“Gimana enak nggak?”
“Hmm, enak banget.”
“Mau nambah?”
“Boleh sayang.”
Kiki pun langsung mengambil lauk kembali untuk ditaruh di atas piring Ryan. Ia benar-benar bahagia sekali karena hasil masakannya dimakan lahap oleh Ryan.
Apalagi saat ini yang dilakukan Kiki hanya memperhatikan suaminya yang tengah menyuapkan makanan ke dalam mulut. Sampai Kiki tak terasa kalau mulutnya ikut melongo.
“Kamu nggak makan?”
“Hah?” Kiki terkejut mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Ryan. “Aku udah kenyang,” jawabnya sambil meringis.
“Kenyang?” kening Ryan mengerut heran sambil menatap ke arah Kiki. “Emang kamu udah makan duluan apa gimana?”
Kiki menggeleng. “Belum, cuma aku ngelihatin kamu makan udah ikutan kenyang duluan.”
Ryan berdeham, ia pun langsung mengambil nasi kembali ke atas piringnya. Ia menoleh ke a
Kiki memandangi pintu kayu itu dengan tatapan takut juga gerogi. Meski sudah sah menjadi menantu tetap saja ada perasaan risih.“Mas.”“Hmm, kamu usahain pulang ya habis meeting di Bandung. Masa aku nginep sendirian sih.”“Iya sayang aku usahakan pulang.”“Aku masih kaku sama Mama Nina soalnya. Masih canggung gitu soalnya.”“Iya aku paham kok, makanya kamu harus bisa ajak ngobrol Mama. Yuk turun,” ajak Ryan yang sudah membuka pintu mobilnya.Hal yang dilakukan Kiki sebelum turun dari mobil itu mengambil napas panjang dan mengembuskan perlahan-lahan. Kiki melakukan ini berkali-kali sampai dirinya merasa rileks.Saat membuka pintu mobil pun Kiki tak lupa merapalkan segala doa supaya hatinya bisa tenang. Melihat suaminya mengulurkan tangan membuat Kiki segera meraihnya dan mereka berdua akhirnya jalan bersama menuju ke arah pintu utama.Tok. Tok. Tok.Mereka
Kiki langsung menghentikan ucapannya kala mendengar suara mertuanya yang memanggil Surya untuk segera mengantar ke acara arisan itu. Kiki benar-benar tak habis pikir dengan pola pikir mereka berdua.“Surya, ayo anter Mama,” teriak Nina yang sudah siap. Dengan cepat pula Surya melepas pergelangan tangan Kiki.Saat ini Kiki masih sangat syok. Kiki merasa harus telepon Ryan untuk kasih tahu hal penting ini, atau kasih tahu Mama Nina saja?“Ma—““Jangan bilang, lo bilang taruhannya pernikahan lo sama Ryan,” ancam Surya dengan suara yang menyerupai bisikan namun penuh tekanan.Kiki pun hanya bisa menelan ludahnya susah payah saat ini. Terlebih jika dirinya masih di rumah ini dengan Cantika dan Surya yang akan kembali nanti akan sangat berbahaya. Kiki harus segera pergi secepatnya. Bila perlu datang ke kantor Ryan untuk cerita semuanya. Sepertinya Ryan belum berangkat ke Bandung mengingat ini masih cukup pagi. Da
Dalam perjalanan menuju ke Jakarta pun Kiki terus menangis karena tak bisa mengejar mobil suaminya. Apalagi nomor suaminya pun tak aktip-aktip saat dihubungi. Sopir taksi yang melihat dari kaca spion pun merasa iba melihat penumpangnya yang tengah bersedih itu. Sopir taksi itu pun berinisiatip mengulurkan kotak tisu ke arah belakang.Tangan milik Kiki pun akhirnya mengambil beberapa lembar tisu untuk menghapus air matanya yang terus menetes.“Sudah Mbak jangan sedih, lagian kan suaminya pergi kerja bukan yang aneh-aneh.”Kiki terus mengusapi air matanya bahkan beralih ke hidung. “Iya, tapi ada hal penting yang harus saya katakan, Pak.”“Iya sabar saja menunggu di rumah. Masak yang enak, atau apalah yang bikin suami nanti senang saat pulang.”Mendengarkan usulan ide dari sopir taksi itu membuat Kiki memiliki ide lain. Niat untuk kembali ke rumah mertuanya pun ia urungkan. Apalagi keadaan saat ini sangat bahaya bag
Sesampainya di rumah mertua, membuat Kiki sedikit ragu untuk melangkah masuk ke halaman rumah. Yang dilakukan hanya berdiam diri sambil menyiapkan mental untuk adanya hal-hal yang bakalan terjadi nantinya.Dengan sedikit merapalkan doa, Kiki langsung melangkah sambil berpikir nanti ngomong sama mama mertuanya bagaimana supaya dia tak curiga.Baru saja akan mengetuk pintu, tiba-tiba daun pintu udah terbuka yang menampilkan wajah Surya yang tengah badmood.Kiki yang melihat itu langsung menurunkan tangan yang masih mengawang di udara. Ia langsung masuk sambil mengucapkan salam dan dijawab lantang oleh mama mertuanya.“Ya ampun Nduk, untung kamu pulang. Ini Mama lagi masak bareng Cantika lho, kamu mau ikut bantuin nggak?”Kiki pun tersenyum canggung, bola matanya mengikuti langkah Surya yang berjalan ke arah sofa ruang keluarga yang terdapat tv. Kiki pun mengangguk setuju untuk memasak bersama. Setidaknya ia akan lebih aman jika bersama pa
Kiki pun langsung mengusap pipinya kasar, ia mencoba turun dari ranjang dan berjalan menuju ke arah lemari untuk mengambil pakain sang suami. Ia berjalan ke arah Ryan dan mengulurkan tanpa melihat wajahnya.“Makasih sayang.”Selesai memberikan pakaian membuat Kiki langsung berjalan ke arah kasur kembali. Ia memilih untuk langsung rebahan tanpa memedulikan Ryan yang tengah bersenandung sangat begitu riang.Kini Kiki merasakan aroma maskulin itu sangat dekat dengannya. Ia sudah bisa menebak kalau Ryan saat ini tengah mengambil ponselnya yang terjatuh akibat ulahnya barusan. Semoga saja Ryan tak curiga dengan hapenya yang sudah berpindah posisi itu.“Lho, kok bisa jatuh begini,” gumamnya yang masih Kiki dengar dengan jelas. “Tadi ada telepon, ya?”“Nggak tahu, aku nggak dengar.”Kiki merasakan kalau suaminya sudah ikut bergabung rebahan di atas kasur. Bahkan ia merasakan pelukan di perutnya
Rasanya saat ini Kiki tak bisa menahan bendungan air mata yang memang sudah terkumpul sejak tadi. Bahkan Mbak Sila yang melihatnya pun langsung tersadar dengan mimik wajahnya yang memang terlihat sangat menyedihkan itu. Ryan yang notabennya sebagai suami saja sampai tak peka dengan kondisinya. Entah dia sadar atau tidak tapi sampai detik ini pun belum ada chat masuk ke ponselnya dari Ryan.“Hei, kenapa?”“Ryan, Mbak.”“Ryan?” Sila langsung menatap bingung ke arah Kiki yang justru menunduk sambil mengusap pipi. Merasa kasihan pun membuat Sila langsung menarik ke dalam pelukannya. Sila memeluk Kiki dan mengiringnya berjalan ke arah pantry yang memang masih sepi.Kini Sila sudah berhasil untuk mengiring Kiki duduk. Ia langsung ikut duduk di depannya sambil menatap kasihan.“Lo mau minum teh dulu?”Kiki menggeleng pelan.Sila justru mengembuskan napasnya lelah. Ini pasti sesuatu yang berat s
Kiki nggak pernah menyangka kalau si boss bakalan jalan sampai ke arah pantry begini. Padahal dia boss harusnya duduk santai di kursi kebesarannya bukannya keliling seperti orang kurang kerjaan begini.“Kamu ikut saya.” Tunjuknya ke arah Kiki yang masih saja merasa syok bukan main. Dan melihat kalau si boss sudah berbalik badan membuat Kiki menoleh ke arah Sila juga Joko secara bergantian, Kiki pun menampilkan ekspresi takutnya ke arah Sila.“Semangat!” kata Sila.Kiki hanya memanyunkan bibirnya ke depan karena di antara ketiga yang berada di pantry kenapa hanya dirinya saja yang bakalan kena semprot? Padahal tadi gibah berjamaah terus kan ini belum masuk jam kerja harusnya karyawan bebas melakukan apapun dong.Merasa si boss berhenti membuat Kiki ikutan berhenti di belakangnya. Kiki merasa kalau sekarang harus siap mental.“Ini kamu nggak lihat?”Kiki langsung mengulurkan lehernya ke atas untuk melihat ap
Entah kenapa Melviano mendadak kasihan dengan sekertarisnya itu. Apalagi baru pulang bulan madu sudah diselingkuhi. Mendingan dirinya kemana-mana. Laki-laki setia yang susah dicari, rasanya Melviano ingin kasih tahu istrinya kalau ada laki-laki lebih brengsek darinya.“Tinggal kan saja laki-laki seperti itu.”Kiki menatap ke arah Melviano. “Saya nggak mau jadi janda, Mr.”Melviano berdeham pelan. “Terserah kamu sih, tapi saya nggak mau urusan rumah tangga dibawa ke kantor seperti ini. Kamu harus bisa professional.”“Iya, Mr.”“Nanti kalau si Joko Susanto datang suruh masuk ke ruangan saya langsung.”“Baik, Mr.”Melviano pun langsung berjalan ke arah ruangan kerjanya yang memang didesain begitu luas dibanding ruang kerja milik Haidar.Yang dilakukan Melviano di dalam ruangan saat ini adalah menghubungi nomor ponsel istrinya. Ia akan memberitahukan kalau diri
Setelah makan siang bersama dengan Alex. Adeeva memilih untuk kembali ke rumah untuk berganti pakaian sebelum nanti Baim menjemputnya. Apalagi pakaian yang dikenakan terasa bau asap sate.Saat sedang berganti pakaian, dan kembali mempertebal make-up yang dipakai. Adeeva terkejut dengan kedatangan Kiki yang menghampirinya.“Bun,” sapa Adeeva, meski fokusnya saat ini sedang di depan cermin. Tangannya sibuk memegang lipstik untuk memoles bibirnya agar tidak pucat. Apalagi ia tadi habis makan yang otomatis sedikit berantakan dan mulai terhapus.“Tadi pergi kemana?” tanya Kiki.“Ke warung sate dekat-dekat sini.”“Terus sekarang mau ke mana lagi?”“Mau ke taman bermain sama Baim. Katanya buat ngehibur Ayesha.”“Tujuan dia ke sini untuk apa?”“Siapa, Bun? Baim?”“Pria bule itu.”“Alex?”“Hm.”
Merasa bingung membuat Adeeva lebih memilih untuk segera pergi ke kamar mandi dan berdandan secantik mungkin. Saat sedang memoleskan lipstik, telinganya mendengar suara bel dipencet. Adeeva sudah menduga jika itu adalah Alex. Buru-buru Adeeva segera melanjutkan kegiatan dandan-nya dan segera keluar kamar untuk membuka pintu.Namun, saat sedang berjalan menuju ke arah pintu. Bundanya sudah lebih cepat membuka dan Adeeva bisa menangkap suara seseorang yang memang tidak asing di telinganya. Adeeva berdeham pelan sebelum keluar menuju ruang tamu.Saat yang bersamaan, tamu itu masuk karena bundanya mempersilakan. Dan di saat itu pula Adeeva melihat tatapan mata tajam dari bundanya yang memberikan peringatan karena pria yang diceritakan Adeeva sebagai kekasih atau selingkuhan di Barcelona itu benar-benar datang.“Hai Alex, apa kabar?” sapa Adeeva sambil tersenyum ramah.“Baik. Senang bertemu denganmu. Aku pikir tidak bisa menemukanmu. Untung s
Drrt. Drrt. Drrt.Adeeva langsung meraba-raba ke arah sembarang untuk mencari ponselnya. Apalagi ia semalam sudah menghabiskan waktu telepon berjam-jam dengan Baim. Ya, hubungan Adeeva dan Baim saat ini mulai semakin dekat juga intens. Terlebih Adeeva selalu berbinar dan senang jika sudah membahas soal Ayesha. Dan, Baim pun sudah mengetahui konflik atau keadaan Adeeva yang tidak bisa memiliki anak hingga memperboleh Ayesha untuk dianggap sebagai anak-nya. Baim merasa prihatin mendengar kisah Adeeva yang dicampakkan oleh pria bule itu. Baginya, pria seperti itu sangatlah tidak gentleman.“Halo.”“Morning,” sapa seseorang di seberang telepon sana. Adeeva yang terkejut langsung segera membuka matanya. Ia melotot tak percaya jika yang menelepon saat ini adalah Alex.Dengan susah payah, Adeeva mencoba menjawab sapaan Alex. Ia berdeham pelan dan menelan ludahnya susah payah agar kerongkongannya tidak terasa kering.“A-
Adeeva pun terkejut saat memahami ucapan Kiki. Dia langsung terpekik hingga membuatnya meloncat dari atas kasur yang membuat Kiki semakin bingung.“Bunda, seriusan Adeeva tidak ada hubungan apa-apa sama dia. Kami profesional aja sebagai pemilik kafe dan customer. Bunda ingatkan kalau Adeeva pernah cerita jika ada customer menyebalkan? Nah dia itu customernya—yang ternyata klien Ayah.”“Kok dunia bisa sesempit ini, sih?” komentar Kiki menanggapi.Adeeva pun hanya mengangkat kedua bahunya tidak tahu. Ia langsung berjalan mendekat ke arah ranjang dan duduk di depan Kiki.“Kata Ayah dia duda anak satu. Istrinya meninggal saat lahiran. Katanya pendarahan gitu, Bun. Adeeva ngelihat anaknya itu kasihan banget. Anaknya padahal cantik banget, Bun. Nasib dia malang banget enggak bisa melihat dan merasakan sesosok Ibu.”“Siapa sih nama itu customer?” tanya Kiki, penasaran.“Baim.”
Adeeva merasa canggung saat ini. Bahkan lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan kata perpisahan. Maksudnya akan pamit pulang. Alhasil ia hanya diam mematung saja saat ini. Hingga akhirnya Baim langsung berdeham pelan dan menyuruhnya duduk.“Silakan duduk, saya enggak mau membuat seorang tamu kakinya keram karena terlalu lama berdiri.”Adeeva tersenyum, dan segera duduk. “Terima kasih.”“Hm.”Bahkan kini Baim ikut duduk di seberang Adeeva. Ia membuang muka saat Adeeva ingin menatapnya. Entah kenapa ia menjadi salah tingkah sendiri seperti ini. Bahkan Baim sudah berkali-kali berdeham untuk menetralkan rasa gugup yang dirasakannya.Tak lama, Bi Surti turun dari lantai atas. Bibirnya mengulas senyum tipis melihat interaksi yang sangat begitu kaku itu.“Bi,” panggil Baim.“Iya, ada apa? Tadi Ibu Ziva hebat banget lho bisa membuat Ayesha tertawa. Dia sepertinya nyaman digendongan Ibu Adee
Pada akhirnya Adeeva pun menerima permintaan dari sang ART itu untuk masuk ke rumah yang didesain ala mediterania. Awalnya Adeeva menolak karena ingin langsung pulang saja. Namun, melihat sang ART yang begitu memohon membuat Adeeva terpaksa mengiyakan.“Kalau boleh tahu nama Ibu siapa?” tanya ART itu dengan sopan.“Oh, nama saya Adeeva Putri Anggara, tapi panggil saja Adeeva.”“Nama yang cantik. Hampir mirip sama mamanya Ayesha, ya.”Adeeva mengerut bingung saat mendengar ucapan itu. Adeeva enggak paham kenapa ART ini seperti gencar sekali menjodohkan dirinya dengan bos-nya itu. Padahal baru juga bertemu.“Ibu Adeeva mau minum apa?” tanya ART itu, sambil menaruh bayi gembul itu ke sebuah bouncher. Adeeva yang melihat bayi itu merasa gemas sendiri. Bawaannya pengin gigit pipi yang tampak tembam itu.“Apa aja, tapi air putih saja.”“Kalau begitu saya permisi dulu mau ambi
Sudah hampir seminggu ini Adeeva tidak melihat sesosok Baim datang ke kafenya. Apalagi pertemuan terakhir dia dengan Baim berlangsung tidak baik. Entah kenapa Adeeva menjadi kepikiran saat ini.“Zia, pelanggan aneh itu enggak ke sini?”Zia menggeleng pelan. “Udah hampir semingguan ini dia enggak datang, Kak. Bahkan sore pun tidak datang.”Adeeva yang memang berjaga pagi hingga siang saja tidak tahu kondisi kafe di sore hingga malam hari. Karena Adeeva harus menemani grandma-nya di rumah. Adeeva ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama sang grandma. Akan tetapi hari ini ia sengaja berjaga sampai tutup kafe karena merasa penasaran dengan pria bernama Baim itu.“Apa dia malu mau datang ke sini lagi setelah tahu kalau aku anaknya dari pemilik kafe?” gumam Adeeva, menerka-nerka. “Tapikan kalau emang suka makan di sini tinggal datang aja seperti biasa. Enggak usah pikirin soal keributan kemarin dong. Ih engga
Adeeva menatap bingung ke arah pria itu. Bahkan saat pria itu telepon dengan seseorang menggunakan bahasa sunda membuat Adeeva hanya mengerutkan kening bingung. Pasalnya ia tidak tahu arti yang diucapkan pria yang entah siapa namanya.Setelah selesai berbicara. Pria itu langsung berbalik badan dan menatap Adeeva sengit. Karena ia sudah pasti akan menang dari cewek tengil di depannya ini.“Kita tunggu sebentar lagi pemilik kafe ini akan datang,” ucapnya dengan gaya watados-nya.Adeeva semakin mengerutkan kening bingung kala mendengar ucapan ngawur pria itu. Pemilik kafe-nya ia sendiri. Memangnya menunggu siapa? Apa menunggu ayah Ryan?“Oh ya? Memang siapa nama pemilik kafe ini?” tantang Adeeva, jemawa.“Tentu Pak Ryan Anggara.”“Hahaha, itu Ayah saya.”“Halah, ngaku-ngaku kamu. Bawahan aja bisa belagu begini, ya. Anaknya Pak Ryan itu di luar negeri ikut suaminya. Masa anaknya
Mau tidak mau saat ini Adeeva maju sendiri untuk melayani customer aneh itu. Adeeva sudah siap mendengarkan semua menu pesanan dari mulutnya. Namun, sudah berdiri sekitar sepuluh menitan tidak ada ucapan apapun dari mulut pria itu yang membuat Adeeva dongkol.“Bapak mau pesan apa?” tanya Adeeva kemudian.Tetap saja Adeeva hanya didiamkan oleh pria itu. Dia lebih sibuk membolak-balik buku menu dan dilakukannya berulang yang membuat kepala Adeeva terburu mengebul mengeluarkan asap putih.“Ekhem! Bapak ingin pesan apa? Dari tadi saya perhatikan kalau Bapak hanya membolak-balik buku menu tanpa mau memesan.”Adeeva terkejut kala pria itu justru menaruh buku menu dan berdiri menghadap ke tubuh Adeeva yang tingginya benar-benar lumayan. Adeeva saja sedada pria itu hingga membuatnya langsung mendongak.“Pelayan cerewet! Kemarin-kemarin saja tidak ada kamu suasana kafe ini aman. Saya pikir kamu dipecat hingga saya merasa lega.