*** “Kamu di sana jaga kesehatan ya! Jangan lupa makan dan jangan lupa buat terus ngabarin keluarga di sini,” ucap Yani. “Iya tante, makasi ya. Maaf sudah merepotkan.” “Ah, kamu ini masih saja begitu! Santai saja Aisyah, kamu ini sudah menjadi bagian dari keluarga kami jadi tidak ada hal yang merepotkan justru kami senang dengan kehadiranmu di sini tante jadi ada temannya dan jadi rame juga, iya kan Pa?” “Iya, apa lagi tante sering di tinggal sama Una buat kuliah jadi dia sering bosen. Intinya kamu tidak usah sungkan-sungkan begini Aisyah,” timpalnya. Aisyah tersenyum, “Iya om, tante. Pokoknya Aisyah pengen ngucapin terima kasih banyak atas semuanya.” “Iya-iya, sama-sama Aisyah. Nitip salam sama bapak dan ibu ya!” “Iya, siap tante. Pasti Aisyah sampaikan.” “Ya udah, Hendra sama Aisyah berangkat dulu ya Ma Pa,” pamitnya, sembari meraih tangan ayah dan ibunya untuk bersalaman. “Hati-hati di jalan, ya!” * “Gimana Aisyah? Kamu sudah nyaman atau ada perasaan yang ngeganjel selama
*** “Gimana keadaan kedai selama saya tinggal mbak Hilda?” “Semuanya lancar mbak, mbak Aisyah gimana keadaannya?” “Alhamdulilah saya baik, syukurlah kalau semuanya lancar.” “Iya mbak. Saya juga sempat khawatir dengan semuanya yang terjadi, dari saya pribadi turut prihatin.” “Makasi mbak Hilda, saya juga berterima kasih dengan mbak karena sudah amanah menjaga kedai ini.” “Sama-sama mbak. Mbak Aisyah dan keluarga adalah oramg baik jadi saya pasti akan menjaga dengan baik juga apa yang menjadi tanggung jawab saya di sini.” Aisyah membalas senyum, “Oh iya, tolong cek stok bahan ya mbak sekalian ditulis dan catatannya kasi ke saya.” “Siap mbak.” Kedai makanan Aisyah kini cukup dikenali oleh masyarakat sekitar, berkat bantuan dari Hendra dan juga semangat Aisyah untuk mengurangi beban keluarganya kedai makanan ini berhasil membantu perekonomian Aisyah dan keluarga. Rasa masakan khas rumahan yang diracik sedemikian rupa oleh Aisyah dan bu Asih berhasil memikat lidah par
*** “Makasi ya Mas, maaf ngerepotin. Mas jadi harus ikut jagain Bapak di sini,” tukasnya sungkan. “Kembali kasih, nggak papa Aisyah. Mas tinggal dulu ya, kalau ada apa-apa langsung kabarin Mas.” “Iya Mas, hati-hati ya.” Hendra beranjak pergi untuk bertugas di rumah sakit hari ini. “Bu, Ibu makan dulu ya.” Aisyah sangat khawatir dengan kondisi ibunya yang kehilangan selera makan. “Nanti aja Nak,” jawabnya lesu, dengan bibir yang sedikit kering. “Dikit aja Bu, Ibu dari pagi belum ada makan kasihan Bapak kalau sampai tau Ibu belum makan.” “Ibu nggak selera Ya, nanti kalau Ibu pengen makan pasti Ibu makan, kok,” kekehnya. “Bu, kalau nanti Ibu sakit karena kurang makan memangnya Ibu nggak kasihan dengan Aisyah?” Bu Asih menggerakkan kepalanya perlahan lalu menatap wajah putrinya dalam. Tangan ringkihnya itu bergerak meraih segelas air putih yang diberikan Aisyah dan meminumnya. Aisyah yang melihat hal tersebut lantas tersenyum, tangan kanan Aisyah lekas men
Aisyah berusaha memberikan ketenangan pada ibunya namun, sebenarnya dirinya sendiri juga sedang hancur. Melihat kondisi pak Ahmad seperti itu Aisyah larut dalam kesedihan yang mendalam tetapi dipaksa kuat oleh keadaan demi sang ibu, wanita itu sudah ditempa sedemikian rupa oleh keadaan menyakitkan yang membuatnya kini menjadi sesosok yang terlihat kuat. “Bu, kita pulang dulu ya. Nggak baik terlalu lama di rumah sakit lagi pula Bapak nggak bisa kita jenguk setiap saat.” “Tapi Ya, Ibu mau nemenin Bapak di sini. Kasian Bapak sendirian.” “Ayo dong Bu, jangan keras kepala begini. Ada Aisyah dan Mas Hendra yang bakalan ngawasin kondisi Bapak tiap hari, Bapak nggak sendirian Bu,” bujuknya. “Kalau Ibu masih mau tetap di sini, Ibu juga harus mikirin kesehatan Ibu sendiri, ini rumah sakit Bu tempatnya orang sakit kita nggak tau virus apa aja yang tersebar di sini. Aisyah nggak mau kesehatan Ibu juga terganggu.” Asih menghela napas panjang, sejenak ia merenung lantas kakinya bergerak diajakny
“Bisa nggak kalau ngomong itu di saring dikit!”“Ya habis kamu sukanya cari gara-gara! Suami pulang bukannya dibikin seneng malah diajak ribut tiap hari!” protesnya.“Aku nggak bakalan ribut kalau semua kebutuhan aku terpenuhi! Emang kamu pikir di rumah enak? Capek Mas! Kamu belum pernah kan muter otak buat berpikir ngolah keuangan yang ngepres banget biar dicukup-cukupin aja dan itu aku rasain tiap hari di rumah. Belum lagi Mama kamu itu suka nyari ribut, bikin kesel aja!” keluhnya tanpa henti.“Ya udah, impas lah ya! Harusnya kita tu saling support, kamu doain aku biar dapet kerja dan aku tanggung jawab buat menuhin kebutuhan rumah, adil kan!”“Saling support, enak banget mulut kamu bilang gitu Mas! Tapi nyatanya apa? Kamu selalu rendahin dan ngeremehin pekerjaan rumah yang aku kerjain, kamu bilang cuma di rumah doang enak lah, ini lah. Itu yang namanya saling support?”“Makanya jangan suka ngeluh dan ngomel-ngomel nggak jelas. Aku ngomong gitu karena mood aku rusak gara-gara kamu n
Jihan merenung, ia tampak memikirkan perkataan Bima. “Kenapa kamu diem? Kamu masih mau kalau kita pisah? Bayangin aja di kondisi kayak gini kamu menyampaikan berita buruk ke Kiara terus dia jadi drop terus …” cecarnya. “Stop Mas!” potong Jihan yang sudah tak tahan. “Tega ya kamu Mas, memanfaatkan anak aku sebagai senjata kamu. Aku nggak habis pikir sama jalan pikiran di otak kamu itu.” “Ayo lah Jihan, aku nggak sejahat itu tapi kenyataannya aku nggak ada maksa anak kamu untuk melakukan semua ini kan? Anak kamu sendiri yang mau,” jelasnya. Apa yang dikatakan oleh pria itu memang benar adanya namun, apa yang ia lakukan dan memanfaatkan semua itu jelas adalah hal yang salah dan sangat merugikan posisi Jihan. Jihan tertunduk lesu, “Egois banget kamu Mas! Kenapa kamu tamak banget sih, di sisi lain kamu terus aja mikirin Aisyah mantan istri kamu itu tapi di sisi lain lagi kamu mau mempertahankan aku, mau kamu apa sih Mas?” “Aku mau keduanya,” gumamnya dalam hati.
Hendra meraih tubuh Aisyah dan memeluknya erat, “Aisyah, Mas tau kondisi sekarang sangat sulit untuk kamu hadapin, kita doain bapak supaya cepat sembuh ya … kamu jangan takut ada Mas di sini!” “Makasi banyak Mas karena selalu ada buat aku, Aisyah minta maaf ya selalu buat Mas ngerasa nggak berguna selama ini tapi Aisyah nggak ada maksud demikian, soalnya Aisyah bingung aja saat kondisi kayak gini, di sisi lain Aisyah juga nggak mau terlalu beratin Mas.” “Nggak papa Aisyah, Mas paham. Intinya jadiin ini semua pelajaran ke depannya, kamu jangan pernah sungkan lagi untuk berbagi cerita dan ingat … Mas nggak pernah merasa diberatin atau pun direpotin dengan kamu berkeluh kesah ke Mas, justru Mas akan seneng banget dengernya.” “Iya Mas, terima kasih untuk semuanya … kalau nggak ada Mas Hendra aku udah nggak tau lagi harus kayak gimana. Aisyah bisa sampai di titik ini, itu semua karena campur tangan dari Mas.” “Bukan hanya Mas tapi kamu juga Aisyah. Kamu yang nggak mudah menyerah dan sel
“Aisyah juga bingung Bu, Ibu tenang dulu ya.” Aiyah sudah tidak bisa meredam kepanikannya. “Ibu nggak bisa tenang kalau udah masalah Bapak,” kekehnya. Bu Asih terus saja menangis. Kondisi ini membuat pikiran Aisyah tak karuan, di sisi lain ada dirinya sendiri yang sedang berusaha keras menahan air mata agar terlihat tenang di depan ibunya namun, suasananya sudah tak terkendali lagi apa pun kata-kata yang di keluarkan Aisyah sudah bebal di telinga bu Asih yang tingkat kerisauannya semakin bertambah setelah mendengar kabar suaminya kritis. Aisyah meraih gawainya [Halo, assalamualaikum Mas Hendra] [Waalaikumsalam Aisyah … kamu kenapa?] [Bapak Mas, kondisi Bapak kritis dan sekarang Aisyah sudah di rumah sakit dengan Ibu] [Astagfirullahaladzim, kondisi ibu sekarang gimana Aisyah? Mas tau pasti ibu sekarang sedang tidak baik-baik saja] terkanya. [Mas bener, Aisyah minta tolong ya disusul ke sini. Urusan Mas udah selesai kan? Aisyah udah bingung, nggak tau lagi mau gimana.]
***“Nak, semoga kamu nggak dendam sama Ibu ya. Ibu ngelakuin ini demi kebaikan kamu, Ibu nggak mau kamu sampai tahu kelakuan Ayah kandung kamu seperti apa, Ibu takut kamu kecewa berat Nak.” Aisyah berpikir keras. Aisyah masih meratapi nasibnya serta anaknya, ia takut tentang ke depannya akan ada masalah yang datang hingga menyangkutpautkan masa lalunya kembali dengan Bima dan Aisyah tidak akan pernah rela bila Arkanza terlibat di dalamnya. Wanita itu takut jika anaknya akan memiliki ingatan kelam tentang kedua orang tuanya terutama sesosok ayahnya yang begitu keji terhadap ibunya dan dirinya.“Ayo Nak, kita pergi sebelum ayah kamu dateng.” Aisyah tampak berkemas, ia pergi membawa Arkanza.* Jantung Aisyah berdegup kencang, tangannya gemetar, keringat pun membasahi keningnya. Langkahnya tampak berat.“Hahhh, bismilah ya Nak semoga ini sudah memang keputusan yang baik buat kita semua.” Aisyah berusaha meyakinkan dirinya.“Ada yang bisa dibantu ibu?”“
***“Arka sayang, Ibu udah lama sekali nggak lihat wajah kamu ini! Ibu kangen Nak, Ibu khawatir sama kamu sayang. Kamu pasti selama ini haus banget ya Nak,” ucapnya penuh kasih. Setelah sekian lama, akhirnya Aisyah kembali merasakan kehangatan tubuh bayi mungilnya. Ia terpaksa tak menjalankan peran seorang ibu untuk beberapa waktu yang lumayan menyiksanya, wanita itu tampak sudah sangat lelah dengan kejadian yang telah terjadi. Sangat menguras emosi dan perasaan seorang ibu.“Nanti tunggu Ayah pulang ya Nak, kita jalan-jalan ke rumah Nenek semuanya sudah nungguin kamu di sana, mereka kangen sekali dengan kesayangan mereka. Kamu anak yang kuat sayang, terima kasih ya sudah bertahan sejauh ini, anak Ibu pintar sekali.”“Assalamualaikum,” ucap seseorang dibalik pintu.“Waalaikumsalam, eh Mas. Kamu udah pulang rupanya.”“Iya, Ya. Halo anak Ayah, Ayah kangen Nak!” ucapnya lembut.“Ganti pakaian dulu Mas, makanan udah aku siapin di meja.”“Iya sayang, makasi ya.” Akh
***“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, kasian sekali. Di mana keluarganya Ya Allah?”“Sudah berumur, seharusnya dijaga dengan baik! Anak-anaknya ke mana?”“Sepertinya ibu ini sudah bingung karena faktor umur, kasian sekali!” Di ujung jalan besar tampak terjadi insiden yang menggegerkan orang sekitar hingga menimbulkan kerumunan. Bercak darah berlumuran di jalan, sepertinya terjadi kecelakaan. Mobil ambulance dan polisi segera datang, kondisi korban sudah sangat memprihatinkan dilihat dari kondisi badannya sepertinya sudah tak bernyawa. Kepalanya terus mengeluarkan darah dan terdapat beberapa luka dibagian kaki serta tangannya, ia sudah tak sadarkan diri. Petugas segera melarikannya ke rumah sakit.“Ih, serem banget!” tukas orang yang lalu lalang.*“Apakah korban telah berhasil di identifikasi?”“Belum berhasil pak, kami cukup kesulitan karena tanda pengenal korban tidak ditemukan saat di lokasi kejadian. Namun, karena korban saat ditemukan mengenakan pakaian pasien kemu
“Bima!” Lelaki itu lekas memalingkan pandangannya, Aisyah menghampiri Bima-mantan suaminya.“Tega kamu Bima! Kamu pikir apa yang kamu lakukan ini sudah akan menguntungkan kamu? Sampai segitunya kamu terobsesi ingin memiliki dia, Arka itu darah daging kamu bisa-bisanya kamu nyakitin dia,” tukasnya kesal.“Gua nggak pernah nyakitin dia, lu yang rebut Arka dari gua Aisyah! Mungkin kalau lu nggak misahin gua dengan dia gua nggak bakalan berbuat nekat kayak gini!” bantahnya.“Apa? Aku nggak salah denger Bima? Bukan aku yang jauhin kamu tapi kamu yang nggak pernah mau nganggep dia sebagai anak kamu, kamu lupa ya gimana biadabnya kamu ngusir aku sama almarhum ayah aku saat itu … saat itu aku ngemis dihadapan kamu Bima! Tapi apa kata kamu dan keluarga kamu justru malah nuduh aku dan menghina aku, dan kamu malah memilih menikah dengan perempuan lain yang kamu anggap bakalan bisa ngasi kamu keturunan karena kamu nuduh aku mandul kan!” ucapnya geram.“Ya itu kan dulu! Karena aku mema
*“Jadi di sini kamu sembunyikan anak saya!” ucap Aisyah geram.“Sabar ya.” Hendra berusaha menenangkan. Polisi mengerahkan seluruh pasukannya untuk mengepung tempat persembunyian Bima, tentunya ini menjadi bagian yang sangat menegangkan mengingat lelaki bejat itu bisa saja nekat melakukan sesuatu yang bisa membahayakan nyawa Arkanza.TOK! TOK! TOK! Polisi berusaha mengetuk pintu rumah, mereka berharap Bima bisa ditangkap dengan mudah.“Permisi! Bapak Bima, kami ada urusan penting dengan anda!” Tampak seperti tak ada siapa pun di dalam rumah. Tidak ada suara sahutan seorang pun.“Permisi!” Polisi masih terus mencoba. Sementara itu di dalam rumah, Bima, Jihan dan Kiara tengah makan bersama di meja makan. Mereka rupanya mendengar suara sayup-sayup dari luar.“Siapa Mas? Perasaan seperti manggil nama kamu!” ucapnya penasaran.“Mana aku tau!”“Kamu buat masalah lagi ya? Atau kamu ada ngutang lagi? Jangan-jangan itu debt collector yang waktu
***“Gimana Mas?” tanya Aisyah penuh harap. Hendra terkulai, ia tampak lemas. Napasnya terengah-engah dengan keringat mengucur dari dahinya. Dokter itu kelelahan.“Nggak ketemu Ya, maafin Mas ya. Mas juga udah usaha keras buat nemuin anak kita,” jelasnya lesu.Aisyah menarik napas dalam, “Hah, gimana ya Mas? Aku juga bingung harus gimana lagi, aku tau kok Mas, Papa sama Mama juga udah usaha keras buat nemuin anak kita tapi aku juga nggak bisa bohong tentang perasaan aku.”Hendra meraih tubuh istrinya, ia memeluk tubuh Aisyah erat. Mereka berdua berakhir menangis bersama.Drrttt! Drrrttt! Drrrrt! [gawai Hendra berdering]Hendra gegas mengusap air matanya dan segera meraih gawainya.“Ha-halo,” jawabnya terbata.“Halo, selamat siang. Dengan bapak Hendra?”“Siang, iya dengan saya sendiri. Ada apa ya Pak?”“Baik, bapak Hendra kami dari kepolisian maksud menelpon bapak izin memberitahukan informasi terkait pencarian putra bapak!” jelasnya.DEG!!! Dada Hendra terasa b
***“HAH! BERISIK!” pekik Jihan keras. Wanita itu merasa muak mendengar tangis Arkanza tanpa henti. “Bisa diam nggak sih! Gua itu udah pusing mikirin urusan rumah sama bapak lu yang sampai sekarang nggak pulang-pulang, lu nggak usah lagi nambahin beban gua ya!” Jihan tampak stress, penampilannya awut-awutan. Seharian dia hanya menaruh perhatian penuh pada Arkanza karena takut dengan ancaman Bima jika ia pulang ke rumah.“Ma, aku lapar! Aku mau makan, Ma!” rengeknya.“Sabar sayang, Mama lagi sibuk ini!” sahutnya sembari sibuk menenangkan Arkanza yang tangisnya makin keras.“Mama nggak sayang sama aku lagi! Katanya adik itu bukan adik aku tapi Mama lebih sayang sama dia, dari tadi sama adik itu mulu!” keluhnya merasa tak dipedulikan. Jihan yang mendengar perkataan anaknya yang demikian lantas tertegun, ia tak menyangka jika ia harus menempatkan anaknya mengalami perasaan demikian. Tubuhnya melemas, wanita itu tak berdaya.“Sayang, maafin Mama Nak. Ini semua salah
***“Mas, aku udah nggak berdaya lagi. Ini sudah delapan hari berlalu tapi Arka anak kesayangan aku nggak ketemu-ketemu. Apa Arka baik-baik aja Mas?” Aisyah tampak sedikit putus asa.“Aisyah, Mas tau kalau kamu khawatir dan juga rindu dengan Arka … kita semua juga merasakan hal yang sama. Kita usaha kuat dan sabar dulu ya, Mas yakin Arka pasti ketemu dan baik-baik aja sekarang.”“Mas, kok kamu bisa setenang ini sih Mas?” tanyanya. Sepertinya Aisyah sedikit kesal dengan suaminya itu karena Hendra tampak begitu tenang di tengah keresahan Aisyah yang sudah memuncak.“Aisyah sayang, meskipun kamu lihat Mas tenang itu semua tidak seperti apa yang kamu pikirkan. Mas hanya sedang berusaha kuat untuk kamu dan tentunya buat anak kita juga … seperti yang Mas bilang tadi kita semua sedang merasakan hal yang sama. Kamu percaya kuasa Allah kan? Kita serahkan semuanya sama yang di atas, kita mohon petunjuk dan memohon agar Arkanza segera ditemukan,” ucap Hendra berusaha menenangkan. Dalam kondisi in
“Terus aja kamu ungkit-ungkit!”“Ya kan emang kenyataannya kayak gitu! Kenapa kamu mau nyangkal yang jelas-jelas udah faktanya?” Bima pergi ke kamar begitu saja, ia tampak seperti orang yang kalah berdebat.**TOK! TOK! TOK! Jihan menggedor pintu kamar dengan keras.“Kenapa sih kamu berisik banget dari tadi? Kalau Arka bangun gimana? Aku udah susah payah nidurin dia!” Bima tampak kesal.“Enak banget ya kamu Mas, kerjaannya cuma leyeh-leyeh doang di rumah. Kerja enggak, bantu beres-beresin rumah juga enggak!”“Jaga ya mulut kamu Jihan, aku kan lagi ngerawat anak aku!”“Alasan kamu itu aja ya Mas, kayak nggak ada yang lain, perasaan kalau anak kamu itu nangis juga ujung-ujungnya kamu manggil aku kan. Mending besok kamu kerja deh Mas, ini beras udah mau habis! Kalau kita kayak gini terus lama-lama bisa mati kepalaran di sini. Mending kita balik aja ke rumah yang dulu, setidaknya kalau kita mati masih mati dengan tenang di rumah mewah bukan di kontrakan kumuh ini!”