“Boleh tapi harus atas persetujuan Mamaku,” ucap Bima tegas.
“Aku nggak salah denger, Mas? Ini anak aku loh! Lagian kita kan udah sah suami istri jadi anak aku ya anak kamu juga, gimana sih?” sahut Jihan terheran, atas pendapat Bima yang tak terduga.
“Ya itu terserah kamu! Kalau kamu nggak setuju, Mas juga nggak maksa kamu. Lagian kan di rumah ini selain aku yang ngatur masih ada Mama aku yang bertanggung jawab.”
“Terus aku di sini kamu anggap apa, Mas? Kok kamu gitu sih?”
“Nggak gitu maksud Mas, sayang. Kamu kan tau kalau Mas sayang banget sama Mama, jadi kamu sebagai istri aku mulai sekarang harus mulai belajar menghormati Mama aku. Mas harap kamu paham sampai sini ya, soalnya Mas nggak suka orang bawel.”
“Tau deh, Mas. Aku nggak habis pikir aja ternyata kamu bisa bersikap kayak gini sama aku,” ujar Jihan kecewa.
&n
“Assalamualaikum.”“Walaikumsalam, eh Hen-dra, kamu ngapain ke sini?” ucapnya terkejut.Lelaki itu mengusap-usap tengkuknya, “E-e anu.”Aisyah mengerinyitkan dahinya, ia bingung dengan sikap Hendra yang gelagapan, “Anu apa?”“Ada yang kurang!” sahutnya lepas.“Ha? Kurang?” Aisyah semakin dibuat bingung“Kemarin, kan saya baru kenalan sama ibu saja alangkah baiknya saya kenalan dengan bapak juga karena saya merasa kurang lengkap rasanya,” ujar Hendra berkilah.Aisyah tertawa, “Astaga Hendra, saya kira kamu kenapa.”“Maaf, saya tiba-tiba datang ke rumah tanpa ngabarin kamu.”“Tidak apa, ngomong-ngomong kamu bisa tau rumah saya di sini dari mana?” tanyanya terheran.“Kamu kan pasien saya, jadi saya tau dari data pasien, sekali lagi maaf kalau saya lancang,” jelas Hendra sungkan.&
“Aisyah, Aisyah, Aisyah! Terus aja kamu bandingin aku sama dia!” ujar Jihan kesal.“Siapa suruh kamu jadi pembangkang! Jangan mentang-mentang kamu sekarang sudah jadi istri aku, kamu bisa sebebasnya bertindak ya!”“Sebenarnya kamu nikahin aku tujuannya buat apa sih, Mas? Pas pacaran aja kamu bersikap baik sama aku, sekarang? Aku malah curiga bakalan jadi korban kamu selanjutnya.”“Makanya kalau mau aku bersikap baik sama kamu, bersikap baik juga sama aku. Coba aja kamu jadi istri yang penurut dan lemah lembut, mana mungkin aku protes masalah sikap kamu,” bantahnya tegas.“Aku? Nurut sama suami yang modelan sikapnya kayak kamu? Mana sudi aku, Mas. Pantes aja Aisyah ninggalin kamu!”“KURANG AJAR KAMU YA!” pekiknya tajam, sembari mengangkat tangannya.“Apa? Kamu mau nampar aku? Tampar Mas, tampar sampai kamu puas! Kamu pikir aku bakalan rela disakitin sama kamu? Oh tunggu dulu, aku nggak sepolos mantan istri kamu itu, sedikit saja kamu nyentuh aku habis kamu!” ancam Jihan.Bima menurunka
“Mas kita perlu bicara!”“Aku sibuk!”“Mas ini penting, aku mau kita bicara masalah hubungan kita ini.”“Duh kenapa lagi sih? Bisa nggak sih kamu nggak usah ganggu aku sehari aja.” Bima beranjak dari sofa dengan pakaian yang kemas dan stik golf yang sudah ditenteng di tangannya. “Mau ke mana kamu?”“Aku mau main sama temen-temen.”“Oh, temen kamu lebih penting ya sekarang ketimbang istri kamu sendiri!”“Apaan sih kamu! Apa salahnya kalau aku nyari hiburan, aku tu sumpek di rumah mulu apalagi kamu ngocehhh nggak ada henti-hentinya.”“Mas! Aku begini juga gara-gara kamu!”“Tuhkan! Baru juga aku ngomong.” Bima tak mendengarkan perkataan Jihan, ia lekas beranjak.“MAS!” pekiknya, sembari memegangi stik golf yang dibawa suaminya.“Lepas nggak!”“Nggak! Kamu sekali-kali harus dikasi paham, kamu itu laki-laki Mas harusnya Mas bisa bersikap lebih dewasa lagi nggak gini caranya!”Bima menatap Jihan tajam dengan napas yang menggebu, “AKU BILANG LEPAS!”“Nggak! Aku perlu kamu Mas,
“Pulang?” “Kalau kamu seorang lelaki pulanglah nak, kelak kau akan mengerti sakit hatinya seorang ayah.” Dengan wajah kecewa langkah kaki Hendra perlahan menjauh dari rumah Aisyah. “Bapak!” Aisyah sontak terkejut sungguh tak menyangka ayahnya akan melakukan hal demikian. “Sudahlah, Ya. Bapak ini peduli sama kamu.” “Tapi Pak, nggak gini caranya. Hendra orangnya baik Pak.” “Dulu Bima juga begitu,” ucapnya datar. Mulut Aisyah tak bergeming, karena tertampar dengan realita yang ada. Semenjak kejadian itu hubungan Hendra dan Aisyah sedikit merenggang, wanita malang itu nampak masih mengingat luka masa lalunya dengan Bima dan ditambah ayahnya yang sangat protektif padanya sekarang. “Nak, kamu jangan terlalu memikirkan sikap Bapakmu yang seperti itu, Bapakmu hanya khawatir pada hidupmu ke depannya. Urusan Bapakmu biar menjadi urusan Ibu, lagi pula kamu berhak melanjutkan hidupmu seperti orang di luar sana,” ucapnya berusaha menenangkan Aisyah. “Bu, Yaya tau Bapak khawati
“Maksud kamu?” Hendra melempar senyum tipis, “Saya punya saran, lebih baik kamu membuka usaha dan bisa dikerjakan dari rumah jadi tenaga yang dikeluarkan tidak menyusahkanmu.” “Usaha?” “Iya, menurutmu kamu ahli dalam bidang apa kalau semisal kamu buat usaha?” “Aku? Aku cuma bisa buat makanan,” jawab Aisyah ragu. “Nah, bagus! Kita bisa buka semacam kedai makanan atau jajanan mungkin, bagaimana?” responnya bersemangat. “Kita?” tanyanya sedikit bingung. “E-e iya kita, saya kan sudah bilang saya bisa bantu dan siap membantu … tapi kalau kamu mau,” jawabnya berusaha meyakinkan. “Kamu tidak keberatan Hen?” “Tentu saja tidak, kalau saya keberatan tidak mungkin saya memberikan penawaran ini padamu Aisyah,” tegasnya. “Mungkin saya bisa diskusikam dengan orang tua saya dulu, pendapat mereka juga penting kan.” “Bagus, saya setuju dan alangkah baiknya kamu pikirkan matang-matang juga karena saya tidak mau ada unsur keterpaksaan di sini. Niat saya hanya membantu jika kamu bersedia saya a
“Ini menyinggung masalah masa lalu kamu!” [DEG!] Aisyah mulai kikuk mendengar Hendra melontarkan kalimat seperti itu, napasnya mulai tak beraturan. “Masa lalu sa-ya?” ucapnya terbata. “Maaf Aisyah kalau saya terlalu lancang … tapi jika kamu kurang berkenan tidak apa,” tegasnya. “E … maaf. Saya hanya belum terbiasa saja membicarakan hal itu lagi, tidak apa katakan saja.” “Kamu yakin?” Aisyah memejamkan mata sembari mengangguk petanda setuju. “Baiklah, saya cuma mau tanya. Kamu tidak keberatan kan kalau saya deket sama kamu? Maksud saya … biasanya maaf, jika pernah punya masalah dengan pasangan sebelumnya pasti ada rasa segan atau kurang nyaman berada didekat lawan jenis. Saya sengaja bertanya ini karena saya takut dengan kehadiran saya, kamu merasa tidak nyaman dan saya tidak mau kamu merasa seperti itu,” jelasnya khawatir. Aisyah tersenyum, “Kalau boleh jujur, awalnya memang saya masih merasa kurang nyaman … tapi kata Ibu benar tidak semua laki-laki setelah masalah itu kita me
“Nggak! Kiara nggak mau ke sekolah,” kekehnya. “Ayo lah sayang, sekolah ya. Nanti Mama janji bakalan ajak Kia jalan-jalan,” bujuk Jihan. “Nggak! Pokoknya Kia nggak mau ke sekolah lagi!” Tampaknya bocah itu memendam rasa kecewa yang teramat dalam. “Kok gitu sih sayang, nanti Mama sedih kalau Kia kayak gini terus gimana?” “Kia nggak mau ke sekolah lagi! Nanti Kia diketawain sama temen-temen Kia karena nggak punya Papa lagi.” Jihan sontak terkejut sampai mengelus dadanya, “Gara-gara dia anak gua sampai kek gini,” ketusnya dalam hati. “Kalau Mama mau maksa Kia buat sekolah mending Mama anterin Kia ke rumah Opa sama Oma, aku nggak mau tinggal di sini lagi! Papa sama Nenek jahat!” “Nak. Kia sayang, kamu kan anak pinter jangan gitu ya sayang, Mama sedih lo.” Jihan masih berusaha membujuk Tak sengaja Ajeng-mertuanya, lewat di depan pintu. Jihan menatap Ajeng tanpa melepas pandangannya sedikit pun, “Mama mau ke mana?” “Apa sih kamu! Terserah saya dong mau ke mana, itu bukan
“Kamu kemasi barang-barang kamu dan Kiara sekarang!” “Kita mau ke mana Mas?” “Aku anter kamu ke rumah orang tua kamu, tapi ingat! Ini hanya untuk sementara sampai anak kamu merasa tenang.” “Kamu pikir dengan semua ini kamu bisa memperbaiki semuanya?” “Kamu nggak usah berdebat! Kamu kemasi barang-barang kamu sekarang atau nggak akan pernah aku izinin kamu pergi selangkah pun dari rumah ini!” “Bagus! Udah berani ngancem aku kamu ya!” “Aku harus ingetin kamu atau kamu yang sadar diri sendiri?” Ekspresi wajah Jihan sontak berubah masam. “Inget ya, kamu nikah dengan aku atas persetujuan orang tua kamu dan kamu pasti kenal banget kan sama orang tua kamu, bayangin aja kalau mereka tau anaknya punya masalah dengan aku!” Ada makna tersirat di dalamnya yang membuat Jihan tidak bergeming sedikit pun, mau tidak mau Jihan menuruti apa yang dikatakan suaminya-Bima. Jihan lekas mengemasi barang-barangnya dan juga Kiara. *** “Aku harap kamu inget dengan apa yang aku katakan tadi di rumah!”
***“Nak, semoga kamu nggak dendam sama Ibu ya. Ibu ngelakuin ini demi kebaikan kamu, Ibu nggak mau kamu sampai tahu kelakuan Ayah kandung kamu seperti apa, Ibu takut kamu kecewa berat Nak.” Aisyah berpikir keras. Aisyah masih meratapi nasibnya serta anaknya, ia takut tentang ke depannya akan ada masalah yang datang hingga menyangkutpautkan masa lalunya kembali dengan Bima dan Aisyah tidak akan pernah rela bila Arkanza terlibat di dalamnya. Wanita itu takut jika anaknya akan memiliki ingatan kelam tentang kedua orang tuanya terutama sesosok ayahnya yang begitu keji terhadap ibunya dan dirinya.“Ayo Nak, kita pergi sebelum ayah kamu dateng.” Aisyah tampak berkemas, ia pergi membawa Arkanza.* Jantung Aisyah berdegup kencang, tangannya gemetar, keringat pun membasahi keningnya. Langkahnya tampak berat.“Hahhh, bismilah ya Nak semoga ini sudah memang keputusan yang baik buat kita semua.” Aisyah berusaha meyakinkan dirinya.“Ada yang bisa dibantu ibu?”“
***“Arka sayang, Ibu udah lama sekali nggak lihat wajah kamu ini! Ibu kangen Nak, Ibu khawatir sama kamu sayang. Kamu pasti selama ini haus banget ya Nak,” ucapnya penuh kasih. Setelah sekian lama, akhirnya Aisyah kembali merasakan kehangatan tubuh bayi mungilnya. Ia terpaksa tak menjalankan peran seorang ibu untuk beberapa waktu yang lumayan menyiksanya, wanita itu tampak sudah sangat lelah dengan kejadian yang telah terjadi. Sangat menguras emosi dan perasaan seorang ibu.“Nanti tunggu Ayah pulang ya Nak, kita jalan-jalan ke rumah Nenek semuanya sudah nungguin kamu di sana, mereka kangen sekali dengan kesayangan mereka. Kamu anak yang kuat sayang, terima kasih ya sudah bertahan sejauh ini, anak Ibu pintar sekali.”“Assalamualaikum,” ucap seseorang dibalik pintu.“Waalaikumsalam, eh Mas. Kamu udah pulang rupanya.”“Iya, Ya. Halo anak Ayah, Ayah kangen Nak!” ucapnya lembut.“Ganti pakaian dulu Mas, makanan udah aku siapin di meja.”“Iya sayang, makasi ya.” Akh
***“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, kasian sekali. Di mana keluarganya Ya Allah?”“Sudah berumur, seharusnya dijaga dengan baik! Anak-anaknya ke mana?”“Sepertinya ibu ini sudah bingung karena faktor umur, kasian sekali!” Di ujung jalan besar tampak terjadi insiden yang menggegerkan orang sekitar hingga menimbulkan kerumunan. Bercak darah berlumuran di jalan, sepertinya terjadi kecelakaan. Mobil ambulance dan polisi segera datang, kondisi korban sudah sangat memprihatinkan dilihat dari kondisi badannya sepertinya sudah tak bernyawa. Kepalanya terus mengeluarkan darah dan terdapat beberapa luka dibagian kaki serta tangannya, ia sudah tak sadarkan diri. Petugas segera melarikannya ke rumah sakit.“Ih, serem banget!” tukas orang yang lalu lalang.*“Apakah korban telah berhasil di identifikasi?”“Belum berhasil pak, kami cukup kesulitan karena tanda pengenal korban tidak ditemukan saat di lokasi kejadian. Namun, karena korban saat ditemukan mengenakan pakaian pasien kemu
“Bima!” Lelaki itu lekas memalingkan pandangannya, Aisyah menghampiri Bima-mantan suaminya.“Tega kamu Bima! Kamu pikir apa yang kamu lakukan ini sudah akan menguntungkan kamu? Sampai segitunya kamu terobsesi ingin memiliki dia, Arka itu darah daging kamu bisa-bisanya kamu nyakitin dia,” tukasnya kesal.“Gua nggak pernah nyakitin dia, lu yang rebut Arka dari gua Aisyah! Mungkin kalau lu nggak misahin gua dengan dia gua nggak bakalan berbuat nekat kayak gini!” bantahnya.“Apa? Aku nggak salah denger Bima? Bukan aku yang jauhin kamu tapi kamu yang nggak pernah mau nganggep dia sebagai anak kamu, kamu lupa ya gimana biadabnya kamu ngusir aku sama almarhum ayah aku saat itu … saat itu aku ngemis dihadapan kamu Bima! Tapi apa kata kamu dan keluarga kamu justru malah nuduh aku dan menghina aku, dan kamu malah memilih menikah dengan perempuan lain yang kamu anggap bakalan bisa ngasi kamu keturunan karena kamu nuduh aku mandul kan!” ucapnya geram.“Ya itu kan dulu! Karena aku mema
*“Jadi di sini kamu sembunyikan anak saya!” ucap Aisyah geram.“Sabar ya.” Hendra berusaha menenangkan. Polisi mengerahkan seluruh pasukannya untuk mengepung tempat persembunyian Bima, tentunya ini menjadi bagian yang sangat menegangkan mengingat lelaki bejat itu bisa saja nekat melakukan sesuatu yang bisa membahayakan nyawa Arkanza.TOK! TOK! TOK! Polisi berusaha mengetuk pintu rumah, mereka berharap Bima bisa ditangkap dengan mudah.“Permisi! Bapak Bima, kami ada urusan penting dengan anda!” Tampak seperti tak ada siapa pun di dalam rumah. Tidak ada suara sahutan seorang pun.“Permisi!” Polisi masih terus mencoba. Sementara itu di dalam rumah, Bima, Jihan dan Kiara tengah makan bersama di meja makan. Mereka rupanya mendengar suara sayup-sayup dari luar.“Siapa Mas? Perasaan seperti manggil nama kamu!” ucapnya penasaran.“Mana aku tau!”“Kamu buat masalah lagi ya? Atau kamu ada ngutang lagi? Jangan-jangan itu debt collector yang waktu
***“Gimana Mas?” tanya Aisyah penuh harap. Hendra terkulai, ia tampak lemas. Napasnya terengah-engah dengan keringat mengucur dari dahinya. Dokter itu kelelahan.“Nggak ketemu Ya, maafin Mas ya. Mas juga udah usaha keras buat nemuin anak kita,” jelasnya lesu.Aisyah menarik napas dalam, “Hah, gimana ya Mas? Aku juga bingung harus gimana lagi, aku tau kok Mas, Papa sama Mama juga udah usaha keras buat nemuin anak kita tapi aku juga nggak bisa bohong tentang perasaan aku.”Hendra meraih tubuh istrinya, ia memeluk tubuh Aisyah erat. Mereka berdua berakhir menangis bersama.Drrttt! Drrrttt! Drrrrt! [gawai Hendra berdering]Hendra gegas mengusap air matanya dan segera meraih gawainya.“Ha-halo,” jawabnya terbata.“Halo, selamat siang. Dengan bapak Hendra?”“Siang, iya dengan saya sendiri. Ada apa ya Pak?”“Baik, bapak Hendra kami dari kepolisian maksud menelpon bapak izin memberitahukan informasi terkait pencarian putra bapak!” jelasnya.DEG!!! Dada Hendra terasa b
***“HAH! BERISIK!” pekik Jihan keras. Wanita itu merasa muak mendengar tangis Arkanza tanpa henti. “Bisa diam nggak sih! Gua itu udah pusing mikirin urusan rumah sama bapak lu yang sampai sekarang nggak pulang-pulang, lu nggak usah lagi nambahin beban gua ya!” Jihan tampak stress, penampilannya awut-awutan. Seharian dia hanya menaruh perhatian penuh pada Arkanza karena takut dengan ancaman Bima jika ia pulang ke rumah.“Ma, aku lapar! Aku mau makan, Ma!” rengeknya.“Sabar sayang, Mama lagi sibuk ini!” sahutnya sembari sibuk menenangkan Arkanza yang tangisnya makin keras.“Mama nggak sayang sama aku lagi! Katanya adik itu bukan adik aku tapi Mama lebih sayang sama dia, dari tadi sama adik itu mulu!” keluhnya merasa tak dipedulikan. Jihan yang mendengar perkataan anaknya yang demikian lantas tertegun, ia tak menyangka jika ia harus menempatkan anaknya mengalami perasaan demikian. Tubuhnya melemas, wanita itu tak berdaya.“Sayang, maafin Mama Nak. Ini semua salah
***“Mas, aku udah nggak berdaya lagi. Ini sudah delapan hari berlalu tapi Arka anak kesayangan aku nggak ketemu-ketemu. Apa Arka baik-baik aja Mas?” Aisyah tampak sedikit putus asa.“Aisyah, Mas tau kalau kamu khawatir dan juga rindu dengan Arka … kita semua juga merasakan hal yang sama. Kita usaha kuat dan sabar dulu ya, Mas yakin Arka pasti ketemu dan baik-baik aja sekarang.”“Mas, kok kamu bisa setenang ini sih Mas?” tanyanya. Sepertinya Aisyah sedikit kesal dengan suaminya itu karena Hendra tampak begitu tenang di tengah keresahan Aisyah yang sudah memuncak.“Aisyah sayang, meskipun kamu lihat Mas tenang itu semua tidak seperti apa yang kamu pikirkan. Mas hanya sedang berusaha kuat untuk kamu dan tentunya buat anak kita juga … seperti yang Mas bilang tadi kita semua sedang merasakan hal yang sama. Kamu percaya kuasa Allah kan? Kita serahkan semuanya sama yang di atas, kita mohon petunjuk dan memohon agar Arkanza segera ditemukan,” ucap Hendra berusaha menenangkan. Dalam kondisi in
“Terus aja kamu ungkit-ungkit!”“Ya kan emang kenyataannya kayak gitu! Kenapa kamu mau nyangkal yang jelas-jelas udah faktanya?” Bima pergi ke kamar begitu saja, ia tampak seperti orang yang kalah berdebat.**TOK! TOK! TOK! Jihan menggedor pintu kamar dengan keras.“Kenapa sih kamu berisik banget dari tadi? Kalau Arka bangun gimana? Aku udah susah payah nidurin dia!” Bima tampak kesal.“Enak banget ya kamu Mas, kerjaannya cuma leyeh-leyeh doang di rumah. Kerja enggak, bantu beres-beresin rumah juga enggak!”“Jaga ya mulut kamu Jihan, aku kan lagi ngerawat anak aku!”“Alasan kamu itu aja ya Mas, kayak nggak ada yang lain, perasaan kalau anak kamu itu nangis juga ujung-ujungnya kamu manggil aku kan. Mending besok kamu kerja deh Mas, ini beras udah mau habis! Kalau kita kayak gini terus lama-lama bisa mati kepalaran di sini. Mending kita balik aja ke rumah yang dulu, setidaknya kalau kita mati masih mati dengan tenang di rumah mewah bukan di kontrakan kumuh ini!”