulang yuk," ajak Rini sambil memakan buah ciplukan.
"Ayo, Dek jangan banyak-banyak makan ciplukan nanti batuk," ucap Ririn sambil mengangkat keranjang gendongannya.
Rini hanya tersenyum, keduanya berjalan sambil bersenandung lagi koplo yang biasa ia dengar di radio. Tanpa terasa sampai rumah. Bapak yang baru pulang dari rumah juragan segera mengambil keranjang dari Ririn.
"Nduk, ambil saja kacang panjangnya, cabenya langsung bapak antar ke warung depan saja," ujarnya sambil mengambil plastik untuk tempat cabe.
"Ada pesanan ya, Pak?" tanya Ririn sambil membantu bapak memasukan cabe ke kantong kresek.
"Alhamdulillah, kamu siapin baju ya ... besok ikut keluarga juragan Halim ke kota," ucap Bapak.
"Bapak serius?" tanya Ririn seakan tidak percaya.
"Iya, ini nanti uang cabenya buat pegangan kamu besok," kata bapak sambil tersenyum menatap anak gadisnya.
Setelah bapaknya pergi, gadis itu meneteskan air matanya. Ada rasa yang membuncah di dadanya, antara senang dan sedih. Senang karena akhirnya ia bisa bekerja di kota untuk membantu kedua orang tuanya, tapi sedih saat harus meninggalkan keluarganya yang selama ini selalu ada untuknya.
Rini yang melihat Kakaknya menangis langsung berhambur memeluk Ririn, keduanya saling berpelukan. Jika ini yang terbaik untuk keluarganya kelak, gadis itu akan melakukan apapun, asalkan adik-adiknya bisa sekolah dan hidup yang lebih layak dari ini. Hanya itu yang sekarang terbesit di hati gadis berumur enam belas tahun itu.
Gadis itu merasa sesak dadanya, saat ia sedang memasukkan ayam ke kandang tiba-tiba dia melihat bayangan hitam yang hilang di balik kandang kambing.
"Maaf, apa ada orang? jangan sembunyi!" seru Ririn.
Ririn perlahan berjalan mendekati, dadanya berdebar kencang saat melihat bayangan itu juga menatapnya, mata merah, seluruh tubuh hitam. Gadis itu ingin menjerit dan berteriak, tapi suaranya seakan berhenti di kerongkongannya.
Tubuh Ririn sudah bergetar, rasa takut yang mendominasi dirinya membuat otaknya susah untuk berpikir. Tak lama tubuhnya terkulai lemas dan tidak sadarkan diri di belakang kandang kambing.
Rini yang sedang duduk di dapur sambil membantu Mamak menyiapkan makan malam sedari magrib tadi tak melihat Kakaknya, hal itu membuatnya segera beranjak berdiri menuju ke arah belakang rumah.
"Tadi Mbak siap masukan Ayam kemana ya?" tanya Rini
"Rin, Mbakmu mana Nduk?" tanya Mamak menghampiri anaknya yang celingak-celinguk seperti sedang mencari seseorang.
"Mbak tadi siap masukkan ayam kok enggak masuk rumah ya, Mak!" kata Ririn dengan Rasa khawatir.
"Di kamar juga tidak ada, Rin?" tanya Mamak
Kedua wanita beda usia itu berjalan mendekati kandang ayam, tapi yang dicarinya juga tidak ada. Rini berjalan menuju ke kandang kambing dengan membawa senternya di ikut Mamak. Saat dia mengarahkan senternya ke balik kandang seketika matanya melebar.
"Mbak!" teriak Rini membuat wanita paruh baya mendekatinya.
"Ya Allah, Ririn!" teriak Mak Wati sambil minta tolong saat mendapati tubuh anaknya sudah pingsan.
Tetangga yang mendengar itu sontak berbondong-bondong menuju rumah Pak Yanto, semua yang datang terkejut saat melihat gadis yang biasa ramah dan sopan itu sedang tidak sadarkan diri.
Adam yang sedang duduk langsung di tarik Halim untuk menuju Rumah Pak Yanto setelah mendengar kalau Ririn di temukan pingsan di belakang rumahnya. Sesampainya di rumah pak Yanto warga masih berkumpul di dekat kandang.
Mak Wati sudah menangis sambil memeluk putrinya, Adam perlahan menghampiri tubuh yang tergeletak itu, disentuhnya denyut nadinya masih ada.
"Mas, dia pingsan," kata Adam kepada Halim.
"Mak sebaiknya kita bawa dulu Ririn masuk rumah," kata Juragan Halim yang hanya di anggukan kepala oleh wanita paruh baya itu.
Adam mengangkat tubuh lemah dan dingin, serta wajah yang memucat itu. Pak Yanto yang baru sampai rumah terkejut melihat anaknya di gendong adik juragan diikuti istrinya yang masih menangis.
"Ada apa ini?" tanya Pak Yanto
Bersambung ya....
Tunggu bab selanjutnya
Jangan lupa subscribe dan dukung dengan cara komen dan tekan bintang lima ya. Insyaallah up setiap hari. Aa zigant.
Ririn memejamkan matanya, perasaannya entah kenapa merasa tidak enak, ada sesuatu yang akan terjadi. Namun ia bingung itu apa. Gadis itu menatap ke arah jendela, apa Adam akan mencarinya atau membiarkan dirinya pergi. Ririn memukul dadanya yang terasa sesak saat bayangan di mana Adam membentak dan memarahinya. Diambilnya lagi ponselnya, ia menghidupkan lagi dan ada pesan lagi masuk dari Adam yang menanyakan apa sudah sampai Palembang. Ririn membalas pesan pria itu ia mengatakan kalau tertinggal pesawat. Adam langsung minta share lokasi di mana Ririn sekarang berada. Namun, Ririn hanya menarik napas panjang. Gadis itu meletakkan ponselnya di atas kasur dan membaringkan tubuhnya karena merasa begitu lelah. Adam yang berada di rumah mengusap wajahnya dengan kasar karena
Mobil yang dikemudikan oleh Devan sampai di depan rumah Adam, keduanya turun dengan Sasa yang berada digendongkan Ayahnya."Assalamualaikum," kata keduanya serempak."Waalaikumsalam," jawab Mama Mirna sambil tersenyum menatap wajah putranya."Sayang kamu sama nenek sebentar, Ayah akan melihat Bunda," ucap Adam bergegas menuju ke arah tangga. Namun, langkahnya terhenti karena ucapan Mamanya."Ririn sudah pulang kampung," katanya lirih sambil mengusap kepala cucunya."Apa maksud, Mama?" tanya Adam berjalan menghampiri wanita yang begitu ia sayangi itu."Ririn sudah pulang, Dam. Dia katanya Rindu kedua orang tuanya," kata Mirna dengan wajah sendu.Adam langsung terduduk lemas dilantai, apa secepatnya itu wanita yang dicintainya pergi meninggalkan dirinya di saat akan membuka lembaran baru bersama.Devan membisikkan sesuatu kepada Mama Mirna membuat wanita itu terkejut, perlahan dibukanya baju sekolah Sasa."Astagfirullah, s
Pagi Ini Ririn izin kepada Ibu Mirna untuk menunggu Sasa sampai keluar sekolah, hal itu membuat Bagas dan Adam merasa heran."Kamu nanti lama menunggu di sana, Rin!" kata Adam sambil menatap kekasihnya itu."Tidak apa-apa, Pak," jawab Ririn sambil tersenyum.Setelah Sasa selesai sarapan, Ririn mengajak anaknya berangkat yang diantar oleh Adam. Melihat gadis di sampingnya terlihat gelisah."Bunda kenapa?" tanya Adam membuat Ririn terkejut."Pak kok panggil bunda sih!" kata Ririn dengan wajah bersemu merah.Adam terkekeh melihat wajah Ririn yang merona, karena dipanggil Bunda oleh Adam. Sasa hanya diam gadis kecil itu ingat kalau hari ini dia harus mengajak Ayahnya untuk ke rumah Mama Fani, jika sampai tidak ancaman mamanya itu membuatnya takut.Ririn memeluk erat tubuh Sasa, ia merasakan perubahan dari anak asuhnya itu. Ingin rasanya dia melindunginya, tapi karena statusnya hanya sebagai pengasuh tidak bisa seenaknya sendiri.Se
Deg Adam dan Ririn terkejut mendengar apa yang dikatakan Sasa, gadis itu perlahan mendekati anak asuhnya itu. Kini keduanya sudah berada dekat mobil Adam. "Sasa, kapan Mama Fani marahnya?" tanya Ririn sambil mengusap kepala Sasa. "Tadi, waktu di kamar, katanya kalau Sasa tidak mau menurut Mama akan marah, Bunda," kata Sasa dengan polos. "Kenapa Sasa enggak mau menurut sama Mama Fani, Nak?" tanya Adam ikut berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan balita umur enam tahun itu. "Sasa harus bilang, kalau Ayah dan Mama bersatu lagi," jawab Sasa. Adam mengepalkan kedua tangannya, wajahnya terlihat memerah menahan marah. Ririn yang menyadari itu langsung berdiri dan berbisik, "Kalau mau marah jangan depan saya dan Sasa,
"Sasa sama Mama yuk, Nak" ajak Fani. "Enggak mau, mau sama Bunda saja," kata Sasa sambil menangis. Fani terlihat sedih saat anak yang ia lahirkan tidak mau diajaknya saat melihat putrinya terluka, Ririn yang melihat itu merasa tidak enak hati. "Sasa sama Mama dulu ya, Nak," bujuk Ririn. "Mau sama Bunda saja," jawab Sasa sambil memeluk leher Ririn. "Maaf Bu," kata Ririn. Fani hanya diam, kini Ririn membawa Sasa masuk ke rumah di ikuti oleh Fani dari belakang. Adam yang melihat itu menghampiri putrinya yang kini sedang di ruang keluarga. "Kenapa Anak Ayah ini," kata Adam sambil duduk di samping Ririn. "Ayah tadi Sasa jatuh, tapi Bunda cepat tangkap tubuh Sasa," ujar Sasa "Wah, Bunda hebat. Bilang apa coba sama Bunda!" Adam sambil mengambil alih Sasa dari pangkuan Ririn. "Terimakasih Bunda," ucap Sasa sambil mengusap air matanya. "Iya sama-sama," jawab Ririn yang sudah merasa tidak
Adam terkejut saat melihat Fani mantan istrinya sedang mengobrol dengan Mamanya, kedua tangannya mengepal saat wanita itu bersujud di depan Ibu Mirna. "Ma." Adam menatap Mama Mirna "Adam," kata keduanya bersamaan. Ibu Mirna yang melihat raut dingin di wajah putranya hanya bisa tersenyum getir, sedangkan Fani kini berdiri menatap mantan suaminya yang masih begitu dingin kepadanya. "Dam, biarkan Fani bertemu Sasa, Nak. Bagaimanapun dia wanita yang sudah melahirkannya." Ibu Mirna mencoba memberikan pengertian kepada putranya. "Ma!" seru Adam yang tidak setuju. "Dam, mama juga perempuan seperti dia, Nak!" Mama Mirna menatap putranya dan berganti menatap Fani Adam hanya diam, ia menatap mantan istrinya yang sudah menangis di depannya. Dulu dia tidak akan membiarkan wanita yang dicintainya sampai meneteskan air mata, tetapi semua itu tak dirasakan lagi. Adam menganggukan kepalanya, ia menyetujui permintaan mamanya saat ini. N