Share

DIPAKSA BERCERAI
DIPAKSA BERCERAI
Author: Rou Hui

Aku Mau Cerai

Kesunyian menyambut Vivian saat ia memasuki rumah. Perempuan itu mengganti stiletto-nya dengan sandal dan melangkah tanpa suara menapaki lantai granit berpola abstrak menuju kamar tidurnya. Ia ingin segera beristirahat. Kakinya terasa pegal setelah dua jam lamanya menginjak pedal Honda Brio miliknya di jalanan padat merayap kota metropolitan.

Surabaya semakin hari semakin padat, ramai dan macet. Perjalanan dari rumah ke kantor dan sebaliknya tak pernah kurang dari satu jam. Mata Vivian melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam, kurang beberapa menit saja. Perlahan ia membuka pintu kamar.

Pemandangan di balik pintu langsung melecut emosinya. Kemeja, celana panjang lengkap dengan sabuk yang masih membelit, juga handuk basah tergeletak begitu saja di lantai. Ia menatap tajam pada empunya barang.

"Kamu tuh ya, nggak bisa berubah. Apa sih susahnya masukin baju kotor ke keranjang? Ini sabuk juga kenapa nggak dilepas?! Aku capek pulang kerja harus beres-beres lagi!" Gerutuan panjang Vivian menjadi sapaan pertamanya pada suami yang tidak ia jumpa dari pagi hingga malam.

Suami Vivian menipiskan bibir mendengar omelan perempuan itu. Sepasang matanya memperhatikan sang istri yang mengambil pakaian kotor miliknya sambil bersungut-sungut. Pakaian itu dilempar ke dalam keranjang dekat pintu kamar mandi. Orang yang melemparnya kini duduk menghadap cermin besar meja rias.

"Badanku capek banget. Macet parah hari ini!" keluh Vivian di sela kegiatannya membersihkan makeup dengan kapas dan susu pembersih.

Setelah beberapa detik berlalu tanpa mendapat tanggapan, Vivian menoleh untuk melayangkan protes pada suaminya. "Kok kamu diem aja?"

Laki-laki tampan itu mengedikkan bahu. "Mau bilang apa? Kamu sendiri yang nggak mau pakai sopir."

Vivian dalam hati membenarkan kata-kata suaminya. Masalah sopir memang sempat membuat mereka bertengkar hebat. Sang suami ingin Vivian diantar sopir sebagaimana layaknya istri seorang lelaki mapan dan sukses. Sebaliknya, Vivian ingin mandiri dan mengemudi sendiri.

Perempuan itu bungkam dan lebih memilih untuk mandi. Tidak lama. Ia keluar dari kamar mandi memakai piyama berenda, terlihat manis seperti gadis remaja. Rasa rileks setelah mandi membuatnya mengantuk dan ingin tidur. Vivian naik ke ranjang dan membaringkan diri di samping suaminya yang sedang memangku laptop.

Baru saja terpejam, ia kembali membuka matanya saat merasakan tubuhnya mendapat beban berat. Pandangannya bertemu dengan sepasang mata tajam milik Revan Halim, suami yang baru saja mendeklarasikan keinginannya dengan memerangkap tubuh Vivian di bawah tubuh kokohnya.

"Aku capek, Rev." Vivian menolak dengan kalimat klise.

"Kapan kamu pernah nggak capek?"

"Kamu jangan maksa lah." Tangan Vivian sedikit mendorong dada Revan agar beranjak dari tubuhnya.

Serta-merta Revan bangkit. Mulutnya terkatup rapat dengan rahang mengeras. Laki-laki itu meninggalkan ranjang dan berjalan menuju pintu.

"Kamu mau ke mana?" tanya Vivian ikut berdiri.

"Jajan!"

"Kamu udah gila ya?!" bentak Vivian.

Revan berbalik. Tatapan penuh murkanya menghunjam Vivian. "Sebagai istri yang nggak mau melayani suami, kamu nggak berhak protes kalo aku jajan!"

"Aku udah bilang lagi capek. Kamu nggak akan mati cuma karena nggak ngeseks!"

Vivian sekali pun tidak merasa bersalah menolak keinginan Revan. Baginya kehidupan pernikahan bukan cuma soal kesenangan di bawah perut. Ikatan sakral itu membutuhkan kompromi untuk menyatukan dua hal berbeda. Suami yang pengertian tidak seharusnya memaksa istri yang sedang lelah, bukan?

Sikap waspada Vivian langsung muncul saat melihat Revan dengan wajah menakutkan berjalan menerjang dirinya. Ia mengira laki-laki itu akan memberi tamparan atas mulut lancangnya. Matanya terpejam pasrah, sebelum kemudian merasakan kedua bahunya didorong dan tubuhnya dijatuhkan ke ranjang. Detik itu juga ia merasakan bibir kenyal sang suami menangkup bibirnya, dan tangan yang bergerak lihai menyentuh bagian sensitif tubuhnya.

"Stop it, Rev!" teriak Vivian marah sambil memukul-mukul punggung Revan. Ia benci dipaksa, dan tidak biasanya Revan memaksa.

"I can't!"

Sepertinya sudah kepalang tanggung bagi Revan. Ia tidak mengindahkan penolakan sang istri. Bibirnya yang basah kembali menelusuri kulit mulus Vivian, di tempat yang ia tahu menjadi kelemahan perempuan itu.

Kata orang tindakan tak selalu sejalan dengan pikiran. Vivian benar-benar membuktikannya malam itu. Kala mulutnya melontarkan penolakan, tubuhnya justru bereaksi pada sentuhan Revan. Napas Vivian tersendat menahan hasrat yang dibangkitkan dengan paksa. Benteng pertahanannya jebol. Ia takluk dan membalas pagutan Revan.

Suara lenguhan terdengar saat tubuh mereka melebur jadi satu. Pinggul Revan bergerak cepat memberi kenikmatan bagi mereka berdua. Vivian mendesah keras dan mencengkeram punggung sang suami. Laki-laki itu tak pernah gagal mengantarnya ke pintu surga. Dan tidak seperti biasanya, Revan kali ini lebih buas, lebih menuntut, dan ... lebih lama.

***

Seharusnya aktivitas bercinta menumbuhkan kasih sayang pada rumah tangga yang gersang, serupa air hujan yang menyirami tanah tandus padang pasir. Selayaknya penyatuan tubuh itu juga menyatukan hati mereka. Kenyataannya, hal itu tidak berlaku bagi pasangan Revan dan Vivian.

"Aku mau cerai," ucap Revan tiba-tiba keesokan paginya.

Vivian yang sedang sibuk memulas concealer pada lehernya seketika menolehkan kepala. "Nggak lucu, Rev!"

Ketika pacaran dulu Revan juga sering mengucapkan kata putus kala mereka bertengkar. Laki-laki itu pula yang dengan tidak tahu malu mengajak berbaikan, dan atas nama cinta, Vivian selalu menerima ajakan Revan untuk kembali.

Namun, dalam pernikahan mereka, inilah kali pertama kata cerai terucap. Vivian mendengus. Minta cerai setelah tadi malam menggaulinya bagai harimau kelaparan? Suaminya itu pasti sedang bergurau, bukan?

"Daripada becanda gak jelas, lihatin leher aku masih kelihatan merah nggak? Gara-gara kamu semalem—"

"Aku serius," potong Revan cepat dan tegas.

Nada bicara Revan berhasil menarik perhatian penuh Vivian. Ia berjalan mendekat dan menatap lekat-lekat wajah suaminya itu. Dulu wajah oriental Revan, dengan tatapan dingin menusuk dari sepasang mata sipitnya selalu berhasil membuat jantung Vivian berdebar tak karuan. Namun sekarang rasanya ia ingin sekali menggaruk wajah itu dengan kukunya yang tajam terawat.

"Are you out of your mind? Gak ada angin gak ada hujan tiba-tiba minta cerai?" tuntut Vivian meminta penjelasan.

"Bosan aja."

Seketika dada Vivian bagai ditusuk ribuan jarum. Perempuan mana yang tidak sakit hati mendengar suami minta cerai dengan alasan bosan, di saat pernikahan baru berjalan dua tahun.

"Kalo bosan sama aku kenapa semalam nidurin aku, Sialan!" umpat Vivian mengepalkan jemarinya.

Revan tersenyum miring. "Itu kenang-kenangan sebelum kita bercerai."

Vivian menipiskan bibirnya dengan geram. Wajah suaminya semakin mengundang untuk ditampar. Ia bertanya-tanya apakah Revan sedang mengerjainya.

Sayangnya tidak ada hal spesial pada hari itu. Ulang tahunnya? Jelas bukan. Hari jadi pernikahan? Baru saja bulan lalu. Tanggal jadian? Entah kapan, Vivian sudah lupa.

Mata Vivian lalu menyipit curiga. "Ada perempuan lain?"

Hanya itu alasan yang masuk akal bukan?

"Enggak."

"Jadi kenapa?!" tuntut Vivian lagi.

"Udah aku jawab tadi."

PLAK!

Sebuah tamparan benar-benar melayang ke wajah rupawan Revan.

"Bosan katamu? Bener-bener sialan ya! Kamu anggap aku mainan yang bisa dibuang setelah kamu bosan? Laki-laki macam apa kamu, hah?! Anggap pernikahan cuma main-main!"

Tiba-tiba tangan Revan melesat cepat mencengkeram lengan Vivian, menariknya maju dan melesakkan tubuhnya ke tubuh tegap lelaki itu. Vivian dapat merasakan embusan napas hangat Revan dari setiap kalimat yang didesiskan lelaki itu di telinganya.

"Sebelum kamu tanya aku laki-laki macam apa, tanyakan ke diri kamu sendiri kamu istri macam apa!" Punggung tegap berbalut kemeja mahal itu menghilang dari pandangan Vivian, disusul suara debuman pintu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status