BAB 5
Selalu seperti itu, bahkan aku sudah bosan dengan kalimat-kalimat berikutnya yang pasti akan meninggikan dirinya sendiri. Aku berjalan ke halaman mencari bapak. Terlihat samar di sekitar rumpun di bawah pohon kelapa ada bapak sedang membungkuk-bungkuk dalam semak.
Aku bergegas menghampirinya. Kutatap lekat punggungnya.
“Pak, Bapak sedang apa?”
Kepalanya menyembul dari rumpun dan menatapku.
“Nyari rokok, Ta! Tadi habis disuruh ngambil kelapa sama Wa’ Ikah, rokoknya lupa masih bapak kantongin, pas tadi turun kho gak ada!” ucapnya sambil kembali membungkuk.
“Pak, udahlah ‘kan rokok Bapak masih ada! Nanti Sinta beliin lagi pas pulang! Yang lain udah pada kumpul, tinggal Bapak sendiri yang belum di sana!” ucapku menatapnya.
“Sayang, Ta! Udah capek-capek bapak nyuciin mobil, eh rokoknya malah ilang!” ucapnya lagi.
“Ya ampuuun, Pak! Udah sih ayo!” Aku menarik lengan bapak dari rumpun itu. Dengan langkah malas dia mengikutiku.
“Eh, bentar!” Bapak menepis tarikan lenganku. Dia menunduk dan mengangkat kakinya.
“Alhamdulilah, ternyata ini! Ketutup daun, Ta!” Wajahnya sumringah menatap bungkus rokok yang terinjaknya. Dia mengambilnya sambil tersenyum seolah menemukan harta karun.
Aku berjalan mendahului bapak Ketika melihat Wa’ Imah melambaikan tangan ke arahku. Namun baru saja aku sampai di halaman. Sebuah suara berat memanggilku.
“Assalamu’alaikum, Ta!”
Aku menoleh pada asal suara, tampak seorang lelaki bersarung dengan peci hitam dan koko putihnya sedang berdiri tidak jauh dariku.
“Wa’alaikumsalam, Kang!” jawabku sambil menunduk. Tidak terasa tanganku memainkan ujung kerudung yang menjuntai karena gugup.
“Kamu apa kabar, Ta? Aku dengar, udah nikah, ya?” tanyanya. Entah dia menatapku atau tidak. Aku tidak berani mengangkat kepala.
“Alhamdulilah, Kang! Kang Hafiz sendiri gimana, baik? Udah selesai kuliahnya?” tanyaku masih menunduk.
“Aku baik! Belum selesai, masih dua tahun lagi! Kamu kenapa gak nunggu aku?” tanyanya tanpa basa-basi.
DEG
Ada sesuatu yang menghantam ulu hatiku. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Beruntung suara Wa’ Imah kembali memanggilku.
“Ta! Cepetan bantu Uwa” teriaknya dari teras.
“Permisi, Kang! Dipanggil Uwa’ … assalamu’alaikum!” Aku bergegas meninggalkan lelaki berparas teduh yang sedang menatapku.
Bagaimanapun aku kini adalah wanita bersuami. Jawaban apapun yang akan kuucapkan untuknya sudah tidak akan berpengaruh lagi. Andai Kang Hafiz tahu alasanku memutuskan untuk menerima tawaran bekerja di kota yang jauh dari sini.
Masih teringat jelas Ketika aku mendengar dengan telingaku sendiri ucapan dari ibunya Kang Hafiz.
“Wah, Bu Syifa sebentar lagi mantu, ya! Katanya Hafiz sedang dekat dengan Sinta?” celoteh seorang pedagang sayur yang berhenti di depan warung Bi Iyem.
“Ah, saya sudah suruh Hafiz kuliah ke Bandung biar gak deket-deket anak itu lagi. Lagian saya gak setuju sama pilihannya. Rumahnya aja reyot kayak gitu, keluarganya serba kekurangan. Nanti yang ada malah anak saya diporotin. Tadinya mau saya jodohin sama Selvi, kakak sepupunya! Hafiznya nolak, jadi cari cara halus aja biar mereka pisah dulu!” dengan gamblang pernyataan itu menusuk hatiku.
“Oh, gitu ya Bu! Saya kira ibu sudah setuju, soalnya saya dengar dari anak saya, Hafiz mau melamarnya segera!” ucap seorang ibu lainnya yang entah siapa.
“Kalau anak itu maksa, biar saya suruh milih aja! Mau memilih saya atau gadis itu? Lagian pastinya tuh si Sinta yang keganjenan, deketin anak saya. Pastinya keluarganya tuh nyuruh cari orang kaya biar mereka bisa numpang hidup, dih amit-amit deh besanan sama mereka! Amit-amit tujuh turunan kalau bisa,” ucapnya lagi semakin mengiris. Aku yang sedang berbelanja di warung Bi Iyem sampai menahan napas. Bahkan tidak berani pergi sebelum kedua orang yang sedang belanja sayur itu berlalu.
Terasa sakit sekali waktu itu. Padahal awalnya aku sudah mau melamar di pabrik dekat sini. Meskipun kampung kami di pinggiran tapi ke Kawasan industri Cuma tiga puluh menitan. Tapi mendengar semua fakta itu membuatku akhirnya memutuskan untuk mengubur semua mimpi indah yang sempat terbayang. Aku pergi dengan membawa hati yang patah sebelum berkembang. Aku tidak lagi percaya tentang janji dan harapan yang sempat lelaki itu ikrarkan.
Aku terus berjalan ke dapur tanpa menoleh lagi ke arahnya. Lelaki yang pernah menjadi bagian dari masa laluku. Dan selamanya akan begitu.
Acara pengajian dimulai. Aku duduk didekat jendela sambil menghitung jumlah yang datang. Hal ini biasa dilakukan untuk memastikan jika bingkisan yang kami buat adalah cukup untuk mereka. Tiba-tiba tatapan mataku berhenti pada pemuda yang ternyata sedang memandang ke arah sini.
Aku beringsut menggeser duduk. Kemudian berjalan ke belakang. Aku sudah memiliki masa depan, tidak ada lagi tempat untuk lelaki lain di hati ini.
Setelah acara selesai. Aku, ibu dan Wa’ Imah sibuk membereskan semuanya. Aku mengangkut gelas-gelas kotor bekas ngopi. Sementara Wa Imah menyapu teras. Ibu membereskan dapur.
Wa’ Ikah tengah bercanda dan tertawa-tawa menyambut adik kesayangannya yang baru datang. Selama ini, yang dekat dengan Wa’ Ikah adalah Wa’ Inah adik keduanya. Mereka mengobrol sambil tertawa-tawa di luar.
“Ta, mana suamimu? Uwa’ pengen lihat! Katanya ganteng kayak artis, ya?” ucap Wa’ Inah yang baru saja mendaratkan pantatnya.
“Gak ikut, Wa’ … lagi ada kerjaan!” ucapku sambil mengangkut gelas kotor yang ke sekian kalinya.
“Itu, kalau mau tau muka suaminya Sinta, Teh Inah lihat berita di tivi saja. Suaminya ganteng kayak itu tuan muda yang suka muncul di tivi!” ujar bapak membanggakan menantunya.
“Percuma juga ganteng, Mang kalau kere!” ucapan pedas Teh Selvi menimpali.
“Nih, nanti lihat Selvi … pasti bisa dapetin tuan muda beneran! Dia ‘kan CEO di perusahaan tempat Selvi dan ayah bekerja, Mang!” sambung Teh Selvi lagi.
“Bukannya udah nikah dia mah, Vi?” Kudengar Wa’ Inah bertanya.
“’Kan lelaki boleh punya istri lebih dari satu, Bi!” ucapnya dengan percaya diri.
Aku bergegas pergi ke dapur. Malas mendengarkan obrolan unfaedah mereka.
Baru saja aku meletakkan semua gelas kotor di dalam bak. Ponselku yang kuletakkan tidak jauh dari sana bergetar. Sebuah pesan masuk, dari nomor baru lagi. Apakah peneror itu lagi? Dengan gemetar tapi tetap kubuka karena penasaran.
[Assalamu’alaikum, Ta! Kamu belum jawab pertanyaanku yang tadi, kenapa tidak menungguku?]
[Siapa ini?]
[Orang yang bertemu di halaman depan denganmu, kenapa kamu malah menikah dengan orang lain dan tidak menungguku?]
Pov Author Selamat Membaca! Maafkan kalau kurang maksimal. Masih oleng Mak Othornya 😁 Rumah Madina dan Alka sudah ramai sejak pagi. Beberapa tetangga turut rewang karena untuk pertama kalinya Madina dan Alka akan menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilan untuk cucu pertamanya. Awalnya Nyonya Sinta bersikeras agar semua perayaan dilaksanakan di rumahnya. Namun Madina menolak, karena ingin terlibat langsung dalam syukuran calon cucu pertamanya itu. Meskipun demikian, Tuan Ashraf tidak kalah antusias dalam menyambut kehadiran cucu-cucunya. Lelaki yang masih terlihat jelas garis ketampanannya itu tidak mau tinggal diam. Sejak pagi, semua orang dibuat berdecak kagum dengan kiriman beragam makanan dengan kualitas premium ke kediaman besannya. Beragam makanan itu untuk
Pov Author Selamat Membaca! Alma menelan saliva. Benar-benar gugup dan takut. Khawatir jika dirinya memang belum hamil. Tidak kuasa melihat wajah Arya kecewa nanti. “Bismillah, semoga Engkau memudahkan segalanya,” batinnya. Arya menuju ke bagian pendaftaran. Beberapa pasang mata tampak mencuri-curi pandang pada lelaki yang menggamit jemarinya itu. Tampak mereka mengusap perutnya, mungkin berharap memiliki anak rupawan seperti lelaki gagah yang membersamai Alma. Usai daftar. Mereka duduk berjejeran dengan beberapa wanita hamil. Namanya juga poli kandungan, isinya kebanyakan wanita-wanita hamil pastinya. Tampak mereka bersama masing-masing pasangan. Hanya ada satu orang yang tampak sendirian, hamilnya sudah kentara mungkin sudah tujuh bulanan. “Hamil
Pov Alma (bulan madu) Extra part Gaess! Selamat Membaca! Coba komen yang masih hadir di sini! 😁 Hari ini kami sudah berada di salah satu tempat yang jauh dari keramaian. Kata Bang Arya kami ini sedang bulan madu. Di sini hanya ada kami berdua. Entah seberapa kaya suamiku ini. Satu area pulau ini katanya hanya di sewa oleh kami selama seminggu. Selain para pekerja yang memang ada, tidak ada lagi pengunjung lainnya. Bang Arya melingkarkan lengan kekarnya pada pinggangku. Aku menyandarkan kepalaku yang tak terbalut kerudung ini pada dada bidangnya. Kami duduk bersisian tanpa cela. Sesiang ini masih betah menikmati suasana cottage terbuka yang kami tempati. Dari sini, kami bisa langsung menatap indahnya riak gelombang lautan. Hembusan angin sepoi yang mendamaikan.&n
Pov Author “Bang, ini aku Alma---istrimu. Sadarlah, Bang! Maafkan aku yang bodoh ini! Kalau kamu sadar, aku berjanji akan mengabulkan apapun keinginanmu, Bang! Sadarlah, Bang!” ucapnya sambil terisak. Alma duduk pada kursi di tepi ranjang tempatnya berbaring. Detak jam dinding terdengar. Entah sudah berapa lama dia berbicara sendiri hingga akhirnya terlelap. Tiba-tiba dia menatap sosok berpakaian putih itu datang mendekat. Dia mengusap pucuk kepalanya dan berbisik. “Terima kasih, Dek … terima kasih sudah menjagaku,” lirihnya lembut. Wajahnya tampak. Gerak jemari yang digenggamnya membuat Alma mengerjap. Rupanya dia kembali tertidur dan bermimpi bertemu dengan Arya. “Bang, kamu sudah sadar?” Alma menata
Pov Alma Selamat Membaca! “Alma! Maafkan aku. Rumah tangga ini tidak bisa kita lanjutkan! Terima kasih sudah memberiku kebebasan! Aku bisa leluasa memilih hidupku ke depannya! Aku pergi … jaga diri baik-baik!” “B—Bang, B—Bang Arya!” Satu sentuhan mengguncang bahuku. Aku mengerjap ditengah isak. Rupanya aku tertidur selepas shalat isya tadi di kamar belakang. “Ma, kamu kenapa? Mimpi?” Anggrainin tengah menatapku. “Astagfirulloh ....” Aku menyeka sudut mata yang hangat. Aku menangis. Isaknya terbawa ke alam nyata. Barusan aku bermimpi, Bang Arya benar-benar terasa nyata. Dia memakai pakaian
Pov Author Selamat Membaca! Pikiran Arya berkecamuk. Semua campur aduk menjadi satu. Kalimat demi kalimat yang Azka ucapkan membuat dirinya benar-benar tidak bisa berpikir dengan baik. Ya, memang foto itu benar, dirinya dan Naila pernah mengikat janji untuk menua bersama. Semua yang Azka ucapkan itu benar, dia menikahi Alma karena pernah berjanji jika dia akan membalas hutang nyawa pada Azka dengan cara apapun juga. Menikahi Alma tanpa cinta, itu juga benar. Awalnya dia memperlakukan dengan baik karena rasa tanggung jawab akan amanah dari sahabatnya itu. Harusnya Arya senang ketika lelaki itu tidak lagi menuntutnya untuknya terkungkung dalam hutang budi. Dia sudah bisa bebas kembali ke dalam kehidupannya tanpa terikat janji pada Azka untuk memperla